![]() |
| Nietzsche |
Oleh: Franz Magnis-Suseno
A. Latar belakang
Bersama dengan Marx dan Kierkegaard ”Nietzsche adalah pemikir revolusioner ketiga dalam filsafat abad ke-19”.[1] Nietzsche sendiri melihat diri sebagai penghancur. "Aku bukan manusia, aku dinamit... Aku menentang sebagaimana belum pernah ada yang menentang.”[2] Meskipun tidak sistematik dan tergerogoti oleh penyakit jiwa yang akan merenggutnya, pemikirannya merupakan peristiwa yang menggetarkan alam pikiran Eropa dan getarannya terasa sampai sekarang. Apakah tepat bahwa kaum pascamodernis mengklaim Nietzsche sebagai kakek mereka dapat diragukan, tetapi bahwa ia menantang segala sistem pikiran tidak dapat diragukan. Heidegger, Jaspers, dan Camus merasa berhutang budi padanya. Psikologi alam tak sadar dibuka medannya olehnya. Padahal Nietzsche hampir tidak membaca buku filsafat apa pun kecuali filsafat Yunani. "Ia seorang amatir keterampilan filsafat, tetapi teresapkan keberanian fantasi berpikir yang senantiasa menariknya ke percobaan-percobaan pemikiran baru... Pemikiran Nietzsche kerasukan setan keekstremen dan ke arah mana pun ia menarik konsekuensi yang paling tajam.”[3] Etika barangkali tidak dapat belajar dari Nietzsche, tetapi ia pasti dikejutkan olehnya. Kejutan itu membuatnya merefleksikan diri. Oleh karena itu, Nietzsche yang anti moralitas sangat pantas dibahas dalam etika.
Friedrich Nietzsche lahir di Rocken di Saksonia, Jerman, pada tahun 1844. Ayahnya, seorang pendeta Lutheran, meninggal lima tahun kemudian sehingga Friedrich dibesarkan dalam lingkungan yang hanya terdiri dari wanita saleh: ibu, kakak, nenek dan dua tante. Sesudah gimnasium, tempat ia belajar mengagumi semangat Yunani, ia belajar bahasa Latin dan Yunani di Universitas Bonn dan Leipzig. Di situ ia sudah melepaskan iman Kristiani. Ia membaca Schopenhauer.
Atas rekomendasi profesornya, meskipun belum berumur 25 tahun dan belum mencapai doktorat, ia diangkat menjadi profesor di Basel, Swis. Dari situ ia banyak bergaul dengan Richard Wagner, komponis termasyhur yang waktu itu sangat dikaguminya. Namun, kemudian Nietzsche berbalik dan semakin membenci Wagner karena Wagner tetap menjunjung tinggi agama Kristiani. Namun, kesehatan Nietzsche memburuk. Pada tahun 1877 ia melepaskan keprofesorannya. Sejak itu, ia mengembara, terutama di Swis dan Italia. Pada saat itu ia menulis karya-karyanya yang paling besar, seperti Also sprach Zarathustra ("Demikianlah Sabda Zoroaster”), Jenseits von Gut und Bose ("Di Seberang yang Baik dan yang Jahat”), dan Zur Genealogie der Moral (“Tentang Asal Usul Moralitas”). Tahun 1889 ia jatuh sakit jiwa dan tidak sembuh lagi. Ia dibawa kembali ke Sachsen, dirawat oleh ibu dan kakaknya sampai meninggal tahun 1900.
B. Kehendak untuk berkuasa
1. Nietzsche bukan hanya seorang filsuf, melainkan seorang pujangga dan pengkritik kebudayaan. Ia sebenarnya bukan ahli filsafat dan tidak pernah menulis uraian yang sistematis. Mengartikan percikan pemikirannya secara metafisik sudah pasti menyesatkan. Ia tidak perduli apakah yang ditulisnya konsisten atau kontradiktif, dan sedikit pun tidak tertarik memberi pembuktian atau ”legitimasi” pada penilaian-penilaiannya. Ia senang menulis dengan tajam; dengan demikian, ia mengungkapkan pelbagai kebencian. Ia sinis, sarkastik, penuh ironi, juga terhadap dirinya sendiri sehingga kita akan ”berdosa” terhadap maksudnya yang sebenarnya kalau kita mempelajarinya dengan sangat serius. Ia justru senang menulis melawan garis, contra, terutama untuk mendestruksikan pendapat-pendapat yang sudah mapan.
