![]() |
Immanuel Kant (1724-1804), filsuf Jerman |
Dalam kuliah umum di Fakultas Hukum (FH) UI, Depok, Senin,
15 September 2025 lalu, saya menyampaikan materi mengenai hukum dan negara
dalam perspektif filsafat transendental Kant. Tulisan ini adalah uraian dari
materi yang saya sampaikan dalam bentuk PPT pada kuliah tersebut. Inti dari
materi itu adalah bahwa hukum dan politik hanya dapat dipahami dalam kerangka
moral. Negara dan hukum yang tidak dijangkarkan dalam moralitas sama sekali
tidak rasional.
Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab dalam kuliah umum
ini antara lain: apa dasar, bentuk, dan tujuan negara? Mengapa kita membutuhkan
negara? Bagaimana hubungan negara, hukum, dan moral? Apa yang dimaksud dengan
negara hukum (Rechtsstaat)? Mengapa kita wajib taat kepada hukum?
Mungkinkah kita "keluar“ dari negara? Lalu, apakah negara perlu
mengusahakan kebahagiaan bagi warganya? Apa tujuan negara? Dan bagaimana tujuan
itu harus dicapai?
Berbeda dari para filsuf lainnya, misalnya Hobbes atau
Machiavelli, yang melihat politik dan hukum tidak berkaitan dengan moral, Kant
memperlihatkan dengan argumen yang cukup meyakinkan bahwa hukum dan politik
harus dipahami sebagai fenomena moral. Karena itu Kant membahas filsafat
politik dan filsafat hukumnya dalam kerangka filsafat moral (Metaphysik der
Sitten).
Keseluruhan gagasan ini dirumuskan Kant dalam sebuah sistem
filsafat yang sangat arsitektonik. Titik tolaknya adalah rasio (Vernunft,
reason). Mengapa rasio? Karena itulah yang paling mendasar pada manusia.
Ontologi manusia terletak pada rasionya. Tanpa rasio, manusia bukan manusia.
Kant mengatakan, rasio dapat dibagi dua berdasarkan
penggunaannya, yakni rasio teoretis dan rasio praktis.
Rasio teoretis adalah rasio yang digunakan berdasarkan
hukum-hukum keniscayaan pikiran untuk menghasilkan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan (Wissenschaft) yang pasti dan obyektif. Hasilnya adalah
filsafat ilmu pengetahuan sebagaimana diuraikan Kant dalam buku Kritik Akal
Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft).
Dalam buku ini Kant menjelaskan bagaimana pikiran kita
bekerja secara obyektif dan universal untuk menghasilkan pengetahuan. Yang mau
diperlihatkan Kant dalam buku ini adalah prinsip-prinsip pertama (metafisika)
yang memungkinkan pengetahuan mengenai obyek-obyek empiris. Dan itu tidak lain
kategori-kategori transendental apriori yang merupakan syarat niscaya dan
obyektif yang memproses data-data indrawi yang terberi kepada subyek penahu (knowing
subject).
Sementara rasio praktis adalah rasio yang digunakan
berdasarkan kebebasan pikiran untuk menghasilkan prinsip-prinsip normatif
tindakan yang berdampak dalam kenyataan. Hasilnya adalah filsafat moral,
sebagaimana diuraikan Kant dalam bukunya Kritik Akal Budi Praktis (Kritik
der praktischen Vernunft). Dalam buku ini kita melihat
prinsip-prinsip pertama yang mengatur moralitas, atau metafisika moral (Metaphysik
der Sitten). Ke dalam filsafat moral termasuk filsafat politik dan filsafat
hukum.
Bagaimana prinsip-prinsip normatif untuk pengetahuan dan
moralitas itu harus dihasilkan? Kant mengatakan segala sesuatu yang normatif
tidak mungkin dihasilkan atau diturunkan dari pengalaman empiris. Pengalaman
empiris selalu kontingen dan partikular maka tidak mungkin norma yang bersifat
absolut dan universal dihasilkan dari pengalaman. David Hume telah
memperingatkan bahwa ought (Das Sollen) tidak mungkin dihasilkan
dari is (Das Sein)
Karena itu tidak ada jalan lain kecuali melalui metafisika.
