Tokoh nasional yang tak lulus sarjana:
1 Ahmad Dhani (S1 Hukum Universitas Pancasila, tidak tamat)
2 Krisdayanti (SMA 3 Jakarta)
3 Meriam Bellina (SMA Kristen Dago Bandung hanya sampai kelas dua. Pernah 5 tahun di Kanada, menguasai bahasa Inggris dan Belanda).
4 Melly Goeslaw (SMA BPI 1 Kota Bandung)
5 Bob Sadino (sempat kuliah di FH UI, tapi tidak tamat. Saat bekerja di pelayaran Djakarta Lloyd Bob Sadino sering melanglang buana ke luar negeri terutama Belanda dan Jerman sehingga kemampuan bahasa asingnya meningkat. Pengalaman hidup di Eropa dan kefasihannya dalam berbahasa Inggris memudahkan Bob Sadino untuk memasarkan telur kepada tetangga yang kebanyakan ekspatriat atau orang asing).
6 Nafa Urbach (SMU PGRI 6 Cempaka Putih. Lulus pada 1998)
***
Pintar bahasa Inggris belum tentu mampu jadi anggota DPR. Kadang orang salah kaprah: kalau bahasa Inggris seseorang bagus, orang itu dianggap pintar. Padahal, untuk jadi DPR, dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan lainnya, seperti pengetahuan umum yang cukup, kapasitas SDM (kapabilitas), kemampuan leadership, akuntabilitas (moral), integritas.
Jadi, tak bisa hanya diukur dari kemampuan bahasa Inggris dan strata pendidikan, S2 misalnya. Tidak bisa. Untuk jadi wakil rakyat, yang utama itu moral. (lihat: https://youtu.be/3fxOVqEduv8?si=5VRFZOiwrjxSFKDi ).
***
Derrida mengangkat pendapat Descartes tentang “membaca the great book tentang dunia”, dan dari Hume tentang buku yang menyatakan bahwa alam terdiri atas sesuatu yang sulit dipahami dan sulit diterangkan melebihi percakapan atau penalaran akal. Bahkan dari tulisan Jaspers yang menyatakan bahwa dunia adalah merupakan hasil tulisan tangan yang lain, yang sulit dicerna oleh teks universal dan hanya bisa dijabarkan oleh eksistensinya sendiri. Terutama tulisan yang paling meyakinkan Derrida adalah tulisan Rousseau yang menyatakan bahwa jikalau hukum alam tidak tertulis di dalam akal budi manusia, maka hukum tersebut sulit untuk mengarahkan tindakan-tindakan kita. namun hukum alam itu justru terukir di dalam lubuk hati kita, yaitu di dalam karakter kita yang tak mungkin dihapus (Sumaryono, 1993:116).
h. 246
**
Setiap permainan bahasa tidak bisa dinilai atau diukur begitu saja dengan kriteria permainan bahasa lainnya. Setiap permainan bahasa itu unik dan tak sepenuhnya dapat diterjemahkan ke dalam permainan bahasa lainnya. h. 305
***
"Buku bisa dibeli, tapi tidak dengan ilmunya. Maka bacalah, bukan timbunlah." (Singgasana Kata)
"Baru sekarang ia mengaku, yang menjadi kekurangan bagi orang tua itu hanyalah tidak bersekolah. Tapi segala nasihat, segala buah tutur orang tua itu sekarang barulah dapat dipahamkannya: sungguh dalam dan berarti kata-kata orang tua itu. Mengakulah Hanafi, bahwa ilmu sekolah itu saja masih jauh daripada cukup buat perkakas hidup, bila pengetahuan dari bangku sekolah itu tidak disertai oleh faham." — Abdoel Moeis, Salah Asuhan, h. 222.
"Orang waras itu bukan yang setuju dengan mayoritas, tapi yang berani bertanya: ini logis atau cuma ramai?" — Rocky Gerung
"Kebenaran itu seperti matahari: meski awan mencoba menutupinya, cahayanya akan selalu tembus." --Pramoedya Ananta Toer
“Kebenaran tak dapat diadili, karena dialah pengadilan tertinggi. Barangsiapa mengadili kebenaran, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguannya” (Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, hal. 14)
***
"Jika Anda ingin bercinta, pergilah ke perguruan tinggi. Jika Anda ingin mendapatkan pendidikan, pergilah ke perpustakaan." (Frank Zappa)
Sindiran cerdas terhadap sistem pendidikan formal. Zappa seolah mengkritik bahwa perguruan tinggi terkadang tidak sepenuhnya fokus pada pencarian ilmu, melainkan menjadi tempat di mana banyak orang lebih terlibat dalam kehidupan sosial, romansa, atau aktivitas di luar akademik.
Pesan ini menekankan bahwa sumber pengetahuan sejati sering kali ada di luar ruang kelas, salah satunya di perpustakaan. Perpustakaan menjadi simbol dari belajar mandiri, eksplorasi ide, dan kedalaman wawasan yang tidak selalu bergantung pada kurikulum. Dengan kata lain, pendidikan sejati lahir dari keinginan mencari pengetahuan, bukan sekadar mengikuti sistem.
Secara lebih luas, Zappa ingin mengingatkan bahwa gelar akademik tidak otomatis menjamin seseorang berpendidikan. Sumber daya seperti buku, arsip, dan penelitian—yang tersedia di perpustakaan—adalah bahan bakar utama bagi pikiran yang haus ilmu. Jadi, belajar sejati adalah soal inisiatif, bukan hanya soal lokasi atau institusi.
**
"Kau pergi ke sekolah, belajar banyak hal yang tak berguna, lalu lulus, dan sadar kau tak tahu apa-apa tentang hidup." Charles Bukowski
Kritik pedas terhadap sistem pendidikan yang kerap lebih fokus pada hafalan materi ketimbang mempersiapkan siswa menghadapi realitas kehidupan. Bukowski menyoroti jurang antara teori yang diajarkan di kelas dengan keterampilan, pemahaman, dan kebijaksanaan yang dibutuhkan di dunia nyata.
Banyak orang menyelesaikan pendidikan formal dengan nilai baik, namun tetap merasa kebingungan ketika harus mengelola keuangan, membangun hubungan sehat, menghadapi kegagalan, atau membuat keputusan penting dalam hidup. Ini bukan berarti sekolah sama sekali tidak berguna, tetapi menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati seharusnya membekali seseorang dengan keterampilan berpikir kritis, empati, kreativitas, dan ketangguhan mental—bukan hanya lembar sertifikat kelulusan.
