alt/text gambar

Rabu, 29 Juni 2016

Topik Pilihan: ,

KUTIPAN-KUTIPAN (bagian 14)

KUTIPAN-KUTIPAN


"Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu, adalah buruk, bahkan jahat, sebagai manusia." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)

"Dan sebaliknya, dalam negara yang buruk, manusia yang baik sebagai manusia, seseorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara itu." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)

Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia--bukan hanya sebagai warga negara--terhadap negara, hukum yang berlaku, dan lain sebagainya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 14)

"Cara untuk menentang pikiran yang dianggap salah bukanlah dengan membungkamkannya secara paksa, melainkan melalui konfrontasi dalam dialog atau debat yang tetap menjamin kebebasan setiap peserta untuk membela pendapatnya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 151)

"...mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan dan nilai-nilai dianggap bangunan atas? Marx bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas itu.
Untuk memahami apa yang dimaksud Marx, kita perlu memperhatikan bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomi. Hubungan-hubungan produksi ditandai oleh kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh para pemilik. Teori tentang basis dan bangunan atas berarti bahwa struktur-struktur kekuasaan politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, jadi oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Itulah inti konsepsi Marx tentang basis dan bangunan atas. Kita sudah melihat arti kaitan ini. Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik, juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politik dan spiritual dalam masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi." (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)

"Habermas beranggapan bahwa kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan, melainkan juga dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini tidak dimengerti dalam paradigma kerja, melainkan dalam paradigma komunikasi. Yang dimaksud adalah bahwa kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar para anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 22)

Menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Rekayasa Sosial, sebagaimana dikutip oleh Listiyono Santoso, setiap perubahan hanya bisa terjadi melalui empat unsur utama: gagasan (ide), tokoh-tokoh besar, gerakan sosial, dan revolusi. (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 32)

Menurut Marx dan Engels, bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, penghidupan sosial mereka yang menentukan kesadarannya (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 43). Maksud dari Marx di atas adalah yang berkenaan dengan basis dan bangunan atas (suprastruktur)

"Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan 'superstruktur ideologis'--istilah Marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, dan lain sebagainya--berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu. Pendekatan ini disebut juga sebagai determinisme ekonomis, yang intinya: bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sosial, tetapi eksistensi sosial yang menentukan kesadaran.(Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 82).

Demokrasi deliberative diartikan oleh F. Budi Hardiman (2009: 129): "bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah 'kehendak umum' yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimitas itu adalah proses deliberatif, argumentatif-diskursif suatu keputusan sementara yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi."

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.s. Al Maidah/5: 8)

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.s. an Nahl/16: 125)

Bagi Gramsci, ada dua macam intelektual: intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang besifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi. Intelektual organik memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual tradisional melakukan aktivitas  intelektual kurang lebih karena faktor ekonomi. Padahal intelektual organik mempunyai kemampuan sebagai organisator, meskipun pada saat yang sama bisa jadi seorang borjuis. Menurut Gramsci, setiap anggota partai harus dianggap sebagai seorang intelektual, meskipun tingkat pendidikannya bukan menjadi syarat pokok. Yang penting adalah fungsi kepemimpinan dalam organisasi, yaitu fungsi pendidikan dan intelektual. (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 84).

"Teori Kritis Mazhab Frankfurt tidak berurusan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide, melainkan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Karena itu, fungsi teori tersebut adalah emansipatoris." (lihat Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 100)

"Hermeneutik dalam pengertian umum adalah metode memahami teks." (lihat Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 66)

Tentang Basis dan Superstruktur
Orang pertama yang menghidupkan kembali wawasan dialektika Hegel dalam Marxisme adalah seorang aktivis Partai Komunis Hongaria, Georg Lukacs (1885-1971). Dalam bukunya yang termashur, Geschichte und Klassenbewusstein (Sejarah dan Kesadaran Kelas, 1923), ia menolak determinisme ekonomis dari kalangan penganut Marxisme ortodoks. Dalam buku itu, ia menekankan peranan kesadaran kelas ploretariat sebagai subjek dialektika sejarah. Penekanan atas proses kesadaran pada manusia dalam masyarakat dan sejarah memberi kemungkinan pada Lukacs dan para pemikir kritis lainnya untuk mengarahkan diri pada fenomen superstruktur, yaitu pengetahuan dan ideologi. Fenomen superstruktur ini di kalangan Marxisme ortodoks dan dalam pandangan Marx sendiri kurang diminati karena dipandang sebagai ungkapan dari basis ekonomi belaka (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 43)

"Marx memandang proses kehidupan sosial manusia sebagai dua faktor yang memiliki hubungan searah, yaitu faktor ekonomi sebagai basis dan faktor kesadaran manusia yang terwujud dalam politik, ideologi, agama, ilmu, filsafat, (termasuk hukum, pendidikan, media massa. NE), dsb, sebagai superstrukturnya. Basis itu menentukan superstruktur sehingga perubahan dalam struktur ekonomi akan mengakibatkan perubahan dalam struktur kesadaran, tetapi tidak sebaliknya. Berdasarkan anggapan ini, kaum Marxis ortodoks mengabaikan gejala superstruktur dan memusatkan diri pada analisis ekonomi (catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 43)

Secara ekonomi, baik fasisme maupun Stalinisme menandai suatu peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang  ditangani langsung oleh negara penindas.  Dengan kata lain, baik fasisme maupun Stalinisme yang bermaksud mewujudkan masyarakat sosialis itu tak lain dari  perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme yang disebut kapitalisme negara. Komunisme berusaha membenarkan penindasannya dengan mitos sosialisme, dan fasisme justru menolak komunisme dalam hal pendekatan "rasional"-nya untuk membenarkan praktik totaliternya. Tanpa tedeng aling-aling, fasisme atau lebih khusus lagi Nazisme memanipulasi emosi, kebencian, dan irasionalitas masyarakat melalui ideologi-ideologi ras untuk memusnahkan ras lawan. Bagi Horkhiemer, kritik terhadap sistem kapitalis menyangkut juga kritik terhadap ideologi fasis dan komunis. Horkheimer berkata, "Ia yang tak ingin membicarakan kapitalisme juga akan menutup mulut mengenai fasisme." Dalam konteks fasisme dan komunisme ini, Teori Kritis lahir dengan maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Adorno dan rekan-rekan menyebut situasi penindasan total terhadap manusia di bawah rezim fasis sebagai Herrschaft (dominasi total). Dalam pandangan mereka, tugas dari Kritik atau teori kritis sebagai teori emansipatoris adalah menelanjangi Herrschaft ini. Dan karena bagi mereka, Herrschaft dimungkinkan oleh ideologi, dan ideologi dapat meliputi segala bidang, baik praxis politis maupun teoritis ilmiah, Teori Kritis tak lain dari Kritik Ideologi. Melalui kritik ideologi, mereka mengharapkan munculnya manusia yang sadar akan penindasan sosial atas diri mereka dan mau bergerak membebaskan diri. Dalam konteks ini pula mereka melahirkan konsep Kritik: kritik atas metodologi dan kritik atas pencerahan budi (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 48-49)