Berikut ini tidak dicoba diberikan semacam sistematika. Judul "Kehendak untuk Berkuasa”, Wille zur Macht (juga menjadi judul kumpulan catatan-catatannya yang diterbitkan oleh kakaknya, tetapi nilai editorialnya diragukan) dipilih karena Nietzsche sendiri menyatakannya sebagai pusat filsafatnya.
2. Kesenangan untuk menentang sudah dilihat dalam pemikirannya yang pertama sekitar kebudayaan Yunani. Umumnya kesempurnaan sastra dan seni Yunani kuno yang begitu dikagumi ditempatkan dalam keseimbangannya: wajahnya terang, jernih, indah, positif, tenang, rasional, teratur, kuat dalam kemampuan untuk membatasi diri, bebas karena tahu diri, di tengah antara ekspresi dan penguasaan diri. Simbol keceriaan Yunani itu adalah Apollo, dewa cahaya. Nietzsche mengklaim bahwa pengartian itu salah sama sekali. Menurutnya, Apollo hanyalah kedok jiwa Yunani yang sebenarnya persis kebalikan: penuh nafsu, liar, gelap, irasional, dikuasai insting, tak teratur, penuh ketakutan, spontan, buruk, dan emosional. Dewa yang mengungkapkan jiwa Yunani yang sebenarnya itu adalah DIONYSOS, dewa orang kesurupan, kesuburan, dan orang mabuk. Yang rasional, indah, dan terang hanyalah topeng muka dionisik yang vital, penuh nafsu, dan gelap.
3. Bahwa Nietzsche mengutamakan sifat-sifat Dionysos sudah memperlihatkan patok-patok pemikirannya: primat nilai-nilai vital terhadap nilai-nilai rohani, kehendak terhadap akal budi, nafsu spontan terhadap tata tertib. Yang dikehendaki Nietzsche adalah die Umwertung aller Werte, penjungkirbalikan semua nilai. Namun, apakah penjungkirbalikan itu akan berhasil? Apakah nilai-nilai lama yang dihancurkan dapat diganti dengan nilai-nilai baru? Ataukah yang akan tinggal hanyalah puing-puing, kekosongan, ketiadaan, nihil? Nietzsche tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Ia memang melihat zaman NIHILISME muncul di cakrawala zaman modern. Nietzsche mengkhawatirkan nihilisme itu, tetapi ia tidak gentar terhadapnya kalau kehancuran alam lama harus melalui nihilisme itu.
Namun, Nietzsche bukan pembangun tatanan nilai baru. Yang dilihatnya sebagai panggilannya adalah penghancuran tatanan nilai lama yang diartikannya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena nilai-nilai tradisional itu berkaitan secara tak terpisah dengan agama, Nietzsche mempermaklumkan KEMATIAN ALLAH sebagai "peristiwa paling penting zaman ini”. Allah hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Nietzsche mengharapkan, bahkan menyatakan sebagai fakta, bahwa iman akan Allah, dan dengan demikian Allah sendiri, sedang mati dalam hati orang. Nietzsche secara fanatik menyangkal adanya Allah bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan karena dengan adanya Allah ia tidak melihat ruang bagi pengembangan diri manusia (gagasan ini kemudian menjadi inti ateisme Sartre). Allah dianggap musuh hidup. Karena itu, membebaskan diri dari pikiran Allah bagi Nietzsche berarti membebaskan manusia agar ia dapat hidup sendiri. Hanya kalau manusia membuang kepercayaan pada hidup di alam fana ia dapat hidup sepenuhnya di alam ini.
