KUTIPAN-KUTIPAN
"Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu, adalah buruk, bahkan jahat, sebagai manusia." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)
"Dan sebaliknya, dalam negara yang buruk, manusia yang baik sebagai manusia, seseorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara itu." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)
Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia--bukan hanya sebagai warga negara--terhadap negara, hukum yang berlaku, dan lain sebagainya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 14)
"Cara untuk menentang pikiran yang dianggap salah bukanlah dengan membungkamkannya secara paksa, melainkan melalui konfrontasi dalam dialog atau debat yang tetap menjamin kebebasan setiap peserta untuk membela pendapatnya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 151)
"...mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang
menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan dan
nilai-nilai dianggap bangunan atas? Marx bertolak dari pengandaian bahwa
institusi-institusi, agama, moralitas, dan sebagainya ditentukan oleh struktur
kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, negara selalu mendukung kelas-kelas atas,
dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan
kelas-kelas atas itu.
Untuk memahami apa yang dimaksud Marx, kita perlu memperhatikan
bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur
kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomi. Hubungan-hubungan produksi
ditandai oleh kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh para pemilik. Teori
tentang basis dan bangunan atas berarti bahwa struktur-struktur kekuasaan
politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, jadi oleh
struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Itulah inti konsepsi Marx tentang basis
dan bangunan atas. Kita sudah melihat arti kaitan ini. Yang menguasai bidang
ekonomi, pada umumnya para pemilik, juga menguasai negara, sehingga kekuasaan
negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan
dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan
kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politik dan spiritual dalam
masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap
kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi." (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)
"Habermas
beranggapan bahwa kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan, melainkan
juga dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini tidak dimengerti dalam paradigma
kerja, melainkan dalam paradigma komunikasi. Yang dimaksud adalah bahwa
kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar para
anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan
politis, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 22)
Menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Rekayasa Sosial,
sebagaimana dikutip oleh Listiyono Santoso, setiap perubahan hanya bisa terjadi
melalui empat unsur utama: gagasan (ide), tokoh-tokoh besar, gerakan sosial,
dan revolusi. (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi
Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015,
h. 32)
Menurut Marx dan Engels, bukanlah kesadaran manusia yang
menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, penghidupan sosial mereka yang
menentukan kesadarannya (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2015, h. 43). Maksud dari Marx di atas adalah yang berkenaan
dengan basis dan bangunan atas (suprastruktur)
"Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas
atas yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk
membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan 'superstruktur
ideologis'--istilah Marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama,
estetika, dan lain sebagainya--berfungsi untuk memberikan legitimasi pada
hubungan kekuasaan itu. Pendekatan ini disebut juga sebagai determinisme ekonomis,
yang intinya: bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sosial, tetapi
eksistensi sosial yang menentukan kesadaran.(Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 82).
Demokrasi deliberative diartikan oleh F. Budi Hardiman
(2009: 129): "bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah
'kehendak umum' yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimitas
itu adalah proses deliberatif, argumentatif-diskursif suatu keputusan sementara
yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas
revisi."
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.s. Al Maidah/5: 8)
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Q.s. an Nahl/16: 125)
Bagi Gramsci, ada dua macam intelektual: intelektual
tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada
persoalan yang besifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi. Intelektual
organik memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas
dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual tradisional melakukan
aktivitas intelektual kurang lebih
karena faktor ekonomi. Padahal intelektual organik mempunyai kemampuan sebagai
organisator, meskipun pada saat yang sama bisa jadi seorang borjuis. Menurut
Gramsci, setiap anggota partai harus dianggap sebagai seorang intelektual,
meskipun tingkat pendidikannya bukan menjadi syarat pokok. Yang penting adalah
fungsi kepemimpinan dalam organisasi, yaitu fungsi pendidikan dan intelektual.
(Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015,
h. 84).
