alt/text gambar

Sabtu, 06 Desember 2025

Topik Pilihan:

CERITA DARI BLORA: SEBUAH EPILOG

Pramoedya Ananta Toer


Oleh: Joesoef Isak


CERITA DARI BLORA sudah berusia lebih dari 42 tahun, namun sampai sekarang tetap tidak kehilangan apa pun: makna, moral dan nilai-nilai estetik yang dikandunginya. Sampai hari ini pun cerita-cerita ini masih tetap indah, mengasyikkan, mencekam, mengharukan. Sungguh mencengangkan bahwa cerpen-cerpen ini sampai kini tetap memiliki aktualitas hangat bagaikan kisah-kisah visioner! Seakan berlangsung “self fulfilling prophecy” bagi penulisnya sendiri mau pun banyak di antara pembaca untuk pada satu waktu juga mengalami segala derita dan kesengsaraan seperti yang dikisahkannya bila terlibat dalam pertarungan bagi harkat manusia dan kebebasan. 

Rupanya itulah sebabnya ada pengulas sastra memuji-muji kekuatan Pramoedya terutama sebagai penulis cerpen. Mereka membanding-bandingkan dan membedakan Pramoedya dalami 'periode cerpen'-nya dengan novel-novel besarnya yang ditulis di Pulau Buru. Tentulah setiap orang berhak dan bebas mempunyai pendapat sendiri. Pengulas di luar sastra pun punya pendapat sendiri, mereka juga memilah-milah karya-karya Pramoedya. Tampaknya untuk itu ada kriteria tersendiri: pra dan purna Lekra, sebelum dan sesudah Pramoedya jadi tapol. Dan ini lantas menjadi apa dan siapa Pramoedya. Dan kalau sudah begitu, orangnyalah jadi paling utama. Dan apa yang dia tulis menjadilah sekedar bahan pembenaran untuk label yang sudah dijatahkan kepadanya. Dan seterusnya kita semua sudah maklum.

Benarkah ada perbedaan Pramoedya dulu dan sekarang? Dari segi azas kepengarangan dan keyakinan pasti harus dijawab tidak. Pram dulu dan sekarang tetap Pram yang sama. Yang tidak sama adalah munculnya standar ganda dan penilaian yang berubah terhadap pribadi Pramoedya pada kalangan tertentu. 

Minatnya terhadap berbagai problema sosial-politik tidak mengubah dia menjadi seorang politikus. Di atas segala-galanya dia tetap seorang pengarang dengan pandangan hidup mandiri. Bahkan sangat mandiri sampai nyaris individualis untuk memihak atau bisa diikat oleh suatu 'isme' disiplin partai politik apa pun. Pengritik sastra H.B. Yasin dalam kata pengantar untuk buku ini di tahun 1952 sudah menulis: “Pram tidak memberatkan simpatinya kepada suatu isme kecuali kepada humanitas.” Jauh-jauh hari H.B. Yasin seakan sudah menandai humanitas itu sebagai ciri khas Pramoedya yang bisa kata harapkan akan selalu muncul dalam setiap novelnya.

Pendapatnya di tahun 1952 itu betul, tetap valid, tetap sah dan benar untuk semua karya Pramoedya, dulu dan sekarang. Yang mengkotak-kotakkan Pramoedya dan karya-karyanya ke dalam suatu isme golongan, tiada lain adalah obyektvitas rancu dan cara berpikir irasional, purbasangka literer dan non-literer yang terlalu sering sudah sangat patologis. Siapa pun tidak akan berdaya menghadapi argurnentasi yang bersumber dari prasangka separah itu. 

Memang benar Pramoedya terikat dan sadar mengikatkan diri untuk selama-lamanya kepada pandangan hidup yang diyakini dengan kukuh: selalu memihak kepada si kecil, kepada rakyat, kepada mereka yang selalu menjadi korban, siapa pun dan dari golongan mana pun. Kepada mereka yang menderita akibat penindasan, kekerasan dan kekuasaan sewenang-wenang. Itulah yang disebut memihak pada kemanusiaan, kemanusiawian dan martabat manusia. Untuk keyakinannya itu, dia membayar mahal sekali: hidupnya, kebebasannya, umurnya, kesehatannya, harta-bendanya, mata pencariannya, anak-anak rohaninya, yaitu buku-buku hasil kreativitasnya dan dokumentasinya yang tak ternilai. 

Pramoedya adalah pengarang humanis dalam kadar tinggi. Itulah predikat paling tepat kalaulah coute que coute suatu cap tertentu mesti dikenakan kepadanya. Kepengarangan dan hidupnya digadaikan untuk selama-lamanya bagi kemanusiaan, prikeadilan dan harkat manusia. Nilai-nilai universal yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, tak berubah oleh penjara, tak berkisut akibat tekanan. Itulah benang-merah yang konsisten mengalir dalam semua karya Pramoedya, dulu dan sekarang. Ini dapat ditelusuri dan sangat jelas bisa dikenali oleh tiap orang yang bersih prasangka. Yang menghalau Pramoedya dari pentas sastra Indonesia tidak melihat semua itu, juga tidak terlalu peduli implikasi dari langkah sefatal itu. Sungguh tragis—para intelektual dan budayawan Indonesia sebenarnya tahu betul tentang seluk-beluk tragedi ini. Mereka diam.

Maka yang diharapkan dari mereka sekarang tidaklah terlalu banyak: kembali pada jatidiri cendekia! Kepedulian, peka tanggap terhadap tanda-tanda zaman, mewahanai perubahan dan kemajuan. Sudah waktunya untuk itu semua! Sudah waktunya hatinurani paling murni yang bicara, melangkah seiring derap zaman, berinisiatif dan berbuat bagi suatu kehidupan intelektual, budaya dan sosial politik yang rasional, jujur dan bermartabat. 

Di pihak kami—Hasta Mitra, inilah bagian kecil prakarsa yang dapat ikut kami sumbangkan—menerbitkan lagi karya-karya klasik Pramoedya Ananta Toer: mengembalikan aset bangsa kepada bangsa. Dan anak-anak bangsa pantas tahu apa itu. 

—Joesoef Isak

Sumber: 

Epilog dalam Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Blora, Jakarta: Hasta Mitra, 1994


0 komentar:

Posting Komentar