Pesan Bukowski ini bisa kita maknai sebagai dorongan untuk tidak berhenti belajar setelah lulus sekolah. Hidup adalah guru terbesar, dan setiap tantangan adalah materi pelajaran yang nyata. Kita perlu terus mengasah diri di luar tembok sekolah: membaca, bereksperimen, berdialog, dan berani mencoba. Sebab, gelar pendidikan mungkin membuka pintu, tetapi kebijaksanaan hiduplah yang menentukan sejauh apa kita bisa melangkah.
***
"...saya tidak pernah mengakui keabsahan pemilu-pemilu terakhir ini dari segi moral. Politik saya adalah politik hati-nurani. Bukan politik kekuasaan dan Machiavelian atau formal-formalan. Sebab politik pun harus tunduk kepada Hukum Tuhan, dan tidak segala jalan dihalalkan oleh sasaran. Maka khususnya pemilu yang terakhir bagi saya tidak pernah sah karena dilakukan penuh tipuan, pemalsuan dan teror. Demikian juga tentu saja MPR/DPR RI, buah-buah dari pohonnya dengan sendirinya tidak sah. Beserta segala keputusan serta pemberian mandat-mandatnya."
(YB Mangunwijaya, "Surat Terbuka untuk Sdr Prof Dr Ing BJ Habibie", artikel Kompas, 11 Agustus 1998)
***
Orang Korea bukan cuma jago bikin drama dan K-Pop, tapi juga terkenal karena etos kerja dan konsistensi mereka yang bikin banyak orang kagum. Penasaran apa rahasia mereka bisa segigih itu? Yuk simak 7 mindset orang Korea yang bisa banget kita tiru!
1. Begitu Memulai, Harus Diselesaikan.
Orang Korea punya prinsip pantang menyerah di tengah jalan. Sekali sudah mulai, mereka bakal kejar sampai tuntas. Buat mereka, hasil terbaik datang dari konsistensi, bukan cuma semangat sesaat.
2. Kerja Keras Itu Kebanggaan.
Di Korea, rajin dan ulet bukan cuma kewajiban, tapi juga bentuk harga diri. Mereka terbiasa bekerja keras dari muda dan nggak malu kelihatan sibuk, karena itu bagian dari jati diri mereka.
3. Disiplin Lebih Penting dari Bakat.
Banyak orang Korea percaya bahwa kesuksesan bukan soal bakat alami, tapi soal kerja keras yang konsisten. Makanya, mereka lebih fokus ke rutinitas dan latihan daripada sekadar mengandalkan keberuntungan.
4. Belajar Itu Seumur Hidup.
Mindset belajar terus-menerus tertanam kuat. Nggak heran banyak dari mereka tetap ambil kursus atau belajar hal baru meski sudah kerja. Ini yang bikin mereka selalu berkembang dan nggak cepat puas.
5. Tim Lebih Penting dari Ego.
Budaya kerja di Korea menjunjung tinggi kebersamaan. Kalau satu tim punya target, semua anggota akan berusaha sekuat tenaga, bukan demi diri sendiri, tapi demi kelompok. Ini bikin mereka lebih kompak dan solid.
6. Bersaing untuk Jadi Lebih Baik, Bukan Menjatuhkan.
Mereka memang kompetitif, tapi bukan untuk saling menjatuhkan. Justru mereka pakai persaingan sehat sebagai motivasi untuk terus naik level, baik di sekolah, pekerjaan, atau bisnis.
7. Rasa Malu Jadi Pemacu.
Di budaya Korea, rasa malu kalau gagal atau malas bisa jadi pemicu semangat. Mereka nggak mau jadi beban atau bikin kecewa, apalagi di depan keluarga atau tim. Itulah yang bikin mereka terus maju.
Nah, itu dia 7 mindset orang Korea yang bikin mereka bisa konsisten, produktif, dan sukses. Kalau kamu lagi struggling buat tetap semangat atau gampang menyerah, coba deh terapin satu per satu. Konsistensi itu bukan bakat, tapi kebiasaan. Yuk, latih dari sekarang!
***
"Jika kau ingin mengubah dunia, mulailah dengan menulis kebenaran, walau hanya di selembar kertas." — Pramoedya Ananta Toer
**
"Sistem pendidikan kita dirancang untuk menghasilkan pekerja, bukan pemikir." — Seth Godin, penulis Amerika (Sejak kecil, kita diajari duduk rapi, mengikuti perintah, menghafal jawaban, dan takut salah. Sistemnya lebih menilai siapa yang paling cepat menjawab soal, bukan siapa yang paling berani mempertanyakan sesuatu. Dalam iklim seperti ini, berpikir kritis malah terasa seperti gangguan, bukan kekuatan. Bayangkan sekolah sebagai jalur perakitan. Setiap anak masuk dengan imajinasi liar, tapi keluar dengan pola pikir yang seragam. Tujuannya? Supaya siap bekerja, bukan siap mencipta. Tak heran jika banyak lulusan justru bingung saat dihadapkan pada dunia nyata yang menuntut inovasi, fleksibilitas, dan keberanian untuk berbeda. Kita mencetak pelaksana yang patuh, bukan pemimpin yang bernalar.Tapi dunia sedang berubah cepat. Pekerjaan rutin mulai tergantikan oleh mesin. Maka, yang dibutuhkan bukan lagi hanya orang yang bisa mengikuti aturan, tapi yang bisa menciptakan jalan baru. Pendidikan seharusnya membebaskan pikiran, bukan membatasinya. Karena masa depan tak dimenangkan oleh mereka yang paling hafal, tapi oleh mereka yang paling berani berpikir dan bertanya). Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1QJYCxZB9C/
***
DIKLATPIM
Training atau latihan-latihan kepemimpinan ini harus mendorong calon pemimpin untuk melakukan "perubahan sikap", agar mereka menjadi pemimpin yang efisien. Beberapa mata pelajaran yang dapat menunjang kemampuan memimpin:
1 Pemimpin dan kepemimpinan
2 Teknik pengambilan keputusan
3 Administrasi, organisasi, dan manajemen
4 Komunikasi (hubungan antar manusia)
5 Psikologi sosial
6 Tingkah laku manusia dalam organisasi
7 Kepekaan/sensitivitas
8 Teori konflik, dll
(lihat Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 226).
