alt/text gambar

Senin, 06 Oktober 2025

Topik Pilihan:

ANAKRONISME PESANTREN

Taufiqurrahman

Oleh: Taufiqurrahman


Sebagian besar pesantren tradisional itu dibangun dan dikembangkan dengan sistem swadaya dan sukarela. Alasannya karena ia ingin jadi penyedia layanan pendidikan yang murah, sehingga mudah diakses oleh masyarakat kelas bawah. Bahkan tak sulit kita menjumpai guru-guru yang mengajar di lingkungan pesantren itu tak dibayar sama sekali atau dibayar tapi jauh dari layak.

Dalam konteks seperti itulah, alam pikir tradisional mendapatkan tempat. Beberapa konsep tradisional dijadikan norma penggerak sistem: pengabdian, keikhlasan, dan barokah. Seseorang mau mengajar meski tidak dibayar karena alasan pengabdian dan berharap berokah. Santri mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik kiai/nyai juga karena berharap barokah. Dalam alam pikir modern, ini sama sekali tidak masuk akal. Tapi ia berguna untuk membuat pesantren tradisional tetap bertahan hingga sekarang.

Itu semua tentu ada plus-minusnya. Plusnya jelas: pesantren tradisional bisa tetap menjadi penyedia layanan pendidikan yang murah. Minusnya: pesantren tradisional menjadi entitas anakronistik di tengah zaman yang menuntut keterbukaan dan profesionalisme dalam praktik pendidikan. Efek dari anakronisme ini banyak: mulai dari penyelewengan kekuasaan berbalut agama seperti kasus kekerasan seksual oleh seorang gus kepada santri-santrinya di Jombang hingga gedung gagal konstruksi yang menghilangkan puluhan jiwa di Sidoarjo.

Efek-efek tersebut memang bukan sesuatu yang pasti muncul. Namun, desain organisasional pesantren tradisional membuka ruang lebar bagi itu semua. Kiai yang memiliki otoritas penuh, lengkap dengan mistifikasinya melalui konsep barokah, juga latar psikososial santri yang mayoritas memang dari kelas menengah ke bawah, menjadikan pesantren tradisional mudah tergelincir pada penyelewengan pendidikan. Hanya kiai dengan keutamaan moral tinggi yang dapat menjaga pesantren tradisional tetap berada pada jalur pendidikan yang wajar.

Namun, anakronisme semacam itu tidak akan serta-merta hilang ditelan zaman. Ia bahkan mungkin sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang tersisih zaman perubahan. Dengan kata lain, seanakronistik apa pun pesantren tradisional, ia akan tetap dibutuhkan oleh sebagian kalangan selama pemerintah gagal memberikan layanan pendidikan yang terjangkau oleh semua orang.

Sebagai orang yang lahir, besar, dan pernah belajar di lingkungan pesantren tradisional, serta mendapatkan privilese sebagai orang pesantren, saya berharap pesantren tidak perlu menutup diri dari kritik dan tidak terus-menerus melakukan penyangkalan saat dikritik oleh publik. Sebagaimana jamu, kritik itu memang pahit tapi menyehatkan.

Sumber: Fb

0 komentar:

Posting Komentar