alt/text gambar

Selasa, 20 Mei 2025

Topik Pilihan:

Cendekiawan dan Kesenian

Jakob Sumardjo

Oleh: Jakob Sumardjo


Perhatian kaum terpelajar Indonesia terhadap kesenian bangsanya masih amat tipis. Kesenian belum menjadi bagian dari hidup kecendekiawanannya. Kesenian masih diletakkan fungsinya sebagai rekreasi semata, sesuatu untuk bersenang-senang sesaat. Kesenian dipandang tak lain hanya hiburan. Barang konsumsi yang kedudukannya sama dengan keahlian sulap David Copperfield. 

Kesenian tidak dianggap sebagai produk pemikiran manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan hidupnya. Bahwa kesenian yang baik bagi kaum terpelajar nilainya sama dengan karya keilmuan dan filsafat. Tidaklah heran apabila penggemar filsafat di Indonesia merupakan salah satu apresiator kesenian, baik karya seni asing yang mondial maupun yang nasional. Tapi, amat sedikit minat kaum ilmuwan, profesional, dan birokrat, terhadap kesenian. 

Seni memang soal nilai, yakni nilai estetika, nilai sesuatu yang disebut "bagus" atau “indah”. Sesuatu yang mendatangkan kepuasan rohani, membuat penerima karya seni dalam keadaan rohani yang seimbang, tenang, larut dalam suatu pengalaman kesenian. Terjadi suatu peristiwa “unio mistika" antara penerima seni dan benda seni. Meleburnya si penerima seni dengan benda seni membuat kondisi rohaninya memasuki suasana perasaan dan pengalaman tertentu. Dan, karena nilai itu sifatnya subjektif serta berkaitan langsung dengan lingkungan hidupnya, maka yang disebut “kesenian" pun memiliki fungsi praktis. Sesuatu itu bernilai karena memang punya harga dalam hidup seseorang. Maka, kesenian pun memiliki konteks yang beraneka-ragam sesuai dengan struktur sosial dan budaya masyarakatnya. 

Kesenian bagi kaum terpelajar Indonesia pada umumnya masih menduduki fungsi penghibur dan bukan bagian dari suatu arus pemikiran bangsanya. Sikap ini tentu sah saja. Dikabarkan bahwa presiden-presiden Amerika Serikat, sejak Roosevelt, dikenal sebagai pembaca novel detektif. Dan, akhir-akhir ini, Presiden Clinton dikabarkan pula belanja buku dan membeli beberapa novel suspense, antara lain karya Tom Clancy yang sedang top dengan novel-novelnya yang bertemakan technosuspense. Negarawan dan politikus negara adikuasa ini penggemar kesenian, tetapi masih mendudukkan kesenian (kesusastraan) sebagai produk hiburan di waktu senggang. Ini berbeda dengan mendiang Presiden Kennedy yang gemar membaca sajak Robert Frost, Khalil Gibran, T.S. Eliot. Bahkan beberapa sajak para penyair itu masuk dalam sejumlah pidato penting kenegaraannya. 

Tak usah mencari contoh di Amerika, di Indonesia pun, Presiden Sukarno adalah pembaca karya sastra bertema pemikiran. Prof. Dr. Soedjoko, dalam suatu percakapan, pernah menyinggung bahwa ucapan terkenal Presiden Sukarno, “gantungkan cita-citamu setinggi bintang”, adalah kutipan dari sajak Longfellow. Bekas Perdana Menteri Indonesia pertama, Sutan Syahrir, juga seorang intelektual yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap kesenian-pemikiran. Dia membaca karya-karya sastra Belanda dan dunia, bahkan membaca estetika Croce untuk lebih memahami seni modern. Sastra Indonesia waktu itu (1930-an) belum dinilainya sebagai kesusastraan, tetapi baru sampai pada tahapan "menulis cerita" dan belum “bersastra".

Tampak adanya dua sikap terhadap kesenian dari lingkungan kaum cendekiawan dunia maupun Indonesia itu. Pertama, jenis presiden Amerika yang menggemari novel detektif dan suspense. Kedua, kepala negara yang menggemari karya sastra yang tidak sembarang cendekiawan mampu mengapresiasinya. Mengapa demikian? Karena kelompok yang pertama hanya mencari hiburan dalam bacaan sastra, sedangkan yang kedua mencari nilai-nilai lain di samping bersantai dalam menikmati karya sastra. Nilai-nilai itu adalah problem kehidupan, baik moral, sosial, politik, religi, dsb. 

Karya seni pada dasarnya mengandung berbagai nilai. Nilai utamanya memang estetika, yakni menciptakan sesuatu yang menawan bagi penerimanya. Apa yang disebut “indah" juga beraneka-ragam bentuk 

ekspresinya bagi seniman dan karyanya. Keindahan itu memiliki nilai autentik, unik, khas pada setiap seniman dan karyanya. Memahami aspek nilai estetik ini saja sudah merupakan tantangan bagi penerima seni. Dan itu memerlukan pengetahuan serta pengalaman. 

