![]() |
Immanuel Kant |
Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus
Dalam kuliah umum di Fakultas Hukum (FH) UI, Depok, Senin, 15 September 2025 lalu, saya menyampaikan materi mengenai hukum dan negara dalam perspektif filsafat transendental Kant. Tulisan ini adalah uraian dari materi yang saya sampaikan dalam bentuk PPT pada kuliah tersebut. Inti dari materi itu adalah bahwa hukum dan politik hanya dapat dipahami dalam kerangka moral. Negara dan hukum yang tidak dijangkarkan dalam moralitas sama sekali tidak rasional.
Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab dalam kuliah umum ini antara lain: apa dasar, bentuk, dan tujuan negara? Mengapa kita membutuhkan negara? Bagaimana hubungan negara, hukum, dan moral? Apa yang dimaksud dengan negara hukum (Rechtsstaat)? Mengapa kita wajib taat kepada hukum? Mungkinkah kita "keluar“ dari negara? Lalu, apakah negara perlu mengusahakan kebahagiaan bagi warganya? Apa tujuan negara? Dan bagaimana tujuan itu harus dicapai?
Berbeda dari para filsuf lainnya, misalnya Hobbes atau Machiavelli, yang melihat politik dan hukum tidak berkaitan dengan moral, Kant memperlihatkan dengan argumen yang cukup meyakinkan bahwa hukum dan politik harus dipahami sebagai fenomena moral. Karena itu Kant membahas filsafat politik dan filsafat hukumnya dalam kerangka filsafat moral (Metaphysik der Sitten).
Keseluruhan gagasan ini dirumuskan Kant dalam sebuah sistem filsafat yang sangat arsitektonik. Titik tolaknya adalah rasio (Vernunft, reason). Mengapa rasio? Karena itulah yang paling mendasar pada manusia. Ontologi manusia terletak pada rasionya. Tanpa rasio, manusia bukan manusia.
Kant mengatakan, rasio dapat dibagi dua berdasarkan penggunaannya, yakni rasio teoretis dan rasio praktis.
Rasio teoretis adalah rasio yang digunakan berdasarkan hukum-hukum keniscayaan pikiran untuk menghasilkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan (Wissenschaft) yang pasti dan obyektif. Hasilnya adalah filsafat ilmu pengetahuan sebagaimana diuraikan Kant dalam buku Kritik Akal Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft).
Dalam buku ini Kant menjelaskan bagaimana pikiran kita bekerja secara obyektif dan universal untuk menghasilkan pengetahuan. Yang mau diperlihatkan Kant dalam buku ini adalah prinsip-prinsip pertama (metafisika) yang memungkinkan pengetahuan mengenai obyek-obyek empiris. Dan itu tidak lain kategori-kategori transendental apriori yang merupakan syarat niscaya dan obyektif yang memproses data-data indrawi yang terberi kepada subyek penahu (knowing subject).
Sementara rasio praktis adalah rasio yang digunakan berdasarkan kebebasan pikiran untuk menghasilkan prinsip-prinsip normatif tindakan yang berdampak dalam kenyataan. Hasilnya adalah filsafat moral, sebagaimana diuraikan Kant dalam bukunya Kritik Akal Budi Praktis (Kritik der praktischen Vernunft). Dalam buku ini kita melihat prinsip-prinsip pertama yang mengatur moralitas, atau metafisika moral (Metaphysik der Sitten). Ke dalam filsafat moral termasuk filsafat politik dan filsafat hukum.
Bagaimana prinsip-prinsip normatif untuk pengetahuan dan moralitas itu harus dihasilkan? Kant mengatakan segala sesuatu yang normatif tidak mungkin dihasilkan atau diturunkan dari pengalaman empiris. Pengalaman empiris selalu kontingen dan partikular maka tidak mungkin norma yang bersifat absolut dan universal dihasilkan dari pengalaman. David Hume telah memperingatkan bahwa ought (Das Sollen) tidak mungkin dihasilkan dari is (Das Sein)
Karena itu tidak ada jalan lain kecuali melalui metafisika. Yang dimaksud dengan metafisika di sini adalah prinsip-prinsip normatif yang dihasilkan dari akal budi atau rasio itu sendiri. Jadi prinsip-prinsip normatif pengetahuan dan moralitas itu harus diturunkan dari akal budi praktis secara apriori agar dapat berlaku obyektif dan universal. Pendekatan metodis semacam ini diterapkan oleh Hans Kelsen dalam pure theory of law (teori hukum murni, reine Rechtslehre) untuk menghasilkan norma dasar (Grundnorm) hukum yang bebas nilai dan kepentingan.
Metafisika Moral
Metafisika moral adalah elemen rasio praktis. Kant kemudian membagi metafisika moral menjadi dua bagian, yakni filsafat moral atau etika (Ethik) dan filsafat hukum (Rechtsphilosophie). Apa yang mendasari pembagian ini? Dasarnya adalah kebebasan (freedom), karena kebebasan, sebagaimana disinggung di atas, adalah prinsip dasar akal budi praktis.
Kant mengatakan, etika mengandaikan kebebasan. Kebebasan adalah pengandaian bagi etika. Kalau manusia tidak bebas, maka perintah-perintah moral yang mewajibkan kita menaati hukum moral (misalnya: kau harus jujur) tidak masuk. Justru karena kita bebas maka etika menjadi masuk akal.
Kebebasan termanifestasikan dalam dua wilayah: wilayah internal batin (dalam diri), dan wilayah eksternal, yakni di luar diri. Wilayah manifestasi kebebasan internal menyangkut etika, sementara wilayah manifestasi kebebasan eksternal menyangkut hukum dan politik. Dalam etika, kita bebas mau jujur atau tidak, kita bebas mau menaati perintah-perintah moral atau tidak. Etika sepenuhnya urusan internal batin kita.
Karena itu Kant mengatakan, apakah seseorang itu bermoral atau tidak, hanya Tuhan dan orang itu sendiri yang tahu. Kita tidak pernah tahu apakah seseorang itu bermoral atau tidak, karena hal itu tergantung motivasi di dalam diri seseorang yang melatar-belakangi tindakannya. Tindakan berbohong menjadi mungkin justru karena kita bebas dalam diri kita mau jujur atau tidak.
Sementara hukum menyangkut penggunaan kebebasan pada bidang eksternal, di luar diri, dalam relasi dengan manusia lain. Politik termasuk di sini, karena dalam politik manusia berelasi dengan manusia lainnya. Baik politik maupun hukum sama-sama berkaitan dengan penggunaan kebebasan dalam wilayah eksternal. Kebebasan inilah yang mau ditata dalam politik dan hukum.
Dengan struktur argumen demikian maka Kant memasukkan hukum dan politik ke dalam filsafat moral. Moralitas adalah kerangka di mana hukum dan politik bekerja. Dengan kata lain, diskursus mengenai hukum dan politik harus dilakukan dalam filsafat moral. Dalam bukunya „Zum ewigen Frieden“ (Perdamaian Abadi) Kant menegaskan bahwa „politik yang benar tidak pernah dapat melangkah tanpa menunjukkan penghargaan terhadap moralitas.“
Demikianlah Kant meletakkan landasan moral bagi filsafat politik dan filsafat hukum. Argumentasinya murni rasional. Itu yang dimaksud di atas dengan cara kerja akal budi praktis.
Hal ini memiliki konsekuensi terhadap filsafat politik dan filsafat hukum.
Pertama, Kant menolak semua pendekatan yang bersifat empiris atas negara. Maksudnya justifikasi atau legitimasi negara tidak dapat dirumuskan berdasarkan argumen-argumen empiris, atau politis, melainkan harus argumen moral. Kedua, Kant menolak pemisahan antara negara, politik dan hukum dari moralitas. Ketiga, selain dalam kerangka filsafat moral, negara juga harus dipahami dalam kerangka hukum. Karena hukum dan politik termasuk ke dalam filsafat moral.
State of Nature sebagai titik tolak pembentukan negara
Sama seperti filsuf lainnya, seperti Hobbes dan Rouuseau, Kant juga bertolak dari state of nature untuk menjelaskan asal usul negara. Tetapi konsep state of nature Kant berbeda dari konsep Hobbes dan Rousseau. Bagi Hobbes, state of nature adalah omnis bellum contra omnes (perang semua melawan semua). Dalam kondisi perang itu, orang-orang yang hidup dalam kondisi alami, pra-negara, itu kemudian sepakat untuk membentuk sebuah pemerintahan yang dapat menjamin keamanan di antara mereka, agar mereka tidak saling membinasakan. Di sini motif pembentukan negara adalah ketakutan akan kematian.