Yang dimaksud dengan metafisika di sini adalah prinsip-prinsip normatif yang
dihasilkan dari akal budi atau rasio itu sendiri. Jadi prinsip-prinsip normatif
pengetahuan dan moralitas itu harus diturunkan dari akal budi praktis secara
apriori agar dapat berlaku obyektif dan universal. Pendekatan metodis semacam
ini diterapkan oleh Hans Kelsen dalam pure theory of law (teori hukum
murni, reine Rechtslehre) untuk menghasilkan norma dasar (Grundnorm)
hukum yang bebas nilai dan kepentingan.
Metafisika Moral
Metafisika moral adalah elemen rasio praktis. Kant kemudian
membagi metafisika moral menjadi dua bagian, yakni filsafat moral atau etika (Ethik)
dan filsafat hukum (Rechtsphilosophie). Apa yang mendasari pembagian
ini? Dasarnya adalah kebebasan (freedom), karena kebebasan, sebagaimana
disinggung di atas, adalah prinsip dasar akal budi praktis.
Kant mengatakan, etika mengandaikan kebebasan. Kebebasan
adalah pengandaian bagi etika. Kalau manusia tidak bebas, maka
perintah-perintah moral yang mewajibkan kita menaati hukum moral (misalnya: kau
harus jujur) tidak masuk. Justru karena kita bebas maka etika menjadi masuk
akal.
Kebebasan termanifestasikan dalam dua wilayah: wilayah
internal batin (dalam diri), dan wilayah eksternal, yakni di luar diri. Wilayah
manifestasi kebebasan internal menyangkut etika, sementara wilayah manifestasi
kebebasan eksternal menyangkut hukum dan politik. Dalam etika, kita bebas mau
jujur atau tidak, kita bebas mau menaati perintah-perintah moral atau tidak.
Etika sepenuhnya urusan internal batin kita.
Karena itu Kant mengatakan, apakah seseorang itu bermoral
atau tidak, hanya Tuhan dan orang itu sendiri yang tahu. Kita tidak pernah tahu
apakah seseorang itu bermoral atau tidak, karena hal itu tergantung motivasi di
dalam diri seseorang yang melatar-belakangi tindakannya. Tindakan berbohong
menjadi mungkin justru karena kita bebas dalam diri kita mau jujur atau tidak.
Sementara hukum menyangkut penggunaan kebebasan pada bidang
eksternal, di luar diri, dalam relasi dengan manusia lain. Politik termasuk di
sini, karena dalam politik manusia berelasi dengan manusia lainnya. Baik
politik maupun hukum sama-sama berkaitan dengan penggunaan kebebasan dalam
wilayah eksternal. Kebebasan inilah yang mau ditata dalam politik dan hukum.
Dengan struktur argumen demikian maka Kant memasukkan hukum
dan politik ke dalam filsafat moral. Moralitas adalah kerangka di mana hukum
dan politik bekerja. Dengan kata lain, diskursus mengenai hukum dan politik
harus dilakukan dalam filsafat moral. Dalam bukunya Zum ewigen Frieden (Perdamaian
Abadi) Kant menegaskan bahwa “politik yang benar tidak pernah dapat
melangkah tanpa menunjukkan penghargaan terhadap moralitas.”
Demikianlah Kant meletakkan landasan moral bagi filsafat
politik dan filsafat hukum. Argumentasinya murni rasional. Itu yang dimaksud di
atas dengan cara kerja akal budi praktis. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap
filsafat politik dan filsafat hukum.
Pertama, Kant menolak semua pendekatan yang bersifat
empiris atas negara. Maksudnya justifikasi atau legitimasi negara tidak dapat
dirumuskan berdasarkan argumen-argumen empiris, atau politis, melainkan harus
argumen moral. Kedua, Kant
menolak pemisahan antara negara, politik, dan hukum dari moralitas. Ketiga,
selain dalam kerangka filsafat moral, negara juga harus dipahami dalam kerangka
hukum. Karena hukum dan politik termasuk ke dalam filsafat moral.
State of Nature sebagai titik tolak pembentukan negara
Sama seperti filsuf lainnya, seperti Hobbes dan Rousseau,
Kant juga bertolak dari state of nature untuk menjelaskan asal usul
negara. Tetapi konsep state of nature Kant berbeda dari konsep Hobbes
dan Rousseau. Bagi Hobbes, state of nature adalah omnis bellum contra
omnes (perang semua melawan semua). Dalam kondisi perang itu, orang-orang
yang hidup dalam kondisi alami, pra-negara, itu kemudian sepakat untuk
membentuk sebuah pemerintahan yang dapat menjamin keamanan di antara mereka,
agar mereka tidak saling membinasakan. Di sini motif pembentukan negara adalah
ketakutan akan kematian.
Rousseau lain lagi. Bagi Rousseau, sang romantik itu, state
of nature adalah state of peace. Ini dapat dibayangkan seperti
orang-orang primitif yang tinggal di hutan dalam keadaan damai. Semua obyek
milik bersama, dan semua dapat menikmati dengan bebas sesuai dengan
kebutuhannya. Tapi ketika masyarakat berkembang muncullah kepentingan diri,
kecemburuan, kebanggaan dan sifat-sifat negatif lainnya. Ini mendorong
kebutuhan untuk mendirikan negara guna menjamin hak milik dan kebebasan di
antara orang-orang dalam state of nature tersebut.
Kant menolak konsepsi state of nature Hobbes dan
Rousseau. Ada dua kritik kepada Hobbes. Pertama, kalau state of
nature adalah state of war, perang semua melawan semua, lalu
bagaimana negara terbentuk? Siapa yang lebih dulu meletakkan senjata untuk
mengajak berunding mendirikan negara? Bukankah dalam kondisi perang semua
melawan semua, meletakkan senjata justru berisiko dibunuh oleh orang lain?
Kedua, negara yang didasarkan atas ketakutan akan kematian menempatkan negara
dalam kondisi tidak sehat. Negara demikian bersifat patologis, fondasinya
negatif karena didirikan di atas motif-motif yang tidak sehat.
State of nature Rousseau juga tidak meyakinkan. Kalau
state of nature adalah state of peace, lalu buat apa mendirikan
negara? Bukankah dalam kondisi damai demikian negara tidak dibutuhkan? (Reflexionen,
7683, AA XIX, hal. 489).
Solusi Kant adalah memahami state of nature sebagai “die
wildegesetzlose Freiheit” (kebebasan liar tanpa hukum), (Metaphysik der
Sitten, A 169). Orang-orang dalam state of nature versi Kant itu
adalah orang-orang bebas, liar dan tanpa hukum. (Sebenarnya tidak tepat juga
mengatakan ada kebebasan dalam state of nature ini, sebab tidak ada
hukum yang menjamin kebebasan.
Maksudnya, dalam state of nature yang tanpa hukum itu
tidak mungkin ada kebebasan karena setiap orang merasa terancam oleh orang lain
yang juga sama-sama bebas; setiap orang bisa setiap saat diganggu dan
mengganggu.
Ketiadaan hukum dalam state of nature itu menempatkan
orang-orang dalam keadaan bebas dan liar. Tidak ada stabilitas, tidak ada
keamanan dan kenyamanan. Juga tidak ada hak milik, karena tidak ada institusi
(hukum) yang menjamin kepemilikan. Dalam state of nature, kepemilikian
bersifat sementara. Sesuatu menjadi milik saya sejauh itu ada dalam jangkauan
tangan saya. Bila saya meninggalkannya, saya kehilangan hak atas obyek
tersebut.
Dalam state of nature, tindakan setiap orang juga
tidak dapat diprediksi, karena tidak ada lembaga yang memaksa orang untuk
bertindak sesuai dengan keinginan semua orang lainnya. (Dalam kondisi berhukum,
legal situation, tindakan setiap orang umumnya dapat diprediksi: kalau
misalnya seseorang memukul atau mengambil barang saya tanpa izin, dia akan
dihukum, karena itu orang tidak akan mau sembarangan memukul atau mengambil
barang saya).
Ketiadaan hukum itu membuat kehidupan dalam state of
nature itu tidak tertanggungkan. Sangat berat. Dalam state of nature
tidak mungkin juga melakukan pengembangan diri atau pengembangan peradaban,
karena apapun yang kita lakukan selalu potensial diganggu oleh orang lain.
Kant menekankan, tentu saja state of nature adalah sebuah
fiksi. Itu bukan sebuah deskripsi empiris antropologis mengenai manusia yang
hidup dalam komunitas pra-politis. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh tahu
seperti apa state of nature itu. Lalu mengapa konsep ini diperlukan
dalam penjelasan mengenai asal-usul negara? Apa gunanya?
