alt/text gambar

Jumat, 09 Oktober 2015

Topik Pilihan:

Filsafat Hegel


Pikiran Karl Marx secara mendalam ditentukan oleh Hegel. Ada tiga unsur dalam filsafat Hegel: pertama, pengetahuan absolut; kedua, filsafat sejarah dan negara; ketiga, dialektika.


A. Pengetahuan Absolut

     
Yang membedakan filsafat Hegel dari filosof-filosof lain bukanlah pertama-tama apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel, mengetahui adalah proses di mana objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama atau selesai. Pengetahuan saya hari ini difalsifikasikan oleh pengetahuan besok, dan pengetahuan besok mengubah apa yang diketahui karena ditangkap dengan lebih tepat. Dalam proses itu, saya sendiri senantiasa menjadi orang baru, karena dengan perubahan pengertian, kedudukan, dan tanggung jawab saya pun berubah.

Jadi, bagi Hegel, pengetahuan tidak dapat diibaratkan dengan kita berjalan-jalan di kebun, pada satu saat memperhatikan tanaman jagung, kemudian tanaman bunga mawar, lalu tempat pupuk dipersiapkan, akhirnya cara pengairan, dan sebagainya. Pengetahuan adalah sebuah ongoing process, di mana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau “dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan. Itulah inti dialektika Hegel yang merupakan wujud pengetahuan manusia.
Hegel melukiskan perjalanan dari pengetahuan sederhana dan langsung ke “pengetahuan absolut” dalam bukunya Phenomenology of Mind. Pengetahuan absolut adalah titik akhir perjalanan filsafat melalui segala fenomen pengalaman dan kesadaran yang menawarkan diri. Si filosof telah menjelajahi seluruh realitas. Apa pun: unsur-unsur di dunia, sejarah, penghayatan diri sendiri, pikiran manusia, seni, agama, filsafat, pada akhir perjalanan itu dapat ditempatkan dalam keterkaitannya. Semuanya berada di mana dia harus berada. Sang filosof sendiri menemukan diri dalam seluruh realitas. Pengetahuan absolut berarti bahwa tidak ada lagi yang asing bagiku. Di mana pun, aku berada pada diriku sendiri karena aku memahaminya. Aku menyatu dengan seluruh realitas. Maka pengetahuan itu disebut absolut: tak ada segi dari pengetahuan itu yang tidak berlaku atau masih dapat diatasi.
Bagi Hegel, filsafat yang sampai pada pengetahuan absolut itu bahkan berada di atas agama. Bagi Hegel, Roh Semesta sendiri merupakan proses yang menemukan diri melalui liku-liku perkembangan kesadaran diri dan kemajuan pengetahuan yang akhirnya menyatu dalam pengetahuan absolut. Menurut Hegel, agama adalah pengetahuan absolut dalam bentuk simbolis, sedangkan filsafat dalam kenyataan karena sadar akan dirinya sendiri. Bukan kesadaran seakan-akan sang filosof mengetahui semuanya, melainkan semuanya dapat dimengerti, semuanya dipahami sebagai sudah semestinya. Dengan memahami segalanya, rasa kaget, kecewa, frustrasi, hilang. Semuanya menjadi bening. Bukan seakan-akan semuanya menguap dalam sebuah pengalaman mistik, seakan-akan maya tertembus dan kita sampai pada brahma, melainkan seluruh pluralitastetap ada tetapi dipahami sebagai tahap-tahap dialektis dalam perkembangan diri Roh Semesta yang dalam kesadaran sang filosof menemukan diri.
Ada satu segi yang kemudian akan menjadi sasaran kritik Marx. Memahami dalam pengetahuan absolut itu sekaligus berarti memperdamaikan dan memaafkan. Apabila aku sadar bahwa apa saja yang telah terjadi dan sedang terjadi sudah semestinya terjadi, aku memaafkannya. Karena bagaimana aku dapat marah dan menolak kalau aku mengerti bahwa semuanya itu sudah semestinya terjadi karena merupakan perjalanan dialektis Roh dalam sejarah (karena anggapan ini Kierkegaard akan meninggalkan Hegel dengan protes keras)? Secara agak keras: kalau segala apa yang terjadi dapat ditempatkan dan dimengerti, maka segala penderitaan dan ketidakadilan—bagi pandangan sang filosof—kehilangan sengatnya, ia memahaminya, jadi ia memaafkannya.

