alt/text gambar

Jumat, 09 Mei 2025

Topik Pilihan:

KANT SEBAGAI PELETAK FONDASI TEOLOGI MODERN PROTESTAN

Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus


Filsuf Immanuel Kant menancapkan titik-balik dalam teologi Protestan. Ia seorang penganut Pietisme yang saleh. Hidupnya sangat disiplin, hemat, dan sederhana. Selama 80 tahun hidupnya, ia tidak pernah bepergian sejauh lebih 20 kilometer dari kota tempat tinggalnya. Ia tidak menikah dan hidup selibat. 

Tapi bukan melalui gaya hidupnya yang monoton itu ia menjalankan pengaruh mendasar bagi filsafat dan teologi, melainkan melalui bukunya yang sangat terkenal: Kritik Akal Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft). 

Dalam buku itu ia membuktikan bahwa pengetahuan hanya mungkin melalui sintesa antara data-data indrawi yang dipersepsi melalui indra dan kategori-kategori transendental yang terdapat secara apriori dalam diri subyek. Tanpa sintesa itu, pengetahuan tidak mungkin. 

Dengan pembuktian itu, Kant memberi fondasi yang baru bagi pengetahuan. Rasionalisme keliru. Empirisme juga keliru. Yang benar adalah sintesa keduanya: pengetahuan terjadi karena dimensi rasional dan dimensi empiris tersatukan. Kant menyebut filsafatnya yang mensintesakan kedua paham itu dengan kritisisme.

Apa dampak teori pengetahuan ini terhadap teologi? Karena kita tidak pernah dapat mengindera Tuhan, maka kita tidak mungkin memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan bukanlah obyek yang dapat diketahui, sebagaimana kita memiliki pengetahuan mengenai obyek-obyek empiris di sekitar kita. 

Dampak teori pengetahuan ini terhadap teologi sangat mendasar. Teologi lama, pra-modern, kolaps. Agama tidak berhubungan lagi dengan dimensi metafisis-transenden. Tidak mungkin ada pengetahuan teoretis mengenai Tuhan. 

Apakah dengan demikian agama menjadi tidak relevan? Tidak. 

Kant kemudian memberi status moral kepada agama dan Tuhan. Dalam bukunya Agama Dalam Batas-Batas Akal Budi Belaka (Die Religion Innerhalb der Grenzen der bloßen Vernunft) ia mendefinisikan “agama adalah pengakuan bahwa semua kewajiban moral sebagai perintah Ilahi”. Hubungan moralitas dan Tuhan itu demikian. Kant mengatakan, moralitas mengandaikan Tuhan. 

Artinya, moralitas hanya masuk akal kalau keberadaan Tuhan diandaikan. Dalam bahasa Kant sendiri, Tuhan adalah postulat bagi moralitas. Kalau orang bermoral maka ia akan tiba pada realitas Ilahi. 

Tapi di sini Kant tidak mendefinisikan Tuhan sebagaimana dipahami dalam Kitab Suci, yakni sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan, dalam definisi Kant pada konteks moral, adalah “Kebaikan tertinggi” (der höchste Gut, the highest Good). Kebaikan tertinggi adalah tujuan moralitas. Sebagai makhluk bermoral kita diperintahkan oleh hukum moral untuk mencapai Kebaikan tertinggi. Dalam konteks moralitas kita tidak pernah diharapkan untuk bermoral yang sedang-sedang saja, atau seadanya. Moralitas menuntut agar kita mengusahakan kebaikan yang setinggi-tingginya, yang sempurna. 

Apa itu Kebaikan Tertinggi? Kant mendefinisikan Kebaikan Tertinggi sebagai kesatuan antara keutamaan (holiness) dan kebahagiaan (happiness). Konsep-konsep ini perlu diuraikan karena nanti melalui definisi konsep-konsep tersebut kita akan tiba pada realitas Tuhan dalam bidang moral. Tuhan tidak lain dari Kebaikan Tertinggi itu.

Bagaimana memahami Tuhan sebagai Kebaikan Tertinggi, dan Kebaikan Tertinggi itu pada gilirannya terdiri dari keutamaan dan kebahagiaan? Kant mendefinisikan keutamaan sebagai kesesuaian antara keinginan dan hukum-hukum moral. Orang disebut memiliki keutamaan jika keinginannya sesuai dengan hukum moral. 

Artinya ia selalu menginginkan hukum moral. Keinginannya identik dengan hukum moral. Ia selalu menginginkan yang baik menurut hukum moral, bukan menurut manusia atau dirinya sendiri. Tentu tidak ada manusia yang seperti itu. Dengan egoismenya manusia justru sering tidak mengindahkan hukum moral. Keinginannya bertentangan dengan hukum moral. 

