alt/text gambar

Senin, 08 Desember 2025

Topik Pilihan:

Jean-Paul Sartre: Orang Lain, Neraka?

Jean-Paul Sartre. Sumber gambar: buku Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000


Oleh: Franz Magnis-Suseno


A. Latar belakang 

Jean-Paul Sartre adalah filosof utama aliran filsafat abad ini yang disebut "eksistensialisme”. Sartre sendirilah yang membentuk kata ini. Sartre lahir di Paris tahun 1905. Ia belajar pada perguruan tinggi elit Ecole Normale Superieure, kemudian menjadi guru di beberapa SMA. Selama dua tahun ia belajar di Jerman di mana ia kemudian juga sebagai tahanan perang. 

Masa besar Sartre adalah tahun lima puluhan. Ia menjadi filosof yang sangat populer di Eropa, khususnya di Prancis. Eksistensialismenya menjadi aliran yang menekankan individualitas dan autentisitas manusia masing-masing yang tidak mau diseragamkan menurut selera massa. 

Orang eksistensialis itu orang yang menentukan sendiri norma-norma dan nilai-nilai hidupnya, yang tidak sekadar membebek pada apa yang dianggap biasa. Bagi orang muda, ekistensialisme menyediakan kemungkinan untuk mengungkapkan identitasnya berhadapan dengan masyarakat yang, dalam rangka pembangunan pasca-perang, menekankan kenormalan dan keseimbangan. Akhirnya "kaum eksistensialis” sendiri pun tidak berhasil menghindari keseragaman: Karena mereka suka memelihara "janggut eksistensialis” dan memakai pakaian kusut yang mirip dengan kaum gelandangan di pinggir sungai Seine mereka malah mudah dikenal juga. 

Tetapi kita akan salah kalau menganggap pemikiran Sartre sendiri hanya sebagai mode. Sartre adalah seorang sastrawan yang bagus, tetapi juga seorang filosof yang berpikir secara mendalam, yang terutama dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Jerman, oleh Hegel dan Heidegger dan kemudian oleh Karl Marx. 

Dengan cukup jelas dapat dibedakan dua tahap dalam pemikiran Sartre. Karya utama tahap pertama adalah L'Etre et le Neant, essai d'Ontologie Phenomenologique ("Keberadaan dan ketiadaan, esai tentang ontologi fenomenologis”), sebuah tulisan panjang dan berat yang diselesaikan pada tahun 1943. Tiga tahun kemudian, terbit L'Existentialisme est un humanisme ("Eksistensialisme adalah humanisme” ). Tahap pertama itulah tahap eksistensialismenya. Pada akhir tahun 50-an, Sartre semakin berpaling pada Marxisme (untuk sementara waktu ia juga menjadi anggota Partai Komunis Prancis). Karya tahap itu adalah Critique de la raison dialectique ("Kritik atas cara berpikir dialektis”). Sebuah etika yang dijanjikan Sartre sejak bukunya yang pertama tidak pernah ditulisnya. 

Sartre berada dalam kontak erat dengan pelbagai pemikir utama Prancis seperti Merleau-Ponty, dan Simone de Beauvoir yang dengannya ia hidup bersama selama dua puluh tahun terakhir hidupnya. Sartre sangat aktif dalam gerakan anti-perang Vietnam dan berpartisipasi dalam revolusi mahasiswa bulan Mei 1968. Ia meninggal pada tahun 1980. 

B. Eksistensialisme dan kerangka fenomenologis 

Sartre sendiri menyebut pemikirannya sebagai eksistensialisme karena pusatnya adalah eksistensi. Eksistensi pada Sartre (dan Heidegger) tidak berarti "berada" dalam arti biasa, misalnya ada orang, ada ayam, ada makanan, melainkan berarti cara keberadaan yang khas bagi manusia. Manusia itu sadar bahwa ia berada, ia “bereksistensi” karena ia menyadari diri berhadapan dengan kekosongan. Eksistensi adalah keberadaan manusia yang sadar bahwa ia ada, bahwa ia menjorok dari ketidakadaannya. 