B.   Filsafat Sejarah dan Negara

Roh Semesta berada di belakang sejarah, ia mendapat objektifitasnya di dalamnya. Hegel bicara tentang Roh Objektif: roh sebagaimana ia mengungkapkan diri dalam kebudayaan-kebudayaan, dalam moralitas-moralitas bangsa-bangsa, dalam institusi-institusi.
Menurut Hegel, roh objektif mendapat ungkapan paling kuat dalam negara. Karena negara mempunyai kehendak, ia dapat bertindak. Dengan demikian, negara mengungkapkan Roh Semesta; ia merupakan “perjalanan Allah dalam dunia” (Hegel, 1978: 258).

C.   Dialektika

Yang khas bagi filsafat Hegel adalah ciri proses. Tak ada bidang-bidang realitas maupun bidang-bidang pengetahuan yang terisolasi. Semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Itulah dialektika Hegel.
Dialektika berarti: sesuatu itu hanya benar bila dilihat dengan seluruh hubungannya. Dan hubungan ini berupa negasi. Hanya melalui negasi kita bisa maju, kita dapat mencapai keutuhan, kita menemukan diri sendiri. Sebagai contoh: kita ambil istilah “pulau”. Pulau itu sebenarnya “tanah” (tesis). Tetapi, itu tidak betul. Karena India juga tanah, tetapi bukan pulau. Pulau itu bukan tanah, melainkan “air” (antitesis). Karena tak ada pulau tanpa air. Tetapi, pernyataan itu pun tidak benar (antitesis antitesis): pulau itu bukan air, melainkan tanah yang dikelilingi oleh air (sintesis). “Kebenaran” pulau hanya dapat tercapai melalui dua negasi.
Secara ringkas, dialektika memandang apa pun yang ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan melalui langkah-langkah yang  saling berlawanan”, sebagai “hasil dari, dan unsur dalam, sebuah proses yang maju lewat negasi atau penyangkalan”. Kekhasan negasi itu adalah bahwa apa yang dinegasi tidak dihancurkan atau ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah segi yang salah (yang memang membuat seluruh pernyataan itu salah), tetapi kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan.
Contoh yang lebih tepat untuk dialektika adalah dialog. Setiap dialog adalah proses yang dimulai dengan tesis, sebuah pernyataan, di mana tanggapan adalah penyangkalan yang sekaligus membenarkan, tetapi penyangkalan kekurangan pernyataan pertama mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi. Menyangkal bisa berarti menolak sebuah pernyataan dengan melengkapinya, atau dengan memberi warna lain dan seterusnya, dan penyangkalan itu dalam tanggapan balik disangkal lagi dan setiap langkah berikut lebih tinggi dan lebih benar daripada yang sebelumnya. Kelihatan juga bahwa struktur dasar dialektika bukanlah triadik (berstruktur tiga: tesis, antitesis, sintesis; tiga itu tak pernah dipakai Hegel), melainkan dual (berstruktur dua: tesis dan antitesis dan antitesis antitesisnya dst.).
Hegel menunjukkan (dengan melaksanakannya dalam “Phenomenology of Mind”, secara logis dalam “The Science of Logic”) bahwa pengetahuan dan pengertian kita secara hakiki bersifat dialektis dan bertambah secara dialektis. Hanya melalui negasi kita dapat maju secara positif. Tetapi, realitas pun maju secara dialektis, melalui konflik dan penyangkalan yang selalu menghasilkan bentuk yang lebih tinggi, yang kemudian disangkal dan menghasilkan bentuk lebih tinggi lagi. Kesadaran akan dialektika total yang menyatu di puncak filsafat itulah pengetahuan absolut.[1]

Pemikiran-pemikiran Hegel

Menurut Hegel, dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Kita merasa berpikir dan bertindakmenurut kehendak atau selera kita, tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya. Meskipun di levelnya sendiri manusia bebas dan mandiri, tetapi melalui kemandirian itu roh semesta menyatakan diri. Hegel memakai kata “kelihaian Akal Budi”. Melalui keputusan-keputusan dan usaha-usaha manusia masing-masing, roh semesta mencapai tujuannya. Seakan-akan kita ini wayang, wayang-wayang dengan kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada di tangan sang dalang. Jadi, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya, tetapi seakan-akan dari belakang layar. Para pelaku manusia tidak sadar bahwa mereka didalangi olehnya. Allah, oleh Hegel disebut “roh semesta”.[2]





[1] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 55-62.
[2]Ibid., h. 66-67.




0 komentar:

Posting Komentar