alt/text gambar

Jumat, 09 Oktober 2015

Topik Pilihan:

BLBI dan Tanggung Jawab Para Antek IMF


Oleh: DR Rizal Ramli


Penyaluran BLBI dilakukan karena krisis moneter dan finansial yang semakin luas di Indonesia. Krisis yang berawal terjadi di Thailand pada 1997 itu menjalar ke Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada di negara asalnya.

Hal itu lantaran ada sejumlah kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Antara lain banyaknya aliran hot money, sektor korporasi yang terlalu banyak utang valuta,dan sektor perbankan yang keropos. Di samping itu, sejumlah kebijakan keliru yang diambil Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan (Depkeu) pada awal krisis justru memperparah dan memperdalam krisis menjadi krisis ekonomi dan akhirnya krisis sosial politik.Salah satu kebijakan yang keliru di antaranya Depkeu dan BI tidak mendevaluasi rupiah.

Padahal rupiah sudah overvaluasi sebesar 16% pada 1996. Akibatnya, Indonesia menjadi lebih rentan terhadap serangan spekulator valuta pada 1997. Selain itu, BI panik dan mengambil kebijakan moneter superketat pada akhir Agustus 1997.Tingkat suku bunga interbank pun, yang biasanya hanya 16%-17%, melonjak 300% pada 22 Agustus 1997.Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas dan sangat rentan terhadap berbagai shock eksternal. Widjoyo Nitisastro dan ”Mafia Berkeley” mengundang IMF untuk terlibat dalam penanganan krisis di Indonesia.

Keterlibatan IMF justru memperparah krisis, mendorong kebangkrutan dunia usaha, menambah 40 juta pengangguran,dan membuat ekonomi Indonesia anjlok dari rata-rata tumbuh 6% per tahun menjadi -12,8% pada 1998.Tanpa keterlibatan IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang akan turun menjadi 1–0%,tetapi tidak akan anjlok sampai -12,8%. Salah satu saran IMF yang menghancurkan lembaga perbankan Indonesia adalah penutupan 16 bank pada November 1997 tanpa persiapan memadai.

Akibat penutupan tersebut, beredar rumor dan berlanjut dengan rush terhadap hampir semua bank-bank di Indonesia. Nasabah berlomba-lomba memindahkan dananya ke bank-bank asing. Terjadi capital outflow sebesar USD8 miliar, dan rupiah anjlok di atas Rp10.000 per dolar AS. Pada 4 Mei 1998, Pemerintah Indonesia, atas saran IMF, menaikkan harga BBM untuk minyak tanah sebesar 25% dan bensin 71% di tengah suasana politik yang mulai memanas.

Pada 5 Mei 1998, terjadi demonstrasi dan bakar-bakaran menentang kenaikan harga BBM di Makasar dan berlanjut ke Medan, Surabaya, Solo, dan berakhir dengan malapetaka 12 Mei 1998 di Jakarta yang mengakibatkan ratusan luka-luka berat dan meninggal. Ratusan pertokoan serta rumah dibakar dan dihancurkan.

Kerusuhan sosial ini sangat umum terjadi di negaranegara di mana IMF berperan. Dalam literatur, kerusuhan ini dikenal dengan ”IMF Provoked Riots”. Kondisi luar biasa tersebut diperparah oleh saran-saran IMF yang diikuti secara kata demi kata (verbatim) oleh para menteri ekonomi yang tergabung dalam ”Mafia Berkeley”: terjadi penyaluran BLBI besar-besaran dan cenderung sembrono.

Tiga Tahapan Kasus BLBI

Kasus BLBI memiliki tiga tahapan, yaitu tahap penyaluran (disbursement), tahap penyerahan aset (settlements), dan tahap penjualan aset (fire sales).

