![]() |
Jakob Sumardjo |
Oleh: Jakob Sumardjo
Begitu seorang manusia menemukan kesadarannya, dia menuntut dirinya untuk hidup dalam apa yang disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan kesadarannya, yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya punya nilai, yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran adalah sesuatu yang kita mengatakan 'ya' kepadanya.
Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya.
Tetapi, apa yang disebut kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Kebenaran itu terlalu kaya. Kebenaran itu berkembang. Kebenaran itu tumbuh, memperkaya dirinya tanpa batas. Sebab kebenaran itu ada di luar alam manusia. Kebenaran itu suatu ide yang bersifat mengatasi tempat dan waktu manusia. Kebenaran itu telah ada sebelum manusia ada. Kebenaran itu suatu esensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului keberadaan wadag ini.
Inilah sebabnya manusia sepanjang sejarahnya tidak pernah puas setelah menyadari suatu kebenaran. Manusia menyadari bahwa kebenaran itu terlalu luas, dan kodrat manusia itu terlalu terbatas. Meskipun demikian, kebahagiaan sejati manusia adalah menggabungkan diri dengan keabadian yang menampung kebenaran itu. Manusia menyadari bahwa kebenaran tak mungkin dicapai, ia harus terus berusaha mencari dan menemukan kebenaran yang tiada batas itu.
Bagaimana manusia mencari dan dapat menemukan kebenaran? Secara kodrati, manusia memiliki sejumlah potensi kejiwaan dalam dirinya. Manusia mempunyai potensi pikir, potensi inderawi, potensi merasakan, potensi untuk percaya. Semua potensi kejiwaan manusia dapat dipergunakan dan dikembangkan dalam mencari dan menemukan kebenaran. Dalam sejarah umat manusia dikenal sejumlah lembaga kebenaran yang kita kenal sebagai agama, ilmu, filsafat, dan seni. Melalui keempat lembaga itulah manusia mencari dan menemukan kebenarannya sendiri. Tetapi, karena kebenaran itu abadi, maka kebenaran sejati dari setiap lembaga itu akhirnya bermuara juga pada kebenaran itu. Kebenaran agama, kebenaran ilmu, kebenaran filsafat, dan kebenaran seni adalah kebenaran. Ilmu sejati tak akan bertentangan dengan kebenaran agama atau seni. Kebenaran filsafat membantu memperjelas kebenaran agama. Kebenaran agama yang dipercayai bersifat “diturunkan” atau transendental dari keabadian, untuk waktu sekian lama sering disalah-tafsirkan oleh ilmu-ilmu yang berusia muda. Tetapi, berbagai penemuan ilmu, filsafat, dan seni mutakhir sering lebih memperjelas kebenaran agama. Dalam sejarah umat manusia, lembaga kebenaran yang paling tua adalah agama atau sistem kepercayaan, dasar agama adalah kepercayaan.
Manusia percaya kepada agama sebagai kebenaran mutlak yang dipatuhinya secara mutlak pula (takwa). Hidup manusia diabdikan pada kepercayaannya itu. Yang dipercayai dalam agama itu bersifat adikodrati, melampaui kodrat manusia itu sendiri. Dalam lembaga kebenaran agama diajarkan kesadaran terhadap apa yang seharusnya dilakukan manusia agar dia hidup damai, harmonis, dan selamat, baik di dunia ini dan juga di dunia keabadian. Kebenaran agama itu mutlak bagi yang mempercayainya, termasuk hal-hal yang kadang dianggapnya "tidak sesuai” dengan kebenaran pengalaman inderawi dan nalar.
Lembaga kebenaran lain yang dekat dengan lembaga kebenaran agama adalah seni. Seperti halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh, dan mutlak serta abadi, seni pun menjangkau hal-hal tersebut. Hanya saja alat untuk mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat subyektif. Kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati, dirasakan.
Dan dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dia jelaskan: Kualitas perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sehingga ia mampu menemukan kebenarannya. Inilah sebabnya seni sering bergandengan erat dengan lembaga agama. Kehadiran sesuatu yang transendental (yang bukan dari dunia ini yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni musik, seni teater, seni sastra, dan seni rupa sering erat kaitannya dengan kepercayaan manusia purba. Upacara suatu kepercayaan yang menghadirkan “dunia sana” di dunia wadag ini sering terjadi dalam suatu peristiwa kesenian (seni upacara).
Ini terjadi karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide kebenaran. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia, tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non-empiris. Dalam karya seni, sesuatu itu seperti dunia ini, tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini.
Lembaga kebenaran berikutnya adalah filsafat. Alatnya adalah nalar, logika manusia yang bersifat spekulatif (bukan empirik), dan tak ada metode yang baku. Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam sistem konseptual. Kegunaannya adalah kearifan hidup. Jadi, ciri-ciri lembaga kebenaran filsafat adalah konseptual, logis, universal, mendasar, menyeluruh, mutlak, dan langgeng. Sejarah lembaga kebenaran filsafat sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno, India Kuno, Cina Kuno, dan dijumpai di berbagai pusat peradaban purba manusia.
Lembaga kebenaran yang relatif "muda” adalah ilmu. Alat untuk menemukan kebenarannya adalah nalar, logika, bermetode dan sistematik. Sumbernya bersifat empirik, fakta apa adanya. Tujuannya adalah pembuktian kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya: sebagai deskripsi, prediksi, dan kontrol atas kenyataan empiris. Seperti kita ketahui, perkembangan lembaga ilmu ini baru berkembang pesat sejak masa Renaisans Eropa pada abad ke-16.
Dengan demikian, tidak perlu orang mempertentangkan kebenaran yang ditemukan oleh masing-masing lembaga tadi. Tetapi, dalam kenyataannya selalu saja terjadi konflik kebenaran antara berbagai lembaga tadi. Perlu penjelasan lebih jauh mengapa sering terjadi konflik semacam itu. Kalau kebenaran seni, misalnya, memang secara autentik ditemukan, tentu tak akan bertentangan dengan lembaga keagamaan, ilmu, atau filsafat. Begitu pula kebenaran ilmiah yang ditemukan, tentu tak akan bertentangan dengan lembaga kebenaran yang lain. Hanya saja perlu dicatat bahwa temuan lembaga kebenaran ilmu, yang sifatnya sementara dan khusus, mungkin saja untuk sementara bertentangan dengan ketiga lembaga lainnya karena proses penemuan ilmu itu sendiri bisa jadi belum tuntas.
Untuk menyelaraskan kegiatan pencarian kebenaran dalam masing-masing lembaga tersebut sering kita jumpai adanya kegiatan antar-lembaga. Dalam lembaga agama, misalnya, dikembangkan filsafat agama, ilmu-ilmu agama, dan seni agama. Begitu pula dalam lembaga seni, dikembangkan studi filsafat seni, dan ilmu-ilmu seni. Tetapi, dari semua lembaga kebenaran tadi, lembaga filsafat selalu hadir. Ada filsafat seni, filsafat agama, dan filsafat ilmu. Semua itu diperlukan karena filsafat mencoba menjawab pertanyaan manusia tentang kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh.
Dengan demikian, manusia yang “lengkap” adalah manusia yang menggunakan semua potensi kejiwaan dirinya dalam mencari dan menemukan kebenaran. Ini berarti bahwa manusia yang manusiawi itu bergerak dalam keempat lembaga kebenaran itu secara seimbang. Kalau ini tak dapat dia lakukan, maka dia harus mempunyai kepercayaan kepada orang yang dipandangnya pakar dalam lembaga yang tak dia kuasai itu.
Hidup ini pendek, kebenaran itu abadi.
(Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, h. 1-6)
______________
Profil Jakob Sumardjo
Jakob Sumardjo lahir pada tahun 1939 di Klaten, Jawa Tengah. Pendidikannya diselesaikan di IKIP Bandung, jurusan sejarah pada 1970. Ia tinggal di Bandung mulai tahun 1962 dan bekerja sebagai guru SMA.
Sejak remaja ia tertarik pada kesusastraan dan sempat menulis beberapa cerpen remaja di harian Nasional, Yogya pada 1953 dan di harian Kompas dan mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung pada 1969.
Tapi, minatnya berubah: ia menjadi penulis kritik sastra serta artikel budaya. Semua tulisan tersebut kemudian dikumpulkannya dan diterbitkan menjadi beberapa buku, yang sampai sekarang berjumlah kurang lebih 22 buah. Hampir semuanya mengenai kesusastraan Indonesia, dan 3 buku berupa kumpulan kolom.
Sekarang ia mengajar di STSI Bandung dan di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Di samping sebagai tenaga pengajar, ia juga aktif sebagai penulis kolom sosial budaya di berbagai surat kabar lokal maupun nasional.
Jika silsilah keluarganya ditelusuri, keluarga dekatnya memang tidak ada yang menekuni bidang kesenian, tetapi nenek moyangnya ada yang berkecimpung dalam teater rakyat (srandul), dalang, dan tukang ukir perak. Rupanya bakat yang dimilikinya menurun dari nenek moyangnya ini.
Selain menekuni bidang kesusastraan dan budaya, Jakob juga gemar menonton film. Ia bergabung dalam Forum Film Bandung sejak forum ini didirikan pada 1987.
0 komentar:
Posting Komentar