Konsep state of nature menurut Kant diperlukan
sebagai landasan filosofis bagi pendirian negara. State of nature adalah
sebuah konstruksi intelektual, yang bebas dari asumsi-asumsi antropologis.
Konsep ini semata-mata hasil ide akal budi praktis untuk memberikan argumen
mengenai legitimasi negara.
Melalui konsep apriori state of nature ini kita dapat
melihat bagaimana hubungan kita dengan negara (yang dibentuk dengan bertolak
dari state of nature). Bagaimana legitimasi negara? Apakah kita dapat
menolak negara atau keluar dari negara? Lalu atas dasar apa negara dapat
memaksa warganya untuk taat kepada negara? Apa tujuan negara? Dan bagaimana
negara harus mencapai tujuan itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
terkandung dalam konsep state of nature.
Kontrak Sosial
Karena hidup dalam state of nature sedemikian
menyulitkan maka dengan akal budi praktisnya, orang-orang bebas, liar dan tanpa
hukum itu kemudian sepakat melakukan kontrak sosial untuk membentuk negara.
Individu-individu bebas dan liar itu menyatukan kehendak mereka untuk membentuk
sebuah pemerintahan yang bertugas menjamin kepastian hukum di antara mereka.
Kepastian hukum ini sangat penting agar kehidupan mereka tidak senantiasa
terancam, agar kebebasan mereka terjamin, dan agar mereka dapat mengejar
kepentingan-kepentingan subyektif mereka tanpa mengganggu kepentingan semua
orang lainnya.
Kontrak sosial itulah akhir state of nature. Melalui
penyatuan kehendak umum dalam bentuk kontrak sosial itu berdirilah sebuah
lembaga bernama negara. Penegakan hukum yang dilakukan negara memungkinkan
kebebasan dan hak milik. Hukum memungkinkan individu-individu bebas itu
mengejar maksud-maksud subyektif mereka masing-masing tanpa saling bertabrakan.
Hukum berarti "pembatasan kebebasan satu sama lain" (wechselseitige
Freiheitseinschrankungen).
Hukum melakukan pembatasan kebebasan demi kebebasan; tanpa
hukum tidak ada kebebasan. Kebebasan dalam rangka hukum adalah kebebasan yang
terjamin dan stabil, bukan lagi kebebasan liar. Hukum di sini dapat dipahami
sebagai koordinat kebebasan yang menjamin kebebasan semua orang secara setara
dan semaksimal mungkin.
Di sini kita melihat bahwa keluar dari state of nature
melalui kontrak sosial untuk membentuk negara bukanlah tindakan arbitrer. Juga
bukan sebuah tindakan sukarela atau voluntaristik. Kontrak sosial itu adalah
sebuah keharusan berdasarkan akal budi praktis. Kalau orang-orang dalam state
of nature itu tidak melakukan kontrak sosial untuk membentuk negara, mereka
akan hidup dalam situasi yang sangat sulit, dan tidak memungkinkan mereka untuk
mencapai sesuatu yang lebih baik dalam hidup mereka.
"Karena engkau, secara tidak terhindarkan, harus
berdampingan dengan semua orang lain, maka kau harus meninggalkan state of
nature itu dan bersama-sama dengan semua lainnya memasuki relasi yang
diatur oleh hukum, yakni kondisi keadilan distributif. Itulah negara,"
tulis Kant.
Kant mengatakan bahwa kontrak sosial ini juga fiktif. Itu
bukan sebuah kontrak empiris. Sama dengan konsep state of nature,
kontrak sosial itu hanyalah sebuah dokumen akal budi untuk menjelaskan
legitimasi negara.
Yang dimaksud dengan legitimasi negara di sini adalah bahwa
negara itu dibentuk berdasarkan keniscayaan rasio praktis. Seperti dijelaskan
di atas, tanpa kontrak sosial yang mengakhiri state of nature, maka
kehidupan akan senantiasa terancam. Dengan kata lain, keluar dari state of
nature menjadi keniscayaan, bukan paksaan atau sukarela, demi
keberlangsungan hidup.
Karena itu Kant mengatakan, tidak perlu manusia bermoral
tinggi untuk menyadari pentingnya negara. Tidak perlu juga manusia cerdas untuk
bersedia terlibat dalam kontrak sosial. Asal seseorang peduli pada hidupnya,
dan ingin mempertahankan hidupnya, maka ia pasti akan ikut dalam kontrak sosial,
sebab kalau tidak hidupnya akan senantiasa terancam dalam state of nature.
