alt/text gambar

Sabtu, 03 Mei 2025

Topik Pilihan:

HEGEMONI JAWA DALAM PRAKSIS POLITIK INDONESIA


Resensi oleh: J Sumardianta

(Kompas, 3 Mei 2001)


Judul: Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia

Penulis: Benerdict R O’G Anderson

Penerjemah: Revianto Budi Santoso

Tebal: (viii + 634) halaman

Harga: Tp 45.000


Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Asia Tenggara Profesor Benedict R O’G Anderson (Ben Anderson) adalah ahli Indonesia (istilah akademisnya: Indonesianis) yang karya-karyanya menjadi bacaan wajib bagi para peneliti Indonesia. 

Pengaruh Ben Anderson sebanding dengan George Mc Turnan Kahin, Clifford Geertz, Herbert Feith, Lance Castle, Bernard Dahm, Denys Lombar, James T Siegel, Dwight Y King, Daniel S Lev, da R William Liddle. Ini semua menunjukkan betapa signifikan kedudukannya sebagai pembentuk wacana. 

Ben Anderson, mengingat pendekatan empatinya, dikenal sebagai ahli yang banyak menyoroti sisi subtil kebudayaan Jawa dalam praksis politik Indonesia modern. Indonesianis Cornell University AS, yang puluhan tahun dicekal oleh penguasa Orde Baru karena menulis Cornell Paper itu adalah ilmuwan (pekerja keras) yang tekun. Tak heran bila karya akademiknya bermutu tinggi. 

Beberapa karyanya, mengenai kecenderungan politik Indonesia sejak Orde Lama hingga Orde Baru, yang mengantarkannya mencapai status klasik sebagai Indonesianis, antara lain A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971), Java in the Time Revolution (1972), Imajined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990), dan The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World (1998). 

                                                   *** 

Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia merupakan kumpulan esai Ben Anderson sepanjang tahun 1966-1985. Edisi Indonesia buku ini dipublikasikanoleh penerbit Mata Bangsa dengan judul Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (2000), terdiri dari delapan bab dan dirinci dalam tiga bagian. 

Tiga bab bagian pertama mendiskusikan isu-isu kekuasaan Jawa. Tiga bab bagian kedua mengelaborasi hubungan politik dan bahasa Indonesia. Dua bab bagian akhir mengulas sejarah mentalitas cendekiawan Jawa akhir abad ke-18 hingga dasa warsa pertama abd ke-20.

Menurut Ben Anderson, bahasa Indonesia telah kehilangan etos kerakyatan alias menjadi sangat elitis. Bahasa kebanggan ini terperosok dalam imaji priayi Jawa tentang politik yang bergelimang aling-aling, ethok-ethok, dan topeng. Bahasa Indonesia mengalami kramanisasi—penekanan terpadu pada prinsip kehalusan. Bahasa dipakai tidak langsung ke masalah, dan, ditopang praktik yang menghargai ketidakterusterangan. 

Itulah tesisnya pada bab IV buku ini Bahasa-bahasa Politik Indonesia (The Languages of Indonesia Politics) dan bab V Kartun dan Monumen Evolusi Komunikasi Politik di Bawah Orde Baru (Cartoons dan Monuments: The Evolution of Political Communication Under the New Order).

Tesis Ben Anderson, sebagaimana buah pemikirannya yang lain, mempunyai bobot argumen yang kukuh. Harus diakui, dalam bahasa Indonesia memang terdapat perbendaharaan kata yang halus dan berderajat tinggi. Misalnya tunawisma, pariwisata, swasembada, saptamarga, masa bakti, purna tugas, dan sebagainya. 

Masalahnya adalah, sankritisasi, penghalusan, kecenderungan bahasa topeng, yang merambah bahasa Indonesia, cukup memadai buat menyimpulkan bahasa nasional itu mengalami kramanisasi? Benarkah anggapan bahwa Indonesia semakin menjadi kerangka dengan daging yang semakin Jawa? 