Karena itu keutamaan sebagai kesesuaian antara keinginan dengan hukum moral disebut Kant dengan kesucian. Dan tidak ada manusia yang suci. Hanya Tuhan yang suci. Tuhan disebut suci karena keinginannya identik dengan hukum moral. Tuhan selalu menginginkan yang baik menurut hukum moral. Tuhan tidak pernah menginginkan hal yang bertentangan dengan hukum moral, yang bertentangan dengan kebaikan absolut. 

Inilah artinya jika Tuhan itu dikatakan suci (holy). Suci artinya keinginannya identik dengan hukum moral. Diungkapkan secara negatif, suci artinya tidak berdosa. Secara positif: keinginannya sesuai dengan hukum moral.

Lalu apa itu kebahagiaan? Kebahagiaan adalah kondisi ketika realitas sesuai dengan keinginan. Artinya, realitas identik dengan keinginan. Apa yang diinginkan, itu yang terjadi dalam kenyataan. Itulah kebahagiaan. 

Tentu tidak ada manusia yang seperti itu. Keinginan manusia, siapa pun dia, sering justru tidak terjadi dalam kenyataan. Karena itu tidak ada manusia yang sungguh-sungguh bahagia. Satu-satunya makhluk yang realitas sesuai dengan keinginannya hanyalah Tuhan. Keinginan Tuhan selalu terjadi dalam realitas. Atau, keinginannya identik dengan realitas. Karena itu, satu-satunya makhluk yang bahagia secara absolut hanyalah Tuhan. 

Begitulah Kant menjelaskan Kebaikan Tertinggi sebagai identitas antara keutamaan/kesucian dan kebahagiaan. Dan realitas itulah yang akan ditemui manusia bila ia bermoral: manusia bertemu dengan realitas Tuhan, dalam arti di atas.

Tapi Kant memperingatkan bahwa kita tidak boleh melakukan tindakan-tindakan baik atau bermoral dengan harapan agar sampai kepada Tuhan. Itu motivasi yang keliru dalam melakukan tindakan moral. Maksudnya, orang tidak boleh berbuat baik sedemikian rupa dengan harapan agar sampai kepada Tuhan. Sebab dalam kasus demikian, artinya: kalau orang bermoral dengan harapan agar sampai kepada Tuhan, maka justru orang itu tidak bermoral. Mengapa? Sebab perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih itu kehilangan nilai moralnya. 

Kant kemudian menyebut perilaku baik dengan pamrih itu sebagai legalitas. Perbuatan itu baik, tapi tidak mengandung nilai moral, karena dilakukan dengan pamrih tertentu. Itu sama dengan para politisi yang bagi-bagi sembako menjelang pemilu. Perbuatan itu memang baik tapi tidak mengandung nilai moral sama sekali. Bukan karena politisi itu bermoral makanya mereka membagi-bagi sembako.

Perbuatan baik baru mengandung nilai moral jika perbuatan itu dilakukan semata-mata berdasarkan kesadaran akan kewajiban untuk menaati hukum moral. Misalnya kita menolong orang lain tanpa pamrih apa-apa, bukan karena ingin dipuji, atau ingin dapat imbalan, tapi semata-mata karena kita sadar akan kewajiban kita untuk menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Orang yang demikianlah yang akan sampai kepada realitas ilahi atau Kebaikan Tertinggi dalam arti di atas. 

Dengan cara itulah Kant meletakkan Tuhan, Yesus Kristus, Roh Kudus dan gereja sebagai komponen dan struktur kesadaran moral. Karena semua dimensi tersebut mengajak atau mendorong orang untuk semakin bermoral, maka Kant juga mengatakan bahwa “menganut sebuah agama adalah kewajiban setiap orang kepada dirinya.” Karena dengan menganut sebuah agama itu orang jadi terdorong atau diajak untuk semakin bermoral. Dan manusia, sebagai makhluk moral, berkewajiban untuk semakin meningkatkan moralitasnya. 

Melalui kritik pengetahuan yang dijalankan Kant itulah konsep agama menjadi basis bagi teologi Protestan modern. Sebelumnya basis teologi lama Protestan telah ditumbangkan oleh metode kritisisme Pencerahan yang menolak Alkitab sebagai buku Ilahi yang berasal dari surga. Setelah penumbangan tersebut, teologi Protestan membutuhkan fondasi baru agar tetap dapat menegaskan dirinya sebagai sebuah ilmu di universitas. Fondasi ini kemudian disediakan oleh Kant melalui konsep agamanya, sebagaimana dijelaskan di atas. 