4. Dengan kematian Allah, Nietzsche melihat medan terbuka bagi kedatangan sang MANUSIA SUPER (Ubermensch). "Allah mati: sekarang kami mau agar hiduplah manusia super.”[5] Manusia super adalah manusia baru yang kembali ke semangat kekuasaan, yang telah bebas dari belenggu sistem nilai dan moralitas lama serta secara bebas mewujudkan KEHENDAK UNTUK BERKUASA (Wille zur Macht). Manusia super adalah manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang tidak dihadang oleh belas kasih dengan yang lemah, dan yang seperlunya berani bertindak kejam (die blonde Bestie, "binatang buas berambut pirang”, istilah yang dipergunakan kemudian oleh kaum Nazi sebagai pendukung ideologi rasial mereka). Apakah arti kata-kata itu? Nietzsche tidak menjelaskannya. Kita tidak mendapat jawaban bagaimana operasionalisasinya. Para ahli kebanyakan setuju bahwa pengartian rasial terhadap paham manusia super itu bertentangan dengan maksud Nietzsche. Apakah manusia super itu lebih dari ”sejumlah bingkai tanpa lukisan”? [6]
Manusia super adalah manusia yang sepenuhnya menghayati, atau lebih tepat: membiarkan diri diresapi oleh kehendak untuk berkuasa. Dari Schopenhauer, Nietzsche mendapat gagasan bahwa kehendak adalah hakikat realitas. Namun, berbeda dengan Schopenhauer, Nietzsche tidak berpikir secara metafisik. Ia tidak bicara tentang alam noumenal dan alam fenomenal, melainkan ia melihat di mana saja ada hidup, di situ ada kehendak untuk timbul, tumbuh, menjadi besar, mempertahankan diri, menjadi kuat, dan berkuasa. Hidup baginya adalah kehendak untuk berkuasa. Segala apa yang hidup mencari kekuasaan, bahkan hanya mencari kekuasaan. (Gagasan ini kemudian cukup berpengaruh pada psikologi, terutama pada psikologi Alfred Adler.) Karena hidup adalah nilai tertinggi manusia yang betul-betul menjadi diri, manusia yang mencari identitasnya harus mengatasi cita-cita kemanusiaan yang ditentukan oleh moralitas lama dan mewujudkan kehendak untuk berkuasa.
Dalam pandangan Nietzsche, kehendak untuk berkuasa berarti membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segala macam aturan yang mengerem nafsu dan insting. Berkuasa berarti berani bersemangat dan hidup menurut semangat itu. "Dengan kritiknya yang tajam, Nietzsche tidak bermaksud memadamkan semangat atau menyebarkan pesimisme budaya. Tidak tanpa alasan ia menyebut filsafat hidupnya yang kritis terhadap kebudayaan sebagai 'pembukaan sebuah filsafat masa depan'. Namun, paham-pahamnya yang dipakai untuk mengungkapkan kehendak yang mengiyakan diri sebagai hidup, yang mengarah ke masa depan itu tidak lebih daripada kehendak untuk berkuasa, perjuangan, peternakan, manusia super, 'orang-orang kuat masa depan', 'binatang buas berambut pirang', jarak, hierarki, dan sebagainya. Jadi, paham-paham itu secara historis dan sosiologis-konkret tidak jelas.”[7]
5. Dengan tidak adanya Allah, segala-galanya di dunia bergerak dan berkembang dari kekuatannya sendiri. Tak ada permulaan, tak ada akhir, dan tak ada kebebasan. Semuanya akhirnya terdeterminasi (anggapan yang tidak mengganggu obsesi Nietzsche dengan kehendak untuk berkuasa). Karena itu, tidak mungkin hanya ada kemajuan. Akhirnya, semuanya harus runtuh dan hancur dan seluruhnya dimulai lagi. Itulah ajaran terkenal—dan aneh—Nietzsche tentang KEMBALI ABADI segala-galanya. Menurut Nietzsche, gerak alam semesta dalam waktu bagaikan sebuah roda raksasa. Garis gerak itu tidak lurus melainkan berlingkar sempurna. Kita naik dan kita turun dan kemudian semuanya akan kembali, persis sama dengan yang sekarang. Nietzsche tidak pernah sempat menjawab sekian banyak pertanyaan yang mudah dapat muncul sekitar anggapannya itu.