Eksistensi manusia itu, menurut Etre et le neant, ditentukan oleh dua dimensi, yaitu etre en-soi dan etre-pour-soi, 'berada pada dirinya sendiri' dan 'berada-bagi-dirinya-sendiri'. Yang pertama adalah realitas objek-objek (yang oleh Hegel disebut "An-sich-Sein”), benda-benda yang kita hadapi yang, sejauh menyangkut kita, merupakan realitas mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna. Berada-bagi-dirinya-sendiri adalah kesadaran manusia, subjek dalam arti Hegel ("Fur-sich-sein”), maksudnya, pengada yang mengada “bagi dirinya sendiri”, yang menyadari diri sendiri. 

Yang khas bagi pengalaman kesadaran atau berada-bagi-dirinya sendiri adalah bahwa dia menyadari diri sebagai yang lain daripada objek-objeknya, berada-pada-dirinya-sendiri. Menurut Hegel aku tidak menyadari diri secara langsung melainkan secara tidak langsung, yaitu dalam menyadari sesuatu yang lain. Begitu yang lain saya sadari sebagai yang lain, saya menyadari diri sebagai yang lain daripada yang lain. 

Dengan latar belakang itu kita dapat mengerti jalur pemikiran Sartre. Aku adalah kesadaran diri dan sebagai itu aku berlawanan total dengan alam objektif, dengan alam ada-en-soi. Aku hanya ada sebagai penyangkalan realitas, aku adalah yang bukan-objek, aku tanpa realitas. Aku mempertahankan diri dengan “meniadakan” yang lain. Maka tepat petunjuk Harry Hamersma (1983, 109) pada kemungkinan untuk mengungkapkan ada-pour-soi sebagai nothingness dalam arti no-thingness.

Ketegangan antara berada-pada-dirinya-sendiri dan berada-bagi-dirinya-sendiri merupakan kerangka pemikiran Sartre dalam tahap pertama pemikirannya, tahap eksistensialisnya. Dan meskipun Sartre tidak jadi mengembangkan sebuah etika, akan tetapi pemikirannya mempunyai implikasi etis. Berikut ini saya mendasarkan diri pada analisis Wolfgang Bender (1988, 137-146). Mengikuti Bender, saya akan memfokuskan uraian pada dua pokok gagasan yang menunjukkan relevansi etis pemikiran Sartre, yaitu “kebebasan” dan "orang lain”. Dua tema itu masing-masing akan saya bahas baik menurut tahap pemikiran Sartre yang eksistensialis maupun menurut tahap pemikirannya kemudian yang lebih ditentukan oleh Marxisme. 


C. Kebebasan I 

1. Analisis pertama kebebasan ditemukan dengan paling jernih dalam karangan Sartre 1946, L'Existentialisme est un humanisme (Sartre 1946). Mirip dengan Nietzsche, Sartre bertolak dari ateisme keras. Penyangkalan adanya Tuhan merupakan unsur kunci dalam filsafatnya. Sartre berpendapat bahwa manusia hanya bebas apabila tidak ada Tuhan. Dan manusia memang bebas. Maka Tuhan tidak boleh ada. 

Dari tiadanya Tuhan, Sartre menarik kesimpulan bahwa bagi manusia "eksistensi ... mendahului esensi" (1946, 18). Apa yang dimaksud Sartre? Makhluk-makhluk bukan manusia tentu sebaliknya. Kalau kijang atau pohon cemara, eksistensi, pertumbuhan dan perkembangannya mengikuti hakikatnya, esensinya. Akan tetapi manusia adalah ada-pour-soi, no-thingness, lawannya dari segala objektivitas. Ia yang lain dari yang lain. Esensi, hakikat adalah ada-en-soi, sedangkan manusia adalah kesadaran. Dunia objektif berhadapan dengan kesadaran. Tubuhku sendiri, lingkunganku, data-dataku seperti umur, kesempatan bersekolah atau bekerja atau pergaulan dengan orang lain dsb., semuanya itu bukanlah aku, melainkan kusadari, jadi semua unsurku itu adalah bukan-aku, objekku, terhadapnya aku harus mengambil sikap: Menyetujui atau menolak, merangkul atau menganggapnya sepi. Aku adalah kekosongan total, keterbukaan, kebebasan, aku berada ke arah masa depan. 