KONSEP KEBENARAN MENURUT NIETZSCHE

"Nietzsche menolak pandangan positivisme Auguste Comte. Menurut Comte, subjek mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat diindera, positif, dan eksak. Menurut Nietzsche, manusia tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. Fakta kebenaran 'pada dirinya' tidak ada. Yang ada hanyalah interpretasi dan perspektif. Maka dengan sendirinya tidak ada kebenaran dunia yang tunggal. Penafsiran itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan perspektifnya sendiri-sendiri. Pemahaman akan berbeda jika ia berpindah tempat mengganti sudut pandangnya itu. Demikian juga dengan masalah kebenaran. Dalam perspektif subjek-subjek tertentu sesuatu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek lain. Bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup. Kebenaran sama dengan kekeliruan. Gagasan kebenaran dan kekeliruan dapat digunakan secara bergantian. Dari pandangan semacam itu dapat dipahami bahwa Nietzsche tidak memberi tempat dalam filsafatnya suatu pemikiran absolutisme dalam kebenaran pengetahuan. Selain itu, ia juga tidak menerima kebenaran sebagai suatu homologi, namun sebagai paralogi. Kebenaran itu tidak satu, melainkan banyak. Pada intinya, Nietzsche tidak beranggapan bahwa apa yang dikatakan itu tidak benar, tetapi apa yang dikatakan mungkin salah." (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 66-67)

Orang Pintar Baru= istilah Gus Mus untuk kalangan-kalangan yang baru diwisuda dari perguruan tinggi, yang merasa diri mereka serba tahu. Padahal, menurut Gus Mus, wisuda itu bukanlah akhir atau puncak dari pengetahuan atau prestasi seseorang, melainkan hanya sebagai langkah awal atau permulaan.

PERTANYAAN MENDASAR
DALAM POLITIK

"Berbicara mengenai "politik", demikian lazimnya anggapan orang, adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti yang seluas-luasnya adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Persoalan yang terus muncul di sini adalah siapakah yang berhak mengatur atau mengarahkan kehidupan sosial itu, dan bagaimana pengaturan dan pengarahan itu dilaksanakan. Secara lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang diterima oleh semua pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut soal legitimasi. Sebuah kekuasaan harus dilegitimasikan agar efektif pada semua pihak." (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 143)
"Dalam pengertian klasiknya, menurut Aristoteles, politik berhubungan dengan etika, yakni sebagai ajaran tentang hidup yang baik dan adil dalam polis atau masyarakat." (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 156)

Beda Etika dan Moral

Menurut Magnis, ajaran moral langsung mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral adalah rumusan sistematik terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia. Misalnya, surat Wulangreh mau menjelaskan jalan untuk menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran-ajaran moral. Etika tidak pertama-tama mau menjawab pertanyaan 'bagaimana manusia harus hidup?', melainkan tentang cara yang rasional (dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi) untuk menjawab pertanyaan itu. Ajaran moral misalnya mengajar bahwa manusia harus selalu berlaku jujur. Etika akan mempertanyakan apa itu jujur dan apakah tuntutan kejujuran tidak pernah dapat disaingi oleh tuntutan moral lain, misalnya kebaikan hati yang mau menutupi keburukan orang lain dengan sedikit bohong. Kita akan melihat bahwa garis pemisah antara etika sebagai ilmu di satu pihak dan ajaran moral sebagai ungkapan pendapat-pendapat moral di lain pihak tidak mutlak, tetapi sebagai titik tolak dua-duanya perlu dibedakan." (Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 31-32)

"Demokrasi bertolak dari manusia... Manusia bukan demi hukum, melainkan hukum demi manusia." (Karl Marx)-- lihat: Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 122.

PERBEDAAN ANARKISME DAN PERLAWANAN
TERHADAP NEGARA

Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental. Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan, kalau terpenuhi dua syarat: pertama, tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan. Dan kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politis biasa. Tetapi, apakah hak perlawanan dapat dibenarkan? Jelaslah bahwa pertanyaan ini bersifat moral dan bukan hukum. Tidak mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan sendirinya melawan hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.
Artinya, perlawanan dapat dibenarkan secara etika, walaupun itu secara legalistik (hukum positif) tidak sah. Perlawanan yang dibenarkan itu tentulah dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat untuk menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan kalau masyarakat mengambil jalan kekerasan. Professor Coing menulis: "Perlawanan aktif yang mengambil jalan kekerasan secara moral tidaklah wajib, tetapi dari segi hukum kodrat (hukum moral) halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif itu dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri, melainkan, sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat manusia yang tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian kekerasan dan paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada pewujudan tatanan umum. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan mengimplikasikan bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus ekstrem."
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak dapat disangkal dan memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan politik. Hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh tujuan negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk pula keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang paling fundamental, penetapan ini tidak memiliki hak lagi dan warga negara tidak wajib untuk menaatinya. Begitu pula kekuasaan negara hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang adil. Maka suatu tindakan kekuasaan yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, boleh dilawan. Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Bukan hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta an hak kita, tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 156-168; lihat juga catatan kaki h. 158)

PERAN FILSAFAT DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT

"Filsafat memungkinkan masyarakat memikirkan masalah-masalah dasar hidupnya secara rasional, jadi dengan bahasa, wawasan, dan argumentasi yang universal, yang dapat dimengerti oleh semua. Dengan demikian, filsafat membuka cakrawala bagi diskusi terbuka masalah-masalah yang kita hadapi dan sekaligus membuat jeli terhadap penyempitan-penyempitan ideologis." Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 255.


ZIKIR

Menurut Said Aqil Siraj, zikir itu bukanlah mutar tasbih. Karena kalau hanya itu, belum tentu hatinya ingat. Yang diinginkan Allah ialah hati yang berkualitas. Yang selalu memperjuangkan kebenaran.
Kalau belum bisa, ingin jadi orang benar.
Kalau masih belum bisa, simpati pada yang benar.
Masih belum bisa, kepengen jadi orang benar.
Masih belum bisa juga, jangan menghalang-halangi orang yang lagi benar.

