Pikiran Karl Marx secara mendalam ditentukan oleh Hegel. Ada tiga unsur dalam filsafat Hegel: pertama, pengetahuan absolut; kedua, filsafat sejarah dan negara; ketiga, dialektika.
A. Pengetahuan Absolut
Yang membedakan filsafat Hegel dari filosof-filosof lain bukanlah pertama-tama apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel, mengetahui adalah proses di mana objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama atau selesai. Pengetahuan saya hari ini difalsifikasikan oleh pengetahuan besok, dan pengetahuan besok mengubah apa yang diketahui karena ditangkap dengan lebih tepat. Dalam proses itu, saya sendiri senantiasa menjadi orang baru, karena dengan perubahan pengertian, kedudukan, dan tanggung jawab saya pun berubah.
Jadi, bagi Hegel, pengetahuan tidak dapat diibaratkan dengan kita berjalan-jalan di kebun, pada satu saat memperhatikan tanaman jagung, kemudian tanaman bunga mawar, lalu tempat pupuk dipersiapkan, akhirnya cara pengairan, dan sebagainya. Pengetahuan adalah sebuah ongoing process, di mana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau “dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan. Itulah inti dialektika Hegel yang merupakan wujud pengetahuan manusia.
Hegel melukiskan perjalanan dari pengetahuan
sederhana dan langsung ke “pengetahuan absolut” dalam bukunya Phenomenology of Mind. Pengetahuan
absolut adalah titik akhir perjalanan filsafat melalui segala fenomen pengalaman
dan kesadaran yang menawarkan diri. Si filosof telah menjelajahi seluruh
realitas. Apa pun: unsur-unsur di dunia, sejarah, penghayatan diri sendiri,
pikiran manusia, seni, agama, filsafat, pada akhir perjalanan itu dapat
ditempatkan dalam keterkaitannya. Semuanya berada di mana dia harus berada.
Sang filosof sendiri menemukan diri dalam seluruh realitas. Pengetahuan absolut
berarti bahwa tidak ada lagi yang asing bagiku. Di mana pun, aku berada pada
diriku sendiri karena aku memahaminya. Aku menyatu dengan seluruh realitas.
Maka pengetahuan itu disebut absolut: tak ada segi dari pengetahuan itu yang
tidak berlaku atau masih dapat diatasi.
Bagi Hegel, filsafat yang sampai pada
pengetahuan absolut itu bahkan berada di atas agama. Bagi Hegel, Roh Semesta
sendiri merupakan proses yang menemukan diri melalui liku-liku perkembangan
kesadaran diri dan kemajuan pengetahuan yang akhirnya menyatu dalam pengetahuan
absolut. Menurut Hegel, agama adalah pengetahuan absolut dalam bentuk simbolis,
sedangkan filsafat dalam kenyataan karena sadar akan dirinya sendiri. Bukan
kesadaran seakan-akan sang filosof mengetahui semuanya, melainkan semuanya
dapat dimengerti, semuanya dipahami sebagai sudah semestinya. Dengan memahami
segalanya, rasa kaget, kecewa, frustrasi, hilang. Semuanya menjadi bening.
Bukan seakan-akan semuanya menguap dalam sebuah pengalaman mistik, seakan-akan maya tertembus dan kita sampai pada brahma, melainkan seluruh
pluralitastetap ada tetapi dipahami sebagai tahap-tahap dialektis dalam
perkembangan diri Roh Semesta yang dalam kesadaran sang filosof menemukan diri.
Ada satu segi yang kemudian akan menjadi
sasaran kritik Marx. Memahami dalam pengetahuan absolut itu sekaligus berarti
memperdamaikan dan memaafkan. Apabila aku sadar bahwa apa saja yang telah
terjadi dan sedang terjadi sudah semestinya terjadi, aku memaafkannya. Karena
bagaimana aku dapat marah dan menolak kalau aku mengerti bahwa semuanya itu
sudah semestinya terjadi karena merupakan perjalanan dialektis Roh dalam
sejarah (karena anggapan ini Kierkegaard akan meninggalkan Hegel dengan protes
keras)? Secara agak keras: kalau segala apa yang terjadi dapat ditempatkan dan
dimengerti, maka segala penderitaan dan ketidakadilan—bagi pandangan sang
filosof—kehilangan sengatnya, ia memahaminya, jadi ia memaafkannya.
B. Filsafat
Sejarah dan Negara
Roh Semesta berada di belakang sejarah, ia
mendapat objektifitasnya di dalamnya. Hegel bicara tentang Roh Objektif: roh
sebagaimana ia mengungkapkan diri dalam kebudayaan-kebudayaan, dalam
moralitas-moralitas bangsa-bangsa, dalam institusi-institusi.