Keadaan itu menurut Sartre disertai perasaan putus asa dan absurd, tak masuk akal. Memang, kalau tak ada Tuhan, eksistensiku, kenyataan bahwa aku menemukan diri dalam dunia, merupakan rahasia yang tak terselami. Aku tidak tahu mengapa aku ada, aku menemukan diri bereksistensi. 

2. Esensiku, hakikatku, adalah hasil pilihan atau putusanku. Aku bertanggung jawab penuh atas diriku sendiri: "Kalau memang benar bahwa eksistensi mendahului esensi, maka manusia bertanggung jawab atas kenyataannya” (1946, 24). Karena akulah yang mengambil sikap. Sartre menegaskan bahwa dalam pilihan di mana aku menjadikan diri itu, aku sekaligus mengacu pada manusia pada umumnya. Manusia “bukan hanya bertanggung jawab atas individualitasnya, melainkan ia bertanggung jawab atas semua manusia” (1946, 24). Aku menjadikan diri menurut apa yang kusadari sebagai kemanusiaan. Jadi aku merealisasikan kemanusiaan melalui putusan bebasku sendiri. Dan aku sendirilah yang bertanggung jawab. Maka aku merasa sepi dan takut. Aku dihukum untuk bebas. Aku tidak dapat lari. "Tak ada peraturan moralitas umum yang dapat menunjukkan apa yang harus kaulakukan” (1946, 47). Apa yang harus saya putuskan dalam situasi konkret, berhadapan dengan sebuah masalah, tidak bisa dideduksikan dari suatu peraturan atau norma moral. Gagasan ini akan menjadi inti etika situasi Joseph Fletcher. 

Sebagai ilustrasi, Sartre menceriterakan bagaimana, pada waktu Prancis diduduki Jerman, seorang pemuda minta nasihat kepadanya tentang apa yang harus dilakukannya [1946, 39ss.]: Tetap tinggal bersama ibunya yang sendirian, atau melarikan diri ke Inggris untuk masuk pasukan de Gaulle. Sartre tidak mau memberikan jawaban. Hanya pemuda itu sendiri yang dapat memutuskannya. Karena ia harus memilih apa yang lebih bernilai, tetapi apa yang bernilai baginya justru ditentukan sendiri dalam keputusannya. Di sini pun kita melihat dekatnya Sartre denga Nietzsche. Tak ada nilai-nilai yang mendahului keputusan manusia. Keputusan bebas itulah yang menciptakan nilai-nilai [“c'est la liberte comme fondement de toutes les valeurs”, 1946, 82). Tak ada norma dan tak ada nilai yang di luar manusia. Yang ada di luarnya adalah ada-en-soi dan terhadapnya ia justru tidak boleh tunduk. Ia harus autentik, artinya menjadi nyata sesuai dengan dirinya sendiri. Dan dirinya sendiri terwujud melalui pilihan-pilihannya. Maka orang tidak dapat lari dengan menunjuk pada kondisi objektif di luar atau di dalamnya sendiri: "Setiap orang yang bersembunyi di belakang alasan (kekuatan) nafsu-nafsu, atau dengan membikin sebuah ajaran deterministik menipu diri" [1946, 80s].

Maka dalam pilihan-pilihannya, manusia sendiri tidak hanya menciptakan nilai-nilainya, melainkan ia juga mengikatkan diri. Ia menjadi diri. Ia mendapat bentuk, hakikatnya mulai tampak. Keputusan itu berarti bahwa ia menjadi ini atau itu, jadi esensinya terwujud. Keputusan-keputusannya menunjukkan siapa dia. Kita dapat mengatakan, melalui pilihan-pilihannya manusia mewujudkan karakternya. Lama kelamaan kelihatan orang macam apa dia. 

