alt/text gambar

Selasa, 16 Desember 2025

Topik Pilihan: ,

DEMOKRASI

(Kompas, 16 Desember 2007, “Asal Usul”)


Oleh: Ariel Heryanto


Ketika ada pejabat bilang demokrasi itu cuma cara dan bukan tujuan, kita kaget. Tetapi, saya terlebih kaget ketika tahu ada banyak orang marah-marah. Termasuk teman-teman sendiri. Apakah pernyataan pejabat itu salah? Di mana salahnya?

Sosiolog Vedi Hadiz pernah mengingatkan, perangkat demokrasi Indonesia dengan santainya sudah ditunggangi mantan politikus Orde Baru. Termasuk partai politik, parlemen, pengadilan, media massa, dan pemilu. Dengan leluasa mereka menyelamatkan, bahkan melipatgandakan, harta warisan dari masa Orde Baru yang tidak berhasil disita bangsa Indonesia.

Pada zaman Orde Baru ketika demokrasi diharamkan, para politikus itu sudah berjaya. Berpangkat tinggi. Harta berlimpah. Ke mana-mana disembah, atau minta disembah para bawahan. Sebagian dari bawahan ini berharap suatu hari kelak akan menggantikan yang disembah.

Sesudah Orde Baru tumbang, reformasi dan demokrasi menjadi kaidah dan slogan yang paling berwibawa. Tetapi, para politikus Orde Baru yang sama tetap berkibar. Ada yang pernah diadili dan dihukum. Tetapi, dengan ilmu akrobatik politik tingkat tinggi mereka dibebaskan. Malahan ada yang diangkat menjadi pejabat tinggi negara.

Mereka tahan banting terhadap perubahan iklim politik. Sekarang ada kebebasan berpartai politik, bertengkar di parlemen, atau bersaing dalam pemilu. Tetapi, yang menang ya itu-itu lagi yang dulu berkuasa pada zaman Orde Baru. Untuk mereka, Indonesia boleh berguling-guling dari satu sistem politik kenegaraan ke sistem lain, dari yang paling fasis, demokratis, atau anarkis. Bagi mereka, semua itu "cuma cara" menuju tujuan yang sama: harta dan kuasa.

Jadi, buat apa marah jika ada di antara mereka yang membuka rahasia perusahaan? Mestinya kita terharu mendengar kejujuran itu. Persoalannya bukan apa pendapat mereka tentang demokrasi, tetapi mengapa orang-orang dengan pandangan seperti itu bisa merajalela di Indonesia, juga di banyak negara demokrasi yang lain?

                                           ***

Mungkin demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang ada, tetapi demokrasi tidak usah dikeramatkan seperti Orde Baru mengeramatkan Pancasila, UUD 1945, atau pembangunan. Demokrasi dipahami orang berbeda-beda.

Ada yang memahami demokrasi sebagai kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilihan umum. Tetapi, jangan lupa, lewat pemilu seorang Hitler terpilih di Jerman (1933) dan Bush di Amerika Serikat (2000). Ada yang meragukan kualitas proses pemilu di Singapura. Saya berani bertaruh, seandainya pemilu mereka bebas-bersih-terbuka, pemenangnya akan tetap sama.

                                                     ***

Di banyak negara otoriter di Asia, demokrasi diteriakkan rakyat kecil dengan pengertian berbeda. Tuntutan berdemokrasi artinya "jangan rampok tanah kami", "jangan culik anak kami", "jangan tembak bapak kami", atau "jangan perkosa putri dan ibu kami". Bila diktator di negara mereka terguling, rakyat kembali sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Mereka ogah berpolitik, apalagi membangun demokrasi.

Itu yang terjadi di Indonesia sesudah tumbangnya Orde Baru (1998). Juga di Thailand sesudah rakyat menolak kekuasaan militer (1992) dan di Filipina setelah jatuhnya tirani Marcos (1986). Saya duga akan sama bila junta militer di Burma runtuh.

Ada pengertian demokrasi lain yang kurang populer. Yakni, demokrasi sebagai proses dan kerja bareng sebanyak mungkin warga negara dari beraneka latar belakang dan cita-cita. Mereka tidak perlu setuju dalam semua hal, kecuali menghargai perbedaan itu sambil tarik-ulur kata dan kekuatan, mencari kesepakatan yang selalu sementara sifatnya. Ini proyek berjangka panjang, mahal, dan meletihkan. 

Adakah yang berminat pada demokrasi dalam pengertian ini? Di tanah air kita pemilihan umum dibilang pesta demokrasi dan calon presiden bersaing tarik suara seperti ikut Indonesian Idol. Dí Amerika Serikat jumlah pemilih yang datang ke kotak suara sering kali hanya separuh dari yang berhak. Di Australia, pemilu dijalankan seperti P4 di Indonesia. Hukumnya wajib dan ada sanksi pidana bagi pemilih yang tidak hadir di tempat pemungutan suara. 

Kalau demokrasi itu baik, kenapa orang mesti dipaksa-paksa di negara yang liberal? Mengapa di banyak tempat demokrasi tidak meningkatkan peradaban atau kesejahteraan rakyat? Kalau kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilu tidak cukup, apa lagi yang dibutuhkan?

                                                ***

Jawabnya disinggung dalam film Sicko arahan Michael Moore. Percuma saja ada kebebasan demokrasi bila rakyat sakit-sakitan, takut pada pemerintah, miskin, dan kurang terdidik. Bagi mereka tidak penting negara ini demokrasi atau tidak, atau siapa berkuasa.

Mirip seperti pejabat yang hidup berlimpah, bagi mereka yang serba kekurangan: demokrasi, revolusi, demonstrasi, pawal umum, ibadah, atau premanisme itu semua "cuma cara".

Ariel Heryanto, sosiolog


Sumber: Kompas, 16 Desember 2007

0 komentar:

Posting Komentar