MORAL DAN HUKUM

Kata 'moral' selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bukan mengenai baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain catur, atau pejabat, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Sedangkan norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun orang itu kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban umum. (Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 19)

HUKUM ATAU UNDANG-UNDANG
HARUS JELAS

Agar hukum dapat dilaksanakan dengan pasti, hukum harus jelas. Hukum harus demikian jelas sehingga masyarakat dan hakim dapat berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang tindakan apa yang dimaksud. Suatu aturan hukum yang kabur atau terlalu umum adalah buruk. Apabila misalnya tindak subversi dijadikan tindak kriminal, tetapi tidak dirumuskan tindakan yang macam apa yang disebut tindak subversi itu, maka orang tidak tahu apa yang tidak boleh dilakukan itu. Norma macam itu tidak mendidik karena orang tidak tahu kelakuan apa yang harus dijauhi. Sekaligus itikad baik penguasa akan dicurigai karena kekaburan perumusan menyediakan kemungkinan baginya untuk seenaknya mencap sebagai kriminal suatu sikap yang tidak disenangi. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 80)

HUKUM HARUS ADIL

Biasanya kalau kita bicara tentang keadilan hukum, maksud kita adalah keadilan dalam arti materil: isi hukum harus adil. Mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk hakikat hukum sendiri. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 82)

Hukum Kodrat vs Positivisme Hukum

Hukum kodrat di Indonesia sering diistilahkan dengan hukum alam. Padahal, menurut Prof Franz Magnis-Suseno, istilah "hukum alam" untuk menyebut hukum kodrat tidak tepat. Hukum alam ialah sunatullah yang terjadi dalam alam. Sedangkan hukum kodrat berarti hukum moral. Postivisme hukum adalah hukum yang dibuat oleh manusia, atau "hukum manusia", yang dalam bahasa kita disebut hukum positif. Atas dasar paham Hukum Kodrat, Thomas Aquinas dapat menentukan batas dan wewenang hukum positif. Hukum positif buatan manusia yang bertentangan dengan hukum kodrat (fitrah manusia; nurani; sikap hanief, NE), dengan sendirinya tidak mempunyai hak dan daya ikat sama sekali (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 87, 92). Ctt:
Dalam Islam, hukum kodrat yang berlaku pada manusia itu dinamakan fitrah. Sebagaimana yang sering dibahas oleh Cak Nur tentang peranjian primordial sebagaimana tertera dalam al Quran surat Al A'raaf ayat 172.

FUNGSI HUKUM

Hukum mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 85)

Kepastian dan Keadilan Hukum

Ternyata, antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, terdapat ketegangan. Ketegangan itu termasuk hakikat hukum sendiri seperti pertentangan antara Teori Hukum Kodrat dan Positisme Hukum. Hukum memang harus pasti (tidak bisa ditafsirkan dan diterapkan seenaknya, NE). Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa kepastian, keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi, kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 84)

TENTANG SUBSTANSI HUKUM SEBAGAI
DASAR LEGITIMASI

"Legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling fundamental bagi kebsahan wewenang politis. Karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Tetapi, bagaimana hukum sendiri dapat dicek legalitasnya? Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum kongkret yang mendasari penilaian tentang legalitas tindakan kekuasaan tadi ditetapkan sesuai dengan bagian hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum. Tetapi, lalu timbul pertanyaan apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan itu sendiri legal atau 'sesuai dengan hukum' yang berlaku. Barangkali kita masih dapat mengacu pada undang-undang dasar negara itu, tetapi paling lambat di situ kita tidak dapat bertanya terus. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan 'regressus ad infinitum' (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. Secara historis, kenyataan logis itu diilustrasikan oleh fakta bahwa kekuasaan negara tidak pernah seluruhnya dapat dikembalikan pada suatu asal usul yang legal. Pada permulaan setiap negara, kita tidak menemukan kesesuaian dengan suatu hukum, melainkan kekuatan keberhasilan: yang menentukan ialah bahwa suatu sistem kekuasaan tertentu berhasil untuk mempertahankan diri dan memperoleh eksistensi politis. Pada permulaan tatanan politik, kita akan menemukan suatu kehendak yang berhasil memaksakan diri sebagai penguasa yang harus diakui. Hal itu berlaku juga bagi segenap negara yang tercipta dalam suatu wilayah yang berhasil untuk memisahkan diri dari suatu negara, yang lahir dari pemberontakan bangsa yang dijajah terhadap penjajah dan dari perombakan total sistem kenegaraan sebagai akibat suatu revolusi. (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 59-60)
Thomas Aquinas: Kedaulatan Hukum Kodrat

Teori hukum kodrat Thomas Aquinas telah saya bahas. Hukum kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum kebijaksanaan Ilahi. Hukum positif sebagai hukum buatan manusia hanyalah sah sejauh berdasarkan hukum kodrat. Jadi, tindakan legislatif negara hanya legitimit asal sesuai dengan norma-norma moral. Kesimpulannya ialah, bahwa suatu penetapan negara yang tidak berdasarkan hukum kodrat, yang bertentangan dengan norma-norma moral dasar, tidaklah sah. Tindakan di luar batas-batas hukum kodrat tidak lebih dari suatu pemaksaan belaka dan tidak mempunyai daya ikat. Fakta kekuasaan tidak memberikan hak apa-apa. Bahwa seseorang atau sebuah lembaga memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya pada masyarakat, tidak memberikan suatu hak apa pun untuk menuntut ketaatan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 196)

LEGITIMASI ETIS DAN
 HUKUM (LEGALITAS)

Legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis. Alasannya sederhana saja: legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan. Padahal, hukum yang berlaku belum tentu dapat dibenarkan secara etis. Kesesuaian wewenang negara dengan sembarang hukum belum dapat menghasilkan dasar yang mencukupi bagi keabsahan etis. Tidak sembarang hukum dapat dibenarkan. Hukum yang berlaku harus adil. Dari situ kita dapat menarik suatu kesimpulan yang mempunyai konsekuensi moral yang jauh. Walaupun negara harus bertindak sesuai dengan hukum, namun itu baru berupa prasyarat. Penggunaan kekuasaan negara belum tentu legitimit secara etis kalau hanya didasarkan dengan hukum. Penggunaan kekuasaan harus juga sesuai dengan kriteria-kriteria prapositif keadilan, seperti misalnya dengan hak-hak asasi manusia. Karena undang-undang merupakan hasil kegiatan (legislatif) negara sendiri, tak mungkin negara dapat mendasarkan keabsahannya semata-mata pada kesesuaian tindakan-tindakannya dengan undang-undang itu. Maka negara tidak dapat membenarkan segala tindakan segala tindakan hanya dengan mengatakan bahwa tindakan itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Kalau hukum itu tidak memadai, kalau segi-segi keutuhan manusia yang penting tidak diberi perlindungan atau kalau ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat kabur dan luas (multitafsir, NE) untuk memberikan legalitas bagi tindakan-tindakan negara yang meragukan, jangan dikira bahwa dengan demikian tindakan negara yang memanfaatkan hukum semacam itu, secara moral lantas dapat dibenarkan. Legalitas belum menjamin moralitas negara. (Catatan dari saya NE: misalnya apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie tentang rezim Orde Baru yang melegalkan tindakan korupsi dengan cara, misalnya, mengeluarkan Keppres. Maka ia mengistilahkan dengan government by Keppres. Saat ini pun juga banyak contohnya, misalnya, Perda yang dibuat untuk menindak PKL. Atau UU yang dibuat sedemikian rupa yang nyata-nyata tidak adil. Buktinya banyak UU yang dibatalkan oleh MK). (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 64)

LEGITIMASI ETIS DAN LEGITIMASI
SOSIOLOGIS

Adalah tugas etika untuk mempertanyakan keabsahan pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto ditemukan dari segi prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada pandangan-pandangan moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat, melainkan sebaliknya bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi legitimasi etis wewenang negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan orang. Meskipun kebanyakan anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola tindakan suatu negara, namun masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan dan pola tindakan itu memang dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati. Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum menjamin harkat moral kebijakan itu.
akan keabsahan pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto ditemukan dari segi prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada pandangan-pandangan moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat, melainkan sebaliknya bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi legitimasi etis wewenang negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan orang. Meskipun kebanyakan anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola tindakan suatu negara, namun masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan dan pola tindakan itu memang dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati. Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum menjamin harkat moral kebijakan itu (lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 65-66)

TIGA NILAI-NILAI DASAR HUKUM
1. Keadilan
2. Kebebasan
3. Solidaritas sosial (kebersamaan) (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 120)

KEBAHAGIAAN

A. Mengembangkan diri
Menurut Aristoteles, manusia tidak akan bahagia apabila ia secara pasif saja menikmati segala-galanya, melainkan kalau ia secara aktif merealisasikan bakat-bakat dan potensi-potensinya. Kita tidak akan bahagia kalau kita terus saja bermalas-malas dengan segala kebutuhan dan kemewahan yang sudah tersedia, dilayani dalam segala hal, sehingga tak perlu mengusahakan sendiri, jadi tinggal menikmati saja. Bagi orang yang bekerja keras, mungkin terdengar mengasyikan. Tapi, sebenarnya, orang tidak tahan berlibur berkepanjangan. Maka ada anak orang kaya lebih senang bekerja sepanjang hari memelihara mobil balapnya. Jadi, yang membahagiakan ialah kalau kita mengembangkan diri sedemikian rupa hingga bakat-bakat yang kita punyai menjadi kenyataan. Kebahagiaan tercapai dalam mempergunakan atau mengaktifkan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan kita itu. Itulah sebabnya orang yang mau menjadi pengukir akan jauh lebih bahagia dengan patung sederhana hasil ukirannya sendiri daripada apabila orang tuanya membelikan patung bagus seorang seniman ternama. Maka salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri (self realization). Ia semakin dapat bahagia, semakin ia mengembangkan diri.
B. Melepaskan diri 
Namun, pertimbangan kita sekarang belum cukup. Manusia berkembang tidak dengan berfokus pada kepentingannya sendiri, melainkan dengan menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Kita akan berkembang apabila kita menomorduakan kita demi manusia-manusia yang dipercayakan kepada kita.
C. Menerima diri
Menerima diri ini identik dengan mensyukuri yang kita dapatkan. Percaya pada takdir, bahwa segalanya merupakan kehendak dan dalam rencana Allah. (Lebih jelas, baca: Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 119)

ASAL KATA "TEORI"

Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani kuno. Theoros adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus keagamaan. Dalam perayaan itu, orang ini melakukan theorea atau "memandang" ke arah peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah. Dalam istilah Yunani, pengalaman itu disebut katharsis: pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris. (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, h. 22)
KAPITALISME
Dalam ekonomi kapitalis, tujuan usaha bukan nilai pakai (manfaat), suatu benda, melainkan nilai tukar. Makin banyak nilai tukar (uang) berhasil diakumulasikan, makin kuat kedudukan penguasa dalam kompetisi pasar bebas.

DELIBERASI PUBLIK
"Proses menimbang-nimbang bersama masyarakat dalam teori politik kontemporer dikenal sebagai 'deliberasi publik'."  (F. Budi Hardiman)

"Summa justitia, summa iniuria; keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar." (Cicero, dikutip Magnis, dalam Etika Politik, h. 83)

ETIKA POLITIK YUNANI: PLATO DAN ARISTOTELES

a. Plato: Negara dan Keadilan
Plato menulis pada zaman masyarakat Yunani mengalami perubahan-perubahan yang mendalam. Athena, pusat kebudayaan Yunani semakin merosot dalam semua bidang sebagai akibat kekalahannya dalam perang Pelopones. Pemerintahan negara menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tetapi berambisi. Dalam situasi itu, Plato menggagas pola kehidupan negara yang baik. Kehidupan itu akan tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilan dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang. Plato membangun suatu model negara. Dalam negara terdapat tiga golongan:
1. Penjamin makanan, yang bekerja agar kebutuhan manusia dapat tersedia: petani, pedagang, tukang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut;
2. Para penjaga, golongan yang mengabdi pada kepentingan umum. Mereka perlu diberi pendidikan intensif di bidang filsafat, gimnastik, dan musik;
3. Para pemimpin. Mereka diambil dari antara para penjaga, yang paling mendalami filsafat. Itulah paham termasyhur Plato tentang raja-filosof. Filosof adalah orang yang sanggup untuk melihat idea-idea atau hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang alam indrawi yang berubah-ubah. Hal itu mungkin karena ia telah mengatasi keterikatan pada nafsu dan indera dan dengan demikian bebas dari pamrih.
b. Aristoteles: Kebahagiaan
Aristoteles membahas polis dalam rangka permasalahan tujuan manusia. Tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Untuk hidup dengan baik, sebagai manusia beradab, yang dapat mengembangkan potensi-potensinya, ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam satu masyarakat. Dari situ, Aristoteles mengambil kesimpulan bahwa tujuan negara adalah sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.
Dengan melawan Plato, Aristoteles tidak menyerahkan kepemimpinan negara kepada seorang filosof. Baginya, filsafat sibuk dengan hal-hal abadi yang tak berubah, sedangkan politik menyangkut manusia yang selamanya berubah-ubah. Yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin masyarakat adalah kebijaksanaan dalam pergaulan dan keutamaan-keutamaan etis. Sikap-sikap itu tidak merupakan objek pengetahuan filosofis, melainkan tumbuh dalam keakraban dengan yang baik, dalam berulang-ulang melakukannya (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 186-189)

