![]() |
| Kolom Tempo |
Oleh: TH. Sumartana
(TEMPO, No. 38, Thn. XV, 16 November 1985)
Kaca mata kuda tak tembus pandang di tengah-tengahnya. Kaca mata makhluk berkaki empat ini tidak mengubah warna sasaran, tak meluruskan lensa mata yang cembung maupun cekung, dan jelas tidak mempertajam pandangan. Kaca mata kuda dipakai agar mata si kuda terarah lurus ke depan, bukan menyebar ke kiri atau ke kanan. Menatap ke depan dalam dua dimensi, dengan sais memegang kendali.
Entah siapa penemu kuda. Tapi makhluk yang binal itu ternyata bisa ditunggang. Kuda lalu menjelma menjadi kata kerja yang pasif: ditunggang dan diperkuda. Dan ketika kuda sudah bisa diperkuda, ia tidak lagi berlari-lari di sabana. Mereka menjadi binatang jinak, tak punya mau sendiri.
Entah siapa pula penemu jenis kaca matanya. Tapi mestinya ia seorang sais yang tak suka repot oleh godaan kanan-kiri pada kudanya, yang, sebagaimana sais pada umumnya, lebih suka kudanya berkonsentrasi pada lajur jalanan yang ada di depan.
Kuda kiasan dan kuda benaran nyaris tak ada bedanya. Begitulah, pada suatu saat, ketika kuda-kuda di tanah jajahan sudah bisa dijinakkan, tampil golongan ethici Belanda memberikan kemungkinan yang lebih simpatik. Peperangan yang makan biaya, serta tanam paksa sebagai obatnya, sudah masanya diganti dengan perlakuan yang lebih memperhatikan kepentingan binatang kuda. Ketika kuda-kuda sudah menjadi jinak, sudah diketahui pola watak dan tradisinya, langkah yang perlu ditempuh adalah agar si kuda mau berjalan sesuai dengan lajur yang tersedia, dan itulah jalur peradaban namanya. Saatnya tiba bagi si kuda untuk berkaca mata.
Tapi kaca mata kuda ada banyak macam dan modelnya. Dua model awal yang cukup populer diperkenalkan oleh seorang teolog bernama Abraham Kuyper. Menurut dia, hubungan kolonial Belanda-Indonesia lambat laun harus diakhiri dan diganti hubungan baru, perwalian namanya. Kolonialisme dan imperialisme dianggap bertentangan dengan dua butir hukum dari Sepuluh Perintah Allah. Van Deventer adalah orang lain yang lebih praktis. Ia me- nyebut "utang budi" sebagai dasar hubungan moril antara Belanda dan Indonesia.
Lalu, berhubung dengan gagasan para ethici itu, kaca mata kuda pun memperoleh nama-nama yang bagus: emansipasi, demokratisasi, westernisasi, kristenisasi, asosiasi. Pendek kata, lukisan upaya untuk membimbing kuda menempuh jalan yang ditetapkan kaum ethici.
Kuda dan yang diperkuda tak selamanya terlena dalam jalur yang tersedia, meski mereka sudah ditolong sepasang kaca mata yang mempersempit horison menjadi lorong. Lepas waktu komboran, lepaslah tiga kuda liar pertama dari jalur jalanan. Nama-nama mereka menjadi nama-nama yang bersejarah: Douwes Dekker alias Setiabudi, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Sejak itu kaca mata kuda menjadi soal sensitif. Sampai akhirnya tiba saat sejarah, ketika kuda-kuda binal meronta menendang kereta, merusakkannya, dan melemparkan sais ke dalam segara.
Dan datanglah masa gembira. Dalam suasana bebas merdeka, sang kuda melepaskan segala tali dan kaca matanya. Lalu lari ke sana kemari dan merumput sepuas-puasnya. Tiba di tempat, semua kuda mendapati: tiada lagi padang prairi, tiada padang rumputan, semua sudah berubah menjadi kampung, rumah-rumah dan jalan-jalan, dan makin sempit karena penduduk bertambah-tambah. Dan atas kesadaran sendiri, mereka pun memakaikan kaca mata untuk bisa berjalan dalam lajur yang tersedia. Sambil berdoa: semoga sais tidak lebih banyak menggunakan cemeti daripada kendali. Lebih arif dari kaum ethici.
Sumber: TEMPO, No. 38, Thn. XV, 16 November 1985


0 komentar:
Posting Komentar