Rousseau lain lagi. Bagi Rousseau, sang romantik itu, state of nature adalah state of peace. Ini dapat dibayangkan seperti orang-orang primitif yang tinggal di hutan dalam keadaan damai. Semua obyek milik bersama, dan semua dapat menikmati dengan bebas sesuai dengan kebutuhannya. Tapi ketika masyarakat berkembang muncullah kepentingan diri, kecemburuan, kebanggaan dan sifat-sifat negatif lainnya. Ini mendorong kebutuhan untuk mendirikan negara guna menjamin hak milik dan kebebasan di antara orang-orang dalam state of nature tersebut.
Kant menolak konsepsi state of nature Hobbes dan Rousseau. Ada dua kritik kepada Hobbes. Pertama, kalau state of nature adalah state of war, perang semua melawan semua, lalu bagaimana negara terbentuk? Siapa yang lebih dulu meletakkan senjata untuk mengajak berunding mendirikan negara? Bukankah dalam kondisi perang semua melawan semua, meletakkan senjata justru berisiko dibunuh oleh orang lain? Kedua, negara yang didasarkan atas ketakutan akan kematian menempatkan negara dalam kondisi tidak sehat. Negara demikian bersifat patologis, fondasinya negatif karena didirikan di atas motif-motif yang tidak sehat.
State of nature Rousseau juga tidak meyakinkan. Kalau state of nature adalah state of peace, lalu buat apa mendirikan negara? Bukankah dalam kondisi damai demikian negara tidak dibutuhkan? (Reflexionen, 7683, AA XIX, hal. 489).
Solusi Kant adalah memahami state of nature sebagai “die wildegesetzlose Freiheit” (kebebasan liar tanpa hukum), (Metaphysik der Sitten, A 169). Orang-orang dalam state of nature versi Kant itu adalah orang-orang bebas, liar dan tanpa hukum. (Sebenarnya tidak tepat juga mengatakan ada kebebasan dalam state of nature ini, sebab tidak ada hukum yang menjamin kebebasan.
Maksudnya, dalam state of nature yang tanpa hukum itu tidak mungkin ada kebebasan karena setiap orang merasa terancam oleh orang lain yang juga sama-sama bebas; setiap orang bisa setiap saat diganggu dan mengganggu).
Ketiadaan hukum dalam state of nature itu menempatkan orang orang dalam keadaan bebas dan liar. Tidak ada stabilitas, tidak ada keamanan dan kenyamanan. Juga tidak ada hak milik, karena tidak ada institusi (hukum) yang menjamin kepemilikan. Dalam state of nature, kepemilikian bersifat sementara. Sesuatu menjadi milik saya sejauh itu ada dalam jangkauan tangan saya. Bila saya meninggalkannya, saya kehilangan hak atas obyek tersebut.
Dalam state of nature, tindakan setiap orang juga tidak dapat diprediksi, karena tidak ada lembaga yang memaksa orang untuk bertindak sesuai dengan keinginan semua orang lainnya. (Dalam kondisi berhukum, legal situation, tindakan setiap orang umumnya dapat diprediksi: kalau misalnya seseorang memukul atau mengambil barang saya tanpa izin, dia akan dihukum, karena itu orang tidak akan mau sembarangan memukul atau mengambil barang saya).
Ketiadaan hukum itu membuat kehidupan dalam state of nature itu tidak tertanggungkan. Sangat berat. Dalam state of nature tidak mungkin juga melakukan pengembangan diri atau pengembangan peradaban, karena apapun yang kita lakukan selalu potensial diganggu oleh orang lain.
Kant menekankan, tentu saja state of nature adalah sebuah fiksi. Itu bukan sebuah deskripsi empiris antropologis mengenai manusia yang hidup dalam komunitas pra-politis. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh tahu seperti apa state of nature itu. Lalu mengapa konsep ini diperlukan dalam penjelasan mengenai asal-usul negara? Apa gunanya?