Nilai lain adalah nilai pengetahuan atau informasi, baik dalam seni imitatif maupun ekspresi. Bagaimanapun, seniman tetaplah manusia yang hidup dalam ruang dan waktu. Ia terpenjara oleh waktu dan lingkungan hidupnya. Mau tak mau ia belajar hidup dari lingkungannya. Dan, pengetahuan tentang lingkungan ini mau tak mau dipakai sebagai salah satu alat untuk mengungkapkan karya seninya. Gambaran penderitaan manusia yang dilukiskan kaum pemahat candi abad ke-9 di Borobudur tak mungkin mewujudkan manusia dalam celana jeans abad ke-20 ini. Manusia yang menderita, di Borobudur dilukiskan dengan pengetahuan lingkungan pemahatnya, yakni manusia dengan pakaian zaman itu. Prajurit-prajurit Borobudur digambarkan bertombak dan berperisai, dan tidak bersenjata. Inilah nilai informatif kesenian. 

Yang paling penting dalam seni adalah nilai hidup yang diungkapkan di dalamnya. Nilai-nilai ini biasanya berupa problematika yang biasanya dipandang secara falsafi, disadari atau tak disadari oleh senimannya. Nilai hidup ini menunjukkan tingkat kepahaman seniman terhadap kehidupan ini. Dan juga menunjukkan luasnya pandangan seniman. Nilai seni yang digemari kaum cendekiawan adalah nilai-nilai ini. Kesenian lantas dipandang sebagai suatu metode ungkapan kepahaman terhadap kehidupan. Kalau ilmuwan dan filsuf memahami hidup ini dengan disiplin nalarnya, maka seniman bukan hanya bekerja berdasarkan nalar, melainkan seluruh aspek dan dimensi rohani manusia. Seni itu harus diterima dengan seluruh kemampuan penghayatan manusia, seperti kita menghayati hidup ini sehari-hari. Bedanya, penghayatan hidup sehari-hari berlangsung tanpa bentuk, sedangkan pada seni, penghayatan diberi bingkai bentuk dan diperas dalam intisari hakiki pemahamannya. Seni intensif.

Kaum cendekiawan yang hanya mencari aspek estetik serta informasi dalam seni, sudah cukup puas dengan karya seni yang mengandung dan menonjolkan aspek-aspek itu. Novel detektif dikatakan menarik karena permainan logika dalam melacak motif berdasarkan bukti-bukti, seperti layaknya seorang ilmuwan. Inilah sebabnya jenis novel ini hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang telah terlatih dalam pemikiran. Tetapi, aspek nilai hidupnya boleh dikatakan agak diabaikan. Persoalan hidup apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh novel detektif? 

Juga novel populer seperti yang ditulis Tom Clancy, John Grisham, Chrichton, semua itu memuat nilai keindahan liku-liku cerita yang didasari oleh ketegangan, serta nilai informasi mengenai suatu profesi (pengadilan, kapal selam, bursa saham, dsb.) yang harus diakui memang akurat dan rinci, tetapi hanya berhenti di situ. Ceritanya tidak membawa pembaca ke dalam penafsiran yang lebih mendasar untuk memahami kehidupan ini. Novel semacam itu cukup dimengerti dan bukan dipahami. Sekali baca, Anda tahu apa isi ceritanya, sudah cukup. Tetapi, dalam novel kesenian, tugas pembaca tak cukup sampai di situ. Tugas pembaca masih berlanjut dan bahkan baru dimulai ketika novel habis dibaca. Novel kesenian mengajak dan menantang pembacanya untuk berdialog dengan novel. Bacaan adalah acuan bagi pembaca untuk meneruskan dan ikut menciptakan makna ceritanya. Maka, tidaklah heran apabila novel kesenian sering menimbulkan perdebatan tentang makna hidup yang dikandung di dalamnya. Novel semacam itu selalu membuka peluang bagi pembacanya untuk ikut memberi arti, dan bukan hanya menyodorkan satu arti.

Jelaslah bahwa karya seni bagi cendekiawan merupakan kebutuhan untuk mengasah kreativitasnya. Cendekiawan adalah manusia kreatif dalam bidangnya masing-masing. Dan, dalam seni, mereka ditantang untuk ikut menjadi seniman dengan sikap dialog dalam benda seni. 


Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, h. 198-201

_____________


Profil Jakob Sumardjo 

Jakob Sumardjo lahir pada tahun 1939 di Klaten, Jawa Tengah. Pendidikannya diselesaikan di IKIP Bandung, jurusan sejarah pada 1970. Ia tinggal di Bandung mulai tahun 1962 dan bekerja sebagai guru SMA. 

Sejak remaja ia tertarik pada kesusastraan dan sempat menulis beberapa cerpen remaja di harian Nasional, Yogya pada 1953 dan di harian Kompas dan mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung pada 1969. 

Tapi, minatnya berubah: ia menjadi penulis kritik sastra serta artikel budaya. Semua tulisan tersebut kemudian dikumpulkannya dan diterbitkan menjadi beberapa buku, yang sampai sekarang berjumlah kurang lebih 22 buah. Hampir semuanya mengenai kesusastraan Indonesia, dan 3 buku berupa kumpulan kolom. 

Sekarang ia mengajar di STSI Bandung dan di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Di samping sebagai tenaga pengajar, ia juga aktif sebagai penulis kolom sosial budaya di berbagai surat kabar lokal maupun nasional. 

Jika silsilah keluarganya ditelusuri, keluarga dekatnya memang tidak ada yang menekuni bidang kesenian, tetapi nenek moyangnya ada yang berkecimpung dalam teater rakyat (srandul), dalang, dan tukang ukir perak. Rupanya bakat yang dimilikinya menurun dari nenek moyangnya ini. 

Selain menekuni bidang kesusastraan dan budaya, Jakob juga gemar menonton film. Ia bergabung dalam Forum Film Bandung sejak forum ini didirikan pada 1987. 



0 komentar:

Posting Komentar