![]() |
Tempo |
(TEMPO, No. 31, Tahun XVIII, 1 Oktober 1988)
Setelah polemik soal Bung Karno, setelah ramai pembicaraan mengenai buku Siapa Menabur Angin, banyak orang bertanya: apakah sebagian bahan tersebut buku tersebut rahasia negara? Sekiranya ya, apakah rahasia negara boleh diungkap?
Kepala Staf Sospol ABRI Letnan Jenderal Harsudiono Hartas pekan lalu menyebut isi buku itu hanya guntingan-guntingan koran, ulasan, dan “hasil interogasi”. Soegiarso Soerojo, si penulis buku yang bekas pewira Bakin, mengaku mendapat bahan dari ratusan buku, kliping, dan “sebagian kecil dari Bakin.”
Ternyata “hasil interogasi” dan “sebagian kecil dari Bakin” itu yang kemudian dipermasalahkan. Menurut Prof Oemar Senoadji, bekas Ketua Mahkamah Agung, hasil pemeriksaan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) atau pengadilan biasa, bisa saja diungkapkan kepada umum. Namun, dalam kasus Bung Karno, karena sampai meninggalnya ia tidak pernah disidangkan, bahan pemeriksaan itu tidak boleh disiarkan.
“Lebih-lebih hasil tim pemeriksa pusat Kopkamtib (Teperpu) yang bersifat tertutup. Berarti, hasil pemeriksaan itu besifat rahasia dan merupakan dokumen negara, meski belum tentu rahasia negara. Walau secara hukum belum ada peraturannya,” ujar Oemar.
Pengacara Gani Djemat, yang pernah menjadi hakim anggota dalam Mahmilub, berpendapat serupa. “Setahu saya, laporan Teperpu itu tidak boleh dipublikasikan karena termasuk dalam dokumen negara. Harus ada izin dulu dari Bakin,” katanya.
Penjelasan lain datang dari Kolonel Nurhadi, Kepala Pusat Penerangan ABRI yang juga Humas Kopkamtib. Menurut dia, laporan Teperpu Kopkamtib yang dipakai sebagai bahan buku itu jelas dokumen negara. Ia membenarkan, dipublikasikannya dokumen negara itu dalam Siapa Menabur Angin, prinsipnya berarti pembocoran dokumen negara.
Nurhadi menjelaskan. Hasil pemeriksaan Teperpu ada dua jenis. Pertama hasil pemeriksaan pendahuluan yang untuk kepentingan operasional. Yang kedua, hasil pemeriksaan pro-yustisia (pengadilan) yang terbuka untuk umum. Pemeriksaan pendahuluan itu hanya untuk mengait operasi selanjutnya. “Itu tidak boleh untuk umum, sebab belum bisa dibuktikan secara yuridis,” katanya kepada Diah Purnomowati dari TEMPO.
Tujuan pemeriksaan pendahuluan itu bukan untuk keperluan pengadilan, karena ada asas praduga tak bersalah. Hasil pemeriksaa itu harus dicek, dicek ulang, dan harus diproses melalui pengadilan. Setiap saat hasil pemeriksaan itu bisa dibuka lagi karena penemuan data baru bisa setiap saat terjadi.
Jadi, setelah pemeriksaan pendahuluan diserahkan pada Teperpu, lalu dicek berkali-kali, sampai betul-betul mendapatkan perkiraan kesimpulan, baru diajukan ke Mahmilub. Mahmilub kemudian memproses sesuai dengan hukum yang berlaku, benar tidaknya hasil pemeriksaan Teperpu itu.
Bagaimana kalau hasil pemeriksaan itu belum diajukan ke Mahmilub? “Pokoknya, kalau belum dimasukkan ke Mahmilub, itu berarti belum dicek dan recheck, atau belum bisa dikatakan benar sepenuhnya,” tutur Nurhadi.
Berapa lama sebuah dokumen negara boleh diketahui umum? Machfudi Mangkudilaga menunjuk angka 50 tahun. Menurut Kepala Konservasi Kearsipan pada Arsip Nasional ini, angka itu mengikuti aturan Belanda. “Kelak untuk Indonesia batas usia suatu arsip hanya 30 tahun,” ucapnya.
Menurut aturan itu, siapa pun yang memiliki arsip–tak dikemukakan rahasia atau tidak–“dengan sengaja dan melawan hukum” diancam penjara sampai 10 tahun.
Sedang bila orang mengungkapkan yang “ia diwajibkan merahasikan”-nya pada pihak lain “yang tidak berhak”, bisa diancam sampai 20 tahun. Itu menurut undang-undang pokok kearsipan, nomor 7 tahun 1971.
Ancaman itu tak sebatas di atas kertas. Pada 1979, Soemarso Soemarsono, penanggung jawab harian Abadi – berhenti terbit sejak 1978 – diadili dan didakwa membocorkan rahasia negara.
Lewat tajuk rencana korannya, ia mengulas berbagai dokumen tentang pemilu, laporan harian Hankam, dan sejumlah dokumen tertutup lainnya. Namun, sebelum divonis, Soemarso keburu meninggal.
Apakah Soemarso, dan kini Soegiarso Soerojo, bisa dianggap bersalah membocorkan dokumen negara? Sulit, kendati ada undang-undang, kata Machfudi, “peraturan pelaksanaannya belum ada.”
Sumber: TEMPO, No. 31, Tahun XVIII, 1 Oktober 1988
0 komentar:
Posting Komentar