Materialis Sejarah, Basis, dan Bangunan
Atas (Superstruktur)

Materialis sejarah adalah teori Marx tentang hukum perkembangan masyarakat. Inti pandangan ini ialah bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi. Bidang ekonomi adalah basis. Sedangkan dua dimensi kehidupan masyarakat lainnya, institusi-institusi sosial, terutama negara, dan bentuk-bentuk kesadaran sosial merupakan bangunan atas (superstruktur). Ciri yang paling menentukan bagi semua bentuk ekonomi sampai sekarang ialah pemisahan antara para pemilik dan pekerja.
Pada garis besarnya, (terutama semakin produksi masyarakat mendekati pola kapitalis) kelas-kelas sosial termasuk salah satu dari dua kelompok kelas: kelas-kelas pemilik dan kelas-kelas pekerja. Yang pertama memiliki sarana-sarana kerja, sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Oleh karena kelas-kelas pekerja tergantung dari sarana kerja agar dapat hidup, kelas-kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas-kelas  pemilik. Pemilik tanah, misalnya, mengontrol para buruh tani. Itu berarti bahwa para pemilik dapat menghisap tenaga kerja para pekerja, mereka hidup dari penghisapan tenaga mereka yang harus bekerja. Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan kelas-kelas pekerja merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat. Jadi, menurut Marx, ciri khas semua pola masyarakat sampai sekarang ialah, masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah, dan struktur proses ekonomi tersusun sedemikian rupa hingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja yang kedua. Bangunan atas (superstruktur) adalah cermin keadaan basis. Negara adalah alat kelas-kelas atas untuk menjamin kedudukan mereka, untuk seperlunya menindas usaha kelas-kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan oleh kelas-kelas atas. Sedangkan 'bangunan atas ideologi'--istilah Marxis bagi agama, filsafat, pandangan-pandangan moral, hukum, seni, dsb--berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu. Jadi, Marx menolak paham bahwa negara mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Negara dikuasai oleh dan berpihak pada kelas-kelas atas (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 265-266)

Determinisme Ekonomi

Dari paham basis-superstruktur, Marx menarik kesimpulan bahwa suatu perubahan mendalam dalam struktur masyarakat tidak dapat dicapai melalui tindakan-tindakan politik dan juga tidak dapat diharapkan dari perubahan dalam cara manusia berpikir, melainkan hanya dari suatu perubahan dalam bidang ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 267)

Kritik Magnis terhadap Skema
Basis-Bangunan Atas Marx

Menurut Marx, pola produksi mempunyai pengaruh mendalam atas pola kelembagaan sosial, terutama negara, dan cara berpikir masyarakat. Struktur sosial politik dan bentuk-bentuk kesadaran sosial (budaya, filsafat, pandangan moral, seni, agama, hukum) suatu masyarakat tidak dapat dipahami dengan tepat kalau struktur-struktur kekuasaan ekonomis tidak diperhatikan. Itulah jasa historis Marx. Namun, menurut Magnis, Marx mengeksklusifkan arah dampak bidang ekonomi itu. Ia tidak melihat bahwa bidang politik dan cara manusia berpikir juga mempengaruhi cara manusia berproduksi. Suatu pengaruh timbal-balik oleh Marx direduksi menjadi pengaruh searah saja Saling ketergantungan bidang produksi, bidang politik dan bentuk-bentuk keagamaan, filsafat, pandangan-pandangan moral dan hukum direduksi menjadi ketergantungan sepihak bidang politik dan pikiran dari bidang ekonomi. Reduksionalisme itu tertanam ke dalam skema basis-bangunan atas atau superstruktur (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 272)

GAGASAN DASAR NEGARA HUKUM

Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Ada dua unsur dalam paham negara hukum: pertama bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma objektif yang juga mengikat pihak yang memerintah. Dan kedua, bahwa norma objentif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara; dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 295)

Hukum dan Legitimasi Demokratis

Legitimasi demokratis adalah  tuntutan agar penggunaan kekuasaan harus berdasarkan persetujuan para warga negara itu sendiri dan senantiasa berada di bawah kontrol mereka. Hal ini mengandung tuntutan agar kekuasaan negara dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum. Kontrol demokratis negara secara langsung mengenai kekuasaan legislatif. Semua undang-undang harus disetujui oleh parlemen yang dipilih oleh para warga negara (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 296)

NEGARA HUKUM DAN MORAL

Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup  kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi (sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum(Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 300). Tentang hal ini baca juga tentang Teori Hukum Kodrat dan Aliran Positivisme Hukum, dalam buku yang sama.
Contoh hukum yang tidak berdasarkan moral: Di zaman Nazi Hitler, ada undang-undang antisemit atau anti Yahudi, yaitu undang-undang yang memperlakukan warga Yahudi dengan tidak manusiawi. Undang-undang itu dikenal dengan Undang-Undang Nuremberg. Jadi, Hitler pun memerintah juga menggunakan hukum. Namun, hukum yang seperti apa? Dan bisakah Nazi Jerman disebut negara hukum? Tentu sulit untuk mengatakan demikian. Mengenai Undang-Undang Nuremberg, baca: "Undang-Undang Nuremberg", di internet. Di situ juga ada contoh-contoh pasal yang tidak manusiawi, tidak masuk akal, dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Ciri-ciri Negara Hukum

1.    Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Artinya, alat-alat negara menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum, tidaklah cukup bahwa instansi negara, misalnya pemerintah, berpendapat bahwa suatu tindakan perlu diambil demi kepentingan umum, melainkan tindakan itu hanya boleh diambil apabila tidak bertentangan dengan undang-undang;
2.    Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif;
3.    Berdasarkan sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia. Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup  kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi (sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum.
4.    Menurut pembagian kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan pemusatan kekuatan. Misalnya, legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987)

Hukum Bertujuan Membatasi?