Konsep state of nature menurut Kant diperlukan sebagai landasan filosofis bagi pendirian negara. State of nature adalah sebuah konstruksi intelektual, yang bebas dari asumsi-asumsi antropologis. Konsep ini semata-mata hasil ide akal budi praktis untuk memberikan argumen mengenai legitimasi negara.
Melalui konsep apriori state of nature ini kita dapat melihat bagaimana hubungan kita dengan negara (yang dibentuk dengan bertolak dari state of nature). Bagaimana legitimasi negara? Apakah kita dapat menolak negara atau keluar dari negara? Lalu atas dasar apa negara dapat memaksa warganya untuk taat kepada negara? Apa tujuan negara? Dan bagaimana negara harus mencapai tujuan itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut terkandung dalam konsep state of nature.
Kontrak Sosial
Karena hidup dalam state of nature sedemikian menyulitkan maka dengan akal budi praktisnya, orang-orang bebas, liar dan tanpa hukum itu kemudian sepakat melakukan kontrak sosial untuk membentuk negara. Individu-individu bebas dan liar itu menyatukan kehendak mereka untuk membentuk sebuah pemerintahan yang bertugas menjamin kepastian hukum di antara mereka. Kepastian hukum ini sangat penting agar kehidupan mereka tidak senantiasa terancam, agar kebebasan mereka terjamin, dan agar mereka dapat mengejar kepentingan-kepentingan subyektif mereka tanpa mengganggu kepentingan semua orang lainnya.
Kontrak sosial itulah akhir state of nature. Melalui penyatuan kehendak umum dalam bentuk kontrak sosial itu berdirilah sebuah lembaga bernama negara. Penegakan hukum yang dilakukan negara memungkinkan kebebasan dan hak milik. Hukum memungkinkan individu-individu bebas itu mengejar maksud-maksud subyektif mereka masing-masing tanpa saling bertabrakan. Hukum berarti "pembatasan kebebasan satu sama lain" (wechselseitige Freiheitseinschrankungen).
Hukum melakukan pembatasan kebebasan demi kebebasan; tanpa hukum tidak ada kebebasan. Kebebasan dalam rangka hukum adalah kebebasan yang terjamin dan stabil, bukan lagi kebebasan liar. Hukum di sini dapat dipahami sebagai koordinat kebebasan yang menjamin kebebasan semua orang secara setara dan semaksimal mungkin.
Di sini kita melihat bahwa keluar dari state of nature melalui kontrak sosial untuk membentuk negara bukanlah tindakan arbitrer. Juga bukan sebuah tindakan sukarela atau voluntaristik. Kontrak sosial itu adalah sebuah keharusan berdasarkan akal budi praktis. Kalau orang-orang dalam state of nature itu tidak melakukan kontrak sosial untuk membentuk negara, mereka akan hidup dalam situasi yang sangat sulit, dan tidak memungkinkan mereka untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam hidup mereka.
"Karena engkau, secara tidak terhindarkan, harus berdampingan dengan semua orang lain, maka kau harus meninggalkan state of nature itu dan bersama-sama dengan semua lainnya memasuki relasi yang diatur oleh hukum, yakni kondisi keadilan distributif. Itulah negara," tulis Kant.
Kant mengatakan bahwa kontrak sosial ini juga fiktif. Itu bukan sebuah kontrak empiris. Sama dengan konsep state of nature, kontrak sosial itu hanyalah sebuah dokumen akal budi untuk menjelaskan legitimasi negara.
Yang dimaksud dengan legitimasi negara di sini adalah bahwa negara itu dibentuk berdasarkan keniscayaan rasio praktis. Seperti dijelaskan di atas, tanpa kontrak sosial yang mengakhiri state of nature, maka kehidupan akan senantiasa terancam. Dengan kata lain, keluar dari state of nature menjadi keniscayaan, bukan paksaan atau sukarela, demi keberlangsungan hidup.