Bahkan Kant mengatakan setan-setan jahat pun akan memilih ikut kontrak sosial
untuk mendirikan negara yang diatur oleh hukum kalau mereka peduli kepada
kelangsungan hidupnya sebagai setan.
Demikianlah Kant mengkonstruksi argumen untuk memperlihatkan
legitimasi negara. Negara dibentuk atas dasar keniscayaan rasio praktis, demi
keberlangsungan hidup individu-individu. Atas dasar itulah negara berhak
memaksa warganya untuk taat pada negara/hukum. Sebab kalau tidak mereka akan
kembali jatuh ke dalam situasi state of nature.
Jadi, ketaaatan pada hukum tidak membutuhkan kualitas moral
yang tinggi. Cukup kalau orang peduli kepada hidupnya sendiri, dan menyadari
pentingnya negara, maka ia harusnya taat pada hukum. Sebab kalau ia tidak taat
pada negara/hukum, ia akan jatuh kembali ke dalam situasi state of
nature yang menyulitkan.
Jadi, kontrak sosial itu adalah keniscayaan akal budi
praktis, bukan kontraktualisme bebas, voluntaristik atau arbitrer. Apa
masalahnya kalau kontrak itu suka rela? Masalahnya adalah kita tidak perlu
harus taat kepada negara. Kalau negara/kontrak sosial itu dibentuk secara
sukarela, maka ketaatan terhadap negara juga sukarela.
Bahkan negara tidak punya hak untuk memaksa warganya agar
taat kepada hukum. Negara juga akan memiliki legitimasi yang lemah, sebab kita
bisa saja sesewaktu menarik dukungan kepada negara. Secara logis teoretis,
negara demikian dapat dengan mudah dibubarkan.
Karena itu Kant mengatakan, sekalipun secara empiris kontrak
sosial itu tidak pernah ada, juga sekalipun kita tidak pernah sungguh-sungguh
melakukannya, kita harus beranggapan seakan-akan kita pernah melakukannya.
Dengan demikian kita dapat melihat kewajiban kita terhadap negara. Juga
menyadari legitimasi negara. Legitimasi negara menjadi kuat sebab itulah
satu-satunya lembaga yang menjamin bahwa kita tidak merosot kembali ke state
of nature.
Kontrak sosial dan hukum: Rechtsstaat
Otoritas negara dengan demikian bersumber dari kontrak
sosial itu, dari orang-orang yang menyatukan kehendak mereka menjadi kehendak
umum dalam bentuk institusi negara. Kontrak itu kemudian dikonkretkan atau
dipositifkan secara eksklusif dalam term-term hukum. Kontrak sosial itu bukan
prinsip pembentukan negara, melainkan prinsip tata negara. Di sini hukum
berfungsi untuk menjamin kebebasan setiap orang semaksimal mungkin.
Dengan demikian, Kant mendefinisikan negara sebagai
"sekelompok manusia yang hidupnya diatur oleh sebuah hukum yang
sama."
Karena negara dibentuk oleh orang-orang bebas dalam state
of nature, maka kesamaan dan kebebasan itu juga harus tercermin dalam
hukum. Semua orang harus sama di hadapan hukum. Tidak boleh ada privilese atau
hak prerogatif, karena pada awalnya (dalam state of nature), semua orang
sama. Tugas hukum adalah memungkinkan dan menjamin kehidupan bersama yang
bebas.
Dengan demikian, Kant mendefinisikan hukum sebagai: “norma
yang memungkinkan kehendak yang satu dengan kehendak yang lain, berdasarkan
sebuah hukum kebebasan yang bersifat umum, dapat disatukan.” (Rechts, Kant
Werke 7, A 33).
Negara demikian disebut Kant dengan negara hukum (Rechtsstaat).
Istilah ini harus dipahami dengan tepat. Negara hukum berarti: bahwa 1. alasan
pendirian negara adalah demi kepastian hukum (yang absen dalam state of
nature). 2. Tujuan negara juga adalah demi kepastian hukum, agar hak-hak
dan kebebasan warga negara terjamin. Negara tidak memiliki tujuan lain di luar
kepastian hukum. 3. Cara kerja negara juga adalah dengan menjamin kepastian
hukum. Itulah yang dimaksud Rechtsstaat.
Jadi, Rechststaat tidak sekadar berarti bahwa kalau
ada masalah maka harus ditangani melalui hukum yang berlaku, sebagaimana dengan
murahan sering diucapkan oleh pejabat kita.
Apa implikasi dari negara hukum demikian? Pertama, negara
tidak berhak mencampuri urusan privat masing-masing warga. Di atas telah kita
lihat bahwa kontrak sosial dilakukan agar masing-masing individu memiliki
kebebasan yang dijamin oleh hukum. Intervensi atas wilayah privat berarti
ancaman atas kebebasan.
Setiap warga negara harus dapat menikmati kebebasan sebesar
mungkin dalam kerangka hukum. Mereka juga harus dapat mengejar kepentingan
subyektif masing-masing semaksimal mungkin tanpa harus bentrok dengan usaha
serupa dari semua individu lainnya. Inilah yang harus dijamin oleh hukum.
Liberalisme Kant didasarkan atas gagasan ini.
Kedua, negara tidak boleh atau tidak perlu
mengusahakan kebahagiaan bagi warga negara. Negara tidak bertujuan untuk
membahagiakan warganya, misalnya dengan memaksa mereka beragama, membuat mereka
menjadi manusia yang baik dan lain-lain. Mengapa? Sebab kebahagiaan
masing-masing orang berbeda-beda. Ada yang bahagia dengan bertualang, ada yang
bahagia belajar filsafat, ada yang bahagia rajin beragama, lalu kebahagiaan
mana yang harus diusahakan negara?
Kant mengatakan negara yang hendak mengusahakan kebahagiaan
bagi warganya bisa jatuh menjadi negara diktator karena akan memaksakan satu
kebahagiaan tertentu bagi semua orang. Sesuai dengan konsep Rechtsstaat,
negara yang baik bukanlah negara yang mengusahakan kebahagiaan bagi warganya,
melainkan negara di mana setiap warga negara merasa bahwa hak-haknya dijamin
dan dilindungi hingga semaksimal mungkin.
Keutamaan negara terletak pada kemampuannya menjaga
keseimbangan di antara hak atau kepentingan individu-individu. Itulah yang
disebut keadilan dalam rangka hukum.
Sesuai dengan konsep asal-usul pendirian negara mulai dari state
of nature itu, Kant mengatakan bahwa bentuk negara yang paling baik dan
tepat adalah republik. Dengan istilah ini dimaksudkan bahwa negara adalah
masalah (res) publik (public). Pertama-tama, setelah negara hasil
kontrak sosial dibentuk, semua adalah urusan publik. Negara adalah urusan
publik, sebab negara tidak lain dari penyatuan kehendak umum.
Untuk menjamin dan menetapkan situasi berhukum (Rechtszustand,
legal situation) dalam level negara, Kant kemudian mengusulkan perlunya
pembagian kekuasaan berdasarkan arena kompetensi dalam trias politica:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ketiga lembaga ini memiliki substansi yang sama dan mandat
yang sama (sebagai manifestasi kehendak umum), hanya tugasnya saja yang
berbeda. Eksekutif hanya dapat bertindak berdasarkan otoritas kehendak umum
yang dihasilkan oleh legislatif, sementara judikatif harus membatasi dirinya
untuk menafsirkan hukum yang telah ditetapkan oleh legislatif.
Tatanan Hukum Internasional
Kant mengatakan, sebagaimana individu-individu dalam state
of nature, negara-negara pun demikian. Tanpa ada lembaga internasional yang
menata negara-negara pada lingkup global, maka negara-negara itu akan berada
dalam kondisi state of nature. Perang dan konflik akan rentan terjadi.
Oleh karena itulah, dengan hanya bermodalkan refleksi rasio
praktis, Kant mengatakan bahwa suatu saat negara-negara pada lingkup global
akan (sebagaimana individu-individu di state of nature) membentuk sebuah
lembaga supra-bangsa-bangsa yang akan menjamin atau membantu agar mereka tidak
terlibat konflik satu sama lain. Kant mengatakan ini dalam tulisannya Zum
ewigen Frieden tahun 1795.
Dan 150 tahun kemudian perkiraan rasional Kant itu terbukti
melalui pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945. Banyak yang mengatakan
bahwa gagasan Kant tentang lembaga supra bangsa-bangsa ini sedikit banyak
mempengaruhi ide pembentukan PBB.