***
Fakta penelitian menunjukkan, bahwa orang bekerja itu pada dasarnya secara primer tidak selalu dikuasai oleh motif-motif ekonomis belaka. Sebab di balik perolehan keuntungan dan uang, terdapat juga dorongan batiniah yang sangat kuat untuk mencari satu tempat atau status sosial di mana individu dapat berakar, untuk dihargai orang lain, mencari sekuritas, untuk diterima menjadi bagian terintegrasi dari satu unit, dan untuk memainkan satu peranan (untuk berfungsi). Hanya dengan cara demikian inilah individu dapat menemukan arti dari karya/kerjanya, dan bisa menghayati makna hidupnya. Jika dia tidak mendapatkan semua ini, pastilah dia mengalami banyak frustasi dan kekecewaan. (Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 24-25)
***
"Sesungguhnya antara laki dan wanita mengawang rahasia yang bukan rahasia. Keangkuhan dan kesombongan wanita pada suatu kali terbang. Dan ia menyerahkan diri dengan sadar pada laki-laki tertentu. Dan ini terjadi di seluruh jagat dan abad, pada semua bangsa dan makhluk bergerak. Hidup alangkah sederhana. Sesederhana ini: orang lapar, makan, kenyang, dan buangair. Antara lapar dan buang air terletaklah hidup manusia ini. Dan hidup yang baru itu berjalan pula dari lapar sampai buangair. Hidup yang lain pun menyusullah. Tak habis-habisnya sampai dunia bejat. Dan tak ada satu kepala pun merasa bosan. Kalau dia bosan, dia bunuh diri." (Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Jakarta, Jakarta: Hasta Mitra, tt, h. 15)
**
"Tapi jabatan:—dia segala dan semua bagi Pribumi bukan tani dan bukan tukang. Harta-benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, hargadiri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali. Semakin jabatan mendekatkan orang pada lingkungan orang Eropa, semakin terhormatlah orang. Sekali pun boleh jadi penghasilan tidak seberapa dan yang ada padanya hanya satu blangkon belaka. Orang Eropa adalah lambang kekuasaan tanpa batas. Dan kekuasaan mendatangkan uang. Mereka telah kalahkan raja-raja, para sultan dan susuhunan, para ulama dan para jawara. Bahkan manusia dan benda-benda mereka taklukkan tanpa gentar." —Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Jakarta: Lentera Dipantara, h. 195-196
***
Ciri orang bahagia: tak menyesali masa lalu, tak mengkhawatirkan masa depan, dan bisa menikmati hari ini." -Fahruddin Faiz
"Kebesaran manusia tidak terletak pada kekayaan atau kekuasaan, tapi pada karakter dan kebaikan." --Anne Frank (Anne Frank menegaskan bahwa ukuran sejati seorang manusia bukanlah apa yang dimilikinya, seperti harta atau jabatan, melainkan siapa dirinya dalam hal moral dan sikap hidup. Kebesaran itu hadir dalam bentuk: kejujuran, empati, kebaikan hati, dan keteguhan karakter meski dalam situasi sulit. Pernyataan ini sangat bermakna, mengingat ia menulisnya di masa persembunyian saat dikejar oleh kekuasaan yang kejam—namun tetap percaya bahwa kebaikan manusia lebih besar dari kekejaman dunia. Intinya, martabat manusia ditentukan oleh hati dan perilakunya, bukan oleh kekayaan atau kekuasaan yang fana.)
**
"Pendidikan bukanlah untuk mengejar gelar, melainkan untuk memperluas pemahaman tentang kehidupan." (Rabindranath Tagore, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali)
**
"Pemimpin itu bukan yang merasa paling tahu, tapi yang paling mampu mendengar." — Gus Dur dalam Buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (Sering kali jabatan membuat seseorang merasa harus selalu punya jawaban. Tapi pemimpin sejati tahu, bahwa kehebatan bukan terletak pada banyaknya kata yang ia ucapkan melainkan pada ketulusan saat ia mendengar. Pemimpin yang baik bukan menara gading yang hanya bicara dari atas. Ia turun, duduk, dan membuka telinga lebar-lebar. Karena ia paham, mendengar adalah bentuk paling dalam dari rasa hormat dan kepedulian. Ia tidak merasa paling benar, tapi justru mencari sudut pandang lain agar bisa memimpin lebih bijak. Dalam dunia yang bising oleh ego dan ambisi, pemimpin yang mendengar adalah anomali yang menenangkan. Ia tidak menilai dari suara paling keras, tapi dari suara yang paling jujur. Ia tidak reaktif, tapi reflektif. Mendengar bukan tanda kelemahan, tapi justru kekuatan yang jarang dimiliki. Karena untuk mendengar, dibutuhkan kesabaran, empati, dan kerendahan hati dan ketiga kualitas yang menjadikan pemimpin benar-benar dicintai, bukan sekadar ditaati).
***
Tidak pernah politik berubah berdasarkan konstitusi. Semua perubahan politik karena adanya perubahan kualitas kekuasaan. (Rocky Gerung, https://youtu.be/9MHuSLcZC8c?si=RnlSs3XvHlzahKWu menit 20)
***
"Banyak akademisi, tapi belum tentu menyandang predikat cendekiawan/intelektual karena akademisi hanya sebagai profesi, bukan sebuah tanggung jawab dan komitmen sosial-intelektual. Itulah yang membedakan orang-orang misal seperti Arief Budiman cs dan rekannya para dosen yang lain." — Hairus Salim H.S.
