alt/text gambar

Jumat, 19 September 2025

Topik Pilihan:

Etika Teleologis vs. Deontologis: Konsekuensi atau Niat yang Lebih Utama?

Ilustrasi


Sejak dahulu, manusia selalu berhadapan dengan pertanyaan mendasar: apa yang membuat sebuah tindakan menjadi benar atau salah? Apakah kebaikan suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhirnya, ataukah oleh niat dan kewajiban yang melatarinya? Pertanyaan inilah yang melahirkan dua arus besar dalam filsafat moral: etika teleologis dan etika deontologis.

Etika teleologis (dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan) menekankan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Jika sebuah tindakan menghasilkan kebahagiaan, kesejahteraan, atau manfaat terbesar bagi banyak orang, maka tindakan itu dianggap baik. Bentuk paling terkenal dari etika teleologis adalah utilitarianisme, seperti yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Mereka berpendapat bahwa tindakan moral adalah yang mampu memaksimalkan “kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.” Dengan kata lain, dalam etika ini, hasil akhir adalah ukuran utama.

Namun, ada kelemahan yang cukup jelas. Jika hanya hasil yang dihitung, maka suatu tindakan yang secara moral tampak keliru bisa saja dibenarkan, selama konsekuensinya positif. Misalnya, berbohong dapat dianggap benar bila kebohongan itu menyelamatkan banyak orang. Hal ini memunculkan dilema moral yang rumit: apakah tujuan benar-benar dapat menghalalkan cara?

Di sisi lain, etika deontologis (dari kata Yunani deon, berarti kewajiban) menekankan bahwa yang membuat tindakan bermoral bukanlah hasilnya, melainkan niat dan prinsip yang mendasari tindakan itu. Tokoh paling berpengaruh di arus ini adalah Immanuel Kant, dengan konsep imperatif kategoris. Bagi Kant, suatu tindakan adalah benar jika dilakukan berdasarkan kewajiban moral yang universal, yang berlaku tanpa syarat, dan dapat dijadikan hukum umum. Dalam pandangan ini, kejujuran, misalnya, harus dijaga apa pun konsekuensinya, sebab itu adalah kewajiban moral.

Kelebihan etika deontologis adalah ia memberikan dasar moral yang kokoh dan konsisten, tidak tergantung pada hasil yang bisa berubah-ubah. Namun, kekurangannya adalah kekakuan: dalam situasi tertentu, memegang prinsip tanpa mempertimbangkan akibatnya justru bisa melukai rasa kemanusiaan. Misalnya, mengatakan kebenaran sepenuhnya dalam keadaan tertentu bisa berakibat fatal, meski niatnya tulus dan sesuai kewajiban moral.

Pertentangan antara teleologi dan deontologi sebenarnya mencerminkan ketegangan mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, kita ingin menilai tindakan dari manfaatnya. Di sisi lain, kita juga percaya bahwa niat dan prinsip moral tidak boleh dikorbankan begitu saja. Maka, banyak filsuf kontemporer mencoba menjembatani keduanya, misalnya dengan pendekatan etika kebajikan (virtue ethics) yang menekankan pada karakter dan kebiasaan baik, atau dengan pendekatan “hibrida” yang melihat konteks situasi.

Pada akhirnya, perdebatan antara teleologi dan deontologi tidak selalu tentang memilih salah satu, melainkan tentang bagaimana manusia menyeimbangkan keduanya. Dalam kehidupan nyata, sering kali kita mempertimbangkan hasil yang akan terjadi, tetapi juga tidak bisa mengabaikan kewajiban moral yang mendasar. Justru ketegangan inilah yang membuat etika menjadi refleksi tak pernah selesai: ia terus mengajak kita berpikir, menimbang, dan mencari dasar yang paling tepat untuk bertindak secara manusiawi.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1D8qiJpPgM/

0 komentar:

Posting Komentar