alt/text gambar

Kamis, 25 Desember 2025

Topik Pilihan:

Kebenaran dan Para Kritikusnya: Sebuah Prakata

buku F. Budi Hardiman, Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2023


Oleh: F. Budi Hardiman


Agenda filsafat adalah pencarian kebenaran. Untuk itu, dalam sejarahnya, filsafat selalu berpolemik tentang kebenaran. Jawaban yang diperoleh tidak pernah final. Karena itu, termasuk dalam pencarian kebenaran, filsafat memeriksa bagaimana orang memberi jawaban-jawabannya. Filsafat bertanya dan mengajak berpikir lebih lanjut. 

Pertanyaan-pertanyaan filosofis menyentuh persoalan kebenaran. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti: apakah asal-usul segala sesuatu? apakah manusia itu? bagaimana kita tahu sesuatu? apa makna sejarah dan apakah waktu itu? diberikan oleh bidang-bidang yang berbeda-beda dalam filsafat, seperti metafisika, antropologi, epistemologi, dan seterusnya. 

Namun, tetap saja persoalan kebenaran membayangi bidang-bidang itu karena pada gilirannya kita bisa mengajukan pertanyaan: benarkah jawaban-jawaban itu? Jika ya, dalam arti apa benar? Tampaknya kita tidak akan pernah bisa mengelak dari persoalan kebenaran, maka sebaiknya kita dengan sengaja mempersoalkannya. 

Dengan judul “Kebenaran dan Para Kritikusnya”, buku ini mendiskusikan problem kebenaran dalam filsafat, khususnya dalam filsafat sains kontemporer. Tentu saja diskusi buku ini sebagian kecil saja dari diskusi tentang masalah kebenaran dalam filsafat.

Kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat adalah konsep kebenaran, yaitu pemahaman tentang apa itu kebenaran. Ketika orang berkata: “Itu benar”, kita bisa balik bertanya: "Apa maksudmu dengan 'benar'?", maka jawaban orang itu sedikit banyak mengacu pada 'konsep' tentang kebenaran. Jawaban orang itu merupakan bagian argumentasi tentang apa itu kebenaran. Argumentasi macam itulah yang kita sebut di sini diskursus kebenaran. 

Jadi, buku ini adalah sebuah diskursus kebenaran. Tentu saja diskursus kebenaran bukanlah kebenaran, maka bisa benar atau salah. Bukankah Anda tidak perlu menyetujui sebuah argumen sebagai kebenaran? Meski demikian, penting untuk mengetahui manfaatnya. 

Dengan mengikuti diskusus kebenaran kita menjadi lebih kritis, dan sikap kritis sangat penting justru di era komunikasi digital ketika kemampuan untuk memilih dan memilah informasi secara bijaksana cukup menentukan kelangsungan hidup kita. 

Alasan untuk itu jelas: diskursus kebenaran membantu kita mengeksplisitkan konsep kebenaran yang diandaikan begitu saja di dalam komunikasi baik digital maupun korporeal sehingga kita dapat berhati-hati dengan klaim-klaim kebenaran yang diucapkan siapa pun dan dari sumber mana pun. 

Buku ini dibingkai dengan sebuah tilikan historis filosofis: kebenaran yang semula menyangkut seluruh eksistensi kita lambat laun menyempit menjadi klaim rasional. Konsep ontologis tentang kebenaran, sebagaimana masih terdapat di dalam agama-agama dunia dan filsafat kuno, bergeser menjadi konsep epistemologis tentang kebenaran. 

Awalnya pergeseran ini terjadi di Barat, tetapi kemudian juga sampai kepada kita semua di belahan lain bumi kita. Saya akan bergargumen bahwa sains modern dan modernitas berpengaruh sangat besar terhadap apa yang nanti akan kita sebut epistemologisasi kebenaran itu. 

Epistemologisasi kebenaran ini merupakan alasan mengapa kebenaran dipahami secara sempit sebagai fakta atau kebenaran faktual yang praktis telah memperoleh supremasi dan hampir tidak dapat dibantah lagi. Diskursus kebenaran kemudian akan masuk ke dalam kritik-kritik atas sains dan kebenaran faktualnya. 

Saya mengulik konsep itu dengan bantuan para filsuf kontemporer yang saya sebut 'para kritikus kebenaran'. Tentu saja kritik mereka adalah sebagian saja dari kritik-kritik atas positivisme, objektivisme, saintisme, naturalisme. 

Saya hanya mengambil beberapa contoh, yakni dari filsafat ilmu baru, hermeneutik, fenomenologi, poststrukturalisme, teori kritis. Semuanya merupakan bagian kesinambungan proyek dalam beberapa buku saya terdahulu untuk memproblematisasi positivisme. 

Akan jelas dari isi buku ini bahwa saya tidak menolak konsep kebenaran faktual sebagaimana dipegang teguh dalam sains modern, jurnalisme, pengadilan, dan bahkan demokrasi. Yang saya upayakan dengan bantuan para kritikus kebenaran itu adalah mendudukkan konsep kebenaran faktual pada tempatnya dalam arsitektur pemikiran yang terbuka terhada kemajemukan nilai. 

Setelah melakukan intellectual Odyssey melalui interpretasi kritis atas pemikiran delapan filsuf kontemporer, diskursus kebenaran akan pulang kembali kepada konsep ontologis tentang kebenaran. 

Namun, alih-alih merehabilitasi konsep ontologi klasik tentang kebenaran, diskursus akan menawarkan tipologisasi ontologi-ontologi agar kita menjadi lebih terbuka terhadap kemajemukan nilai masyarakat dewasa ini. 

Pendirian terbuka tidak perlu dikategorikan entah sebagai konservatif atau progresif. Filsafat memang memiliki tugas retrospektif untuk memahami sejarah. Kita bisa membaca ilustrasi Hegel tentang burung hantu dari Minerva dalam prakata bukunya tentang filsafat hukum. Katanya, filsafat baru muncul sesudah proses sejarah selesai, yakni kehidupan menjadi tua. 

“Burung hantu dari Minerva mulai terbang baru di saat senja datang”, begitu tulisnya. Artinya, kebenaran baru dipahami di akhir sejarah. Namun, kita belum di titik itu. Karena itu, selain memiliki tugas retrospektif, filsafat juga memiliki tugas prospektif untuk mengantisipasi kebenaran yang akan datang. 

Dalam arti ini, pemikiran terbuka tidak akan memastikan bahwa pencarian kebenaran sudah selesai, entah dalam sains tertentu, dalam filsafat tertentu atau dalam agama tertentu, karena kebenaran yang menyingkap kepada pemikiran itu berada di dalam tegangan antara sudah dan belum. Saya akan berargumentasi ke arah itu. 

Buku ini selesai ditulis di awal tahun 2023 yang dipenuhi dengan harapan akan pemulihan dari pandemi Covid-19. Atas selesainya buku ini pertama-tama saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Komunitas Salihara Jakarta yang telah mengundang saya untuk memberikan seri kuliah publik bertopik “Kebenaran di Medan Tempur Pasca Kebenaran” di bulan Maret 2021 yang lalu.

Makalah-makalah kuliah itu merupakan studi awal atas topik buku ini yang saat itu merupakan respons atas politik pasca kebenaran dan perdebatan tentang sains dan agama yang berlangsung lewat Facebook (perdebatan itu kemudian dibukukan dalam Goenawan Mohamad et.al. (ed), Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran). 

Ucapan terima kasih juga tertuju kepada para kolega Universitas Pelita Harapan, khususnya Faculty of Liberal Arts, yang telah memberikan kondisi yang menantang saya untuk memikirkan problem buku ini. 

Akhirnya, saya juga berterima kasih kepada Penerbit PT. Kanisius yang telah menerbitkan buku ini sehingga sampai ke tangan para pembacanya. Semoga buku ini dapat memprovokasi pikiran agar kita tidak terlalu cepat menerima sesuatu sebagai kebenaran. 

F. Budi Hardiman, guru besar filsafat

Tangerang Selatan, 1 Januari 2023 

Sumber

Prakata buku F. Budi Hardiman, Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2023

Sampul belakang

Sinopsis:

Buku ini adalah sebuah diskursus kebenaran. Jalan masuknya bukan lewat pintu agama, melainkan lewat pintu filsafat sains kontemporer. Dahulu dalam agama dan filsafat, kebenaran masih menyangkut seluruh kenyataan. Namun, dalam pengaruh sains modern, kebenaran mulai dipahami secara sempit sebagai kebenaran faktual. 

Mengapa kebenaran faktual bukan seluruh kebenaran? Bagaimana kebenaran terkait zaman?Mengapa kebenaran tidak lain daripada kedok kekuasaan? Bisakah kita mengatasi relativisme kebenaran lewat komunikasi rasional? ) Di manakah posisi agama, filsafat, dan sains dalam pencarian kebenaran? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, penulis mengomentari secara kritis pemikiran Kuhn, Feyerabend, Rorty, Dilthey, Heidegger, Gadamer sampai Foucault dan Habermas. Lewat perjalanan intelektual yang cermat dan penuh kesabaran ini, ia mengajak kita keluar dari pemikiran yang menyempitkan kebenaran sebagai fakta.

Bersama Heidegger, ia melakukan ontological turn dengan mengangkat kembali diskursus kebenaran ke ranah ontologis, di mana agama, filsafat, dan sains dapat dilihat sebagai upaya-upaya pencarian kebenaran. 

Sebuah buku yang mengingatkan kita agar tidak terburu-buru memetik kebenaran sebelum matang, sehingga kita terbebas dari jebakan saintisme, ideologi, dan radikalisme agama. 


Prof. Dr. F. Budi Hardiman. Guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan. Menulis belasan buku filsafat antara lain: Demokrasi Deliberatif (2009), Seni Memahami (2015), Demokrasi dan Sentimentalitas (2018), Aku Klik maka Aku Ada (2021). Buku ini adalah bukunya yang ke-16. 


Catatan: judul tulisan di atas bukan dari FBH, tapi dari saya. 



0 komentar:

Posting Komentar