Gadis Pantai adalah judul roman karya Pramoedya Ananta Toer. "Roman ini menusuk feodalisme Jawa tepat langsung di jantungnya yang paling dalam."
Penerbit (Lentera Dipantara) menuliskan secara singkat sinopsis di lembaran-lembaran pertama novel ini sebagai berikut:
"Sepenuturan Pramoedya, Gadis Pantai adalah roman yang berkisah tentang perikehidupan seorang gadis belia yang dilahirkan di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Gadis Pantai adalah seorang gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat, seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Dia diambil istri oleh pembesar tersebut dan menjadi apa yang dikenal dengan Bendoro Putri. Perempuan yang melayani “kebutuhan” seks laki-laki sampai kemudian dia memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya. Dia tidur dengan pembesar itu. Membantu mengurus dan memerintah di kompleks keresidenan, paviliun, kandang-kandang, dan bahkan sebuah masjid. Perkawinan itu memberikan prestise baginya di kampung halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ia terperosok kembali ke tanah. Orang Jawa yang telah memilikinya, tega membuangnya—setelah dia melahirkan seorang bayi perempuan.
Dalam roman ini dikisahkan bagaimana di usia yang begitu muda belia, Gadis Pantai betul-betul telah kehilangan segalanya. Tidak punya suami, tidak ada rumah, tidak ada anak (anaknya, diambil—atau tepatnya dirampas pembesar Jawa—untuk tetap tinggal di Rembang), tidak punya pekerjaan. Karena begitu malu kembali ke kampungnya, ia kemudian berputar arah ke selatan, ke kota kecil Blora. Kisah sekuel Gadis Pantai berhenti sampai di sini.
Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang indah dan mempesona. Lewat roman ini Pramoedya Ananta Toer berhasil membongkar—setidaknya memperlihatkan—kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa yang tak memiliki sedikit adab dan jiwa kemanusiaan. Roman ini menusuk feodalisme Jawa tepat langsung di jantungnya yang paling dalam." (Lentera Dipantara)
**
"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini... Seganas-ganasnya laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi... Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka tanpa perasaan." —Pramoedya Ananta Toer
0 komentar:
Posting Komentar