Tatanan hukum membatasi kelakuan para warga masyarakat. Tetapi, hukum tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Nilai kebebasan terletak dalam penolakan terhadap kesewenangan kekuasaan. Pembatasan terhadap hak kita untuk bertindak, yang merupakan hakikat hukum, justru menjamin kebebasan kita dari pembatasan-pembatasan yang sewenang-wenang, yang tidak dipertanggungjawabkan, yang tidak berdasarkan pengakuan fundamental kita sendiri terhadap adanya tatanan sosial, jadi yang hanya berdasarkan kekuatan pihak yang berkuasa saja. Hukum justru menjamin kebebasan setiap orang dan kelompok orang untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan pihak-pihak yang tidak berhak. Nilai kebebasan memuat pengakuan bahwa pembatasannya tidak boleh sewenang-wenang (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 304)

Tujuan Negara dalam Perspektif
Etika Politik

Apabila kita bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera, di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya harus dirumuskan baik secara negatif maupun secara positif. Secara negatif, manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan, apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif, manusia dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat, apabila ia dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi serta kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Apabila kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, bisa dikembangkannya, apabila ia merasa tenang dan bebas. Perumusan ini menunjukkan sesuatu yang menurut hemat saya sangat penting: kesejahteraan seseorang bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan secara dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis dari atas, melainkan terletak dalam perasaan orang yang bersangkutan. Bukan kitalah yang dapat menentukan kapan seseorang bebas dari perasaan cemas, kapan ia merasa tenteram dan bahagia. Kita hanya dapat menanyakan pada dia sendiri. Di sini maksud-maksud dan kegiatan negara berhadapan dengan sebuah batas. Negara dapat mengusahakan kondisi-kondisi kesejahteraan para anggota masyarakat, tetapi tidak dapat membuat mereka merasa sejahtera. Negara tidak langsung dapat menciptakan kesejahteraan seseorang. Kalau negara langsung mau membuat para anggota masyarakat menjadi sejahtera, negara jatuh ke dalam totalitarisme. Kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang bersama terwujud dalam perasaan mereka masing-masing. Bagaimana perasaan masing-masing anggota masyarakat adalah kenyataan yang berada di luar kemampuan negara untuk menentukannya. Yang diciptakan negara adalah prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan masing-masing anggota masyarakat dapat terwujud. Negara bertugas untuk menciptakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat merasa sejahtera, tetapi yang tidak dapat dijamin oleh masyarakat sendiri. Sebagai contoh: kesejahteraan seseorang juga tergantung dari kemampuannya untuk bekerja dengan keras. Tetapi, pekerjaan keras pun tidak berguna, kalau struktur-struktur ekonomi bersifat eksploitatif, karena dalam struktur-struktur eksploitatif berlaku bahwa semakin keras ia bekerja, semakin kaya majikannya sedangkan ia sendiri tetap miskin saja. Negara bertugas untuk menciptakan struktur-struktur ekonomi agar siapa saja yang mau bekerja keras, dapat menghasilkan cukup agar ia dapat hidup dengan sejahtera bersama keluarganya  (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 315-316)

HABERMAS DAN PSIKOANALISIS FREUD

Sebagaimana juga diakui dalam tradisi Marxisme, kekuatan-kekuatan sosial tidak berdaya di luar kesadaran para pengikut. Itulah sebabnya hal kesadaran sosial dan ideologi selalu dipersoalkan. Suatu sistem kekuasaan tidak akan ditentang oleh masyarakat hanya karena para filosof menilainya sebagai tidak adil, melainkan hanya, kalau sistem itu terasa bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sendiri. Tetapi, kebutuhan itu sendiri tidak akan membuat masyarakat bangkit menentang, selama sistem itu dalam pandangan mereka dapat dibenarkan, misalnya karena suatu kepercayaan ideologis. Agar sistem itu betul-betul mulai ditentang, legitimasinya perlu dipersoalkan dulu. Itulah fungsi sosial kritik normatif etika politik (dan ilmu-ilmu lain yang bersangkutan). Salah satu pemastian kembali kekuatan emansipatoris kritik normatif yang paling terkenal dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Dengan bertolak dari paham psikoanalisis Freud, ia mau membuka makna realitas sosial yang terdapat sekarang dari penggalian kembali sejarah terbentuknya sebagai sejarah penindasan. Pengertian akan sejarah itu membebaskan mereka yang tertindas dari selubung salah anggapan bahwa kemiskinan dan ketergantungan yang mereka derita merupakan nasib alamiah yang tidak dapat diubah (yang given, NE). Rekonstruksi sejarah penindasan membuka kesadaran bahwa penindasan ini dapat ditolak dan dengan demikian merupakan langkah pertama ke arah pembebasan. Dengan demikian, Teori Kritis menjadi langkah pertama suatu praksis pembebasan. Terhadap Habermas dapat dikemukan bahwa tanpa perumusan eksplisit premis-premis normatif-moral yang mendasari rekonstruksi sejarah sebagai sejarah penindasan, kritik itu sendiri dapat disalahgunakan secara ideologis (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 322)


KEADILAN SOSIAL TIDAK DAPAT DICIPTAKAN
SEMATA-MATA DARI KELAS ATAS

Pengakuan teoritis terhadap kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial tidak berarti bahwa kewajiban itu sungguh-sungguh diusahakan. Mengapa demikian? Menurut Franz Magnis-Suseno, karena pembongkaran ketidakadilan struktural dengan sendirinya bertentangan dengan kepentingan-kepentingan golongan yang berkuasa. Struktur-struktur yang tidak adil hanya tumbuh dan dipertahankan karena memenangkan kepentingan-kepentingan golongan-golongan yang kuat terhadap kepentingan-kepentingan yang lemah. Ketimpangan ini adalah hakikat ketidakadilan struktur-struktur itu. Jadi, golongan-golongan yang menguasai masyarakat justru dan dengan sendirinya beruntung dari kenyataan bahwa golongan lemah tidak sanggup untuk mengambil apa yang sebenarnya menjadi hak mereka. Oleh karena itu, lanjut Magnis, harapan bahwa keadilan sosial dapat diciptakan semata-mata dari atas adalah naif. Mebongkar struktur-struktur yang tidak adil dengan sendirinya mengubah struktur kekuasaan status quo, dan hal itu dengan sendirinya bertentangan dengan kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Mengusahakan keadilan sosial selalu bertentangan dengan kepentingan  mereka yang sudah mantap dan berkuasa. Karena itu, tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa ketidakadilan struktural sungguh-sungguh dapat dibongkar hanya dari atas saja. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa pembongkaran ketidakadilan harus diperjuangkan oleh mereka yang terkena sendiri. Keadilan sosial tidak masuk akal kalau sekedar diharapkan dari kesadaran mereka yang berkuasa. Tanpa usaha dari golongan-golongan yang menderita ketidakadilan itu sendiri, ketidakadilan tidak mungkin dihapus. Namun, Magnis menolak cara-cara revolusi dengan kekerasan sebagaimana teori Marxisme ortodoks. Karena hal itu bukanlah membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan, tetapi hanya melahirkan dominasi baru. Memperjuangkan keadilan sosial dari bawah jangan dipahami semacam konfrontasi antara dua bagian masyarakat. Karena konfrontasi semacam itu selalu bersifat ideologis dan tidak akan menghasilkan keadilan. Yang diperlukan itu, menurut Magnis,  adalah bagaimana agar golongan-golongan sosial yang lemah pun dapat menyuarakan harapan-harapan dan cita-cita mereka, agar mereka dapat berpartisipasi secara nyata dalam pengambilan keputusan-keputusan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Artinya, keadilan sosial mengandaikan demokratisasi. Tanpa demokrasi, keadilan hanya tinggal impian. Yang perlu direalisasikan adalah hak-hak dasar untuk berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat, berpartisipasi dalam kehidupan politik, mengkritik, kebebasan pers, dan adanya kepastian hukum (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 336)