"Teori Kritis Mazhab Frankfurt tidak berurusan dengan
prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide, melainkan memberikan kesadaran
untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Karena itu, fungsi teori
tersebut adalah emansipatoris." (lihat Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 100)
"Hermeneutik dalam pengertian umum adalah metode memahami
teks." (lihat Listiyono Santoso dkk, Epistemologi
Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2015, h. 66)
Tentang Basis
dan Superstruktur
Orang pertama yang menghidupkan kembali wawasan dialektika
Hegel dalam Marxisme adalah seorang aktivis Partai Komunis Hongaria, Georg
Lukacs (1885-1971). Dalam bukunya yang termashur, Geschichte und
Klassenbewusstein (Sejarah dan Kesadaran Kelas, 1923), ia menolak determinisme
ekonomis dari kalangan penganut Marxisme ortodoks. Dalam buku itu, ia
menekankan peranan kesadaran kelas ploretariat sebagai subjek dialektika
sejarah. Penekanan atas proses kesadaran pada manusia dalam masyarakat dan
sejarah memberi kemungkinan pada Lukacs dan para pemikir kritis lainnya untuk
mengarahkan diri pada fenomen superstruktur, yaitu pengetahuan dan ideologi.
Fenomen superstruktur ini di kalangan Marxisme ortodoks dan dalam pandangan
Marx sendiri kurang diminati karena dipandang sebagai ungkapan dari basis
ekonomi belaka (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991,
h. 43)
"Marx memandang proses kehidupan sosial manusia
sebagai dua faktor yang memiliki hubungan searah, yaitu faktor ekonomi sebagai
basis dan faktor kesadaran manusia yang terwujud dalam politik, ideologi,
agama, ilmu, filsafat, (termasuk hukum, pendidikan, media massa. NE), dsb,
sebagai superstrukturnya. Basis itu menentukan superstruktur sehingga perubahan
dalam struktur ekonomi akan mengakibatkan perubahan dalam struktur kesadaran,
tetapi tidak sebaliknya. Berdasarkan anggapan ini, kaum Marxis ortodoks mengabaikan
gejala superstruktur dan memusatkan diri pada analisis ekonomi (catatan kaki
dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 43)
Secara ekonomi, baik fasisme maupun Stalinisme menandai
suatu peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang ditangani langsung oleh negara penindas. Dengan kata lain, baik fasisme maupun
Stalinisme yang bermaksud mewujudkan masyarakat sosialis itu tak lain dari perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme
yang disebut kapitalisme negara. Komunisme berusaha membenarkan penindasannya
dengan mitos sosialisme, dan fasisme justru menolak komunisme dalam hal
pendekatan "rasional"-nya untuk membenarkan praktik totaliternya.
Tanpa tedeng aling-aling, fasisme atau lebih khusus lagi Nazisme memanipulasi
emosi, kebencian, dan irasionalitas masyarakat melalui ideologi-ideologi ras
untuk memusnahkan ras lawan. Bagi Horkhiemer, kritik terhadap sistem kapitalis
menyangkut juga kritik terhadap ideologi fasis dan komunis. Horkheimer berkata,
"Ia yang tak ingin membicarakan kapitalisme juga akan menutup mulut
mengenai fasisme." Dalam konteks fasisme dan komunisme ini, Teori Kritis
lahir dengan maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang
telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Adorno dan
rekan-rekan menyebut situasi penindasan total terhadap manusia di bawah rezim
fasis sebagai Herrschaft (dominasi
total). Dalam pandangan mereka, tugas dari Kritik atau teori kritis sebagai
teori emansipatoris adalah menelanjangi Herrschaft ini. Dan karena bagi mereka,
Herrschaft dimungkinkan oleh
ideologi, dan ideologi dapat meliputi segala bidang, baik praxis politis maupun
teoritis ilmiah, Teori Kritis tak lain dari Kritik Ideologi. Melalui kritik
ideologi, mereka mengharapkan munculnya manusia yang sadar akan penindasan
sosial atas diri mereka dan mau bergerak membebaskan diri. Dalam konteks ini
pula mereka melahirkan konsep Kritik: kritik atas metodologi dan kritik atas
pencerahan budi (F. Budi Hardiman, Kritik
Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991,
h. 48-49)
KONSEP KEBENARAN MENURUT NIETZSCHE
"Nietzsche menolak pandangan positivisme Auguste
Comte. Menurut Comte, subjek mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu
faktual, dapat diindera, positif, dan eksak. Menurut Nietzsche, manusia tidak
dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu
hanyalah sekedar interpretasi. Fakta kebenaran 'pada dirinya' tidak ada. Yang
ada hanyalah interpretasi dan perspektif. Maka dengan sendirinya tidak ada
kebenaran dunia yang tunggal. Penafsiran itu tidak menghasilkan makna final,
yang ada hanyalah pluralitas. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam
interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan perspektifnya
sendiri-sendiri. Pemahaman akan berbeda jika ia berpindah tempat mengganti
sudut pandangnya itu. Demikian juga dengan masalah kebenaran. Dalam perspektif
subjek-subjek tertentu sesuatu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi
perspektif subjek lain. Bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu kekeliruan
yang berguna untuk mempertahankan arus hidup. Kebenaran sama dengan kekeliruan.