Karena itu Kant mengatakan, tidak perlu manusia bermoral tinggi untuk menyadari pentingnya negara. Tidak perlu juga manusia cerdas untuk bersedia terlibat dalam kontrak sosial. Asal seseorang peduli pada hidupnya, dan ingin mempertahankan hidupnya, maka ia pasti akan ikut dalam kontrak sosial, sebab kalau tidak hidupnya akan senantiasa terancam dalam state of nature. Bahkan Kant mengatakan setan-setan jahat pun akan memilih ikut kontrak sosial untuk mendirikan negara yang diatur oleh hukum kalau mereka peduli kepada kelangsungan hidupnya sebagai setan.
Demikianlah Kant mengkonstruksi argumen untuk memperlihatkan legitimasi negara. Negara dibentuk atas dasar keniscayaan rasio praktis, demi keberlangsungan hidup individu-individu. Atas dasar itulah negara berhak memaksa warganya untuk taat pada negara/hukum. Sebab kalau tidak mereka akan kembali jatuh ke dalam situasi state of nature.
Jadi ketaaatan pada hukum tidak membutuhkan kualitas moral yang tinggi. Cukup kalau orang peduli kepada hidupnya sendiri, dan menyadari pentingnya negara, maka ia harusnya taat pada hukum. Sebab kalau ia tidak taat pada negara/hukum, ia akan jatuh kembali ke dalam situasi state of nature yang menyulitkan.
Jadi kontrak sosial itu adalah keniscayaan akal budi praktis, bukan kontraktualisme bebas, voluntaristik atau arbitrer. Apa masalahnya kalau kontrak itu suka rela? Masalahnya adalah kita tidak perlu harus taat kepada negara. Kalau negara/kontrak sosial itu dibentuk secara sukarela, maka ketaatan terhadap negara juga sukarela.
Bahkan negara tidak punya hak untuk memaksa warganya agar taat kepada hukum. Negara juga akan memiliki legitimasi yang lemah, sebab kita bisa saja sesewaktu menarik dukungan kepada negara. Secara logis teoretis, negara demikian dapat dengan mudah dibubarkan.
Karena itu Kant mengatakan, sekalipun secara empiris kontrak sosial itu tidak pernah ada, juga sekalipun kita tidak pernah sungguh-sungguh melakukannya, kita harus beranggapan seakan-akan kita pernah melakukannya. Dengan demikian kita dapat melihat kewajiban kita terhadap negara. Juga menyadari legitimasi negara. Legitimasi negara menjadi kuat sebab itulah satu-satunya lembaga yang menjamin bahwa kita tidak merosot kembali ke state of nature.
Kontrak sosial dan hukum: Rechtsstaat
Otoritas negara dengan demikian bersumber dari kontrak sosial itu, dari orang-orang yang menyatukan kehendak mereka menjadi kehendak umum dalam bentuk institusi negara. Kontrak itu kemudian dikonkretkan atau dipositifkan secara eksklusif dalam term-term hukum. Kontrak sosial itu bukan prinsip pembentukan negara, melainkan prinsip tata negara. Di sini hukum berfungsi untuk menjamin kebebasan setiap orang semaksimal mungkin.
Dengan demikian, Kant mendefinisikan segara sebagai "sekelompok manusia yang hidupnya diatur oleh sebuah hukum yang sama."
Karena negara dibentuk oleh orang-orang bebas dalam state of nature maka kesamaan dan kebebasan itu juga harus tercermin dalam hukum. Semua orang harus sama di hadapan hukum. Tidak boleh ada privilese atau hak prerogatif, karena pada awalnya (dalam state of nature), semua orang sama. Tugas hukum adalah memungkinkan dan menjamin kehidupan bersama yang bebas.
Dengan demikian, Kant mendefinisikan hukum sebagai: „norma yang memungkinkan kehendak yang satu dengan kehendak yang lain, berdasarkan sebuah hukum kebebasan yang bersifat umum, dapat disatukan.“ (Rechts, Kant Werke 7, A 33).
Negara demikian disebut Kant dengan negara hukum (Rechtsstaat). Istilah ini harus dipahami dengan tepat. Negara hukum berarti: bahwa 1. alasan pendirian negara adalah demi kepastian hukum (yang absen dalam state of nature). 2. Tujuan negara juga adalah demi kepastian hukum, agar hak-hak dan kebebasan warga negara terjamin. Negara tidak memiliki tujuan lain di luar kepastian hukum. 3. Cara kerja negara juga adalah dengan menjamin kepastian hukum. Itulah yang dimaksud Rechtsstaat.
