alt/text gambar

Selasa, 07 Oktober 2025

Topik Pilihan: , ,

LAPORAN BANK DUNIA

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Saya belum membaca laporan Bank Dunia yang baru beredar. Laporan tersebut diberitakan oleh semua surat kabar, tanggal 19 Juni 1997. Dari pemberitaan di surat-surat kabar, digambarkan bahwa kinerja dan fundamental ekonomi Indonesia sangat bagus, tetapi mempunyai banyak risiko. 

Bagusnya adalah bahwa ekonomi masih akan tumbuh dengan rata-rata 7,5 persen sampai tahun 2005, inflasi keseluruhan menurun, kepercayaan luar negeri tetap tinggi, investasi asing tetap meningkat. Di tahun 2005, dengan pendapatan per kapita sebesar 2.300 dolar AS, Indonesia akan termasuk ke dalam 20 ekonomi terkuat di dunia. Sektor pertanian akan makin berkembang. 

Risikonya ialah akar inflasi yang tetap tinggi, perkembangan yang tidak menguntungkan di negara-negara tetangga, perekonomian Indonesia makin tergantung pada arus modal yang sifatnya rawan, pihak luar negeri akan makin menyoroti praktek-praktek yang dinilai negatif, pasar uang yang dinilai makin berisiko bagi aset dalam denominasi rupiah, utang luar negeri swasta yang membengkak, besarnya kredit yang terserap dalam properti yang dinilai rawan, memburuknya defisit transaksi berjalan yang dinilai berisiko mengundang terjadinya pelarian modal ke luar negeri, transparansi tender-tender pemerintah yang tidak ada atau minimal, lemahnya infrastruktur, hilangnya momentum deregulasi, kebijaksanaan mobil nasional yang memberi kesan negatif di dunia internasional, kondisi perbankan yang belum memenuhi standar internasional, bahkan cenderung buruk. Banyak betul segi-segi yang kurang bagus itu. 

Apakah yang bagus-bagus hanya akan terwujud kalau semua risiko dapat dihindari, ataukah yang bagus-bagus tetap berlaku, walaupun yang jelek-jelek tidak dapar diatasi? Artinya, kalau ditimbang, yang bagus akan lebih berat daripada semua faktor yang jelek, atau sebaliknya? Bagaimana Bank Dunia? 

Dikatakan pahwa kredit yang kecemplung ke dalam properti sangat besar dan rawan. Maka bunga untuk kredit properti perlu dinaikkan. Lho, uangnya yang puluhan trilyun itu sudah kecemplung. Kalau bunga dinaikkan, apakah tidak segera menjadi macet kreditnya? Mestinya dahulu dong berteriaknya. Saya sudah berteriak sangat jauh sebelamnya dalami satu artikel khusus di rubrik ini pada tanggal 3 Oktober 1994, tetapi dianggap angin lalu saja. 

***

Kalau dikatakan di tahun 2005 Indonesia akan termasuk dalam 20 ekonomi terbesar di dunia, yang menjadi ukurannya apa? PDB (Produk Domestik Bruto) secara keseluruhan ataukah PDB per kapita? Lester Thurow berpendapat, kalau yang diukur kemampuan militer dan peran politik global, yang menentukan adalah PDB keseluruhan. Tetapi kalau relevansinya dalam percaturan ekonomi global yang dinilai, yang menentukan adalah PDB per kapita. Lalu dia mengatakan bahwa PDB total India lebih besar daripada PDB total Belanda. Maka India secara militer dan politik lebih penting daripada Belanda. Tetapi karena PDB per kapita Belanda lebih besar dari India, dalam percaturan ekonomi global, Belanda lebih diperhitungkan. Bank Dunia bagaimana pendiriannya dalam memeringkat Indonesia? 

Dikatakan bahwa kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia masih sangat besar, sehingga arus masuknya modal asing masih akan deras. Tetapi ketergantungan ini juga sekaligus dianggap rawan. Bagaimana sebenarnya maksud Bank Dunia? Harus disyukuri ataukah harus dirisaukan? Bank Dunia menganggap bahwa defisit transaksi berjalan Indonesia akan membengkak terus dan ini rawan. Tentunya Bank Dunia juga mengetahui, bahwa utang Pemerintah Indonesia yang membengkak terus, ditambah dengan utang swasta Indonesia yang membengkak terus membuat saving investment gap menganga lebih lebar, yang per definisi juga memperlebar defisit transaksi berjalan. Toh dianjurkan supaya CGI (Consultative Group on Indonesia) tidak mengurangi bantuannya. Bukankah ini kontradiktif? Jadi pemerintahnya boleh utang terus, tetapi utang luar negeri swasta harus diwaspadai dan direm? Mengapa? Apakah Bank Dunia sudah berorientasi pada etatisme? 