Gagasan kebenaran dan kekeliruan dapat digunakan secara bergantian. Dari
pandangan semacam itu dapat dipahami bahwa Nietzsche tidak memberi tempat dalam
filsafatnya suatu pemikiran absolutisme dalam kebenaran pengetahuan. Selain
itu, ia juga tidak menerima kebenaran sebagai suatu homologi, namun sebagai
paralogi. Kebenaran itu tidak satu, melainkan banyak. Pada intinya, Nietzsche
tidak beranggapan bahwa apa yang dikatakan itu tidak benar, tetapi apa yang
dikatakan mungkin salah." (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 66-67)
Orang Pintar Baru= istilah Gus Mus untuk
kalangan-kalangan yang baru diwisuda dari perguruan tinggi, yang merasa diri
mereka serba tahu. Padahal, menurut Gus Mus, wisuda itu bukanlah akhir atau
puncak dari pengetahuan atau prestasi seseorang, melainkan hanya sebagai
langkah awal atau permulaan.
PERTANYAAN MENDASAR
DALAM POLITIK
"Berbicara mengenai "politik", demikian
lazimnya anggapan orang, adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang
dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti yang seluas-luasnya adalah dimensi
kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan.
Persoalan yang terus muncul di sini adalah siapakah yang berhak mengatur atau
mengarahkan kehidupan sosial itu, dan bagaimana pengaturan dan pengarahan itu
dilaksanakan. Secara lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang
diterima oleh semua pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut soal
legitimasi. Sebuah kekuasaan harus dilegitimasikan agar efektif pada semua
pihak." (F. Budi Hardiman, Menuju
Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 143)
"Dalam pengertian klasiknya, menurut Aristoteles,
politik berhubungan dengan etika, yakni sebagai ajaran tentang hidup yang baik
dan adil dalam polis atau masyarakat." (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 156)
Beda Etika dan Moral
Menurut Magnis, ajaran moral langsung mengajarkan bagaimana
orang harus hidup. Ajaran moral adalah rumusan sistematik terhadap
anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia.
Misalnya, surat Wulangreh mau menjelaskan jalan untuk menjadi manusia yang
baik. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan
ajaran-ajaran moral. Etika tidak pertama-tama mau menjawab pertanyaan
'bagaimana manusia harus hidup?', melainkan tentang cara yang rasional (dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi) untuk menjawab pertanyaan itu.
Ajaran moral misalnya mengajar bahwa manusia harus selalu berlaku jujur. Etika
akan mempertanyakan apa itu jujur dan apakah tuntutan kejujuran tidak pernah
dapat disaingi oleh tuntutan moral lain, misalnya kebaikan hati yang mau
menutupi keburukan orang lain dengan sedikit bohong. Kita akan melihat bahwa
garis pemisah antara etika sebagai ilmu di satu pihak dan ajaran moral sebagai
ungkapan pendapat-pendapat moral di lain pihak tidak mutlak, tetapi sebagai
titik tolak dua-duanya perlu dibedakan." (Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h.
31-32)
"Demokrasi bertolak dari manusia... Manusia bukan demi
hukum, melainkan hukum demi manusia." (Karl Marx)-- lihat: Franz
Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanisius, 1992, h. 122.
PERBEDAAN ANARKISME
DAN PERLAWANAN
TERHADAP NEGARA
Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara
prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan
justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin
keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem di mana
kekuasaan negara mendukung ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra
hukum yang paling fundamental. Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan, kalau
terpenuhi dua syarat: pertama, tindakan-tindakan penguasa secara kasar
bertentangan dengan keadilan. Dan kedua, semua sarana dan jalan hukum yang
tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil,
termasuk protes-protes politis biasa. Tetapi, apakah hak perlawanan dapat
dibenarkan? Jelaslah bahwa pertanyaan ini bersifat moral dan bukan hukum. Tidak
mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan sendirinya
melawan hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.