**
"Cendekiawan kita menurut saya telah termakan oleh propaganda, bahwa cendekiawan itu tidak boleh berpolitik. Bagi saya, cendekiawan itu harus berpolitik. Kalau cendekiawan tidak berpolitik, berarti dia tidak bertanggungjawab. Karena bagi saya kalau cendekiawan tidak berpolitik, berarti dia tidak berbicara, tidak menulis, dan tidak berbuat apa-apa." (Arief Budiman)
**
“Aku ini pengagum Idrus. Di Bukitduri tulisan Idrus aku pelajari: kata demi kata!” (Pramoedya Ananta Toer)
**
"Dan sungguh! Dunia ini adalah dunia manusia kalau saja tak ada berbagai batas yang dibuat-buat oleh berbagai macam golongan. Ya, batas-batas itu memang ada—dilahirkan oleh kegilaan manusia sendiri." (Pram, Gulat di Jakarta, h. 22-23)
"Berkhianat pada revolusi ini berarti berkhianat pada diri sendiri, pada publik yang membayarnya." ― Pramoedya Ananta Toer
“Menjadi bebas adalah berani untuk berbeda.” (Nietzsche)
"Kebebasan sejati adalah ketika kita mampu memilih jalan kita sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain." (Iwan Simatupang, Merahnya Merah)
"Sebelum hidup dalam usahanya memperoleh dunia yang baik, banyak yang telah dirasakan. Merasakan—dan: mengerti. Kemudian: mengampuni. Yang paling kemudian ia berperasaan, bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Semua orang lebih banyak bekerja untuk orang-orang lain—untuk masyarakatnya, untuk sesama manusia. Karena itu pula pekerjaan itu harus sebaik-baiknya, agar orang dapat menikmati hasilnya yang sebaik-baiknya pula." (Pramoedya Ananta Toer, Gulat di Jakarta, hlm. 23)
“Membaca buku-buku yang baik ibarat berbicara dengan tokoh-tokoh besar masa lampau.” René Descartes
"Ketika orang bodoh bicara soal hukum, yang lahir bukan keadilan, tapi kekacauan." (Voltaire) sudah dlm blog.
“Tokoh-tokoh yang diangkut Budi Darma, terutama dalam novel Olenka, seperti hendak merepresentasikan kegamangan manusia (modern) ketika kehidupan sering menciptakan peristiwa-peristiwa tidak terduga ketika manusia diyakini sebagai misteri bagi dirinya sendiri. Keterasingan, aliansi dan absurdisme adalah beberapa masalah yang dihadapi manusia modern. Olenka sungguh telah tampil sebagai novel luar biasa. Kita tak akan bosan membacanya berulang-ulang, seperti tokoh saya (Fanton Drummond) yang memperlakukan tubuh Olenka seperti sebuah peta dunia.”—Maman S.Mahayana, dalam buku Kitab Kritik Sastra
**
"Membaca novel, bisa menghibur kita saat sedang suntuk, juga melatih imajinasi dan menambah kosakata baru di dalam kepala. Novel juga bacaan yang ringan dan jarang membuat kita merasa ngantuk di tengah membaca. Kadang kalau kita sudah ketagihan dengan alur ceritanya, bisa-bisa tanpa sadar kita langsung selesai baca sekali duduk." (https://id.quora.com/Menurut-pendapatmu-mana-yang-lebih-bermanfaat-membaca-novel-buku-sejarah-atau-main-Quora)
**
“Kumpulkanlah buku, meskipun kau tak berencana untuk langsung membacanya. Tak ada yang lebih penting di dunia ini daripada perpustakaan yang berisi banyak buku yang belum dibaca.” —John waters
"Resep untuk kebodohan abadi adalah: puas dengan pendapat Anda dan puas dengan pengetahuan Anda." (Elbert Hubbard, penulis, seniman, dan filsuf Amerika Serikat)
"Perang adalah tempat di mana orang-orang muda yang tidak saling mengenal dan tidak saling membenci, saling membunuh, berdasarkan keputusan yang dibuat oleh orang-orang tua yang saling mengenal dan membenci, tetapi tidak saling membunuh." (Niko Bellic)
”Saya ini seorang individualis, menuruti kata hati. Berjuang sendirian sampai sekarang.” (Pramoedya Ananta Toer)
**
"Wahyu memang diyakini sebagai kebenaran final, tapi pemahaman manusia atasnya tidak pernah final." (F. Budi Hardiman)
**
"Membaca berarti berpikir tidak dengan kepala sendiri, melainkan dengan kepala orang lain.’’ (Schopenhauer)
**
"Jika Anda tak mengharapkan apa pun dari siapa pun, Anda tak akan kecewa." (Sylvia Plath, penulis/novelis Amerika)
"Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas." Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa
***
Tersisih itu perih, tapi bukankah masa tak selalu punya kita. Mungkin, kini harus menepi dan memulai segalanya dari sunyi. Jika kaki tak jua melangkah pergi, bukan lagi karena hati. Semata karena sebuah janji yang harus digenapi. Karena nasib adalah kesunyian masing-masing. (Rae Wellmina)
**
Non, Je ne regrette rien. Tidak ada yang perlu disesali. Meski ada saat tertentu dalam hidupmu, kamu harus sendirian. Some wars you need to fight alone. Bukan karena Semesta kejam terhadapmu. Bukan karena orang-orang sekitarmu tak peduli. Namun, karena takdir menginginkan kamu untuk tumbuh kuat menjadi diri terbaikmu. Kata Nietzsche, jadilah kuat bersama penderitaan. (Rae Wellmina)
**
"Keindahan, tak selalu melekat pada bentuk sebuah tempat. Karena yang tampak oleh mata, kadang hanya fata morgana. Itulah fungsi akal dan hati, untuk mencapai yang sejati dan hakiki. Tempat ini misalnya, kusut, muram dan tak terawat (sepertinya). Tapi bagiku ia memiliki keindahan tanpa tapi dan tak terperi. Bukan karena bentuknya, namun karena kenangan yang pernah dilalui bersama-sama. Kenangan, seringkali menjadi harta terindah, bagi orang-orang yang tak memiliki apa-apa lagi." Demikian kata-kata puitis dari kawan saya, Rae Wellmina.
**
Jika kamu tak suka dengan keadaan, ubahlah dengan segenap kemampuan dan doamu. Namun jika tak berubah, kamu masih punya pilihan untuk mengubah sudut pandang melihat keadaan. Karena hidup tak ubahnya serupa seni fotografi, objek yang sama terlihat tak sama jika dilihat dari point of view yang berbeda. (Rae Wellmina)
***
"Ilmu pengetahuan seperti yang ditegaskan Karl Popper, merupakan suatu sistem teoretis yang terdiri dari proposisi-proposisi universal dan proposisi-proposisi khusus tentang fenomena empiris yang dapat kita amati setiap hari. Proposisi-proposisi tersebut dapat disajikan dalam buku-buku pelajaran, makalah-makalah ilmiah serta esei-esei ilmiah yang tersebar luas di dalam masyarakat. Tentu, proposisi tersebut tidak harus diterima secara buta. Popper sendiri menegaskan bahwa setiap proposisi ilmiah harus tunduk pada prinsip pengujian yang terus-menerus." (Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, Maumere: Penerbit Ledalero, 2018, h. 83)
**
TUGAS FILSAFAT ILMU
Menurut James B. Conant, tugas filsafat ilmu adalah menelusuri sejarah ilmu pengetahuan, bukan membangun logika pengetahuan ilmiah sebagaimana dirintis para filsuf sampai Popper. Sedangkan menurut Karl R Popper, tugas filsafat ilmu adalah mendalami dan mengkritik logika ilmu pengetahuan. Sementara menurut Thomas S. Kuhn, mengikuti argumentasi gurunya, James B Conant, tugas filsafat ilmu adalah memahami dinamisme ilmu pengetahuan dalam sejarah dan komunitas-komunitas pendukungnya. Kuhn, mengikuti gurunya James B Conant, berargumen, bahwa sejarah ilmu pengetahuan merupakan medium satu-satunya untuk mengenal apa itu ilmu pengetahuan dan bagaimana ia menjelaskan dunia. Bahkan sejarah ilmu menjadi kriteria bagi sebuah filsafat ilmu yang baik.