C. Moralitas budak dan moralitas tuan
1. KEBENCIAN paling buas diarahkan Nietzsche kepada AGAMA KRISTEN. Menurut Nietzsche, agama Kristen telah memenangkan sikap-sikap yang mencegah perkembangan manusia super yang vital, ganas, dan ditentukan oleh kehendak akan kekuasaan. Agama Kristen mengajarkan cinta kasih, kesediaan untuk menerima, untuk tidak membalas dendam, untuk memaafkan, untuk mencintai musuh, untuk bersedia mengurbankan diri. Agama Kristen memuji mereka yang berhati miskin, mau berdamai, baik hati, dan lemah lembut. Moralitas, sebagaimana dimuat dalam "khotbah di bukit” (Mat 5), bagi Nietzsche adalah tanda pemujaan terhadap yang sakitan dan kalah. Menurutnya agama Kristen ”secara prinsipiil menyelamatkan yang sakit dan menderita, ... memutarbalikkan segala ... yang kuat, membusukkan harapan-harapan besar, mencurigai kebahagiaan dalam keindahan, mematahkan yang angkuh, jantan, si penindas, si rakus kuasa, semua naluri yang dimiliki tipe 'manusia' yang paling tinggi dan berhasil, sampai menjadi kebimbangan, siksaan suara hati, perusakan diri ...”.[8] Dengan lain kata, Nietzsche membenci apa yang menjadi inti moralitas Kristiani, yaitu cinta kasih, perhatian kepada yang lemah, dan kerendahan hati karena menurutnya yang baik adalah yang angkuh, keras, yang maju mengikuti insting dan nafsu, tanpa memperhatikan mereka yang lemah.
2. Moralitas Kristiani oleh Nietzsche dianggap MORALITAS khas BUDAK. Kemenangan agama Kristiani atas agama Romawi diartikannya sebagai PEMBERONTAKAN KAUM BUDAK yang sudah dimulai dalam agama Yahudi. Para budak tidak suka ditindas, tetapi juga tidak mampu untuk membebaskan diri. Karena itu, mereka memutarbalikkan semua nilai yang sampai saat itu dianggap positif: ciri-ciri yang dibanggakan oleh orang kuat, MORALITAS manusia TUAN, dijadikan tanda keburukan, sedangkan ketidakmampuan mereka sendiri diangkat menjadi hakikat sikap baik. Jadi, menurut Nietzsche moralitas budak lahir dari SENTIMEN (Resentiment) orang lemah terhadap orang kuat. Budak tidak dapat menjadi tuan, yang lemah tidak dapat menjadi kuat, maka ia sentimen, ia merendahkan sifat-sifat orang kuat dan meninggikan sifat-sifat orang lemah. Dengan demikian, yang baik dalam moralitas tuan menjadi buruk dan yang buruk dalam moralitas tuan menjadi baik. Kebaikan moral disamakan dengan sikap-sikap seperti menerima, rendah hati, berkurban, melindungi mereka yang miskin dan lemah. Sedangkan kehendak untuk menang, untuk menyatakan diri, seperlunya dengan menindas orang-orang lain, ciri khas orang kuat, dianggap salah dan dosa. Moralitas budak yang berdasarkan sentimen atau rasa iri itu diinternalisasikan dan menjadi SUARA HATI. Suara hati—yang kemudian oleh Sigmund Freud akan disamakan dengan superego—membuat orang yang angkuh, yang ingin menikmati, yang mau maju dan merealisasikan kehendaknya sendiri, merasa bersalah. Dengan cara itu, mereka yang kuat dapat dipatahkan dari dalam.
3. Jadi, Nietzsche membedakan dua macam moralitas—yang dalam kenyataan, menurut Nietzsche sendiri, tidak muncul secara murni, melainkan masih bergelut satu sama lain—, yaitu moralitas budak dan moralitas tuan. MORALITAS BUDAK adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas orang yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan oleh karena itu lalu merasa sentimen atau iri terhadap mereka yang mampu, yang kuat. Karena itu, ia mau mengebiri mereka dengan aturan-aturan moral yang menjegal sikap-sikap keras dan berani serta menjunjung tinggi keseimbangan, yang menggagalkan individualitas dan memenangkan massa. Ia membenci excellency dan memuji yang pukul rata. Suara hati diartikan sebagai kebengisan dan agresi orang yang telah dikebiri, yang terlalu lemah untuk langsung melampiaskannya, maka diarahkan kepada dirinya sendiri dan menjadi suara dalam dirinya sendiri yang menggagalkan segala usaha yang luhur dan berani. Dengan penuh cemooh, Nietzsche menulis, "Di mana moralitas budak mulai menang, bahasa menunjukkan kecenderungan untuk mendekatkan arti kata 'baik' dan 'bodoh'.”[9] "Moralitas sebagai sikap mental: kurang sedap!”[10]
Moralitas budak itu meresapi seluruh kebudayaan. "Hampir segala apa yang kita sebut 'kebudayaan tinggi' berdasarkan perohanian dan penginternalisasian kebengisan ... dan 'hewan ganas' itu belum jadi dibunuh, masih hidup, berkembang, hanya diilahkan” (sebagai suara hati [11]). Jadi, yang baik bagi orang kuat: kekuatan, keberanian, kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah kehidupannya, dalam moralitas budak dianggap buruk, egois, dan sebagainya, sedangkan yang dijunjung tinggi adalah yang dianggap hina oleh orang kuat: cinta kepada yang biasa, kesederhanaan, ketenteraman, belas kasih. Moral budak adalah moralitas kawanan (Herdenmoral), sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur. Ke dalam moralitas budak, Nietzsche tidak hanya memasukkan agama Kristiani, melainkan juga gerakan demokrasi (karena menolak kekuasaan diktator dan elite, jadi memenangkan massa terhadap mereka yang kuat, terhadap para tuan) dan sosialisme (yang dianggapnya padanan agama Kristiani, gerakan berdasarkan sentimen orang-orang lemah berjiwa budak yang iri terhadap mereka yang kuat dan kaya). Begitu pula, teori hukum kodrat, Pencerahan, liberalisme dan kapitalisme, oleh Nietzsche digambarkan sebagai musuh hidup. Akhirnya, apa pun yang bercita-cita ditolak Nietzsche.
4. Untuk melawan moralitas budak itu, Nietzsche menempatkan MORALITAS TUAN. Dalam moralitas manusia tuan, 'baik' adalah sama dengan 'luhur' dan 'buruk' sama dengan 'hina'. ”Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung: begitu pula si pencuriga yang tidak berani menatap mata lawan bicara, yang merendahkan diri, si manusia macam anjing yang suka disiksa, si penjilat yang mengemis-ngemis, terutama si pembohong ....”[12] Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa.
Kalau kita bertanya bagaimana konkretnya moralitas tuan itu, apa artinya sikap-sikap seperti ”luhur” dan ”mulia”, Nietzsche tidak banyak membantu. Apakah moralitas tuan lebih dari kebencian terhadap yang lemah (dan andaikata demikian, moralitas tuanlah moralitas yang berdasarkan sentimen!)? Yang jelas, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting, pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri. Moralitas tuan akan melahirkan manusia super. Namun, seperti gagasan manusia super itu sendiri tinggal verbal, begitu pula moralitas tuan tidak diuraikan.
5. Kalau dilihat secara teoretis, paham moralitas Nietzsche merupakan contoh jelas RELATIVISME MORAL yang NORMATIF. Nietzsche menolak secara eksplisit anggapan bahwa norma-norma moral berlaku mutlak dan universal. Setiap golongan orang mempunyai moralitasnya sendiri, entah moralitas tuan, entah moralitas budak. Karena moralitas tuan berarti bahwa manusia mewujudkan sendiri nilai-nilanya, maka memang tidak ada moralitas universal.
Sebaliknya, anggapan bahwa ada moralitas universal—yang tentunya salah satunya moralitas budak, seperti moralitas Kristen—sudah merupakan tanda sentimen: moralitas itu mau menjegal mereka yang kuat dari menikmati kekuatan mereka. Moralitas yang menklaim diri universal hanyalah usaha untuk memastikan dominansi mereka yang lemah di atas yang kuat. Dengan demikian, pemikiran Nietzsche tentang moralitas termasuk bentuk KRITIK IDEOLOGI menurut pola "TIDAK LAIN DARIPADA”[13]: Nietzsche mengkritik moralitas masyarakat Barat sebagai sentimen kaum lemah, sebagai "tidak lain daripada” kebencian mereka yang terlalu lemah untuk menentukan hidup mereka sendiri terhadap mereka yang kuat dan luhur. Nietzsche mengkritik moralitas budaya Barat itu sebagai "ideologi kaum lemah” (agak berlawanan dengan Marx yang mengartikannya sebagai ideologi kaum kuat), sebagai ungkapan sentimen yang, karena tidak mampu kuat sendiri, menyatakan sikap-sikap kuat sebagai dosa dan sikap-sikap lemah sebagai baik.