D. Kebebasan II 

1. Dalam tahapnya yang kedua, dalam tahap Critique de la raison dialectique, Sartre tampaknya berubah sama sekali. Ia membuang gagasan tentang kebebasan total. Di bawah pengaruh Marxisme Sartre sekarang mengajar bahwa manusia seluruhnya terdeterminasi oleh lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial, kelas sosialnya, ras, suasana keluarganya, itulah yang menentukan seseorang menjadi apa. Bukan pilihannya yang menentukan, melainkan kondisi-kondisi sosialnya. 

2. Akan tetapi, Sartre tidak menyerah seratus persen terhadap diktat lingkungan. Ia mempertahankan kebebasan sebagai "gerakan kecil" yang tetap masih mungkin dalam batas-batas kondisi-kondisi sosial itu. Kondisi-kondisi sosial menyediakan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk bertindak. Di situ kita masih dapat memilih. Kita membuat proyeksi, kita mengambil satu dari kemungkinan-kemungkinan itu. Praxis-lah penengah: Kegiatan meniadakan yang ada dan mengadakan yang belum ada, yang mungkin ada. Maka di tengah-tengah segala macam kondisi dan pembatasan objektif, darinya kita tidak dapat lari, kita masih dapat bertindak juga, kita dapat mengambil sikap, kita dapat bahkan memilih kematian. 

E. Orang lain I 

1. Kebebasan kita terlaksana dalam dunia, berhadapan dengan alam ada-en-soi. Tetapi alam ada-en-soi itu tidak seragam. Di dalamnya ada banyak objek. Objek yang paling berarti bagi kita adalah orang lain. Kebebasan kita ditantang oleh adanya orang lain. Bagaimana orang lain menantang kita diceriterakan Sartre dalam Etre et le neant. Titik tolak adalah aku gang mengamati. 

Bayangkan aku duduk di sebuah taman dan melihat keliling (1943, 311ss.). Ada pohon, rerumputan, sumur, jalan. Akulah pusat segala yang ada dan apa yang kulihat kuatur di sekelilingku. Mendadak ada orang muncul. Pertama dia hanyalah objek di antara yang lain-lain. Akan tetapi segera dia menjadi objek khusus. Ia tidak dapat saya atur, ia sendirilah sebuah pusat. Ia seakan-akan menyedot objek-objek tadi ke dalam dirinya sendiri. "Secara mendadak muncul objek yang mencuri duniaku” (1943, 313). Namun ia tetap objekku. 

2. Situasi berubah apabila ia juga melihat aku. Ia menjadi subjek dan aku objeknya. Sartre mengambil contoh begini (1943, 317s.): Aku sedang mengintip ke dalam sebuah kamar lewat lobang kunci. Dengan penuh perhatian. Aku bersifat murni kesadaran akan objek-objek yang kuintip. Sekarang aku mendengar langkah di belakangku. Ada orang lewat yang telah melihat aku mengintip. Kejadian itu mengubah situasiku secara menyeluruh. Aku tidak dapat dengan tenang terus mengintip, bahkan sesudah orang itu menghilang. Aku merasa malu. Aku merasa telah menjadi objek orang itu. Aku menjadi sadar akan diriku sendiri (sedangkan sebelumnya aku tak sadar akan diriku, aku seluruhnya terarah pada apa yang kulihat lewat lobang kunci), aku menjadi objek diriku. Aku tidak lagi bebas, aku dibatasi dalam kemungkinan-kemungkinan saya, aku menjadi ada-en-soi. Orang lain itu telah sebentar menghancurkan kebebasanku. 

3. Ada langkah ketiga (1943, 347ss.): Saya, bagaimanapun juga, harus mengambil sikap terhadap pengalaman itu tadi. Apakah aku tetap mau merasa takut, malu, terasing dari kebebasanku? Jawabannya adalah: tidak harus. Aku dapat melawan. Aku dapat mengubah situasi. Bukan ia yang bertanggung jawab terhadap aku (sehingga aku malu ketahuan), melainkan aku bertanggung jawab atas dia, aku tetap mengobjekkan dia. Seakan-akan aku bersikap "persetan dengan dia”. Aku bebas lagi, aku tak peduli. Hanyalah, situasi itu tidak stabil. Orang lain ada dialektikanya. Ia dapat mengejutkanku lagi, misalnya, dengan muncul secara mendadak, ia "sebuah alat eksplosif yang harus saya tangani dengan hati-hati” (1943, 358), maka aku harus memakai siasat untuk menjamin agar ia tetap objekku. Karena kita hanya aman terhadap orang mati (ib.). Maka hubungan dasar aku dengan orang lain adalah konflik: Kami bersaing dengan mau saling mengobjekkan. Dalam konteks itu cocok ucapan Garcin dalam sandiwara “Pintu Tertutup”: "Jadi, itulah neraka. Tak pernah kusangka... Kalian ingat toh: Belerang, api unggun, pemanggang... Ah, lucu: Tak perlu pemanggang, neraka, itulah orang lain” (1947, 75). 

F. Orang lain II 

1. Bagi Sartre yang eksistensialis, orang lain dipandang sebagai ancaman karena ia sebagai ada-en-soi yang sekaligus ada-pour-soi tidak dapat saya kuasai secara aman. Adanya orang lain mengurangi kebebasan saya, ia mengancam akan mengobjekkan saya. Hanya dengan tetap mengobjekkan dia saya dapat mempertahankan diri saya, dan ia tidak dapat seratus persen saya objekkan. 

Dalam Critique de la raison dialectique hubungan aku - orang lain diperluas menjadi hubungan segi tiga: Ada unsur baru yang mendapat perhatian, yaitu kelompok. Sartre memberikan sebuah contoh yang juga mulai dengan tatapan (1976, 100-121). Sartre melihat ke luar jendela hotel. Di jalan, ia melihat seorang buruh sedang mengerjakan sesuatu, sedangkan di belakang sebuah tembok tinggi, tukang kebun bekerja dalam kebun hotel. Mereka saling tidak tahu satu terhadap yang lainnya. Hanya Sartre-lah yang melihat mereka. Hubungannya dengan mereka negatif: Ia tidak termasuk kelas sosial mereka, mereka mempunyai dunia mereka sendiri. Masing-masing bekerja karena keanggotaan dalam kelas sosial tertentu dan Sartre adalah outsider yang tidak mengerti untuk apa mereka bekerja. 

Pada tahap kedua situasi itu, Sartre melihat bahwa mereka memiliki kebersamaan berhadapan dengan dia: Mereka bersama dalam ketidaktahuan mereka satu tentang yang lain, sedangkan ia mengetahui mereka. Mereka bekerja dengan tenang, sedangkan Sarte merasakan diri sebagai outsider. Seakan-akan mereka berkongkalikong melawan Sartre (Kita dapat membayangkan, andaikata mereka melihat bahwa Sartre mengamati mereka, mereka masing-masing akan menjadi sadar dari cara Sartre melihat-lihat, bahwa di seberang tembok masing-masing ada juga orang yang diamati Sartre, jadi seorang "rekan” objek pengamatan, kemudian mereka bertemu dan bersama-sama menyindir Sartre). 

Tahap ketiga adalah tindakan nyata yang mengubah situasi itu. Sartre dapat (1) secara aktif menghubungi mereka, (2) membiarkan diri dilihat oleh mereka, atau (3) secara pasif terus mengamati saja mereka. 

Alternatif pertama dan kedua akan mengubah baik Sartre sendiri pun si pekerja dan si tukang kebun, mereka akan berinteraksi. 

2. Dinamika ke arah perubahan sosial itu tampak dengan lebih jelas dalam konteks kelompok dan sejarah. Begitu misalnya, pada waktu Revolusi Prancis, individu-individu sebuah massa rakyat di Paris yang merasa diancam oleh sepasukan kavaleri raja yang muncul mendadak -- pihak ketiga -- bersatu dalam menghadapi pasukan itu. Mereka mengorganisasikan diri, mereka siap untuk memberi perlawanan, artinya untuk bertindak bersama: Rakyat bangkit melawan rajanya. Ancaman bersama mempersatukan dan dengan demikian menciptakan potensi-potensi perubahan sosial (1976, 351ss.). 

G. Tanggapan dan refleksi 

1. Sartre tidak menyajikan sebuah etika. Ia tidak merumuskan norma-norma, tidak menetapkan nilai-nilai, tidak memberikan aturan bagaimana kita harus bertindak. Ia justru menolak itu semua. Demi kebebasanku, demi autentisitasku. Dapat dikatakan, kebebasan dan autentisitas itulah nilai satu-satunya bagi Sartre. Jadi, Sartre pun ada nilainya, ada yang diyakininya, yaitu kebebasan manusia dan tuntutan agar ia hidup secara autentik. 

Penegasan bahwa autentisitas adalah syarat harkat kemanusiaan dalam segala sikap yang kita ambil, bagi saya, merupakan jasa Sartre yang terbesar (di sini kita teringat akan "Eigentlichkeit” Martin Heidegger). Manusia hanya mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap setia pada dirinya sendiri, apabila ia bertindak berdasarkan keyakinannya, apabila ia, sebagaimana ditekankan Sartre (1946), bertanggung jawab terhadap segala-galanya. Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung jawab terhadap peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor objektif di luarnya. Faktor-faktor objektif, dunia para ada-en-soi, memang tidak dapat diubah orang, tetapi ia dapat mengambil sikap terhadapnya. Dan hanya ialah yang dapat melakukannya. Dalam arti ini manusia bebas, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan ia diharapkan (oleh Sartre pun) tidak melarikan diri darinya. 

2. Akan tetapi uraian Sartre ini miring. Yang membuka kemiringan ini adalah Sartre sendiri, Sartre dari Critique de Ia raison dialectique. Tidak betul bahwa kita dalam mengambil sikap terhadap dunia objektif, sama sekali bebas. Kebebasan semacam itu abstrak semata-mata. Secara konkret, lingkungan, pendidikan, tekanan dari luar, dan struktur-struktur psikis dari dalam selalu sudah mengarahkan kita. Juga tidak betul bahwa kita bertang jawab atas segala-galanya. Apa dasar tuntutan berlebihan semacam itu (yang juga merupakan pengandaian utilitarisme)? Kiranya kita hanya bertanggung jawab terhadap apa yang memang langsung terjadi dalam lingkup kemungkinan tindakan kita dan dalam struktur-struktur di mana kitalah yang diharapkan. Begitu pula Sartre pasca-eksistensialis tepat dalam penegasan bahwa kita dapat mengubah dunia, bahwa perubahan sosial dapat diinisiasikan. 

3. Tetapi bukan itulah masalah utama posisi Sartre. Masalah utama adalah apakah betul bahwa kebebasan saya niscaya diancam oleh kebebasan orang lain? Apakah begitu ada orang lain, aku mesti kurang bebas? Kalau Sartre konsekuen, situasi satu-satunya di mana manusia tetap diri sendiri adalah situasi Robinson Crusoe: Aku dikelilingi oleh ada-en-soi-ada-en-soi murni, oleh lingkungan yang seratus persen bebas manusia lain. Betul, di situ saya tidak ditantang (kecuali oleh tuntutan pemenuhan kebutuhan fisik), tidak ada kehendak yang melintang terhadap kehendakku. Aku bisa tenang. Tetapi apakah ketenangan itulah hakikat kebebasan? Apakah dalam ketenangan kesendirian itu kebebasan dan autentisitasku bisa menjadi nyata? Bukankah adanya manusia lain yang tidak dapat saya manipulasikan seratus persen menantang, dan dengan demikian merangsang dan mengembangkan kebebasan saya? Bukankah baru berhadapan dengan manusia lain akan kentara siapa aku sebenarnya, jadi manusia lain justru membantu saya untuk menjadi autentik? 