Saya menduga frase "Perdamaian Abadi” dalam teks
Pembukaan UUD 1945 kita itu juga secara langsung atau tidak langsung mengacu ke
gagasan Kant ini. Di sini kita perlu ingat bahwa para founding fathers kita
dulu cukup akrab dengan teks-teks filsafat Barat umumnya.
Gagasan Kant sangat kosmopolitan. Paradigmanya adalah dunia
global yang mencakup seluruh umat manusia. Pada awalnya, katanya, dunia ini
tidak dimiliki oleh seorang pun. Tak ada seorang pun yang pantas merasa lebih
berhak atas dunia ini dibandingkan orang lain. Dunia ini adalah milik bersama.
Distingsi diskriminatif antara pribumi dan non pribumi itu tidak dapat
diterima.
Kant juga mengatakan bahwa dunia ini terbatas. Dan kita
tidak bisa menjamin bahwa tidak ada konflik di sebuah tempat atau negara
tertentu di dunia ini. Konflik pasti ada. Dalam kondisi demikian, manusia punya
hak untuk mengungsi ke tempat atau negara yang aman. Dan karena itu, setiap
negara wajib, atas nama kemanusiaan, untuk menerima pengungsi hingga durasi
waktu tertentu. Kant menyebut itu “hukum hospitalitas”.
Sebagaimana kita tahu, hak untuk mengungsi itu sekarang
paling banyak digunakan di Jerman. Jerman adalah satu-satunya negara yang
membuka pintu untuk para pengungsi.
“Karena permukaan bumi ini bukannya tidak terbatas, maka
konsep hak sebuah negara dan hak bangsa-bangsa secara tidak terhindarkan
membawa kita kepada ide mengenai hak negara bangsa-bangsa (ius gentium)
atau hak kosmopolitan (ius cosmopoliticum)," tulis Kant.
Pengaruh Kant dalam bidang hukum tata negara
Pemikiran Kant memiliki pengaruh luas dan mendalam dalam
seluruh bidang filsafat. Dalam bidang filsafat hukum dan politik, pengaruh itu
dapat dilihat dalam beberapa poin berikut.
1. Konsep negara hukum (Rechtsstaat): kekuasaan
negara dibatasi oleh hukum, untuk menjamin hak dan kebebasan setiap warga
negara hingga semaksimal mungkin. Dasar, tujuan, dan cara kerja negara adalah
demi kepastian hukum. Negara adalah forma, dan bukan materi, hukum.
2. Epistemologi hukum: hukum harus dijangkarkan pada
moralitas dan akal budi (rasio). Pembentukan hukum dilakukan melalui proses
deliberasi publik yang melibatkan pertimbangan rasional dan moral. Dengan kata
lain, Kant menolak positivisme hukum. Tidak cukup bahwa hukum itu berlaku dan
ditetapkan secara legal; ia juga harus rasional dan bermoral.
3. Moralitas hukum: negara harus bertindak berdasarkan
prinsip yang dapat berlaku universal untuk menjamin keadilan. Manusia tidak
pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai alat. Gagasan ini menjadi dasar
bagi konstitusi sejumlah negara. Misalnya UUD Jerman yang mengatakan: Die
Würde des Menschen ist unantastbar—hak asasi manusia tidak dapat diganggu
gugat.
4. Hukum dan ruang publik: deliberasi publik menjadi syarat
bagi legitimasi hukum. Hukum yang dihasilkan tanpa deliberasi publik adalah
hukum yang tidak legitim. RUU yang tidak dibuka kepada publik adalah tidak sah
dan tidak legitim. Dan menurut Kant, hukum seperti ini boleh tidak ditaati oleh
masyarakat karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya. Masyarakat
hanya perlu menaati hukum yang dihasilkannya sendiri, yakni melalui proses
deliberasi dan legislatif (sebagai wakil rakyat) di parlemen. Itulah otonomi
dalam hukum. Habermas dan Rawls kemudian banyak melanjutkan pemikiran ini.
5. Gagasan Kant juga sekarang banyak dikembangkan dalam tema
seputar kosmopolitanisme. Tema-tema seperti hukum internasional, global
republicanism, global governance, global distributive justice, trans-national
democracy, banyak mengacu ke pemikiran Kant.
Fitzerald Kennedy Sitorus, pengajar filsafat
Universitas Pelita Harapan
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/19Y9erf1G5/
0 komentar:
Posting Komentar