![]() |
Kompas, 1 Oktober 2007 |
Resensi oleh: Martin Aleida
(Kompas, 1 Oktober 2007, Rubrik “Pustakaloka”)
Judul: Menyeberangi Sungai Air Mata
Penulis: Antonius Sumarwan, SJ
Penerbit: Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007
Tebal: 408 halaman
Buku ini disusun berdasarkan pengakuan-pengakuan korban. Karena itu, ada yang otomatis, yang muskil dihindarkan: kepedihan dan simpati yang dalam. Karena dia merupakan penggalan dari sejarah, kebrutalan kekejaman yang membikin ngilu saraf manusia normal, yang terpapar halaman demi halaman, dari saksi demi saksi, bukanlah kekejaman fiksional.
Dia teramat nyata, berlangsung hampir di seluruh daratan negeri ini, dan dalam skala yang tak pernah terbayangkan. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, juga Bali. Di Sumatera, Kalimantan, juga Nusa Tenggara, selama berbulan-bulan setelah gagalnya gerakan yang menamakan diri Gerakan Tiga Puluh September (G30S) tahun 1965.
Setiap daerah mempunyai tempat penjagalan masing-masing, dan kebanyakan terletak di tepi sungai, tempat para pembunuh dengan mudah mencampakkan korban mereka, bulat-bulat, begitu saja, tanpa harus bersusah payah menggali lubang pembantaian. Konon pula menyembahyangkannya sebagaimana yang diajarkan semua agama Tuhan.
Kengerian meluas dan menjadi sempurna berbarengan dengan munculnya berbagai mitos tentang kematian yang tidak wajar dari mereka yang dituduh komunis atau simpatisannya, dan dipaksa mengaku berada di belakang percobaan perebutan kekuasaan pada tahun 1965 itu.
Di sebatang sungai yang melintasi sebuah bekas benteng Jepang, tak jauh dari Medan, air dikabarkan "menjadi panas akibat sungai tak mampu menampung amarah mayat-mayat yang dihanyutkan, hingga membentuk kabut". Sebagai tanda hormat, atau ketakutan, atau apa pun namanya, setiap perahu motor yang akan melintas di kawasan itu melengkingkan terompetnya (hal 329).
Kata-kata, malahan sejarah sekalipun, tak pernah merasa cukup untuk merepresentasikan pemusnahan manusia yang menelan korban yang dipercaya mencapai ratusan ribu jiwa. Malah ada yang menduga sampai tiga juta manusia Indonesia!
Saban tahun, terutama setelah jatuhnya Soeharto, yang berada di belakang pengejaran dan pembasmian merah tersebut, berbagai buku, film, poster, puisi, dan prosa menyuguhkan kenyataan-kenyataan yang menjungkirbalikkan sejarah yang ditulis rezim yang berkuasa sebelumnya, dengan mengungkap kesaksian-kesaksian yang terpendam berpuluh tahun di benak dan hati para korban yang hanya bisa selamat karena mukjizat.
Dari sisi korban
Sejarah menemukan wajahnya yang baru. Sebuah sejarah yang ditulis ulang dengan pendekatan baru, dengan menawarkan ruang bagi para korban untuk menuliskannya. Pendekatan penulisan tidak lagi pada mereka yang memegang kekuasaan dan senjata sebagaimana yang mendominasi pikiran pembaca dan peneliti selama ini.
Pendekatan baru inilah agaknya yang mendasari sanubari Antonius Sumarwan, SJ, ketika tangannya bergetar untuk menulis Menyeberangi Sungai Air Mata. Sebuah buku yang memaparkan pengakuan-pengakuan korban, dengan gambar kulit yang secara simbolis melukiskan angkatan muda yang ditutupi matanya dengan kain hitam supaya tak bisa melihat masa lalu sebuah bangsa.
Boleh jadi, salah satu buku sejarah terpenting tentang G30S, yang menjungkirbalikkan versi penguasa (baca Sekretariat Negara RI dengan "Buku Putih”-nya!) adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, diterbitkan Elsam, bekerja sama dengan Tim Relawan Kemanusiaan, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia tahun 2004.
Buku ini, yang disebutkan sebagian orang sebagai "sejarah lisan", menghimpun keterangan berdasarkan wawancara dengan para korban. Pengantarnya ditulis dengan semangat yang tidak saja memberikan ruang tetapi lebih dari itu, dengan jelas memihak pada pembuat sejarah: rakyat tak berdosa.
Menyeberangi Sungai Air Mata juga ditulis dengan metode serupa. Namun, lebih subtil, ka- rena korban tidak hanya diberi ruang kebebasan, tetapi juga (dan terutama) empati teologis
Mereka yang selamat dari pembantaian, kekejaman kamp konsentrasi dan penjara serta pulau pembuangan yang kondisinya begitu buruk, dalam buku ini, seperti arus air yang mengalir deras, mengisahkan penderitaan tiada terkira yang telah mereka tanggungkan. Di antara mereka ada yang mengaku menemukan kekuatan karena merasa telah bersatu dengan Tuhan.