Tapi dengan memahaminya sebagai salah satu struktur moralitas, agama menjadi tidak independen lagi. Ia hanya sebuah bentuk kultural di samping bentuk-bentuk kultural lainnya, sama dengan bahasa, sains dan lain-lain. Ini memunculkan pertanyaan selanjutnya mengenai apa itu agama dan apa fungsinya untuk masyarakat dan manusia. Jawaban Kant sendiri jelas: agama berfungsi untuk moralitas. Tapi dengan memahaminya demikian, agama kehilangan status metafisisnya. Inilah keterbatasan konsep agama Kant.

Independensi agama dari dimensi metafisis itu diradikalkan oleh Friedrich Schleiermacher. Filsuf dan teolog ini bahkan melepaskan agama juga dari dimensi moralitas. Dalam bukunya Tentang Agama (Über die Religion, 1799) ia mengatakan bahwa agama berakar dalam perasaan manusiawi, yakni perasaan akan yang tidak terbatas (Tuhan) di dalam yang terbatas (manusia). Agama tidak lain dari usaha manusia untuk mengkomunikasikan perasaan mengenai yang ilahi di dalam dirinya itu ke tengah-tengah dunia sosial manusia. Schleiermacher membatasi agama semata-mata sebagai fenomena manusiawi yang terbatas. 

Pandangan ini kemudian menciptakan fondasi bagi teologi liberal Protestan yang ilmiah dengan metodologi yang jelas untuk memahami agama.

Dalam perkembangannya kemudian agama semakin mendiferensiasi dirinya ke arah yang berbeda dan baru. Sebelumnya ia digantikan oleh moralitas, kemudian oleh kesadaran atau perasaan mengenai yang Ilahi yang dikomunikasikan dalam dunia sosial, dan akhirnya menjadi konsep antropologis. Teologi juga memantapkan dirinya sebagai ilmu yang otonom. Ia menjadi ilmu pengetahuan mengenai agama Kristen. Teologi bukanlah ilmu mengenai hal-hal yang supra-indrawi yang tidak dapat diketahui, juga bukan mengenai fungsi gereja.

Teologi menjadi disiplin akademis, yakni ilmu pengetahuan mengenai agama Kristen yang dikontrol secara metodologis. Ia meneliti hakikat religius dari agama Kristen, yakni apa yang membuatnya menjadi sebuah agama. Yang membuat Kekristenan menjadi sebuah agama bukanlah isi agama itu pada dirinya sendiri, sebab isi itu bisa saja digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak religius. 

Apa yang disebut dengan isi agama Kristen tidak lain dari isi agama yang digunakan untuk tujuan-tujuan religius, dan bukan untuk tujuan non-religius. Agama Kristen eksis hanya kalau orang menggunakan ingatan akan Yesus Kristus secara religius dan mengkomunikasikan ingatan itu di tengah-tengah kultur manusia. 

Teologi yang ilmiah menjelaskan bagaimana isi agama Kristen itu muncul bersama-sama dengan teologi itu sendiri di dalam komunikasi Kristen yang religius. Dalam pemahaman saya, yang dimaksud dengan isi agama di sini adalah tema-tema seperti cinta kasih, suara hati, tanggung jawab, solidaritas, kepedulian sosial, dan lain-lain.

Penemuan Kant bahwa isi agama memiliki fungsi bagi agama itu sendiri tetap masih relevan hingga hari ini bagi teologi yang ingin tetap tampil sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Artinya, kalau teologi ingin tetap melihat dirinya sebagai sebuah sains, ia tidak perlu mengarahkan pandangannya ke dunia supra-natural, sebab hal itu tidak mungkin, melainkan ke isi agama itu sendiri dan bagaimana ia dikomunikasikan untuk tujuan-tujuan religius.

Filsafat agama Kant sering dikritik karena dianggap telah mereduksi agama dan Tuhan ke dalam struktur moralitas. Kant mengabaikan pengalaman rohani orang-orang beriman dan dimensi metafisis ritus-ritus keagamaan. Saya sendiri menilai bahwa itu adalah konsekuensi dari keterbatasan filsafatnya. Karena Kant memang hanya mau membicarakan agama di dalam batas-batas akal budi saja.


** Christian Danz, penulis artikel yang terdapat dalam link ini adalah professor untuk teologi sistematik pada Fakultas Teologi Protestan Universitas Wina, Austria, dan wakil ketua pusat penelitian RaT.

** Tulisan di atas adalah saduran bebas dari tulisan Prof. Danz tersebut.


Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1938tZFJpQ/



0 komentar:

Posting Komentar