Baik Popper maupun Kuhn berjasa dalam membuka diskusi baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Keduanya merintis pemikiran bahwa ilmu pengetahuan bukan kumpulan data semata-mata melainkan suatu sistem teori. Dengan gagasan ini mereka telah memainkan peran sebagai pengkritik paling tajam terhadap tesis-tesis positivisme.
Namun demikian, keduanya mewakili jalan yang berbeda dalam memandang filsafat ilmu pengetahuan. Popper melihat sebagai tugas filsafat untuk melakukan kritik terhadap pernyataan-pernyataan ilmiah, sementara Kuhn memandang: tanpa pengetahuan yang tepat tentang sejarah ilmu, kita tak bisa mengerti dinamika ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan, demikian Kuhn, harus sejauh dapat mencoba memahami dinamisme perkembangan teori-teori ilmiah dalam suatu masyarakat ilmiah, bukan memfokuskan diri pada pendekatan analisis ilmu pengetahuan dan mengkritiknya seperti yang dikembangkan Popper. (Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, Maumere: Penerbit Ledalero, 2018, h. 141-142)
***
Popper: Falsifikasi, bukan Verifikasi
Menurut Karl Popper, pengalaman atau data tidak pernah mengkonfirmasi sebuah teori sebagaimana dikatakan Rudolf Carnap, karena setiap pengalaman selalu bersifat partikular. Karena itu Popper menyangkal verifikasi sebagai kriteria demarkasi. Sebaliknya, pengalaman hanya bermanfaat untuk menyangkal suatu proposisi ilmiah dalam suatu sistem deduksi. Popper menyebut sistem tersebut: falsifikasi. Dalam sistem ini suatu proposisi ilmiah diuji dengan pengalaman, di mana pngalaman hanya dilihat sebagai kemungkinan untuk menyangkal proposisi ilmiah tersebut. Dengan perkataan lain, pengalaman di sini tidak dimanfaatkan untuk mengimunkan suatu proposisi ilmiah, hipotesis atau teori, melainkan memiliki fungsi menyangkal sebuah sistem ilmiah. (Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, Maumere: Penerbit Ledalero, 2018, h. 64-65)
Maksudnya: ilmu pengetahuan itu bukan diverifikasi untuk membuktikan kebenarannya, tapi difalsifikasi untuk membuktikan bahwa ia bisa salah.
***
"Aku benar. Aku tetap benar. Aku selalu benar." (Albert Camus). Kata ini bermakna: keyakinan diri terhadap kejujuran eksistensialnya, terlepas dari penilaian sosial. (Sudah di blog)
***
PENUMPULAN BAHASA
Ada dua hal yang sering menumpulkan bahasa. Pertama, penulis terjebak dalam dunia rutin dan itu-itu saja. Seorang peneliti bekerja di laboratorium, polisi berurusan dengan penjahat, dan dosen bertemu dengan mahasiswa yang sama dari hari ke hari. Dunia yang penuh disiplin, kaku, dan tak variatif ini menumpulkan keragaman bahasa. Jelajahi warna baru melalui buku, novel, musik, perjalanan, bahkan mencicipi aneka makanan. (Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 79-80)
***
Orang-orang berbicara tentang segala yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal mereka lebih daripada pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi. Namun binatang tidak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti sekor induk atau sepasang tidak memanggil tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka mengenal tanpa bahasa.
Meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi siang sudah semakin lama. Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini. Seperti sepasang mungil yang berdada putih itu. Yang jantan bermantel coklat tua, yang betina coklat muda. Kita pun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu, mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai? Ayu Utami, Saman, h. 1-2
***
Apa Itu Orang yang Cerdas?
Dalam pidato Wisuda ke-135 UIN Jakarta, Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Ph.D, mengingatkan bahwa orang cerdas bukan hanya soal intelektual, tetapi juga tentang kebijaksanaan, kebermanfaatan, dan akhlak yang baik.
Orang cerdas adalah mereka yang berpikir kritis, mampu beradaptasi, dan terus belajar sepanjang hayat.
Mereka yang tidak hanya mencari ilmu, tetapi juga mengamalkannya untuk kebaikan umat.
Mereka yang siap menghadapi tantangan zaman dengan kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial.
Jadilah lulusan yang tidak hanya pintar, tapi juga bermakna bagi sesama!
***
Kepemimpinan Pancasila
Agar mampu melaksanakan tugas kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Dia harus memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan itu terutama meliputi segi teknis, moral, dan semangat juang. Beberapa kelebihan tersebut antara lain ialah faktor-faktor sebagai berikut:
1 Sehat jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, keuletan dan ausdauer tinggi;
2. Memiliki integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab, dan susila;
3. Rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya;
4. Memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat, efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi (komunikasi), dan mampu memberikan motivasi yang baik kepada bawahan;
5. Mampu menilai dan membedakan aspek yang positif dari yang negatif dari setiap pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak. (Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 313-314).
***
Penerimaan sebuah teori tidak ditentukan oleh probabilitas, melainkan oleh pengujian yang ketat terhadap teori tersebut.
Begitu juga dalam hubungan dengan gagasan kebenaran. Popper menegaskan bahwa penerimaan terhadap sebuah teori tidak langsung berkaitan dengan klaim terhadap kebenaran. Pengujian suatu hipotesis selalu terjadi dalam waktu, sementara kebenaran itu tidak berkaitan dengan waktu. Suatu pernyataan yang kemarin dikatakan benar tidak bisa hari ini salah. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa sebuah teori diterima, kita hanya mengatakan bahwa teori tersebut memiliki hubungan positif dengan sejumlah besar kalimat basis. Dengan demikian penerimaan sebuah teori merupakan indikator bahwa teori kita dekat dengan kebenaran.