"Kubayangkan Kristus yang tergantung di kayu salib, penuh luka dan berlumuran darah," ke- nang Ignasius Ibnu Ruslan, sarjana sejarah Universitas Gadjah Mada, yang "enggak ngerti apa-apa" tentang G30S, tetapi dipaksa mengalami nasib buruk‒dipencilkan beberapa tahun ke dalam penjara di daerahnya sebelum dibuang selama sepuluh tahun di Buru.
"Apa yang Ia (Kristus) tanggung begitu mirip dengan apa yang kualami: tubuh yang disiksa, luka, darah yang mengucur, lambung yang ditusuk, kesepian, diolok-olok oleh musuh durhaka, berhadapan dengan ajal. Pengalaman sebagai tapol membuatku mampu mengalami apa yang diderita oleh Kristus sendiri."
Katanya lagi dengan haru tapi teguh, "Dan di situlah aku merasa tidak sendirian. Aku menanggung derita bersama Penyelamatku. Penyelamatku yang datang ke dunia untuk menemani dan menguatkan aku, bukan hanya dengan memberikan kata penghiburan, tetapi dengan turut menderita. Oh..., betapa agung Allah yang bersedia menderita bersama ciptaan-Nya!" (hal 289).
Ketuhanan dan realitas kemanusiaan
Sebagaimana yang diutarakan oleh penulisnya sendiri, buku ini lahir dari "sebuah keinginan sederhana untuk menampilkan semacam garis besar atau peta umum pembantaian pasca-G30S". Antonius Sumarwan ingin memperlihatkan bagaimana rangkaian pembantaian tersebut memakan begitu banyak korban, dan dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dan dalam wilayah yang sedemikian luas.
"Dari kepingan-kepingan data yang telah dipaparkan, semoga pembaca dapat mulai menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tentang siapa korban pembantaian ini, bagaimana, mereka dibantai, oleh siapa, kapan, dan atas alasan apa. Semoga uraian ini juga memancing pertanyaan mengenai efek pembantaian ini: siapa yang memetik keuntungan dan siapa yang dirugikan," kata penulis dalam catatan penutupnya.
Buat penulis, buku ini adalah bentuk keterlibatan untuk membantu mengungkapkan kebenaran dan tegaknya keadilan sejati bagi korban. Katanya, tak mungkin orang melepaskan diri dari keterlibatan untuk menyambut "gaung dari keluhan dan jeritan para korban yang telah bertahun-tahun menderita dan menantikan belarasa, pengakuan, pembebasan, dan keadilan".
Orang tak bisa mengelak dari pertanyaan apa yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan kebenaran dan tegaknya keadilan. "Kita tidak bisa menghindar dari pertanyaan itu, sebab mereka (korban) telah ambil bagian dalam penderitaan Kristus menanggung dosa-dosa kita. Oleh luka-luka mereka, kita dipulihkan. Karena kesengsaraan mereka, kita selamat. Mereka adalah hamba Yahwe yang menderita pada zaman kita," kata penulis mengungkapkan perasaan.
Teologi yang menjadi dasar pendekatan dalam penyusunan buku ini membuat kesaksian-kesaksian yang ditumpahkan para korban menjadi penggalan-penggalan sejarah yang hidup, menghanyutkan, mengiris-iris. Inilah contoh terbaik tentang pertemuan antara ketuhanan dan realitas kemanusiaan.
Setelah perjalanan yang jauh, ketuhanan menemukan dan menyelamatkan derajat kemanusiaan yang telah dizalimi oleh satu rezim, dalam satu kurun waktu, yang telah membuat bangsa Indonesia menjadi paria dalam pergaulan internasional.
Antonius Sumarwan juga membuka sebuah bab mengenai upaya untuk menyembuhkan luka bangsa ini. Ada uraian kronologis mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menegakkan kebenaran dan memberikan keadilan kepada para korban. Namun, kepentingan mereka yang terlibat dalam rezim yang berdiri di atas penderitaan para korban masih berada di atas angin. Ini terbaca dari digugurkannya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Tumpuan harapan bagi para korban pupuslah sudah sehingga luka besar itu akan tetap menganga, mempermalukan kita. Sedangkan buat para korban sendiri, mereka telah menemukan rekonsiliasi sejati, yang sahih sesahih-sahihnya, yang akan mereka bawa mati: damai dengan Tuhan.
Dengan membaca risalah ini, "Kita benar-benar mendengar sesuatu dari korban‒sesuatu yang selama ini ditelan oleh kesunyian sejarah Indonesia dan kesepian para korban." Begitu kata St Sunardi, Ketua Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ketika mengantar buku ini ke gerbang hati para pembacanya.
MARTIN ALEIDA, Sastrawan. Tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, 1 Oktober 2007
0 komentar:
Posting Komentar