Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham “bangsa” itu. ”Bangsa itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukan pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya. Nasionalisme itu ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa” !
Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan diatas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri didalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.
Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Budi Utomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang manimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia –Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa nasionalisme, -jang, oleh kepercayaan diri sendiri itu,begitu gampang menjadi kesombongan –bangsa,dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua,ialah kesombongan-ras walaupun faham ras(jenis)ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa,oleh karena ras itu ada faham biologis, sedang nasionaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), -apakah nasionalisme itu dalam perjuangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakeketnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangasa dan bermacam-macam ras, -apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang Internasional,interrasial itu? http://pikiransoekarno.blogspot.comcom
Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! Sebab, walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan,satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah di jalani oeh rakyat itu”, -maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia- kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; -bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa”satu golongan, satu bangsa”; -bahwa sagala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beraus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal- ikhwal” persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa -golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; btul sampai kini, belum ada pesahabatan yang kkoh diantara fihak-fihak pergerakan di Indonesia –kita ini, -akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi.Jikalau kita sekarang mau berselisih,amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula! Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Apakah rasa nasionalisme, -jang, oleh kepercayaan diri sendiri itu,begitu gampang menjadi kesombongan –bangsa,dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua,ialah kesombongan-ras walaupun faham ras(jenis)ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa,oleh karena ras itu ada faham biologis, sedang nasionaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), -apakah nasionalisme itu dalam perjuangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakeketnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangasa dan bermacam-macam ras, -apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang Internasional,interrasial itu? http://pikiransoekarno.blogspot.comcom
Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! Sebab, walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan,satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah di jalani oeh rakyat itu”, -maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia- kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; -bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa”satu golongan, satu bangsa”; -bahwa sagala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beraus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal- ikhwal” persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa -golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; btul sampai kini, belum ada pesahabatan yang kkoh diantara fihak-fihak pergerakan di Indonesia –kita ini, -akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi.Jikalau kita sekarang mau berselisih,amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula! Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya, maka cinta saya pada tanah- air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia.Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Parsi,fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putra Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini! Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekelnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad Ali, dengan Pan- Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai
Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridho hati menerima faham-faham Marxis: tak stuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme , tak setuju pada kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu juga berubah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridho hati menerima faham-faham Marxis: tak stuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme , tak setuju pada kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu juga berubah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya, asal mau saja. . . tak kuranglah jalan kearah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati atau sama lain, keinsyafan akan pepatah ”rukun membikin sentosa” (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah pesatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini. .............................(bersambung) www
0 komentar:
Posting Komentar