alt/text gambar

Minggu, 04 Mei 2025

Topik Pilihan:

KRIWIKAN JADI GROJOGAN



Oleh: Darmanto Jatman

(KOLONG BUDAYA, No. 03,1997) 


Saudara-saudaraku, ini adalah pidato kebudayaan saya yang pertama sesudah beberapa kali diminta dan menolak untuk melakukan pidato yang sama di Yogyakarta, Jakarta maupun Semarang, saya justru memutuskan untuk memulai pidato saya di sini, di daerah "mbako semprul dan mbako sríntil", daerah "vorstenlanden" dulu, gubernemen kemudian, yang kemudian memicu maraknya para priyayi baru yang tak berdarah biru, namun berhasil mendesak "trahing kusuma, rembesing madu,” mengguncangkan tatanan dan melahirkan zaman edan yang dengan eloknya diungkap oleh pujangga keraton pungkasan dari Surakarta, Ngabehi Ronggowarsito: "Amenangi zaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/ming yen tan melu/boya keduman melik/kaliren wakasanipun.”

Masyarakat Jawa telah memakukan mitos jagad besar dan kecil yang tertata rapi, selaras, serasi, seimbang. Manusia wajib menjaga kosmos ini. Darmanya jelas, "memayu hayuning bawono". Raja-raja mereka pun mempergunakan gelar sebagai penjaga buwana ini: "Paku Buana", "Hamengku Buana". Namun agaknya infiltrasi (baca: subversi) dari para priyayi baru keluaran gubernemen ini telah mendesak posisi para priyayi asli. Kosmos pun jadi khaos. Zaman edan pun tak bisa dielakkan. Padahal, ujar sang pujangga "ratune ratu utama/patihe patih linuwih/pra nayaka tyas raharja/panekare becik-becik." Tokh sang pujangga masih juga bisa memetik hikmah: "Sabeja-bejane kang lali/luwih beja kang eling lawan waspada." Sang pujangga tidak mengutuk. la neges. la mawas diri. la sampai pada kearifan yang memang dibutuhkan oleh khalayak, wong Agung maupun wong cilik.

Michel Foucault -itu dedengkot "arkeologi" dan "genealogi" pengetahuan dan kekuasaan-berujar bahwa dalam represi akan muncul mistifikasi dan mitologisasi. Ronggowarsito sudah melakukan apa yang di "ramal "kan Foucault. Bila tatanan terguncang akan datang zaman kalabendu. Padahal sudah sejak lama para pujangga (baca: brahmana) dikolusi oleh raja-raja Jawa. Ken Arok, sembari mengabulkan asal muasalnya dari seorang kriminal yang di"mong" oleh Brahmana, akhirnya jadi raja. Brahmana yang di India posisinya di atas satria telah di"openi" oleh raja-raja Jawa bahkan menuliskan legenda bagi mereka. Kitab-kitab seperti "Pararaton", "Negara Kertagama", pada masa raja-raja Jawa Timur (an), berlanjut pada masa kerajaan Mataram baru. Serat- serat seperti Wulangreh" (Paku Buwono IV) dan "Wedhatama" (Mangkunegoro IV) mengukuhkan posisi raja-raja Mataram baru itu sebagai tedhak turunnya Panembahan Senopati. Pendiri dinasti Mataram yang dicap sebagai preman desa oleh Rendra karena tingkah lakunya yang tak kenal etika politik dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya termasuk menyuruh anak sulungnya Putri Pembayun jadi tledek untuk memikat musuhnya, yang kemudian dihancurkan kepalanya ketika menyembah Panembahan Senapati sebagai anak kepada mertuanya. (Bagaimana suksesi bisa mulus bila ayah dan menantu tidak saling percaya?!)

