PANCASILA SUDAH BETUL
(Kompas, 15 Mei 2000)
Jakarta, Kompas
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menegaskan, ia pasti akan menolak digantikannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, karena Pancasila sudah benar dan merupakan sari dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di sisi lain, demi demokrasi Pramoedya juga mendukung pencabutan Ketetapan (Tap) Nomor XXV/MPRS/1966. Selain tap tersebut diragukan keabsahannya karena banyak anggota MPR yang sah ditangkapi dan dibuang ke berbagai tempat. Tap tersebut juga telah memunculkan fasisme di Indonesia pada saat pemerintahan Soeharto.
Hal itu ditegaskan Pramoedya ketika bertemu dengan pimpinan Presidium Komando Anti Komunis (KAK), yang dipimpin Poundsterling Harahap dan Sekjen A Rusly Biki, Minggu (14/5), di kediaman Pramoedya.
Pada pertemuan tersebut, KAK dan Pramoedya saling berbagi pemikiran sekitar pencabutan Tap MPRS XXV/1966, kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga soal Pancasila, serta kedekatan Pramoedya dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun hampir pada berbagai persoalan ada perbedaan pandangan antara Pramoedya dan KAK.
Misalnya, KAK meyakini kejahatan-kejahatan yang dilakukan PKI, termasuk tanggung jawab PKI terhadap pembunuhan enam jenderal pada peristiwa 30 September 1965. Sedang Pramoedya tidak meyakini itu perbuatan PKI karena belum ada bukti yang bisa menunjukkan hal itu sampai saat ini.
Pramoedya juga setuju pencabutan Tap MPRS XXV/1966, sementara KAK menolak pencabutan Tap tersebut karena soal prinsip, yaitu pengakuan bangsa Indonesia terhadap Ketuhanan sebagaimana tercermin dalam sila pertama Pancasila dan juga pengalaman kekjaman PKI pada saat itu.
Menurut Pramoedya, Pancasila itu adalah dasar negara. Soeharto-lah yang menjadikannya sebagai ideologi, padahal itu bukan ideologi. Ketika Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara oleh Soekarno, PKI pun ketika itu mendukungnya.
“Sila pertama yang berisi ketuhanan itu adalah suara golongan agama. Sila kerakyatan yang dipimpin dan seterusnya itu adalah mewakili golongan nasionalis, keadilan nasionalis bagi seluruh rakyat Indonesia itu mewakili golongan Komunis, dan Kemanusiaan sebagaimana diterangkan Soekarno sendiri adalah unsur baru yang diambil dari perjuangan rakyat-rakyat lua negeri, yang intinya declaration of indpendence Amerika, manifest komunis, dan Sang Meng Chu-I dari Sun Yat Set tentang perikemanusiaan,” jelasnya.
Sebagai pribadi, Pramoedya menegaskan, dia menghormati semua paham, semua isme, sejauh tidak melakukan perbuatan kriminal. “Kalau soal kriminal, pengadilan tempatnya. Jadi sederhana sekali saya menghadapi dan menjalani hidup pribadi,” papar sastrawan yang banyak mendapat penghargaan dari lau negeri ini.
Tak yakin sah
Ketika ditanya mengenai usulan pencabutan Tap MPRS XXV/1966, Pramoedya menyatakan setuju Tap itu dicabut. Alasannya, dia tidak yakin Tap itu sah. “Sebab pada waktu itu pendukung-pendukung Soekarno sudah diusir semua. Saya kenal dua anggota MPR yang dibuang ke Buru, satu Rapardji Situmeang, pendiri Permina, dan Hasad Raif. Penangkapan-penangkapan, dan juga ada yang dibunug, tidak dengan seizin presiden Soekarno, jadi menuruts saya itu tidak sah,’ katanya.
Menurut Pramoedya, persoalan Indonesia dari zaman dulu hingga sekarang adalah kelompok elitenya tidak punya karakter. Hal inilah yang membuat Indonesia bisa dijajah Belanda, rakyatnya hidup miskin padahal alamnya sangat kaya.
“Sekarang kita jadi pengemis, karena elitenya. Jadi persoalan adalah elitenya. Itu sebabnya saya berpihak pada angkatan muda yang tangannya tidak berlumur darah dengan pembantaian, mulutnya tidak kotor karena hue-kue nasional, hanya ingin Tanah Air dan nation-nya baik. Karena itu, elite-elitenya harus berubah, katanya.
Mengeai kedekatannya dengan Abdurrahman Wahid, Pramoedya menjelaskan, pertemuan pertamanya tahun 1996 ketika dia meluncurkan buku Arus Balik. Pertemuan kedua tejadi ketika Abdurrahman baru diangkat jadi presiden, (oki)
Sumber: Kompas, 15 Mei 2000
0 komentar:
Posting Komentar