4. Dengan demikian perlu dipertanyakan juga: Apakah hubungan antara dua kebebasan, jadi antara dua manusia, dua ada-pour-soi, hanya dapat bersifat saling meniadakan? Kemungkinan untuk meniadakan orang lain dan untuk ditiadakan oleh orang lain memang ada. Tetapi apakah ini satu-satunya kemungkinan? Apakah orang lain tidak juga dapat menjadi penyelamat saya dan saya penyelamatnya? Misalnya dalam hubungan orang tua terhadap anaknya sebagaimana kita mencita-citakannya dan kadang-kadang juga untuk sebagian besar tercapai: Bukankah kehadiran orang tua justru memberikan kemantapan, kedirian, keterbukaan, autentisitas dan kebebasan untuk mengembangkan diri kepada anaknya? Anaknya tidak takut, tidak terasing, tidak terancam, justru karena dia berada dalam naungan kasih sayang orang tuanya. 

Begitu pula halnya persahabatan, apalagi hubungan cinta mendalam antara dua orang. Di situ, kehadiran orang lain tidak membelenggu, melainkan membebaskan aku. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, keluarga inti adalah tempat di mana orang merasa betul-betul bebas dari segala tekanan batin, ia tidak merasa malu seperti terhadap orang luaran. Hubungan cinta kasih membebaskan. Orang yang tahu bahwa ia dihargai dan disenangi oleh sahabat-sahabatnya, apalagi yang tahu bahwa ia betul-betul dicintai, akan berani menjadi diri sendiri, berani memperlihatkan diri secara autentik dan menyatakan apa cita-citanya. Contoh Sartre tentang orang yang ketahuan sedang mengintip: Apabila yang memergokinya adalah kekasihnya dan cinta mereka mendalam dan matang, kekasihnya akan mengerti dan menerima kelemahan manusiawinya itu (mengintip orang, sebagaimana kita tahu semua, amat merangsang, meskipun kita tahu bahwa itu kurang patut dan karena itu malu kalau ketahuan), dan yang dipergoki tidak akan merasa dinista oleh kenyataan bahwa kekasihnya memergokinya. 

Jadi, sangat berat sebelahlah kalau orang lain semata-mata dilihat sebagai ancaman dan tidak juga sebagai penyelamat. Sartre tampak tidak mampu menangkap arti kesosialan. Orang lain dapat menjadi neraka bagi kita, betul, tetapi kemungkinan itu suatu penyelewengan. Orang lain dapat juga mendekati surga bagi kita. 

5. Maka, sebagai catatan terakhir, barangkali Sartre sudah menutup kemungkinan untuk mengalami orang lain secara positif pada saat ia menolak Tuhan berdasarkan ketakutan, bahwa adanya Tuhan mesti mengobjekkan manusia. Orang-orang yang bicara dari pengalaman penghayatan Tuhan, serta beberapa pemikir yang merefleksikan pengalaman itu secara teoretis, memberikan kesaksian yang sangat lain. Menurut mereka, kehadiran Tuhan justru membebaskan. Apa yang dalam hubungan persahabatan dan cinta duniawi hanya digapai, dalam Tuhan terjanji menjadi realitas sempurna: Bahwa dalam tatapan Tuhan -- kita ingat tatapan orang asing waktu kita mengintip tadi -- kita justru dapat menjadi diri kita sendiri, dapat menjadi utuh dan sembuh, dapat aman dan kuat. 


Sumber:

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 73-84.


0 komentar:

Posting Komentar