Memperhatikan hubungan antara pengujian atau falsifikasi dan kebenaran tersebut, maka kita boleh mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah terdiri dari kalimat-kalimat yang pasti. Ia juga bukan suatu sistem yang mengarahkan diri pada kemapanan. Karena kita tidak pernah mencapai apa yang dikatakan Plato dengan episteme, pengetahuan rasional yang pasti dan abadi. Ilmu pengetahuan tidak pernah secara pasti mencapai kebenaran sebagaimana dicita-citakan Plato. Popper, sebaliknya mengatakan bahwa ketika ia menegaskan pentingnya pengujian kritis, ia tidak mengidealkan pengetahuan yang pasti dan abadi tersebut. Yang ingin ia capai adalah pengetahuan yang terkoroborasi.
Bagi Popper persoalan mengenai kebenaran ilmiah harus ditempatkan dalam seluruh proses perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi sekali lagi, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diukur dengan pengalaman langsung. Karena pengalaman tidak membuat kita masuk ke dalam ilmu pengetahuan. Sebaliknya, kita selalu membuat pengalaman. Kita membutuhkan teori yang kita pakai untuk menangkap dunia, dan pada gilirannya dapat disangkal dengan pengalaman. Inilah cara ilmu pengetahuan berkembang. Ia tidak berkembang ke tujuan-tujuan tertentu yang sempit: ia tidak ingin memberikan jawaban akhir yang pasti, juga tidak jawaban yang bersifat probabilis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan berkembang pasti melalui tugas yang tak berakhir dan mungkin yang tak akan terpecahkan. Karena ilmu hanya bisa memberikan jawaban sementara yang harus selalu diuji secara baru dan kuat. 79-80
***
Pemahaman Keliru tentang Suara Rakyat?
VOX POPULI VOX DEI. Ungkapan lama ini sering dikaitkan dengan William of Malmesbury (abad 12) dan surat alcuin of York kepada Charlemagne pada tahun 798.
Ungkapan ini sering dipercaya mentah-mentah bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan: seakan-akan pendapat umum selalu benar.
Padahal, penggalan kata yang berasal dari surat yang ditulis oleh Alcuin of York (735-804), EPISTOLAE 166, paragraf 9, menyiratkan hal sebaliknya. Kutipan lengkapnya berbunyi:
"Nec Audienti sunt qui solet docere, 'VOX POPULI VOX DEI,' cum tumultuositas vulgi semper insanitas proxima est". Terjemahan dalam bahasa Inggris: "Do not listen to those who are accustomed to teach (claim), 'The voice of the people is the voice of God', because the tumult of the masses is always close to insanity. Dalam bahasa Indonesia: Jangan dengarkan mereka yang terbiasa mengajarkan (mengklaim), 'Suara rakyat adalah suara Tuhan', karena gejolak massa selalu dekat dengan kegilaan.
Senada dengan penjelasan di atas, A Setyo Wibowo menulis tentang suara rakyat dan paradoks demokrasi:
“Catatan Pinggir” (Caping) GM berjudul “Demos” (29 September 1984) membahas tentang sikap Sokrates/Platon yang nadanya anti kepada demokrasi, anti kepada rakyat (demos). Caping dimulai dengan kalimat menohok: “Ada seorang termasyhur yang menentang demokrasi. Namanya Sokrates.”
Sikap anti demokrasi Sokrates tampak dalam salah satu pernyataannya: “Supaya sebuah pilihan itu tepat, menurutku, ia harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan (episteme)” (Lakhes 184e-185). Dalam bahasa yang sederhana: bagi Sokrates, kebenaran tidak bisa ditentukan lewat suara terbanyak. Dalam dirinya sendiri, pernyataan ini tentu benar. Kebenaran rumusan matematika tidak pernah menjadi hasil voting suara terbanyak, tetapi temuan orang yang memang berpengetahuan. Dengan tepat GM menuliskan alasan pokok mengapa Sokrates/Platon tidak suka pada demokrasi.
Demokrasi adalah nonsens, kata Sokrates. Suara rakyat sering kali suara gombal. Kebajikan (arete) yang terutama adalah pengetahuan. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungutan suara itu tak masuk di akal. Bukankah seorang nakhoda juga tak dipilih dengan pemungutan suara?
Sumber:
1. https://www.kompasiana.com/muin_angkat/54ffb0eba333116f6350f890/vox-populi-vox-dei-suara-rakyat-suara-tuhan
2. A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 362-368).
***
Jongos + Babu
SEJAK JAN PIETERSZ. COEN TURUN-TEMURUN KELUARGA ITU memang berdarah hamba. Hamba yang tak tanggung-tanggung—setia sampai bulu-bulunya. Mungkin juga bukan sejak Coen saja. Besar kemungkinan sudah sejak Pieter Both atau di saat-saat Houtman mengelana di semua samudera. Orang tak ada yang tahu dengan pasti. Yang sudah nyata, keluarga itu dikenal di kala Coen belum jadi arca yang diusir Jepang dari depan gedung Financien.
Keluarga pertama ini dikenal karena tercatat di buku besar dengan huruf Latin, inlandsch sergeant ... stb. No. ... Pangkat sersan waktu itu sangat tinggi. Dengan pangkat itu orang bisa berbiak. Dan keluarga itu menurunkan empatpuluh anak. Entah berapa biangnya. Orang tak ada yang tahu. Soal ini tak boleh masuk buku besar.
Turunan kedua—hamba juga, serdadu tak berkelas!
Kemudian dari turunan ke turunan, derajat hambanya turun juga. Kian kecil kian kecil. Akhirnya sampai tahun 1949 sampailah keluarga itu pada Sobi dari Inah—titik derajat hamba yang penghabisan. Setahun yang lalu mereka masih hamba-hamba negeri. Keduanya tak tahu: Bahaya mengawang di atas kepala.
Derajat hambanya akan turun satu derajat lagi— hamba-hamba distrik-federal-Batavia! Sobi jongos. Inah babu.
