Oleh: Anggito Abimanyu
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan mengenai keadaan ekonomi Indonesia tahun 1998. Jika pertanyaan ini diajukan pada bulan Juni tahun lalu, maka tidak akan sulit untuk menjawab proyeksi perekonomian Indonesia tahun 1998. Proyeksi para ekonom mengenai ekonomi Indonesia tahun 1998 yang dilakukan sebelum bulan Juli hampir semuanya salah, meski belum tentu proyeksi itu tepat.
Telah lebih dari tujuh bulan perekonomian kita mengalami gejolak. Krisis yang dipicu oleh penurunan nilai rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan bulan Juli lalu dan selanjutnya diikuti berbagai tindakan pengamanan pemerintah seperti kebijakan uang ketat beberapa waktu kemudian, pada kenyataannya tidak sanggup memulihkan krisis. Kebijakan baru di bidang perbankan yang berdampak menaikkan suku bunga deposito bank-bank masih ditunggu, apakah cukup efektif untuk memperkuat rupiah dan menekan inflasi.
Inflasi dalam dua bulan pertama tahun 1998 telah mencapai 20℅. Kenaikan inflasi kelompok makanan menunjukkan kenaikan yang tertinggi yang pernah dicapai Indonesia sejak Pelita I, yakni lebih dari 15℅ per tahun. Sektor industri manufaktur sejak September mulai menunjukkan kecenderungan yang menurun.
Pada sektor properti, gejolak moneter dirasakan sangat menyiksa kegiatan usaha. Pada pembangunan perumahan, para pengembang menerima pukulan telak. Sedikitnya ada dua persoalan yang mereka hadapi.
Pertama, kenaikan harga bahan bangunan. Kedua, kesulitan pendanaan. Gejolak yang terjadi juga merembet pada industri tekstil dan garmen. Tiga puluh sembilan dari 112 industri tekstil dan garmen di Bandung, yang merupakan salah satu sentra industri tekstil kita, telah menghentikan produksinya (Kompas, 3/11). Akibatnya, paling sedikit 40 ribu karyawan mereka terancam pemutusan hubungan kerja.
Sementara itu, diberitakan pula ratusan industri tekstil dan garmen lainnya terpaksa mengurangi sheft kerja. Total PHK menurut data terakhir dari Depnaker telah mencapai lebih dari 100 ribu karyawan, belum lagi jika ditambah dengan mereka yang dikategorikan setengah menganggur atau kerja paroh waktu.
Industri otomotif yang sebagian besar masih bergantung pada komponen impor juga mengalami guncangan. Kenaikan harga suku cadang kendaraan angkutan umum sebesar 30-50 persen dan harga cicilan kendaraan yang juga naik membuat pengusaha angkutan kota terancam gulung tikar. Selain otomotif, industri pers yang juga masih mengandalkan beberapa bahan baku (kertas, tinta) impor turut terpangaruh.
Krisis makin diperparah oleh beragam bencana alam yang menimpa Indonesia. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan yang tidak kunjung padam turut memberi andil terganggunya sistem produksi maupun distribusi barang dan jasa. Kekeringan membuat produksi tanaman pangan terhambat. Akibatnya, banyak panen yang gagal. Jangankan mencari air untuk kebutuhan tanaman pangan, untuk kebutuhan pangan minum sehari-hari saja di berbagai daerah sudah sulit.
Kebakaran hutan yang melahap ribuan hektar areal hutan produktif di berbagai daerah telah membuat jalur distribusi barang dan jasa terganggu. Dalam persoalan kebakaran hutan ini, beberapa negara tetangga bahkan sempat memprotes lantaran negeri mereka ikut terkena polusi asap.
Kedua bencana tadi, kekeringan dan kebakaran hutan, turut mendongkrak harga berbagai barang kebutuhan. Harga bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, lauk-pauk, telah naik sejak beberapa bulan lalu. Demikian pula kebutuhan sandang, perumahan, dan aneka kebutuhan lain. Banyak pihak menduga, inflasi tahun ini akan mencapai dua digit. Pertumbuhan ekonomi jauh di bawah pertumbuhan tahun lalu. Sementara itu, angka pendapatan per kapita dalam dolar AS bisa mengembalikan posisi kita ke negara sedang berkembang, setara dengan India, Cina, dan negara-negara Afrika.
Sumber: Anggito Abimanyu, "Beberapa Pokok Pikiran Agenda Reformasi Ekonomi", dalam Tim KAHMI JAYA (ed), Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan, 1998, h. 232-233. Judul tulisan di atas dari saya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar