![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Walaupun banyak berita yang bernada positif dalam rangka mengatasi krisis ekonomi, kalau kita telaah lebih dalam, belum ada terobosan substansial yang berarti.
Dalam pidato pertanggungjawabannya kepada MPR tanggal 1 Maret 1998, Presiden Soeharto minta kepada Dana Moneter Internasional dan para kepala negara sahabat untuk memberikan unsur "plus” pada paket reformasi IMF.
Yang diminta amat jelas, yaitu konsep bagaimana menurunkan kurs dolar dan menstabilkannya pada angka wajar. Sambil minta konsep stabilisasi rupiah, Presiden Soeharto sendiri sedang mempertimbangkan Currency Board System (CBS) dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian. Beberapa hari lalu, Direktur IMF Michel Camdessus mengatakan bahwa Indonesia telah memutuskan tidak akan melaksanakan CBS. Pernyataan ini tidak dibantah.
Lantas konsep apa yang akan dilakukan untuk menurunkan dan menstabilkan rupiah? Gubernur BI menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sangat drastis yaitu menjadi 45 persen. Maksudnya untuk menurunkan kurs dolar dan menurunkan inflasi. Tidak dijelaskan bagaimana sebab akibat dan skenarionya. Maka masyarakat hanya dapat menebak-nebak sendiri dengan menggunakan akal sehatnya.
Kalau bunga tinggi, maka pemilik uang akan memasukkan uangnya ke dalam bank sebagai deposito. Dengan demikian, rupiah yang akan dipakai untuk membeli dolar berkurang, sehingga permintaan terhadap dolar juga berkurang. Karena permintaan terhadap dolar berkurang, harga dolar akan turun. Benarkah? Benar. Harga dolar memang turun sedikit. Apakah cara ini akan langgeng, dan benar-benar akan menurunkan kurs dolar sampai pada angka yang wajar, yaitu Rp 5.000 per dolar? Rasanya tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya.
Yang jelas, menaikkan suku bunga untuk menahan kenaikan kurs dolar telah dilakukan oleh Gubernur BI yang terdahulu, J. Soedradjad Djiwandono. Ketika rentang intervensi dibubarkan, dan rupiah diambangkan total, kurs melonjak drastis. Gubernur BI menaikkan bunga SBI menjadi 30 persen, dan kurs dolar memang turun sedikit. Tetapi dalam waktu singkat, Gubernur BI ditekan oleh para pengusaha, sehingga Presiden memerintahkan menurunkannya. Bunga SBI diturunkan, dan kurs dolar melonjak-lonjak lagi. Sekarang bunga SBI dinaikkan lebih tinggi lagi dari yang terdahulu, yaitu menjadi 45 persen. Ada suara protes dari pengusaha, tetapi tidak senyaring dahulu.
Beberapa pertanyaan muncul. Pertama, mengapa sekarang BI tidak peduli lagi, apakah dunia usaha akan mati atau tidak dengan tingkat suku bunga yang demikian tingginya? Jawabnya mungkin adalah karena hanya untuk sementara. Dapat kita lihat bahwa semakin lama jangka waktu SBI, semakin rendah tingkat suku bunganya. Harapannya tentu adalah bahwa dengan demikian, kurs dolar turun terus, walaupun tingkat suku bunga juga menurun terus, sambil dicapainya momentum, bahwa semua orang percaya kurs dolar yang ideal akan tercapai dan bertahan di sana. Apa benar? Bukankah dengan menurunnya suku bunga, dan menurunnya kurs dolar, rupiah akan ditubrukkan lagi ke dalam dolar dengan dalih: "Kapan lagi kalau tidak sekarang?” Coba adakan jajak pendapat dengan para pemilik uang. Rata-rata akan mengatakan bahwa mereka akan menabrak dolar begitu kursnya mencapai Rp 7.000 per dolar.
Pertanyaan lain adalah apa benar bahwa kenaikan bunga SBI akan menurunkan inflasi? Jalan pikirannya, kalau uang masyarakat ditarik ke dalam bank, maka perputaran uang atau velocity of money akan berkurang. Ini hanya benar kalau bank tidak meneruskan uang yang diperoleh dari masyarakat kepada sektor produktif. Mungkin yang diharapkan memang tidak untuk disalurkan pada sektor produktif, melainkan dibelikan SBI. Jadi bank disuruh merugi, karena bank menarik uang masyarakat dengan bunga yang lebih tinggi dari bunga SBI yang 45 persen setahun. Bank mana yang mau merugi seperti ini? Bank yang sudah tidak likuid lagi, takut akan dimasukkan ke dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Cepat atau lambat, bank yang merugi akan mati atau masuk BPPN.
