![]() |
| Kolom Gatra |
Oleh: Afan Gaffar
Kasus plagiarisme muncul lagi dalam lingkungan perguruan tinggi kita semenjak masalah tesis seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, muncul ke permukaan. Kasus itu menjadi berita besar karena menyangkut UGM, universitas tertua dengan segala reputasi yang dimilikinya. Bahkan Majalah GATRA membuat berita yang sebenarnya keliru dengan judul berita yang cukup sensasional. Dan kebetulan saya sendiri, sebagai pembimbing, terlibat di dalamnya.
Tentu saja hal itu sangat mengecewakan dan menyakitkan karena saya sangat percaya terhadap mahasiswa itu, seperti halnya para guru saya juga sangat percaya kepada saya. Apakah UGM mentolerir hal seperti itu? Saya yakin, tak hanya perlu waktu untuk memprosesnya supaya semuanya tak salah langkah karena ada konsekuensi hukumnya. Saya sendiri, setelah meneliti skripsi dan tesis tersebut, memang sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi penjiplakan atau tindakan plagiat, dan saya tak dapat menerima hal itu sehingga saya mengirim surat kepada Rektor agar gelar dan ijazah yang bersangkutan dicabut.
Dunia perguruan tinggi atau dunia keilmuan pada umumnya memiliki sejumlah norma, aturan, etika, yang harus diikuti siapa pun yang terlibat di dalamnya. Bagaimana melakukan aktivitas keilmuan, yaitu meneliti, melakukan diskursus, menulis karya ilmiah, dan sebagainya. Etika dan norma itu sudah harus diketahui oleh siapa pun begitu dia memasuki dunia keilmuan. Salah satu norma atau etika yang harus diikuti adalah kepantangan melakukan plagiarisme, di samping norma atau etika lainnya, seperti memanipulasi atau memfabrikasi data, termasuk cara memperolehnya, atau menggunakan sasaran atau objek penelitian yang dapat dianggap melanggar nilai moral dan agama. Hal seperti itu merupakan kepantangan, dan siapa pun yang melakukannya tak pantas lagi berkecimpung dalam dunia keilmuan karena yang terakhir ini selalu berpegang pada prinsip kebenaran dalam mencari kebenaran.
Plagiarisme adalah tindakan mengambil ide atau pikiran seseorang yang sudah tertulis dengan sama sekali tanpa memberikan kredit kepada orang yang memiliki buah pikiran atau ide tersebut. Tindakan seperti ini jelas tak dapat ditolerir. Dalam ilmu sosial, sangat jarang sebuah aktivitas keilmuan yang dilakukan seseorang 100% berasal atau bersumber dari si peneliti. Teoretisasinya berasal dari orang lain, terutama kalangan ilmuwan terdahulu yang sudah sangat mapan dan dikenal luas. Demikian juga metodologinya. Oleh karena itu sudah menjadi sebuah norma atau etika untuk selalu mencantumkan sumber buah pikiran itu berasal. Bahkan aturannya sudah jelas. Kalau itu bersumber dari sebuah buku, maka harus jelas judul, tahun penerbitan, di mana buku itu diterbitkan. Kalau memang itu secara khusus bersumber dari buku tersebut maka harus disebutkan halamannya. Apalagi kalau mengutip, jelas hal itu lebih ketat lagi aturannya. Kalau tak melakukan itu, orang tersebut telah melakukan plagiat terhadap karya orang lain.
Akan tetapi, apakah plagiarisme dan manipulasi/fabrikasi merupakan masalah baru? Saya yakin tidak. Karena hal ini merupakan masalah klasik yang dapat terjadi di lembaga pendidikan mana pun dan di mana pun. Disertasi untuk doktor seorang tokoh masyarakat kulit hitam Amerika, Martin Luther King, ternyata kemudian diketahui jiplakan dari disertasi orang lain. Sayang, King sudah meninggal ketika hal itu diungkapkan sehingga tak ada efek apa-apa baginya. Apalagi dia sudah menjadi pahlawan. Di tempat saya bersekolah, di Ohio State, pernah seorang yang sudah memperoleh gelar doktor dalam bidang komunikasi ditarik kembali gelarnya karena ternyata datanya ia karang sendiri. Ini yang namanya fabrikasi. Tentu saja universitas mana pun tak akan mau menerimanya dan akan mengambil tindakan tegas.
Di Indonesia? Itu sama sekali bukan hal baru, dan saya percaya bahwa beberapa judul skripsi di UGM, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung telah dijiplak berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Hanya saja tak ketahuan. Berapa buku teks yang ada dalam bidang ilmu sosial tertentu yang sebenarnya masuk dalam kategori jiplak? Mestinya banyak sekali, hanya tak ada yang mempermasalahkannya. Ada sejumlah buku hanya mencantumkan daftar pustaka saja. Bahkan pernah secara iseng saya melihat-lihat sebuah buku, yang baru terbit tahun ini dipajang di sebuah toko buku terkenal di Yogyakarta, sama sekali tak ada referensinya. Segala macam rumus ada di situ. Apakah buah pikiran si penulis sendiri? Tak mungkin, ilmu itu berasal dari Amerika Serikat. Berapa banyak buku hasil jiplakan atau setengah jiplakan? Banyak sekali, hanya tak ada yang mau melacaknya. Orang Indonesia memang sangat luar biasa. Dalam satu tahun dapat menghasilkan lebih dari satu buku. Kapan penelitian dilakukan. Itu merupakan sebuah misteri dalam dunia keilmuan di sini.
Mengapa orang melakukan plagiarisme? Barangkali ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, orang itu bodoh. Mau dapat gelar tapi otaknya tak mendukung. Maka ambil saja karya orang lain. Kedua, orang itu sudah kepepet. Dia diancam akan di-drop out, waktu sudah sangat mendesak, biaya makin menipis, apalagi dengan biaya sendiri. Ketiga, orang itu pada dasarnya sudah tak benar sehingga tindakan apa pun ia lakukan untuk memperoleh gelar. Sebab gelar dalam masyarakat kita begitu penting.
Karena itu penjiplakan sebenarnya sudah sangat meluas, hanya saja ada yang ketahuan ada yang tidak, ada yang mempermasalahkannya ada juga yang menganggapnya sebagai hal yang tak perlu dipersoalkan. Saya tak bermaksud membela diri dan membela UGM karena saya tak terlibat di dalamnya. Hanya saja, saya ingin menyatakan bahwa plagiarisme merupakan masalah hati nurani. Orang yang memahami tata nilai atau norma serta etika dunia keilmuan tak akan melakukannya karena akan melanggar hati nuraninya.
Oleh karenanya dunia keilmuan tak mentolerir sikap dan perbuatan seperti itu, dan mereka yang mencoba melakukannya tak akan dapat lari dari tanggung jawab. Setidaknya terhadap dunia keilmuan dan terhadap dirinya sendiri. Pernah terjadi di program S-2 UGM, seorang mahasiswa dari luar Jawa mencoba melakukannya, kemudian ketahuan sebelum dia diuji. Maka pada saat dia diuji, yang bersangkutan disuruh mengundurkan diri dengan suatu alasan tertentu. Dengan demikin, dia tak dipecat dan pulang kembali ke kampung halaman. Dia bernasib jelek, seperti mahasiswa saya yang melakukan itu. Dia ketahuan. Yang tak ketahuan bernasib baik. Kadang-kadang saya benci kepada realitas kehidupan seperti itu karena tidak fair.
Afan Gaffar, Pengajar di UGM, Yogyakarta
Sumber: GATRA, Nomor 1, Tahun II, 18 November 1995


0 komentar:
Posting Komentar