![]() |
Sapardi Djoko Damono |
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Kita semua memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menganggap sepele kesenian. Di zaman yang kecenderungan utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan duniawi, hal itu wajar sekali. "Tanpa kesenian toh manusia bisa hidup," begitu pikiran sementara orang.
Saya justru berpikiran sebaliknya, manusia seperti kita ini sudah telanjur tidak akan bisa tahan menghadapi hidup tanpa kesenian. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan kita tanpa seni rupa, seni suara, seni kata, dan seni-seni lain. Pakaian, perabotan, rumah, dan kendaraan kita diciptakan berdasarkan prinsip seni rupa.
Kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik jika tidak memiliki kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan pepatah, metafor, atau idiom yang ada dalam bahasa kita. Bahkan, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika selama seminggu (saja) penduduk negeri ini dilarang berseni suara—artinya, tidak ada lagi musik, singsot, rengeng-rengeng, tambur, gitar, piano, dan lain-lain.
Mungkin kita semua akan menjadi gila. Kita pun akan kehilangan akal sehat jika dilarang berbasa-basi, bermain kata, berpepatah-petitih, memakai lambang-lambang dalam berbahasa. Tidak semua kita ini seniman, memang, tetapi seni bukan hanya milik seniman.
Seni milik kita semua; kita semua berhak berkesenian, bahkan wajib berkesenian agar tetap beradab. Itu sebabnya kita mengajar anak-anak kita—bahkan sejak bayi—mengenal suara, rupa, dan bahasa yang bagus. Itu sebabnya—entah sejak kapan—kita sepakat untuk memasukkan berbagai jenis kesenian ke dalam pendidikan formal.
Kita persempit perhatian kita kepada sastra. Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali.
Dengan mempergunakan bahasa sebagai alat, seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya. Artinya, karya sastra berusaha untuk menawarkan serangkaian pilihan pengalaman dan penghayatan kehidupan, sehingga kita tidak terkurung dalam dunia pengalaman dan penghayatan sehari-hari saja.
Kita sering mengatakan bahwa bangsa kita berbudaya tinggi. Pernyataan itu tidak lain berarti bahwa kita memiliki kekayaan rohani. Di dalam karya sastralah kekayaan itu antara lain tersimpan dan bisa kita dapatkan setiap saat bila kita inginkan. Karya sastra adalah pengalaman, kekayaan rohani, kehidupan, atau dunia yang portable—bisa dijinjing ke mana-mana.
_____________
Sumber:
Tulisan Sapardi Djoko Damono, berjudul "Nasib Sastra di Sekolah"
0 komentar:
Posting Komentar