Resensi oleh: Imam Walujo
Judul buku: ANGKATAN 66, SEBUAH CATATAN HARIAN MAHASISWA
Penulis: Yozar Anwar
Penerbit: Sinar Harapan, 1980
Tebal: 210 halaman
(TEMPO, No. 43, Thn. X, 20 Desember 1980)
Sebuah catatan harian seorang aktivis mahasiswa, kala Angkatan 66 muncul dan bergerak. Apa sebenarnya yang diperjuangkan angkatan itu? Dan menjadi apa "Angkatan 66" itu kemudian?
Bila ingin membaca kisah tentang semangat dan kepahlawanan, buku ini cukup memenuhi yang diharap. Heroiknya perjuangan Angkatan 66 dilukiskan dengan semangat yang tinggi. Maklum, Yozar Anwar sendiri, penulis buku ini, salah seorang ketua presidium KAMI Pusat mewakili Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal) ketika itu. Bisa dipahami kalau Yozar dalam mengisahkan peristiwa yang berlangsung 8 Januari 1966 sampai dengan 11 Maret 1966 (menurut catatan hariannya), hampir tak mengambil jarak antara dirinya dan peristiwa yang dilukiskannya.
Sama halnya dengan buku Christianto Wibisono, Aksi-Aksi Tritura (1970), buku ini pun menggambarkan perjuangan Angkatan 66 dengan penglihatan hitam-putih. Isi kedua buku pun boleh dikata hampir sama. Bahkan komentar pribadi penulis yang disisipkan di sana- sini, hanya menambah makin hitam-putihnya cara menyajikan perjuangan Angkatan 66. Pokoknya: Soekarno dkk. hitam, KAMI dkk. putih.
Tak Terasa?
Dari sebuah buku yang ditulis berdasar catatan harian, sebenarnya tak banyak ulasan yang dapat diberikan. Tapi satu dua pertanyaan memang mengganggu di kepala – selesai membaca buku ini.
Misalnya, kalau benar demikian hebat perjuangan Angkatan 66, seperti yang dilukiskan Yozar, mengapa tampaknya dalam perkembangan selanjutnya seperti tidak terasa? Dan entah kebetulan entah tidak, baik Yozar maupun Christianto mengakhiri kisah perjuangan Angkatan 66 pada 11 Maret 1966. Yaitu saat dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Ini menimbulkan kesan seolah perjuangan Angkatan 66 berakhir pada tanggal tersebut.
Kenyataannya, sejak itu tubuh KAMI memang tanggal satu persatu – dan mati beberapa tahun kemudian. KAMI muncul di panggung politik secara spontan untuk kemudian hilang tanpa bekas. Bila demikian, apa sebenarnya yang diperjuangkan secara mendasar oleh Angkatan 66?
Kita mengetahui perjuangan Angkatan 66 terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura): bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora dan turunkan harga. Pada 11 Maret 1966 yang menjadi kenyataan baru dwitura: dibubarkannya PKI oleh Letjen Soeharto dan perombakan kabinet yang dilakukannya setelah itu. Sedang tuntutan yang ketiga belum terlaksana – bahkan sampai sekarang.
Tapi nampaknya perjuangan Angkatan 66 memang hanya sampai di situ. Yozar menulis: "Sabtu, 12 Maret siaran pagi warta berita RRI: Letjen Soeharto dengan Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan segala ormasnya. Dengan demikian, kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini. Jakarta diliputi suasana pesta kemenangan . . . (hal. 198). Dan di halaman 199: "Tapi, apakah dengan kemenangan yang tercapai berarti perjuangan telah selesai? Apakah perjuangan Tritura tamat riwayatnya?"
Yozar menutup tulisannya dengan harapan agar kita tidak mengulangi kegagalan revolusi '45. ". . . Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru dan dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Namun, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Pengalaman pahit ini tidak boleh terulang lagi. Kita sudah cukup banyak dan lama mengalami penderitaan" (halaman 200).
Bila disimak, yang diharap Yozar Anwar – seorang tokoh mahasiswa ketika itu – terhadap perjuangan Angkatan 66, jelas bukan sekedar pembubaran PKI. Ada yang lain yang lebih dari itu: "suatu kemenangan yang mencerminkan perubahan dan kemajuan. Suatu kehidupan yang aman dan damai, demokratis, kepastian hukum. Pendek kata, suatu jaminan hak-hak asasi manusia dan adanya keadilan dan kebenaran yang berlaku" (halaman 200).
Bila demikian, perjuangan Angkatan 66 harus diakui memang besar dan mendasar. Kami percaya, apa yang dirasakan di hati Yozar juga dirasakan ribuan mahasiswa dan pemuda lainnya ketika itu. Tapi kenyataan kemudian menunjukkan, bahwa Angkatan 66 tidak lebih hanya merupakan persekutuan taktis yang sesaat untuk suatu kepentingan politik tertentu.
Bukan maksud kami dalam kesempatan ini mengupas perjuangan Angkatan 66. Tapi alangkah baiknya, bila dalam kesempatan mendatang dapat ditulis buku mengenai perjuangan Angkatan 66 secara lebih obyektif. Bahwa pada 1966 mahasiswa dan pemuda beraksi dengan gagah dan berani, adalah benar. Tapi di balik itu, apa? Ini perlu, agar Angkatan 66 tidak menjadi sesuatu yang ada tapi tiada. Sekaligus memenuhi anjuran Yozar sendiri, agar kita mampu belajar dari sejarah.
Imam Walujo. ▪
Sumber:TEMPO, No. 43, Thn. X, 20 Desember 1980

0 komentar:
Posting Komentar