alt/text gambar

Sabtu, 20 September 2025

Topik Pilihan: ,

Fungsi Filsafat dalam Beragama: Bahagia Ternyata Ada di Dunia

 

Tiga ratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, filsuf Islam menggali kembali pemikiran Aristoteles, pemikir dari zaman prawahyu yang hidup 1300 tahun sebelum mereka, sebagai filsuf paling besar. 

Para filsuf Islam merasa harus mempergunakan pemikiran Aristoteles untuk merumuskan refleksi filosofis mereka sendiri. Tak percuma bahwa etika, filsafat tentang moralitas, sampai hari ini menganggap Etika Nikomacheia sebagai salah satu tulisan etika paling mengasyikkan yang perlu dipelajari bukan sekedar demi nilainya dalam sejarah, melainkan untuk memahami tantangan moral yang kita hadapi sekarang. 

Atau, dengan kata sedikit berbeda, agama memang memberikan pendasaran paling kokoh kepada moralitas, yaitu dalam kebijaksanaan Sang Pencipta sendiri, serta memberi tahu dengan kepastian yang mengatasi segala filsafat bahwa manusia harus hidup dengan baik hati, jujur, adil, dan rendah hati; dan bahwa kejahatan, bukan hanya dalam perbuatan, melainkan bahkan dalam pikiran adalah dosa. 

Tapi bagaimana kaitan antara pelbagai petunjuk agama, apa dasar rasionalnya—kita tidak hanya ingin tahu bahwa kita jangan hanya mengejar nikmat, melainkan juga mengapa,—dan bagaimana cara kita membangun diri menjadi sosok etis, di situ kita memerlukan refleksi terus dalam pikiran kita dengan mengingat bahwa justru untuk itu Sang Pencipta memberikan daya nalar kepada manusia. 

Dalam refleksi itu pemikiran orang bijaksana seperti Aristoteles begitu membantu. Dari Aristoteles kita dapat belajar bagaimana kita dapat menjadikan hidup kita menjadi hidup yang bermutu. 

Mari kita rangkum kembali pengertian paling dalam yang dapat kita angsu dari Aristoteles. Dua pengertian paling penting tentunya adalah bahwa hidup secara moral membuat manusia bahagia, dan bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dengan malas-malas hanya ingin menikmati segala hal enak, melainkan dengan secara aktif mengembangkan diri dalam dimensi yang hakiki bagi manusia. Kadang-kadang para pengkotbah moralitas lupa bahwa moralitas membuat bahagia, bukan hanya di hidup akhirat, melainkan di dunia ini. 

Padahal kebahagiaan adalah apa yang kita harapkan, yang merupakan tanda kehidupan yang mencapai keutuhannya. Aristoteles memperlihatkan bahwa kalau kita mau bahagia maka kita harus hidup secara bermoral. 

Jadi, manusia yang betul-betul bahagia—kalaupun kebahagiaan di dunia ini tak pernah sempurna—adalah manusia yang mantap sebagai sosok etis, manusia yang dapat diandalkan melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. Jadi, kewajiban moral bukan sekedar sesuatu yang menekan, melainkan yang membawa ganjarannya sendiri, rasa bahagia yang semakin mendalam. 

Referensi

Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2020, h. 63-64.


0 komentar:

Posting Komentar