D. Dampak dan tanggapan
1. Terutama para pemikir eksistensial dan eksistensialis, seperti Heidegger, Jaspers, Sartre, dan Camus, sangat menjunjung tinggi Nietzsche. Bagi mereka, Nietzsche mendobrak klise-klise budaya borjuis abad ke-19, menempatkan kembali manusia yang asli ke pusat perhatian serta meramalkan kedatangan nihilisme. Jadi, yang amat kuat pengaruhnya dalam banyak aliran filsafat kemudian adalah KRITIK NIETZSCHE terhadap pelbagai kebohongan dan kepalsuan dalam budaya masyarakat borjuis, termasuk budaya berpikir dan berfilsafat.
Namun, anggapan-anggapan Nietzsche sendiri, seperti kehendak untuk berkuasa, manusia super, dan moralitas tuan, tidak diterima sama sekali (kecuali, dengan diputar dan disalahgunakan, oleh fasisme, lebih-lebih oleh Nasional-sosialisme Jerman). Nietzsche diterima sebagai si perusak, bukan sebagai si pembangun.
2. Apakah KRITIK NIETZSCHE terhadap moralitas umum sebagai moralitas budak kena? Apakah moralitas yang memperhatikan orang lemah dan sakit serta menganjurkan agar orang tahu diri dan menguasai nafsu-nafsunya tidak lebih dari ungkapan sentimen mereka yang tidak berdaya?
Kiranya setiap moralitas dan setiap sistem nilai budaya akan mempunyai kelemahan-kelemahan serta segi-segi yang ambivalen. Mungkin juga bahwa justru moralitas resmi Eropa abad ke-19, moralitas ”borjuis” dengan tekanan pada hak milik, kemapanan, kesopanan yang mau meniru-niru budaya para bangsawan, dengan moralitas seksual yang sempit, dan dengan tekanan pada unsur-unsur seperti kerajinan, ketepatan waktu, dan sikap hemat, mengandung unsur-unsur kemunafikan. Adalah jasa Nietzsche bahwa ia membuka ambivalensi yang inheren dalam moralitas itu. Bahwa budaya hati lebih daripada kemampuan untuk mengambil sikap-sikap tata krama tepat dalam setiap situasi, bahwa manusia hendaknya berani menjadi otentik, berani menjadi diri sangatlah penting dan menjadi inti utama dalam etika Eksistensialisme.
Sebuah etika yang hanya menekankan penyesuaian diri dan sikap menerima, yang memutlakkan kerukunan dan menutup-nutupi konflik, yang menuntut agar orang selalu membawa diri secara seimbang serta jangan sampai menonjol dapat menjadi kerangkeng dan kebohongan eksistensial. Kebaikan moral dapat merosot menjadi rasionalisasi kelemahan dan ketakutan terhadap segala konfrontasi. Altruisme, sikap orang yang selalu mendahulukan orang lain dan seakan-akan melupakan diri serta senang melayani, secara psikologis pun meragukan. Kepribadian yang kuat dan seimbang dalam arti baik juga harus dapat menjadi marah, dapat menolak melayani, mampu memperhatikan kebutuhan sendiri, berani bertindak melawan arus, serta mengajukan tuntutan yang keras kepada orang lain.
Analisis Nietzsche dapat membuat kita menjadi lebih kritis terhadap mutu moralitas kita sendiri. Petunjuk pada peran sentimen sebagai salah satu daya motivatif kuat yang dapat meracuni seluruh sikap seseorang (yang kemudian dikembangkan oleh Max Scheler) merupakan salah satu penemuan Nietzsche yang paling penting. Anggapan bahwa suara hati dapat menjadi ungkapan kebencian seseorang terhadap dirinya sendiri kemudian dikembangkan dalam psikoanalisis. Orang yang selalu takut berdosa, yang selalu bertanya apakah tindakan itu betul atau salah tidak mampu memandang dunia, masyarakat, bahkan dirinya sendiri secara positif, tidak mampu pula membangun sikap tanggung jawab.