Masing-masing tahap memiliki sejumlah masalah dalam pelaksanaannya— yang berpotensi merugikan negara. Dari sisi penyaluran (disbursement), kelangkaan likuiditas sebagai akibat dari kebijakan moneter yang superketat (overkilled monetary policy) telah menyebabkan banyak bank kalah kliring atau rekening gironya di BI bersaldo negatif. Penyimpangan dalam penyaluran BLBI dimulai dengan diberikannya dispensasi oleh BI kepada bankbank untuk tetap mengikuti kliring, meskipun rekening gironya di BI bersaldo negatif.

Padahal, hakikat kliring adalah sarana perhitungan warkat antarbank guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral.Karena itu, pemberian dispensasi untuk mengikuti kliring bagi bank yang telah kalah kliring (rekening gironya di BI bersaldo negatif), secara tidak langsung merupakan tindakan penyediaan dana dari BI kepada bank bersangkutan tanpa ikatan apa pun.

Pada 21 Agustus 1998, Pemerintah mengumumkan paket restrukturisasi perbankan yang menyeluruh kepada semua bank. Kebijakan tersebut juga membawa dampak meningkatnya BLBI untuk menutupi kewajiban pemerintah kepada nasabah/ kreditur bank yang di-BBKU (bank beku kegiatan usaha). Sampai 29 Januari 1999 BI dan pemerintah telah menyalurkan dana sebesar Rp621,6 triliun untuk keperluan penyehatan perbankan nasional selama masa krisis itu. Jumlah sebesar Rp621,6 triliun tersebut mencakup hampir separuh dari nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 1998.

Dengan demikian, diukur sebagai rasio terhadap PDB, biaya rekapitalisasi perbankan di Indonesia pada waktu itu adalah yang terbesar dalam sejarah dunia. Dari sisi penyerahan aset (settlements), penyelesaian BLBI dilakukan dengan cara penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Pada hakikatnya PKPS merupakan penyelesaian komersial di luar pengadilan (out of court settlements) atas kewajiban pemegang saham pengendali bank bermasalah. Hasil audit BPK menunjukkan bahwa estimasi komersial aset yang diserahkan tidak setara dengan jaminan BLBI yang di-cessi-kan per 29 Januari 1999,yaitu Rp144,536 triliun. Nilai Pertanggungan Hak Jaminan (NPHJ) adalah sebesar Rp129,418 triliun atau hanya 89,54% dari BLBI per tanggal 29 Januari tersebut. Celakanya lagi, sebagian besar jaminan tersebut tidak mempunyai nilai komersial.

Dari sisi tahap penjualan aset (fire sales),nilai aset para obligor BLBI tidak sesuai dengan nilai kewajiban, maka yang terlebih dulu bertanggung jawab adalah para advisor yang ditunjuk pemerintah. Mereka seharusnya melakukan valuasi terhadap nilai aset yang diserahkan obligor.Tapi ternyata hal ini tidak mereka lakukan. Fase ketiga yang sangat penting dalam menentukan nilai aset adalah proses penjualan aset.Penurunan nilai aset terjadi karena sejumlah faktor berikut.

Pertama, aset para obligor yang diserahkan kepada BPPN dikelola para pejabat BPPN yang tidak memiliki waktu dan pengalaman manajerial untuk mengelola perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai puluhan triliun rupiah. Kedua, penjualan aset terjadi pada masa krisis, ketika valuasi perusahaan sangat rendah dan anjlok. Ketiga, penjualan aset dipercepat untuk menambal defisit APBN karena tekanan dan kewajiban letter of intent (LoI) yang disusun IMF. Dalam kaitan BLBI ini, menjadi sangat penting bagi Kejaksaan Agung memeriksa dan menuntut pertanggungjawaban para mantan menteri ekonomi pada periode awal krisis dan pejabatpejabat yang kini berkuasa. Mereka telah menjadi antek dan pelaksana verbatim IMF untuk menghancurkan ekonomi Indonesia dan mengakibatkan penyaluran BLBI ratusan triliun rupiah.

DR Rizal Ramli,
Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan


Koran Sindo, Tanggal:     18 Feb 08

0 komentar:

Posting Komentar