Menurut Hegel, roh objektif mendapat ungkapan
paling kuat dalam negara. Karena negara mempunyai kehendak, ia dapat bertindak.
Dengan demikian, negara mengungkapkan Roh Semesta; ia merupakan “perjalanan
Allah dalam dunia” (Hegel, 1978: 258).
Yang khas bagi filsafat Hegel adalah ciri
proses. Tak ada bidang-bidang realitas maupun bidang-bidang pengetahuan yang
terisolasi. Semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan
pembenaran. Itulah dialektika Hegel.
Dialektika berarti: sesuatu itu hanya benar
bila dilihat dengan seluruh hubungannya. Dan hubungan ini berupa negasi. Hanya
melalui negasi kita bisa maju, kita dapat mencapai keutuhan, kita menemukan
diri sendiri. Sebagai contoh: kita ambil istilah “pulau”. Pulau itu sebenarnya
“tanah” (tesis). Tetapi, itu tidak betul. Karena India juga tanah, tetapi bukan
pulau. Pulau itu bukan tanah, melainkan “air” (antitesis). Karena tak ada pulau
tanpa air. Tetapi, pernyataan itu pun tidak benar (antitesis antitesis): pulau
itu bukan air, melainkan tanah yang dikelilingi oleh air (sintesis).
“Kebenaran” pulau hanya dapat tercapai melalui dua negasi.
Secara ringkas, dialektika memandang apa pun
yang ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan
melalui langkah-langkah yang saling
berlawanan”, sebagai “hasil dari, dan unsur dalam, sebuah proses yang maju
lewat negasi atau penyangkalan”. Kekhasan negasi itu adalah bahwa apa yang
dinegasi tidak dihancurkan atau ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah
segi yang salah (yang memang membuat seluruh pernyataan itu salah), tetapi
kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan.
Contoh yang lebih tepat untuk dialektika
adalah dialog. Setiap dialog adalah proses yang dimulai dengan tesis, sebuah
pernyataan, di mana tanggapan adalah penyangkalan yang sekaligus membenarkan,
tetapi penyangkalan kekurangan pernyataan pertama mengangkatnya ke tingkat yang
lebih tinggi. Menyangkal bisa berarti menolak sebuah pernyataan dengan
melengkapinya, atau dengan memberi warna lain dan seterusnya, dan penyangkalan
itu dalam tanggapan balik disangkal lagi dan setiap langkah berikut lebih
tinggi dan lebih benar daripada yang sebelumnya. Kelihatan juga bahwa struktur
dasar dialektika bukanlah triadik (berstruktur tiga: tesis, antitesis,
sintesis; tiga itu tak pernah dipakai Hegel), melainkan dual (berstruktur dua:
tesis dan antitesis dan antitesis antitesisnya dst.).
Hegel menunjukkan (dengan melaksanakannya
dalam “Phenomenology of Mind”, secara
logis dalam “The Science of Logic”)
bahwa pengetahuan dan pengertian kita secara hakiki bersifat dialektis dan
bertambah secara dialektis. Hanya melalui negasi kita dapat maju secara
positif. Tetapi, realitas pun maju secara dialektis, melalui konflik dan
penyangkalan yang selalu menghasilkan bentuk yang lebih tinggi, yang kemudian
disangkal dan menghasilkan bentuk lebih tinggi lagi. Kesadaran akan dialektika
total yang menyatu di puncak filsafat itulah pengetahuan absolut.[1]
Pemikiran-pemikiran
Hegel
Menurut Hegel, dalam kesadaran manusia, Allah
mengungkapkan diri. Kita merasa berpikir dan bertindakmenurut kehendak atau
selera kita, tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya. Meskipun
di levelnya sendiri manusia bebas dan mandiri, tetapi melalui kemandirian itu
roh semesta menyatakan diri. Hegel memakai kata “kelihaian Akal Budi”. Melalui
keputusan-keputusan dan usaha-usaha manusia masing-masing, roh semesta mencapai
tujuannya. Seakan-akan kita ini wayang, wayang-wayang dengan kesadaran,
pengertian, dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada di tangan sang
dalang. Jadi, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya, tetapi
seakan-akan dari belakang layar. Para pelaku manusia tidak sadar bahwa mereka
didalangi olehnya. Allah, oleh Hegel disebut “roh semesta”.[2]
[1] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 55-62.
0 komentar:
Posting Komentar