Sekira Tuhan masih bermurah hati seperti di jaman dulu, sudi memanjangkan keturunan hamba itu, pasti keturunan yang ketigapuluh bukan manusia lagi, tapi—cacing yang menjulur-julur di dalam tanah. Dan ini patuh menurut mantika.
(Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Jakarta, Jakarta: Hasta Mitra, tanpa tahun, h. 1-2)
***
Buku
Kurang lengkap rasanya buat pecinta buku sejati ngomongin para penulis buku tanpa menyebut Umberto Eco. Nama Umberto Eco wajib banget masuk daftar.
Bayangin aja, penulis sekaligus filsuf asal Italia ini punya koleksi sekitar 50.000 buku di rumahnya! Gokil, kan? Tapi tunggu dulu, dia bukan tipe yang merasa harus baca semua buku yang dia punya. Menurut Eco, anggapan kayak gitu tuh absurd.
Dia pernah bilang, “Sama aja kayak bilang lo harus pake semua sendok, gelas, atau obeng yang lo beli sebelum beli yang baru. Ada hal-hal di hidup ini yang emang harus punya stok banyak, walaupun cuma dipake sebagian kecil.”
Buat Eco, buku itu lebih dari sekadar barang. Dia melihatnya sebagai obat. Yep, buku adalah "lemari obat" yang isinya bisa bikin kamu sembuh dari kegundahan, kebosanan, atau bahkan kebodohan.
Pas kamu butuh pelarian atau inspirasi, tinggal pilih buku yang pas sesuai mood. Itulah kenapa dia merasa penting punya banyak pilihan.
Eco juga mengkritik keras mereka yang memperlakukan buku sebagai barang konsumsi biasa. Dia bilang, “Kalau lo cuma beli satu buku, baca, terus buang setelah selesai, lo cuma menganggap buku sebagai komoditas. Padahal, buat mereka yang cinta buku, buku itu adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar barang jualan.”
Selain koleksi bukunya yang luar biasa, Umberto Eco juga dikenal lewat karya-karya fenomenalnya. Salah satunya adalah “The Name of the Rose”, novel yang menggabungkan misteri pembunuhan dengan filsafat dan teologi. Buku ini nggak cuma sukses secara literatur, tapi juga diadaptasi jadi film.
Eco juga seorang akademisi keren yang banyak menulis soal semiotika (ilmu tentang tanda dan simbol). Dia nggak cuma nulis buat akademisi, tapi juga buat masyarakat umum.
Filosofinya tentang buku menginspirasi banyak orang untuk melihat buku bukan cuma sebagai barang konsumsi, tapi sebagai teman yang setia sepanjang hidup.
Jadi, kalau kamu hobi beli buku tapi belum sempat baca semua, tenang aja. kamu nggak sendirian, dan Umberto Eco pasti mendukungmu!
Sumber: (Indratno Widiarto, "Umberto Eco dan Filosofinya tentang Buku" dalam https://www.facebook.com/share/p/1GMv6Y7yuh/
***
Tiga tingkat kebudayaan menurut Nietzsche:
1. Barbar
2. Normal
3. Asketik
Kebudayaan barbar ditandai dengan kehendak manusia untuk menundukkan dan melukai orang lain. Kebudayaan normal adalah kebudayaan orang-orang yang mengagumi dan membiarkan sesamanya tertawa dan bahagia. Kebudayaan asketik adalah orang lebih berpaling pada diri sendiri dan mengadakan 'penguasaan diri'. Orang yang berada pada tahap kebudayaan asketik ini akan merasakan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa. Berdasarkan pandangannya ini, Nietzsche sering menyebut seniman, filsuf, dan santo, sebagai orang-orang yang paling berbudaya. Semakin orang mempunyai jiwa seniman, filsuf, dan santo, semakin ia enggan hidup bernegara.
Nietzsche menolak negara. Negara, baginya, hanyalah merupakan kesatuan orang-orang yang hidupnya setengah-setengah. Negara adalah sumber dari berbagai konformitas. Dalam negara, terdapat berbagai macam aturan dan kewajiban moral yang membatasi para warganya untuk bertindak atas prinsip 'kehendak untuk berkuasa'. (St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LKiS, 2011, h. 60)
***
Tanda Nalarmu Masih Lemah
1. Menerima segalanya tanpa pertanyaan. Sikap skeptis adalah inti dari pemikiran filosofis. Semuanya tak diterima begitu saja, tapi selalu disikapi secara kritis;
2. Ikut arus tanpa paham alasan. Dalam logika, sikap ini disebut "argumentum ad populum" (sesuatu dianggap benar hanya karena banyak orang melakukannya). Padahal kebenaran tak tergantung pada berapa banyak orang yang setuju, tapi lebih ke logika dan bukti.
3. Ketakmampuan menerima kritik. Filsuf Plato meyakini bahwa dialog dan kritik adalah metode penting untuk mencapai kebenaran. Ketakmampuan menerima kritik menujukkan ketakmampuan mengevaluasi dan menyesuaikan pemikiran
4. Pikiran sempit dan kaku. Ketakmampuan melihat dunia dari berbagai sudut pandang mencerminkan kelemahan nalar. John Stuart Mill menekankan: bahkan pendapat yang benar jika Anda terus mengulanginya, tak menantang atau mempertanyakannya, pendapat itu akan berubah menjadi dogma.
5. Generalisasi tergesa-gesa 'Hasty generalization'. Menggeneralisasi berbagai hal secara tergesa-gesa. Dalam berpikir filosofis, kita dituntut untuk selalu melihat keseluruhan sebelum mengambil kesimpulan. Ketika kita menganggap bahwa satu pengalaman buruk dari satu orang atau situasi mewakili keseluruhan kelompok, kita terjebak dalam apa yang disebut 'hasty generalization'.
6. Hanya melihat permukaan. Filsafat mengajarkan kita menggali lebih dalam, tak berhenti di permukaan. Nietzsche, misalnya, selalu mencari motivasi terdalam di balik nilai atau tindakan manusia, bukan hanya melihat apa yang terlihat dari luar.
***
Tak Ada yang Final dalam Politik
Filsuf dan aktivis politik asal Prancis, Claude Lefort (1924-2010), yang dikenal karena pemikirannya tentang demokrasi dan totalitarianisme, sebagaimana dijelaskan RG, menganggap politik adalah “ruang kosong” (the locus of power is an empty place), yang demi pengalaman kebebasan dan keadilan, tak boleh dihuni oleh jawaban final, melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan.
"Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme," tulis RG. Fasilitas demokrasi, lanjut RG, adalah fasilitas yang disediakan untuk mengolah "conflicting claims" atau "konflik saling klaim tentang kebenaran" dalam masyarakat, dan bukan untuk memfasilitasi satu sistem etika tertutup atau suatu rasionalitas efisiensi.
Demokrasi, kata RG, memang harus mempertahankan suatu kondisi hermeneutis (qestionability), karena hanya dengan cara itu ia mampu mempertahankan ruang kosong itu agar terus berada dalam kondisi falibilis.
Falibilisme adalah doktrin filosofis yang menyatakan bahwa semua pengetahuan bisa salah. Beberapa fasibilis bahkan berkata bahwa kepastian mutlak pengetahuan itu tak mungkin.
Jadi, yang lebih penting bukan bagaimana menjalankan politik melalui lembaga-lembaga formalnya, tapi bagaimana membuat politik terus hidup dengan mempertanyakan terus-menerus berbagai formalitas (hukum, moral komunal, agama, pemilu, ekonomi, dll).
Lihat Rocky Gerung, Pengantar dalam Bagus Takwin, dkk., Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek)
***
Jantung Politik adalah Dissensus, Bukan Konsensus: Goenawan Mohamad tentang Politik dan Demokrasi
Visi GM (Goenawan Mohamad) tentang politik demokrasi tertuang sekali lagi dalam Caping (Catatan Pinggir) berjudul “Politik” dari 19 Agustus 2018. GM paham sekali bahwa hadirnya "tatanan" (dalam bahasa Ranciere "la police") memang keniscayaan politik. Namun, sebagus apa pun tatanan, selalu ada celah yang kosong. Maka, berbeda dari kebanyakan pikiran yang mementingkan konsensus, pemikiran Ranciere mengajak kita untuk memahami bahwa jantung politik adalah dissensus. Ini adalah visi yang tidak mudah, nyaris “berlawanan dengan kodrat" kita yang instingnya mencari damai.
Politik yang intinya dissensus hanya mengatakan satu hal gamblang: politik tidak pernah selesai. GM menulis dengan bagus di “Politik”:
“politik mengandung unsur waktu dan ada dalam waktu. (...) Sejarah politik adalah cerita dadu yang dilempar dan tak bisa berhenti sekali: tak ada satu wajah yang dipastikan akan muncul. Tak ada yang selalu.”
***
Imam Syafi’i memiliki banyak perkataan hikmah yang sering dijadikan perumpamaan. Salah satu yang terkenal tentang air adalah: "Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diamnya. Jika ia mengalir, ia menjadi jernih. Jika ia tidak mengalir, ia akan keruh dan busuk." Perumpamaan ini mengajarkan bahwa manusia harus terus bergerak, belajar, dan berusaha. Jika seseorang berhenti berkembang atau hanya diam dalam satu keadaan, maka ia bisa menjadi seperti air yang menggenang—keruh dan tidak bermanfaat. Sebaliknya, jika terus mencari ilmu, beramal, dan menghadapi tantangan hidup, maka ia akan menjadi seperti air yang mengalir—jernih, segar, dan membawa manfaat. Pesan ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya menuntut ilmu dan beramal saleh sepanjang hayat.
***
Dalam khazanah filsafat, GM paham bahwa Nietzsche, Freud dan Marx sering digabung dalam satu kelompok “guru-guru pencuriga”. Tiga tokoh ini mengajari kita untuk curiga pada klaim modernitas yang bertumpu pada rasionalitas. Freud menunjukkan bahwa apa yang disebut “kesadaran ego” hanyalah pucuk gunung es (sementara bagian terbesar lainnya, gang menyetir ego, justru merupakan sesuatu yang irasional dan tak sadar). Marx tegas mengatakan bahwa “kesadaran manusia” tak pernah bebas merdeka. Kesadaran rasional hanyalah pantulan dari relasi material dan ekonomis yang mengitarinya. Untuk mengubah masyarakat, kita tidak bisa mengandalkan pada perubahan kesadaran. Marx menganjurkan revolusi terhadap kondisi material (relasi produksi) manusia dan masyarakat. Sementara Nietzsche berpendapat bahwa kesadaran hanyalah sebentuk representasi yang asal-usulnya adalah sesuatu yang sama sekali lain (tubuh atau kehendak).
Menurut GM, dunia modern kita saat ini telah berubah menjadi pasar". Di dunia “pasar”, kebenaran menjadi sederhana, singkat, sekedar pro atau anti, dan mudah dipertukarkan, mirip komoditi telepon genggam yang tak ketahuan lagi dari mana asalnya. Semua bisa dipertukarkan, yang penting ada “nilai jualnya”. Termasuk dalam kebenaran tentu saja adalah klaim agama, sains, ideologi, dan juga seni. Pasar menjadi gaduh, ramai, penuh kawanan dan kerumunan “orang-orang kecil” di mana ragam acting dipertontonkan.
Ketika dunia menjadi “pasar”, menurut GM, yang hilang adalah kreativitas dan penemuan baru. Apa yang intim, beragam serta lokal lenyap. Bagaimana menyikapi dunia seperti ini? GM prihatin bahwa dunia “pasar” memberangus kebebasan manusia, khususnya mereka-mereka yang terlindas kalah.
Untuk mencari inspirasi pembebasan, GM berpaling pada Nietzsche dan Marx. Apakah dua pemikir ini bisa membantu?
***
"Akademi militer rasanya itu sebuah lembaga yang dikenal sampai dengan hari ini mencetak kader-kader patriot, pemimpin, tak hanya di militer, tapi juga di semua lini profesi dan pengabdian." (AHY)
"Sebetulnya tidak pernah ada kata-kata dipersiapkan untuk menjadi jenderal di masa depan. Lembah Tidar mempersiapkan para pemimpin masa depan." (AHY)
***
INDIVIDUALISME BARAT
"Keyakinan yang menandai para perintis modernisasi Barat adalah bahwa kebebasan itu dapat diraih lewat penggunaan rasio sampai tak terbatas, kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang ditetapkan berdasarkan iman kepercayaan agama. Karena itu, modernitas yang ditandai oleh rasionalisme Barat itu adalah bentuk kehidupan sekaligus bentuk kesadaran. Sebagai bentuk kehidupan, berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme, kritik, dan kebebasan." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h.153)
***
0 komentar:
Posting Komentar