IDEOLOGI

Harus diakui, pengertian idelogi tidak terdapat kesamaan paham. Maka, di sini saya membatasi diri untuk merumuskan apa yang saya maksud kalau saya berbicara tentang "idelogi". Saya akan membedakan dengan tajam antara idelogi dalam arti sempit dan luas. Dalam arti luas, istilah "idelogi" dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Dalam arti sempit dan sebenarnya, ideologi adalah gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Ideologi dalam pengertian ini disebut oleh Magnis, sebagai ideologi tertutup. Karena kemutlakannya tidak mengizinkan orang mengambil jarak terhadapnya. Secara singkat, ideologi tertutup adalag gagasan-gagasan tertentu yang dimutlakkan. Di samping kata "idelogi", juga ada kata "ideologis". Kata "ideologis" selalu berkonotasi negatif dan tidak pernah dipakai dalam arti "idelogi terbuka". Setiap usaha untuk memutlakkan gagasan-gagasan tertentu disebut idelogis (ingat buku Kritik Ideologi, -NE). Biasanya, kata "ideologis" sekaligus membawa konotasi, bahwa gagasan-gagasan yang dimutlakkan itu sebenarnya selubung untuk melindungi kepentingan kekuasaan tertentu.
Ideologi tertutup biasanya bersifat totaliter. Dan, demi ideologi tertutup itu, hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi. Ciri khas ideologi tertutup adalah, bahwa atas namanya, dibenarkan pengurbanan-pengurbanan yang dibebankan pada masyarakat. Demi ideologi, segala-galanya, dikorbankan, bahkan manusia. Harga nyawa manusia pun menjadi murah. (Dalam realita kita mengenal ada ideologi komunis, fasisme, dll, dan dewasa ini ada berbagai bentuk lagi, yang apa yang dinamakan oleh masyarakat dengan "terorisme", walaupun saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah "terorisme" secara gampang, karena itu merupakan bentuk kepentingan ideologis pihak tertentu juga, --NE). Terhadap ideologi tertutup, orang tidak diizinkan untuk mempersoalkannya lagi, misalnya berdasarkan suara hatinya, tanggung jawabnya, atau hak asasinya.
Secara sederhana: kita selalu harus taat terhadap suara hati kita. Sedangkan ideologi menuntut agar kita secara buta taat terhadap perintah-perintahnya. Tuntutan itu amoral. Secara teknis formal: etika kritis menunjukkan bahwa yang berlaku mutlak hanyalah prinsip-prinsip moral dasar yang abstrak dan belum operasional---seperti kewajiban untuk selalu bersikap adil---sedangkan kewajiban-kewajiban kongkret yang disimpulkan dari prinsip-prinsip abstrak nonoperasional dasar itu tidak pernah berlaku mutlak. Antara prinsip-prinsip dasar moral yang memang berlaku mutlak aplikasinya dalam suatu tindakan kongkret yang dianggap wajib, selalu terdapat jarak pertanggungjawaban, di mana manusia sendiri harus mempertanyakan apakah tindakan kongkret itu memang merupakan penjelmaan tepat dari prinsip dasar itu dalam situasinya. Kejahatan pendekatan ideologis terletak dalam penyingkiran jarak pertanggungjawaban antara tuntutannya dan kesadaran orang. Tuntutan ideologis  bersifat kongkret dan mutlak sekaligus dan tidak mengizinkan untuk dipersoalkan sama sekali. Sebagai contoh: saya mutlak wajib untuk selalu bertindak jujur, tetapi kemutlakan itu tidak menghilangkan ruang tanggung jawab saya, karena saya tetap masih harus mencari apa arti kejujuran dalam situasi kongkret masing-masing. Tetapi kalau negara idelogis menuntut ketaatan mutlak, ruang tanggung jawab itu hilang. Negara tidak mempunyai wewenang untuk menentukan apa yang harus  dipikirkan masyarakat dan bagaimana kita harus hidup.
Tetapi penolakan terhadap negara ideologis tidak berarti bahwa negara hendaknya diselenggarakan secara pragmatis belaka.
Yang berlaku tentang negara dengan ideologi tertutup tidak berlaku bagi negara dengan ideologi terbuka.
Ciri khas "ideologi terbuka" itu ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan konsensus masyarakat. Kiranya dalam semua sistem politik yang tidak ideologis dalam arti ideologi tertutup, kita akan menemukan bahwa penyelenggaraan negara berdasarkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar tertentu. Kadang-kadang, dasar normatif itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam kebanyakan negara undang-undang dasar memuat bagian yang merumuskan dasar normatif itu. Dasar normatif yang dapat kita sebut "falsafah negara" itu diperlukan sebagai kerangka untuk menyelenggarakan negara. Falsafah negara itu merupakan norma yang paling dasar untuk mengecek apakah kebijakan-kebijakan legislatif dan eksekutif negara sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat. Sebagaimana telah kita lihat, demokrasi modern berdasarkan suatu kesepakatan dasar bersama. Kesepakatan itu berlandaskan pada nilai-nilai dan cita-cita dasar masyarakat. Maka ia harus menjadi dasar normatif bagi penyelenggaraan masyarakat. Ciri khas formal idelogi terbuka adalah bahwa isinya tidak langsung operasional. Maka setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri. Misalnya, kemanusiaan dan keadilan sosial dapat merupakan unsur dalam falsafah dasar negara. Dua tuntutan itu tidak tertutup melainkan terbuka terhadap perkembangan dan pengertian baru. Keluhurannya justru terletak dalam fakta bahwa dua prinsip dasar itu tidak langsung operasional. Maka setiap generasi harus berusaha kembali untuk memahami apa arti kemanusiaan dan keadilan sosial dalam situasinya itu (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 366-372)

"Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika nama Ali Syari'ati disebut? Salah satu arsitek revolusi Islam Iran, seorang muslim yang Marxis, seorang provokator agar para mahasiswanya turun ke jalan untuk meruntuhkan rezim Reza Syah Iran." (Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Teraju, 2004, h. ix)

ANDI HAMZAH TENTANG GELAR

Kata Andi Hamzah, pakar hukum pidana, orang Belanda meledek gelar S.H. di Indonesia sebagai Stomme Hond, yang berarti "anjing blo on". Oleh karenanya, ia tidak mencantumkan gelarnya pada buku karangannya. Misalnya, gelar Prof. Dr sekalipun.  Yang ada gelar pada nama penulisnya, orang Belanda sana tidak mau baca. "Namun, buku saya yang tidak saya cantumkan gelar, dibaca oleh orang-orang di Belanda," kata Andi Hamzah. "Jadi," lanjut Andi pada Karni Ilyas,  "tidak usah mencantumkan gelar." Kata Karni Ilyas: ya saya dari tahun 80-an tidak pernah mencantumkan gelar S.H. di belakang nama saya. (Sumber: ILC, 31 Mei 2016)

SYARI'ATI DAN MARXISME

Dalam kaitannya dengan Marxisme, Syariati tidak hanya mengkritiknya, tapi juga terpengaruh olehnya. Kesadaran kelas dan dialektika sejarah diterimanya, tapi materialisme dialektika ditolak. Kesadaran dan pertentangan kelas antara kelas penindas dan tertindas diterimanya. Syariati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka, dan analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritik terhadap kemapanan politik dan agama, hampir secara keseluruhan didasarkan pada pendekatan dan analisis Marx. Syariati juga pernah menyatakan bahwa Marx hanyalah seorang materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka, tidak pada hal-hal ideal dan spiritual. Bahkan ia menyanjung Marx yang jauh lebih tidak materialistik ketimbang mereka yang mengklaim idealis atau beriman dan religius. Karena itu bisa dipahami mengapa ia sangat dipengaruhi Marxisme, khususnya Neo-Marxisme, terutama dalam pandangan tentang sejarah sebagai proses dialektika, dan tentang massa tertindas dalam hubungannya dengan kemapanan politik dan agama. Tetapi, Syariati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai komunis. Syariati menerima pula paradigma pembentukan masyarakat atas dasar superstruktur yang bersifat politis-ideologis. Ia menempatkan agama ke dalam kategori superstruktur. Sebab, dalam prakteknya, para penguasa, baik dalam wilayah politik maupun keagamaan, sering menjadikan agama tidak lebih sekedar "penenang" massa tertindas dan menjanjikan kebahagiaan di akhirat. Syariati juga mengadopsi pandangan Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah pertentangan kelas. Dawam Rahardjo, mengutip pendapat Dabashi, menyatakan bahwa ada usaha Marxifikasi Islam, atau malah Islamisasi Marxisme. Ada juga kecenderungan Syariati untuk melakukan Islamisasi filsafat Barat, yaitu mengadaptasi filsafat Barat yang disesuaikan dengan ajaran Islam, untuk dipakai merumuskan pemikiran yang dikehendaki Syariati. Lebih jauh lagi, Syariati tidak terburu-buru mencap seorang Marxis dengan "kafir", walaupun ia tetap menyatakan bahwa Marxisme adalah materialis dan ateis. Tetapi, bagi Syariati, kaum Marxis juga memiliki kebenaran. Sebab, seorang muslim sejati, di samping keimanannya pada Tuhan, juga harus bersedia melakukan aksi konkret melawan penindasan, sebuah unsur yang ada dalam ajaran Marxisme. (Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004, h. 46-49)

MANUSIA IDEAL DALAM PANDANGAN ALI SYARIATI

Manusia menjadi sempurna atau ideal bukan karena berhasil menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan kemanusiaan. Justru, manusia menjadi sempurna adalah dalam perjuangan untuk kesempurnaan umat manusia. Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, dia menemukan Tuhan. Manusia ideal tidak meninggalkan alam dan mengabaikan manusia lainnya... Dalam derita kesukaran, lapar, kemelaratan, dan siksaan demi kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, dalam gejolak api perjuangan intelektual dan sosial, di situlah dia menemukan kesalehan, kesempurnaan, dan keakraban dengan Allah... Di tangannya tergenggam pedang Caesar, sedang di dalam dadanya bermukim hati sang Jesus. Dia berpikir dengan otak Socrates dan mencintai Allah dengan sanubari Al-Hallaj. Sebagaimana yang didambakan Alexis Carrel, dia adalah manusia yang paham akan keindahan ilmu dan keindahan Tuhan. Dia memperhatikan kata-kata Pascal dan kata-kata Descartes... Bagaikan sang Buddha, dia bebas merdeka dari belenggu nafsu dan egoisme. Bagaikan Abu Dzar, ditebarkannya benih revolusi bagi mereka yang lapar. Bagaikan Jesus, dia membawa pesan cinta kasih dan perdamaian. Dan bagaikan Musa, dia adalah pesuruh Jihad dan pembebasan. (Ali Syariati)---(lihat Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004, h. 115-116)



Renungan Jum'at

Menurut Imam al-Ghazali, berziarah kubur atau menjenguk orang sakit adalah cara untuk menyegarkan ingatan pada maut sehingga ingatan tersebut menguasai hati dan seakan-akan berada di ambang ajal.

Pada tahap ini, orang nyaris siap untuk mati dan membebaskan diri dari dunia yang penuh kesia-siaan, sebab mengingat kematian dengan separuh hati atau hanya sekadar dituturkan dalam basa-basi, tak akan ada faedahnya. Betapa pun puasnya seseorang dengan harta duniawi, dia harus tetap ingat bahwa kematian pasti akan memisahkannya.

Suatu hari, Ibn Muthi memandangi rumahnya dan terkesan oleh keindahannya. Lalu, dia menangis tersedu-sedu seraya berkata, " Demi Allah, seandainya bukan karena kematian, niscaya aku akan merasa gembira karenamu, dan kalaulah bukan karena sempitnya lubang kubur yang akan kita tuju, niscaya kita akan terpesona oleh dunia."

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Dzikr Al-Maut, Ihya Ulumuddin











0 komentar:

Posting Komentar