Pengkajian seksama atas perkembangan pemakaian bahasa Indonesia, sebagaimana dikerjakan Mochtar Pabottingi (Prisma, No 2. 1991), justru menghasilkan gugatan atas tesis Ben Anderson. Analisis Ben Anderson tersungkup alam modalitas bahasa priayi. Setali tiga uang dengan analisisnya tentang kekuasaan Jawa yang terperangkap ideologi priayi. 

Justru di kalangan masyarakat menengah, kelompok sosial yang diduga menjadi tempat berkecamuknya kramanisasi, tesis Anderson mendapat sanggahan. 

Pertama, praktik berbahasa yang menghargai ketidakterusterangan umumnya tidak berlaku (dinafikan) kalangan sastrawan. Ambil contoh karya-karya Chairil Anwar, Armijn Pane, Achdiat Kartamihardja, Taufik Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, NH Dini, Sutardji Calzoum Bachri, Gerson Poyk, Titis Basino, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Ayu Utami, Joni Aryadinata, Agus Noor, dan Indra Tranggono. 

Putu Wijaya, guna mengefektifkan teror mental terhadap khalayak malah menggunakan perbendaharaan kata tanpa tedeng aling-aling seperti menyembelih, menggorok, coro, menyetubuhi, megap-megap, bangsat, bunting, gombal, dan bajingan. Penulis lakon teater itu rupanya merasa jengah dengan gaya hidup Jawa yang nguler kambang alias alon-alon waton kelakon. 

Kedua, bahasa bergincu juga tidak berlaku di lingkungan cendekiawan. Tulisan-tulisan Sartono Kartodirdjo, Sutandyo Wignyosubroto, Ignas Kleden, Kuntowijoyo, Mochtar Pabottingi, Syamsuddin Haris, Onghokham, YB Mangunwijaya, Kwik Kian Gie, Wahono Nitiprawiro, Azyumardi Azra, Arief Budiman, Ariel Heryanto, bahkan Lukman Ali pakar bahasa, semau merepresentasi bahasa rakyat. Idiom-idiom mereka cenderung membongkar budaya adiluhung yang tak jarang jadi kedok praktik hegemoni dan dominasi para elite politik. 

Ketiga, modus bahasa tidak terus terang juga dikuliti oleh kalangan agamawan. Tokoh-tokoh puritan sangat terlatih membongkar borok-borok kehidupan sosial-politik. Dengan wacana ex-negativo (membeberkan aib) untuk kemudian mengarahkan kehidupan ke jalan mulia, para pemuka agama seperti KH Zainuddin MZ dan KH Alawy Muhammad dari Sampang Madura, misalnya, memperoleh tempat terhormat di hati umat. 

Ben Anderson sendiri , dalam Bab VI, Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa (Courtesy and Curses: The Politics of Language and Javanese Culture), mengakui adanya konsistensi egaliter di kalangan Muslim Jawa. 

Ia menyatakan, bahwa di kalangan Islam Jawa ada insulasi yang menyelamatkan praktik bahasa dari kramanisasi (baca: pengkastaan masyarakat). Insulasi ini terbukti kemudian tidak hanya ditemukan dalam Islam Jawa melainkan pada mayoritas Muslim Indonesia. Bahkan ditemukan dalam komunitas agama-agama lain yang persepsi religinya kuat dan mati hidupnya tidak tergantung birokrasi. 

Masih ditambah satu kelompok lagi, yakni bahasa kaum muda, yang bentuk ekstremnya ditampilkan bahasa prokem (Jakarta), dan basa walikan (Yogyakarta dan Malang). Bahasa ini jelas anti unggah-ungguh, menerjang gradasi. Ekspresi kebahasaan mereka dijiwai semangat bebas, nakal, dan jorok—tempat segala otoritas membelenggu, apalagi korup disingkirkan. 