Jadi Rechststaat tidak sekadar berarti bahwa kalau ada masalah maka harus ditangani melalui hukum yang berlaku, sebagaimana dengan murahan sering diucapkan oleh pejabat kita.
Apa implikasi dari negara hukum demikian? Pertama, negara tidak berhak mencampuri urusan privat masing-masing warga. Di atas telah kita lihat bahwa kontrak sosial dilakukan agar masing-masing individu memiliki kebebasan yang dijamin oleh hukum. Intervensi atas wilayah privat berarti ancaman atas kebebasan.
Setiap warga negara harus dapat menikmati kebebasan sebesar mungkin dalam kerangka hukum. Mereka juga harus dapat mengejar kepentingan subyektif masing-masing semaksimal mungkin tanpa harus bentrok dengan usaha serupa dari semua individu lainnya. Inilah yang harus dijamin oleh hukum. Liberalisme Kant didasarkan atas gagasan ini.
Kedua, negara tidak boleh atau tidak perlu mengusahakan kebahagiaan bagi warga negara. Negara tidak bertujuan untuk membahagiakan warganya, misalnya dengan memaksa mereka beragama, membuat mereka menjadi manusia yang baik dan lain-lain. Mengapa? Sebab kebahagiaan masing-masing orang berbeda-beda. Ada yang bahagia dengan bertualang, ada yang bahagia belajar filsafat, ada yang bahagia rajin beragama, lalu kebahagiaan mana yang harus diusahakan negara?
Kant mengatakan negara yang hendak mengusahakan kebahagiaan bagi warganya bisa jatuh menjadi negara diktator karena akan memaksakan satu kebahagiaan tertentu bagi semua orang. Sesuai dengan konsep Rechtsstaat, negara yang baik bukanlah negara yang mengusahakan kebahagiaan bagi warganya, melainkan negara di mana setiap warga negara merasa bahwa hak-haknya dijamin dan dilindungi hingga semaksimal mungkin.
Keutamaan negara terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan di antara hak atau kepentingan individu-individu. Itulah yang disebut keadilan dalam rangka hukum.
Sesuai dengan konsep asal-usul pendirian negara mulai dari state of nature itu, Kant mengatakan bahwa bentuk negara yang paling baik dan tepat adalah republik. Dengan istilah ini dimaksudkan bahwa negara adalah masalah (res) publik (public). Pertama-tama, setelah negara hasil kontrak sosial dibentuk, semua adalah urusan publik. Negara adalah urusan publik, sebab negara tidak lain dari penyatuan kehendak umum.
Untuk menjamin dan menetapkan situasi berhukum (Rechtszustand, legal situation) dalam level negara, Kant kemudian mengusulkan perlunya pembagian kekuasaan berdasarkan arena kompetensi dalam trias politica: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ketiga lembaga ini memiliki substansi yang sama dan mandat yang sama (sebagai manifestasi kehendak umum), hanya tugasnya saja yang berbeda. Eksekutif hanya dapat bertindak berdasarkan otoritas kehendak umum yang dihasilkan oleh legislatif, sementara judikatif harus membatasi dirinya untuk menafsirkan hukum yang telah ditetapkan oleh legislatif.
Tatanan Hukum Internasional
Kant mengatakan, sebagaimana individu-individu dalam state of nature, negara-negara pun demikian. Tanpa ada lembaga internasional yang menata negara-negara pada lingkup global, maka negara-negara itu akan berada dalam kondisi state of nature. Perang dan konflik akan rentan terjadi.
Oleh karena itulah, dengan hanya bermodalkan refleksi rasio praktis, Kant mengatakan bahwa suatu saat negara-negara pada lingkup global akan (sebagaimana individu-individu di state of nature) membentuk sebuah lembaga supra-bangsa-bangsa yang akan menjamin atau membantu agar mereka tidak terlibat konflik satu sama lain. Kant mengatakan ini dalam tulisannya Zum ewigen Frieden tahun 1795.
Dan 150 tahun kemudian perkiraan rasional Kant itu terbukti melalui pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945. Banyak yang mengatakan bahwa gagasan Kant tentang lembaga supra bangsa-bangsa ini sedikit banyak mempengaruhi ide pembentukan PBB.
