alt/text gambar

Kamis, 02 Oktober 2025

Topik Pilihan:

MAKNA PERINGATAN KESAKTIAN PANCASILA

 


Oleh: Asvi Warman Adam

Setiap tahun bangsa Indonesia dua kali melakukan peringatan yang berhubungan dengan Pancasila, yaitu Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Peringatan Lahi Pancasila diadakan di Istana Negara tahun 1958 dan 1959 dengan kursus mengenai Pancasila yang diberikan Bung Karno. Diikuti sekitar 3.000 orang, di dalam dan di luar Istana Negara. Dalam peringatan hari lahir tahun 1964, Bung Karno menegaskan Pancasila itu untuk selamanya. 

Pada masa Orde Baru, Kopkamtib melarang peringatan itu sejak 1 Juni 1970. Mei 2016, PBNU mengusulkan 1 Juni, sebagai lahir. Presiden Joko Widodo menyetujui dan mengeluarkan Keppres No. 24/2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Dalam keppres disebutkan rumusan Pancasila yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara. 

Sebelumnya, 18 Agustus telah ditetapkan menjadi Hari Konstitusi pada 2008. 

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila diadakan sejak 1966. Pada 17 September 1966, Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat (AD) mengeluarkan Surat Keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde AD. 

Pada 24 September 1966, Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Tanggal 29 September 1966, Soeharto selaku Menteri Utama Bidang Pertahanan Keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata. Peringatan itu tak wajib di Lubang Buaya, bisa di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena tujuh jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana. 

Peringatan Hari Lahir Pancasila dan Hari Kesaktian Pancasila sangat penting dan saling melengkapi. Pada 1 Juni kita berbicara lahirnya Pancasila yang juga berperan mempersatukan bangsa. Pancasila abadi karena ancaman perpecahan lumrah terjadi kapan saja pada bangsa yang demikian majemuk. Apabila dasar negara diibaratkan fondasi rumah, dinding dan atapnya sudah dibangun, perlu dijaga dari bahaya lain, yaitu angin badai dan topan atau tanah longsor. 

Kesaktian Pancasila

Bahaya itu adalah pemberontakan, kudeta, makar yang terjadi dari masa ke masa sejak 1945. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu bermakna kita mampu bertahan dan tetap eksis dari rongrongan berbagai upaya untuk meruntuhkan negara, dari luar maupun dalam. 

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila seyogyanya tak hanya menyangkut kudeta Gerakan 30 September 1965, tetapi juga pemberontakan/kudeta yang terjadi sejak Indonesia merdeka, seperti Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta, RMS, OPM, dan GAM. Pemberontakan itu berideologi kiri dan kanan serta kedaerahan. PRRI/Permesta dibantu negara asing, yakni AS. Ada beberapa tokoh yang pernah berjuang untuk kemerdekaan RI, seperti Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daoed Beureueh di Aceh, dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, tetapi mereka kemudian melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia yang sah. Tetap saja perlawanan itu juga pemberontakan dan kudeta, tak dapat dibenarkan. Semua itu merusak persatuan bangsa. 

Selama ini peristiwa pemberontakan/kudeta sudah diajarkan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Selain Museum di kompleks Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, juga terdapat Museum Waspada Purba Wisesa yang diresmikan Jenderal Benny Murdani (untuk mengingatkan bahaya golongan ekstrem kanan). 

Namun, belakangan ada upaya membelokkan sejarah dengan mengatakan pemberontakan yang terjadi di daerah itu bukan pemberontakan, melainkan hanya pergolakan daerah. Dikatakan, PRRI bukan gerakan separatis karena masih menggunakan istilah Indonesia. 

Meski peristiwa di atas perlu diwaspadai agar tak terulang di negara ini, kita tak perlu memberikan stigma kepada anak-cucu pelaku. Yang diharapkan, kita terhindar dari rongrongan pada negara yang berdasarkan Pancasila ini dari dalam dan luar negeri, keutuhan dan persatuan bangsa dapat terpelihara. Kita harus melihat peristiwa sejarah nasional secara komprehensif, tak parsial, dan bermanfaat untuk keutuhan bangsa secara keseluruhan. 

Asvi Warman Adam, Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik LIPI

(Kompas, 2 Oktober 2020)

0 komentar:

Posting Komentar