Praktik bahasa terbuka dan tidak berjenjang pada keempat kelompok sosial di atas jelas menggambarkan semangat berbahasa berbagai kalangan non-birokrasi. Kelompok-kelompok sosial itu, dengan berbagai caranya sendiri, terus-menerus menghidup-hidupi (ngampakake dayaning urip) bahasa Indonesia. Ujung-ujungnya tidak akan muncul masalah kata ganti (seperti kowe, sampeyan, panjenengan, dan ngarsa dalem) yang secara khusus menjadi distingsi bahasa Jawa. 

                                                   ***    

Apa relevansi buku yang ditulis ilmuwan berkebangsaan Irlandia kelahiran Cina, dibesarkan di Inggris dan Amerika, berbicara dengan aksen Inggris kuno, tetap memgang paspor Irlandia, tinggal di Amerika, dan membaktikan hidup sepenuhnya untuk Asia Tenggara? 

Ben Anderson, melalui Bab I buku ini Gagasan tentang Kekuasaan Jawa dalam Budaya Jawa (The Idea of Power Javanese Culture), mengajak bangsa Indonesia mencari inspirasi ke masa silam guna menata kembali pondasi politik-ketatanegaraan Indonesia yang ambrol di sana-sini. 

Konsep nasionalisme yang mendasari terbentukanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu dikaji ulang karena telah lama terkontaminasi imaji politik orang Jawa. Soekarno, di masa Orde Lama ingin mengembalikan keemasan Majapahit. Soeharto menginginkan reinkarnasi Mataram terutama zaman Sultan Agung dengan konsolidasi tentaranya. 

Orde Baru merupakan pelanjut setia yang kreatif rezim kolonialisme Belanda. Seperti rezim kolonial, Orde Baru bekerja lebih karena dorongan-dorongan dari dirinya sendiri ketimbang melayani tuntutan rakyat. Semua kebijakan Orde Baru di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan digiring bagi penguatan state-qua-state atau state-for-itself. Negara telah menjadi dirinya sendiri (a state of its own) terlepas dari berbagai kepentingan dan kehendak rakyat banyak. 

Negara dalam paham kekuasaan Jawa, menurut analisis Ben Anderson, tidak ditentukan oleh wilayah periferi, melaikan oleh pusat. Intergrasi tidak dimengerti sebagai kesatuan wilayah politis melainkan keagungbinataraan Jakarta. 

Paham kekuasaan Jawa sangat gandrung konsep negara kesatuan. Padahal konsep ini dielaborasi Prof Soepomo dari pemikiran Benedicto Spinoza dan Adam Muller mengandung benih-benih totalitarianisme. Konsep unitarianisme itu ketika diterapkan Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia terbukti mendorong tumbuhnya kejahatan negara atas hak asasi manusia (HAM). 

Muhammad Hatta sebenarnya sejak awal sudah mengingatkan, bila negara Indonesia berbentuk kesatuan akan menuai persatean nasional bukan persatuan nasional. Kekhawatiran Hatta akan paham unitarianisme yang Jawa-centris terbukti benar. 

Begitu sang patriarch (Soeharto) bangkrut, banyak masyarakat terang-terangan mempertontonkan sentimen anti-Jawa. Aceh dan Irian Jaya menyatakan ingin bebas dari kolonialisme Jawa. Semua ini, meminjam istilah John Pemberton dalam On the Subject of “Java” (1994), merupakan cultural effect Jawanisasi politik Indonesia. 

Pemikiran Ben Anderson, jelas tetap relevan dan kontekstual untuk mencegah agar Indonesia tidak dikeping-keping disintegrasi hingga menjadi belasan republik kecil yang kerjanya bertikai melulu seperti negara-negara eks Yugoslavia di Semenanjung Balkan. □


(J Sumardianta, guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta dan editor Galang Press Yogyakarta)


Sumber: Kompas, 4 Mei 2001

0 komentar:

Posting Komentar