***

Mari sekarang kita berbicara soal lain yang sangat penting, dan yang saya sangat sependapat dengan Bank Dunia. Yaitu bahwa yang paling merisaukan dari begitu banyaknya faktor negatif adalah defisit transaksi berjalan yang membengkak. Buat saya, ini adalah pencuatan dari akumulasi segala permasalahan yang kita hadapi. Jadi semua yang bagus-bagus itu dicapai dengan biaya defisit transaksi berjalan yang demikian mengkhawatirkannya. Maka cara mengatasinya juga sangat sulit, kompleks dan dilematis. 

Lester Thurow mengatakan kalau yang kita tangani adalah segi tabungan versus investasi, maka tabungan harus kita perbesar. Ini berarti konsumsi menurun, kegairahan ekonomi menurun, investasi menurun, PDB menurun, sehingga tabungan dengan sendirinya juga menurun. Karena dalam keadaan seperti ini pembelian barang-barang buatan dalam negeri juga akan menurun, penurunan pendapatan yang dibutuhkan untuk menurunkan impor sampai sama besarnya dengan ekspor menjadi sangat besar. Kalau pendapatan menurun, tabungan juga akan menurun, tetapi karena investasi akan turun lebih besar karena turunnya produksi, tabungan dan investasi akan mencapai keseimbangan, tetapi pada tingkat penurunan produksi yang sangat besar. Jadi resesi besar-besaran. 

Kalau segi impor versus ekspor yang kita tangani, maka kita berlakukan restriksi impor dengan cara memberlakukan kuota impor, Dengan berkurangnya barang impor, barang yang dibeli berkurang, sehingga tabungan meningkat. Kemungkinan lain adalah uang yang tadinya dipakai untuk membeli barang impor, sekarang dipakai untuk membeli barang buatan dalam negeri, walaupun lebih mahal. Permintaan terhadap barang buatan dalam negeri meningkat, ekonomi bergairah, investasi meningkat, pendapatan meningkat, tabungan meningkat. Kalau meningkatnya tabungan lebih besar dari meningkatnya investasi, ini akan menyeimbangkan tabungan dengan investasi, sehingga defisit transaksi berjalan musnah. 

Jadi jelas bahwa Lester Thurow pro kebijakan yang menghambat impor, yang isolasionis. Cocokkah dengan "visi” Indonesia yang mendukung APEC? 

Muhammad Chatib Basri berpendapat bahwa caranya adalah apa yang dinamakan expenditure switching dan expenditure reducing (Kompas, 25 Maret 1997). Pendapatnya didukung oleh Paul Krugman, yang di dalam bukunya berjudul The Age of Diminishing Expectation mengatakan hal yang sama. Krugman menjabarkannya sebagai berikut. 

Pengeluaran harus sekaligus dialihkan (switched) dari pembelian barang impor kepada barang dalam negeri. Caranya adalah melalui devaluasi atau peningkatan bea masuk dan atau pemberlakuan kuota impor. Tetapi pengeluaran juga harus sekaligus dikurangi (reduced), karena kalau tidak, pengalihan pengeluaran akan menimbulkan inflasi. Mengapa? 

Caranya menurunkan nilai dolar ialah menambah jumlah uang beredar. Jelas bahwa ini berakibat inflasi. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap kebijakan yang ingin menurunkan nilai dolar dengan cara lain kecuali mengurangi kebutuhan akan mata uang lainnya akan menunjang inflasi. Inflasi akan menurunkan daya saing ekspor, sehingga pada akhirnya ekspor tidak tertolong. Maka expenditure switching hanya akan membuahkan hasil inflasi tanpa memperbaiki daya saing ekspor. 

Sekarang tentang yang mengurangi impor dengan proteksionisme. Impor memang akan berkurang. Tetapi kalau tabungannya tidak dinaikkan, impor yang menurun berarti suplai dolar kepada dunia yang menurun pula, sehingga dolar menjadi kuat. Dolar yang menguat akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Dus memperbesar defisit transaksi berjalan. Maka bagaimanapun, expenditure switching harus dibarengi dengan expenditure reducing dengan cara memperbesar tabungan, atau memperkecil konsumsi. Ini berarti harus resesif. Mungkin ada cara-cara lain lagi dengan untung ruginya. Yang mampu saya tangkap hanyalah pendapat Muhammad Chatib Basri yang didukung oleh Paul Krugman, dan pendapat Lester Thurow tersebut. 

Bagaimana visi jangka panjang para eksekutif Pemerintah Indonesia? Dan apa anjuran Bank Dunia? Sama sekali tidak jelas. Yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah meringankan defisit transaksi berjalan dengan penjualan BUMN. Di AS juga terjadi penjualan aset nasional kepada pihak asing. Tetapi sekarang Presiden Clinton mempunyai visi dan kesepakatan dengan Partai Republik untuk menyeimbangkan anggaran negara sebagai cara untuk menyeimbangkan defisit transaksi berjalan. Bagaimana Indonesia? Indonesia mengatakan anggaran negaranya tidak defisit! 

Kwik kian Gie, ekonom senior

Kompas, 23 Juni 1997


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 399-404.


0 komentar:

Posting Komentar