Michel Foucault juga menyebut dalam represi akan terjadi mistifikasi. Ronggowarsito dengan karyanya Kalatidha menunjukkan mistifikasi ini dengan jelas. Ada kekuatan supranatural yang mahadahsyat yang mengatur "gara-gara” ini. Orang hanya bisa menerima dengan tawakal apa yang akan terjadi. Memang sih, orang masih juga juga berharap semua kodrat ada iradatnya, ada rahmatnya, ada hikmah di balik semua itu. Dan hanya mereka yang mampu "tanggap ing sasmita" yang bisa membaca kehendak Yang Illahi ini. Maka muncullah pakar-pakar yang hendak mentahbiskan diri sebagai pendeta dengan cara membaca tanda-tanda ini: Airbus A-300 jatuh di Sibolangit, Kereta Api Argo Lawu anjlok di Jawa Barat, Kapal Fery tenggelam di laut, truk tronton nabrak bus... Bukan cuma itu. Juga dana Jamsostek yang dialihkan untuk memberi fasilitas sebagian anggota DPR agar dapat menyelesaikan UU Ketenagakerjaan secepatnya. Dan sekarang, ditemukan orok II (sebelas) bayi ditimbun sampah di bawah jalan layang di Warakas, Jakarta Utara....

Bacalah sasmita ini aneng suksma amrih lantip! 

ANTARA YANG TERSURAT DAN YANG TERSIRAT

Bagaimana kita membaca pesan yang disampaikan pak Harto ketika beliau dipilih kembali oleh Golkar untuk menjadi Presiden RI yang ke tujuh kalinya pada waktu ulang tahun Golkar beberapa waktu lalu. Setelah beliau juga menyatakan "mawas diri" apa rakyat masih percaya pada beliau, lalu muncullah pakar yang mau bikin polling. Ada yang setuju, ada yang tidak.  Tetapi bagi saya, begitukah cara membaca pesan pak Harto? Bukankah orang Jawa itu tempatnya pasemon? Bukankah ada ungkapan "pudak bujang, esem mantri, semu bupati”? Tidakkah di balik yang "tersurat" itu ada makna yang lebih dalam? Lalu apa gunanya hermeneutika, semiotika dan "tika-tika" yang lain itu? Dan kalau pak Harto menyatakan siap "lengser keprabon" dan "madeg pandhita" What does it means?

Eufemisme yang sebenarnya juga dilakukan di negara-negara lain- telah dijadikan bukti bagaimana kekuasaan di negeri kita telah memanipulasikan wacana. Ada jarak antara wacana dengan sektor riil. Kalau polisi menyatakan si Bodor sudah "diamankan" itu maksudnya dia sudah ditahan. Kalau seorang pejabat menyatakan dia sudah "menghimbau" bawahannya, itu maksudnya beliau sudah memerintahkan. Eufemisme yang eksesif memang menunjukkan adanya jarak antara kenyataan dengan wacana. Ada snobisme di sana. Ada kemunafikan ─ seperti kritik Mochtar Lubis tentang orang-orang Indonesia masa kini sebagai akibat dari feodalisme (Jawa). Bahasa Indonesia mengalami proses kramanisasi yang jelas-jelas meneguhkan hirarki sosial bangsa. Ben Anderson menulis sebuah artikel yang cukup menggoncangkan  "Sembah Sumpah”yang mengulas tentang sikap Jawa.  "Nggih-nggih ora kepanggih” atau "ngono ya ngono ning aja ngono", sebagai akibat hirarki sosial yang amat ketat. Muncullah apa yang disebut "kramanisasi" dalam bahasa Indonesia yang bila terjadi pada masa kolusi "penguasaan pujangga" tempo dulu bisa melahirkan "sastra jilat" atau "sastra negara", sesuatu yang dulu diharapkan benar oleh pemerintah Hndia-Belanda bisa diproduksi oleh Balai Pustaka. 

Saudara-saudaraku, bila sekarang ini masih juga direproduksi pelarangan bagi berbagai eksemplar kesusasteraan atau teater dan yang lainnya oleh negara itu menunjukkan bahwa sastrawan kita memang mengambil posisi sebagai pilar "civil society", masyarakat (bebas). Posisi yang sejak zaman Hndia- Belanda dahulu diambil oleh para cendekiawan kita sebagai pejoang kemerdekaan. Bila sekarang banyak pekerja sastra yang dengan suka rela menggabungkan diri dalam berbagai Dewan Kesenian yang tak henti- hentinya menagih janji pada Negara untuk menjadi patron mereka dengan kucuran dananya itu tidak berarti bahwa mereka dengan sukarela pula "subordinated" pada "state" negara. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa adalah tugas moril negara untuk ntuk menghidupi kesenian karena memang untuk tujuan semacam itulah negara dibentuk. "Parandene tan dadi/paliyasing kalabendu" (dua larik terakhir dari tembang awal Zaman Edan Ronggowarsito). Negara pun menagih kesetiaan dari mereka yang menikmati perlindungannya. Itu wajar. "Take and give”, "win and  and win". Tokh banyak yang memilih jadi pekerja pasar profesional, "menyerahkan diri" kepada  pasar (daripada negara) sebagai hasil berpikir yang oposisional biner: Negara atau Pasar! Banyak sastrawan yang mereproduksi sastra melalui kekuatan media sembari menerima tatanan media (yakni aktual, proksimiks dll.) menjadi massal atau pop dengan tata nilai yang jelas: Kaya dan ternama (rich & famous). Melalui penguasaan pasar inilah negara melaksanakan politik pelarangan dan perijinannya ─ sekalipun masih ada satu dua yang latah berseru agar para sastrawan tetap setia pada negara seperti Suwanda, Kumbakarna dan Basukarna dalam serat Tripama dari Mangkunegara IV. Tokh Goenawan Muhamad masih melihat berkembangnya sastra pasemon yang semakin canggih dan halus, jauh lebih canggih ketimbang sastra pasemon zaman cak Markeso dengan parikannya yang terkenal "Pegupon omahe dara/melok Nipon tambah sara" ─ satu "orasi" subversif yang mengancam nyawa sang cak itu sendiri. Padahal nyawa pada zaman sekarang ini begitu murahnya. Orang kecelakaan mati di jalan raya setiap hari, belum lagi yang mati karena pesawatnya nyilem, atau kapalnya kelelep ─ apalagi bila di"aborsi" seperti II (sebelas) orok yang ditemukan dibuang di persampahan di Warakas, Jakarta tempo hari. 

Bagaimana kita bisa menjaga martabat negara bila harga nyawa sudah sedemikian murahnya? "Don't you worry. Nyawa Udin begitu berharga dengan proses hukum yang demikian canggih dan mahal serta dibebaskannya Iwik, sang tersangka oleh pengadilan negeri!", begitu ujar Bilung menghibur. Sayang, Bilung suka betul berdusta. ...Jadi, bagaimana kita mesti membaca peristiwa diseretnya Iwik ke pengadilan serta kemudian dibebaskannya dia? Benarkah ini bukti wacana yang memenangkan ungkapan "sing salah seleh" artinya, yang tidak seleh itu "ora salah?!

Kita diingatkan bahwa kebenaran itu tidak "hitam- putih" adanya.

Kita diingatkan kembali pada sajak TS Eliot: The Hollow Men:


Between the idea

and the reality

...............

Between the conception

and the creation

falls the shadow.

Tetap saja terjaga antara kata dan perbuatan; jarak antara wacana dan "sektor riil, jarak antara "yang di atas meja"; jarak antara yang resmi dan yang tak resmi, jarak antara yang dipublikkan lewat media dan yang hidup dalam kepala masyarakatnya. Inilah yang mendorong Pak Harto neges, mawas diri dan bertanya kepada Golkar: Benarkah rakyat masih pecaya pada saya?!

Ada jarak antara sastra tertulis lewat media (subject to sensorship) dan sastra lewat percakapan sehari-hari yang hidup di kepala rakyat.

Ada sastra "cetho wela-wela" ada sastra "di balik batu". Dalam keadaan seperti ini maka kebudayaan kita terancam oleh berbagai wacana yang "ithir-ithir" seperti kriwikan tetapi pada saatnya jadi grojogan, yakni "trenggiling api-api mati" atau "Musang berbulu ayam' kalau tidak "lempar batu sembunyi tangan"! 

Ecc Homo!


Darmanto Jatman, Budayawan, Penyair, dan Pengajar Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang.


Sumber: KOLONG BUDAYA, No. 03,1997

0 komentar:

Posting Komentar