Saya menduga frase "Perdamaian Abadi“ dalam teks Pembukaan UUD 1945 kita itu juga secara langsung atau tidak langsung mengacu ke gagasan Kant ini. Di sini kita perlu ingat bahwa para founding fathers kita dulu cukup akrab dengan teks-teks filsafat Barat umumnya.
Gagasan Kant sangat kosmopolitan. Paradigmanya adalah dunia global yang mencakup seluruh umat manusia. Pada awalnya, katanya, dunia ini tidak dimiliki oleh seorang pun. Tak ada seorang pun yang pantas merasa lebih berhak atas dunia ini dibandingkan orang lain. Dunia ini adalah milik bersama. Distingsi diskriminatif antara pribumi dan non pribumi itu tidak dapat diterima.
Kant juga mengatakan bahwa dunia ini terbatas. Dan kita tidak bisa menjamin bahwa tidak ada konflik di sebuah tempat atau negara tertentu di dunia ini. Konflik pasti ada. Dalam kondisi demikian, manusia punya hak untuk mengungsi ke tempat atau negara yang aman. Dan karena itu, setiap negara wajib, atas nama kemanusiaan, untuk menerima pengungsi hingga durasi waktu tertentu. Kant menyebut itu “hukum hospitalitas”.
Sebagaimana kita tahu, hak untuk mengungsi itu sekarang paling banyak digunakan di Jerman. Jerman adalah satu-satunya negara yang membuka pintu untuk para pengungsi.
“Karena permukaan bumi ini bukannya tidak terbatas, maka konsep hak sebuah negara dan hak bangsa-bangsa secara tidak terhindarkan membawa kita kepada ide mengenai hak negara bangsa-bangsa (ius gentium) atau hak kosmopolitan (ius cosmopoliticum)," tulis Kant.
Pengaruh Kant dalam bidang hukum tata negara
Pemikiran Kant memiliki pengaruh luas dan mendalam dalam seluruh bidang filsafat. Dalam bidang filsafat hukum dan politik, pengaruh itu dapat dilihat dalam beberapa poin berikut.
1. Konsep negara hukum (Rechtsstaat): kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, untuk menjamin hak dan kebebasan setiap warga negara hingga semaksimal mungkin. Dasar, tujuan dan cara kerja negara adalah demi kepastian hukum. Negara adalah forma, dan bukan materi, hukum.
2. Epistemologi hukum: hukum harus dijangkarkan pada moralitas dan akal budi (rasio). Pembentukan hukum dilakukan melalui proses deliberasi publik yang melibatkan pertimbangan rasional dan moral. Dengan kata lain, Kant menolak positivisme hukum. Tidak cukup bahwa hukum itu berlaku dan ditetapkan secara legal; ia juga harus rasional dan bermoral.
3. Moralitas hukum: negara harus bertindak berdasarkan prinsip yang dapat berlaku universal untuk menjamin keadilan. Manusia tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai alat. Gagasan ini menjadi dasar bagi konstitusi sejumlah negara. Misalnya UUD Jerman yang mengatakan: Die Würde des Menschen ist unantastbar --- hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat.
4. Hukum dan ruang publik: deliberasi publik menjadi syarat bagi legitimasi hukum. Hukum yang dihasilkan tanpa deliberasi publik adalah hukum yang tidak legitim. RUU yang tidak dibuka kepada publik adalah tidak sah dan tidak legitim. Dan menurut Kant, hukum seperti ini boleh tidak ditaati oleh masyarakat karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya.
Masyarakat hanya perlu menaati hukum yang dihasilkannya sendiri, yakni melalui proses deliberasi dan legislatif (sebagai wakil rakyat) di parlemen. Itulah otonomi dalam hukum. Habermas dan Rawls kemudian banyak melanjutkan pemikiran ini.
5. Gagasan Kant juga sekarang banyak dikembangkan dalam tema seputar kosmopolitanisme. Tema-tema seperti hukum internasional, global republicanism, global governance, global distributive justice, trans-national democracy, banyak mengacu ke pemikiran Kant.
Fitzerald Kennedy Sitorus, pengajar filsafat
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/19Y9erf1G5/
0 komentar:
Posting Komentar