3. Namun, apakah dari kemungkinan adanya distorsi-distorsi dalam kesadaran moral dapat ditarik kesimpulan bahwa KESADARAN MORAL itu sendiri sesuatu yang negatif? Ambil saja tuntutan etika Jawa agar orang bersedia untuk narima. Bisa saja narima menjadi kedok orang yang lemah, takut konflik, dan tidak berani bertanggung jawab. Bisa saja orang itu "menerima" apa saja, menelan apa saja, membiarkan diri dihina dan diinjak dan hanya malu-malu senyum saja. Namun, bukan itulah yang dimaksud dengan sikap narima. Narima berarti mampu menerima hal-hal yang berat tanpa patah, tidak memberontak seperti anak kecil apabila mengalami peristiwa yang tidak disenangi, tahu bahwa banyak pengalaman dalam hidup memang harus diterima, tetapi kuat untuk tetap bangkit kembali, untuk terus bertanggung jawab dan tetap berani bertindak. Orang yang dapat menerima kejadian apa pun dari luar tidak dapat dihancurkan dan mampu untuk mulai lagi.
Begitu pula, apakah perhatian kepada orang kecil, solidaritas aktif, kesediaan untuk menunda pemuasan keinginan sendiri demi saudara merupakan tanda kelemahan atau kekuatan? Bukankah amat aneh bahwa Nietzsche menjelek-jelekkan baik kapitalisme maupun sosialisme? Siapa yang lebih benar: Nietzsche yang mengatakan bahwa orang kuat mengikuti nafsu-nafsunya, atau para ahli kerohanian hampir segala agama dan kebudayaan yang, sebaliknya, mengatakan bahwa orang baru kuat kalau ia dapat menguasai nafsu-nafsunya? Apa bedanya antara mengikuti segala kehendak, insting, dan nafsu serta diperbudak olehnya? Tekanan agama Kristiani, dan juga agama Islam serta Kejawen agar manusia menguasai diri, merupakan tanda kekuatan, bukan kelemahan. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang tenang, yang tidak ditentukan oleh apa pun yang tidak disetujuinya? Barangkali maksud Nietzsche begitu pula. Namun, tekanannya pada nilai-nilai vital, pada kebinatangan dalam manusia serta pada nafsu dan insting, disertai cemoohannya terhadap mereka yang menguasai diri, memberikan kesan bahwa ia justru tidak tahu apa arti kepribadian yang kuat. Siapa yang lebih kuat: orang yang langsung mau membalas dendam, yang cepat mata gelap, yang begitu kena senggol menarik clurit, atau orang yang hanya tersenyum atau bahkan tertawa serta bersedia berjabat tangan? Lagi, yang kuat itu siapa? Orang yang begitu kena pukul tak bisa tidak pukul kembali, atau orang yang, sebagaimana dituntut Yesus (Mt. 5,39), kalau dipukul pipi kanannya dengan tenang menawarkan pipi kirinya? Begitu pula, kebebasan untuk mengakui manusia yang lemah merupakan tanda kekuatan kepribadian dan bukan tanda kelemahan.
Sulit untuk menghindari kecurigaan bahwa contoh terbaik kemungkinan distorsi moralitas oleh sentimen adalah Nietzsche sendiri. Nietzsche secara fisik lemah, ia dibesarkan dalam lingkungan yang tidak ada prianya, dalam suasana Protestan yang amat saleh. Ia pribadi amat kontras dengan manusia super yang dilukiskannya. Apakah karena itu, ia dengan kebencian luar biasa terdorong untuk menyobek apa pun yang kelihatan suci, saleh dan susila, untuk di mana pun mencium kemunafikan, untuk mengartikan apa pun sebagai "bukan lain hanyalah” perasaan iri, jadi yang membuatnya buta terhadap apa saja yang betul-betul bernilai? Kekuatan kepribadian termasuk juga kemampuan untuk menemukan kebesaran hati orang lain meskipun barangkali tertutup oleh macam-macam sampah.
Franz Magnis-Suseno, rohaniwan, guru besar filsafat STF Driyarkara
Sumber:
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997


0 komentar:
Posting Komentar