Tidak menjadi masalah, karena kerugian bank akan menggerogoti uang nasabah. Nasabah yang uangnya digerogoti dijamin keutuhannya oleh pemerintah. Lantas apakah pemerintahnya akan tahan menjamin kredit macet yang sudah demikian besarnya dan dengan kebijaksanaan kenaikan suku bunga SBI akan bertambah besar lagi? Kita tidak tahu. Mestinya DPR sekarang juga minta, bagaimana realisasi APBN 1997/1999 dan apakah APBN 1998/1999 masih bisa bertahan?
Jadi "plus”-nya IMF Plus ternyata hanya sekadar menaikkan suku bunga SBI yang bukan pemikiran baru, sehingga penuh dengan tanda tanya dan dilema seperti yang tergambarkan di atas.
Berita "baik" lain adalah sudah dicapainya kata sepakat dalam menyelesaikan utang luar negeri oleh swasta. Apa itu isinya? Sama sekali tidak jelas kecuali dikatakan seperti Model Meksiko. Dikatakan juga bahwa pembayaran utang yang sudah jatuh tempo ditangguhkan sampai empat tahun.
Beberapa pertanyaan muncul lagi. Yang pertama, apakah empat tahun dari sekarang perusahaan-perusahaan yang mempunyai utang luar negeri banyak itu masih ada kalau kurs dolar tidak segera turun? Bukankah bagian terbesar dari mereka sudah akan bangkrut?
Pertanyaan berikutnya, apakah kreditur asing mempunyai pilihan lain kecuali menerimanya? Bukankah alternatifnya hanya akan kehilangan uangnya sama sekali kalau tidak mau menerima? Di pihak debitur, apa beratnya berjanji akan membayar empat tahun dari sekarang? Bukankah perusahaan sekarang sudah sekarat?
Apakah benar bahwa kalau sudah dicapai kata sepakat tentang penyelesaian utang luar negeri swasta, kredit-kredit baru sekarang juga akan mengalir masuk lagi ke Indonesia? Rasanya tidak. Kalau tidak, bagaimana kelangsungan kehidupan ekonomi Indonesia, mengingat bahwa sejak tahun 1966, Indonesia hanya dapat hidup dari masuknya modal asing, karena transaksi berjalannya selalu defisit? Bisa, yaitu dengan proses pemiskinan dari seluruh rakyat, kecuali yang elit.
***
Apa yang diartikan dengan Model Meksiko? Yang kita ketahui, krisis Meksiko diselesaikan oleh satu negara saja, yaitu Amerika Serikat. Dalam penyelesaian utang luar negeri, caranya dengan menyita perusahaan-perusahaan yang berutang sebagai pembayaran utangnya. Maka banyak sekali perusahan di Meksiko menjadi milik para pengusaha AS. Jarak antara Meksiko dan Los Angeles begitu dekatnya, sehingga kalaupun bahan baku diperlukan dari AS, diangkut dengan truk, memanfaatkan buruh Meksiko yang murah, dan barang jadinya dijual di AS dengan harga yang mengandung laba yang memadai. Dalam aspek ekonomi bisnisnya, Meksiko praktis adalah negara bagian AS.
Kalaupun rakyat Indonesia mau menerima bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia menjadi milik para pengusaha asing, nilai perusahaannya (dalam rupiah) jauh lebih kecil dari jumlah utangnya (yang dalam dolar), selama kurs setinggi seperti sekarang ini. Lantas, pabrik itu dijadikan apa oleh pemilik asing? Dioperasikan tidak bisa, karena ternyata sangat tergantung dari bahan baku impor.
Dengan kurs dolar yang demikian tingginya, tidak akan mungkin cocok kalkulasinya, sehingga barang jadinya tidak akan laku dijual di Indonesia. Diekspor tidak akan menguntungkan, karena biaya transportasi dari bahan baku dan barang jadinya terlampau tinggi.
Jadi, bagaimana penyelesaiannya? Saya hanya melihat satu, yaitu diberlakukannya lagi kurs tetap, atau mengambang terkendali, seperti yang pernah kita alami selama 25 tahun. Untuk menurunkan kurs dan menstabilkannya perlu gebrakan dalam bentuk melayani setiap permintaan dolar dengan cadangan devisa. Jadi menantang masyarakat untuk me-rush pemerintah. Pemerintah menunjukkan bahwa untuk itu perlu memiliki cadangan devisa yang cukup. Nyatanya tidak punya. Maka harus diupayakan sampai bisa pinjam devisa dalam jumlah yang mencukupi. Bukankah itu naif dan wishful thinking? Saya yakin sekali sangat realistis, kalau ada faktor tertentu yang dipenuhi. Apa faktor itu? Tanyakanlah kepada para kepala negara kaya.
Supaya tidak menimbulkan salah paham, paket reformasi IMF harus tetap dijalankan secepatnya. Kalau tidak, utang baru yang dipakai untuk memperkuat dan stabilisasi nilai rupiah pada tingkat yang wajar hanya akan merupakan bom waktu.
Kwik kian Gie, ekonom senior
Kompas, 30 Maret 1998
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 115-120.
0 komentar:
Posting Komentar