![]() |
| Kolom Gatra |
Oleh: Yudhistira ANM Massardi
"Dalam kaitan introspeksi-retrospeksi, sepanjang 60 tahun ini, Anda pernah 'menemukan' seorang Rendra yang macam apa?" Pertanyaan itu dijawab Rendra sambil merunduk tersipu: "Rendra yang dimanjakan Allah, tapi kadang- kadang penuh kelengahan dalam dirinya. Banyak kesalahan saya kepada keluarga, kerabat, handai-tolan. Mudah-mudahan sisa umur saya bisa dipakai untuk memperbaiki kesalahan itu." Itu dikatakannya di padepokannya di Cipayung, Depok, 7 November lalu. Hari itu merupakan hari jadinya yang ke-60, yang ditandai dengan acara tahlilan, makan malam, dan aneka "hiburan" yang disajikan oleh keluarga besar Bengkel Teater.
Rendra adalah sebuah nama, dengan banyak julukan dan kepandaian: penyair, pengarang cerpen dan esai, penulis lakon, aktor, sutradara teater, pemimpin kaum "urakan", budayawan, ayah 11 anak dari tiga istri, pembaca puisi yang mempesona, pelaku protes yang menggetarkan, pejuang demokrasi yang tak jera dicekal, si "Burung Merak" yang manja dan kenes.
Rendra memang bukan hanya seorang seniman. Sejak kepulangannya dari New York, setelah belajar teater selama empat tahun di sana, 1968, namanya menjadi gunjingan khalayak ramai. Karya pentasnya yang pertama – yang belakangan disebut sebagai teater "mini kata” – mengundang gegap kontroversi. Sejak itu pertunjukan drama-dramanya selalu dibanjiri penonton. Tiga pementasannya, Menunggu Godot (1969), Kasidah Barzanji, dan Oedipus Rex (1970), dinilai merupakan puncak-puncak pencapaian artistiknya. Taman Ismail Marzuki (TIM) pun berkibar menjadi sebuah pusat kesenian yang menarik perhatian.
Dan Rendra tak pernah berhenti menjadi pusat perhatian. Ia meninggalkan agama Katolik yang dianut dengan taat oleh orangtuanya. Ia masuk Islam, dan mengawini Sitoresmi sebagai istri kedua. Sitoresmi diajaknya hidup seatap dengan Sunarti, istri pertama yang telah memberinya lima anak (1970). Ia pun menghebohkan dengan "Perkemahan Kaum Urakan"-nya di pantai Parangtritis, Yogyakarta, Oktober 1971.
Lalu, Desember 1973, di tengah maraknya gerakan-gerakan protes mahasiswa, Rendra dengan Bengkel Teater-nya mementaskan Mastodon dan Burung Kondor yang menggemparkan karena muatan kritik sosialnya yang tajam dan berani, menurut ukuran masa itu. Sejak itulah ia berkenalan dan menjadi "akrab" dengan pelarangan dan pencekalan, dimulai dari kota tempatnya dibesarkan, Yogyakarta.
Rendra memang berubah, menjadi dramawan yang menggelora dengan semangat antikemapanan, dan menjadi penyair protes yang galak. Drama-drama dan sajak-sajaknya dianggap mewakili hati nurani kaum yang tertindas. Karena itu, selain mendapatkan pemberangusan – termasuk meringkuk di dalam bui – ia juga mendapatkan keplok yang riuh dari para pengagumnya.
Penyair yang mempopulerkan acara pembacaan puisi itu telah menjadi simbol kekuatan moral. Simbol perjuangan demokrasi, yang menuntut terselenggaranya "daulat rakyat" dan bukan "daulat tuanku" yang feodalistik dan otoriter.
Dan ia, hingga usianya mencapai 60 tahun, tetap konsisten: mengkritik dan dicekal. Sekurang-kurangnya, sajak-sajak yang akan dibacakannya di muka umum harus diteliti oleh pihak keamanan, dan konon harus disetujui oleh "Pusat" terlebih dahulu: mana yang boleh dibacakan, dan mana yang harus dilarang.
Menurut penyair yang mengaku "berumah di angin" itu, usia 60 tahun adalah waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi. Itu antara lain dilakukannya dengan memberikan ceramah budaya di TIM, Senin kemarin, dan pembacaan puisi – bekerja sama dengan Majalah GATRA – di tempat yang sama, Rabu dan Kamis pekan ini.
Sambil mempertimbangkan bahwa pekan ini akan menjadi "pekan Rendra", kami mengangkatnya untuk Laporan Utama kali ini. Tiga bagian tulisan mencoba menggambarkan kembali tiga wajah sang "Burung Merak": sebagai seorang pejuang demokrasi yang lantang, sebagai seniman yang tetap kreatif dan produktif, dan sebagai sebuah pribadi yang penuh warna. "Secara umum, kita menilai dia itu positif," komentar Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI, Mayor Jenderal TNI Syarwan Hamid. Artinya meminjam jargon iklan yang kini populer Rendra memang "oye".
Yudhistira ANM Massardi
Sumber:
(GATRA, Nomor 1, Tahun II, 18 November 1995, Mukadimah)


0 komentar:
Posting Komentar