Artinya, perlawanan dapat dibenarkan secara etika, walaupun
itu secara legalistik (hukum positif) tidak sah. Perlawanan yang dibenarkan itu
tentulah dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan
yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat untuk
menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan kalau masyarakat
mengambil jalan kekerasan. Professor Coing menulis: "Perlawanan aktif yang
mengambil jalan kekerasan secara moral tidaklah wajib, tetapi dari segi hukum
kodrat (hukum moral) halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang
kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif
itu dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri,
melainkan, sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat
manusia yang tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian
kekerasan dan paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada
pewujudan tatanan umum. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan
mengimplikasikan bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam
kasus-kasus ekstrem."
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan
tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak
dapat disangkal dan memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan
politik. Hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh
tujuan negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk
pula keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan yang paling fundamental, penetapan ini tidak
memiliki hak lagi dan warga negara tidak wajib untuk menaatinya. Begitu pula
kekuasaan negara hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang
adil. Maka suatu tindakan kekuasaan yang secara kasar bertentangan dengan
keadilan, boleh dilawan. Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat
untuk membela diri terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh
setiap orang. Bukan hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas
harta an hak kita, tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok (lebih
jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 156-168; lihat
juga catatan kaki h. 158)
PERAN FILSAFAT DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT
"Filsafat memungkinkan masyarakat memikirkan masalah-masalah
dasar hidupnya secara rasional, jadi dengan bahasa, wawasan, dan argumentasi
yang universal, yang dapat dimengerti oleh semua. Dengan demikian, filsafat
membuka cakrawala bagi diskusi terbuka masalah-masalah yang kita hadapi dan
sekaligus membuat jeli terhadap penyempitan-penyempitan ideologis." Franz
Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanisius, 1992, h. 255.
ZIKIR
Menurut Said Aqil Siraj, zikir itu bukanlah mutar tasbih.
Karena kalau hanya itu, belum tentu hatinya ingat. Yang diinginkan Allah ialah
hati yang berkualitas. Yang selalu memperjuangkan kebenaran.
Kalau belum bisa, ingin jadi orang benar.
Kalau masih belum bisa,
simpati pada yang benar.
Masih belum bisa,
kepengen jadi orang benar.
Masih belum bisa juga,
jangan menghalang-halangi orang yang lagi benar.
MORAL DAN HUKUM
Kata 'moral' selalu mengacu pada baik-buruknya manusia
sebagai manusia. Bukan mengenai baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai
dosen, tukang masak, pemain catur, atau pejabat, melainkan sebagai manusia.
Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya
sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan
betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Sedangkan
norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum
tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi demi tuntutan suara hati, demi
kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun orang itu kemudian
dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk
mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban
umum. (Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 19)
HUKUM ATAU UNDANG-UNDANG
HARUS JELAS
Agar hukum dapat dilaksanakan dengan pasti, hukum harus
jelas. Hukum harus demikian jelas sehingga masyarakat dan hakim dapat
berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus
dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang
tindakan apa yang dimaksud. Suatu aturan hukum yang kabur atau terlalu umum
adalah buruk. Apabila misalnya tindak subversi dijadikan tindak kriminal,
tetapi tidak dirumuskan tindakan yang macam apa yang disebut tindak subversi
itu, maka orang tidak tahu apa yang tidak boleh dilakukan itu. Norma macam itu
tidak mendidik karena orang tidak tahu kelakuan apa yang harus dijauhi.
Sekaligus itikad baik penguasa akan dicurigai karena kekaburan perumusan
menyediakan kemungkinan baginya untuk seenaknya mencap sebagai kriminal suatu
sikap yang tidak disenangi. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan
dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat
menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 80)
HUKUM HARUS
ADIL
Biasanya kalau kita bicara
tentang keadilan hukum, maksud kita adalah keadilan dalam arti materil: isi
hukum harus adil. Mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk
hakikat hukum sendiri. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang
tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama
berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 82)
Hukum Kodrat
vs Positivisme Hukum
Hukum kodrat di Indonesia
sering diistilahkan dengan hukum alam. Padahal, menurut Prof Franz
Magnis-Suseno, istilah "hukum alam" untuk menyebut hukum kodrat tidak
tepat. Hukum alam ialah sunatullah yang terjadi dalam alam. Sedangkan hukum
kodrat berarti hukum moral. Postivisme hukum adalah hukum yang dibuat oleh
manusia, atau "hukum manusia", yang dalam bahasa kita disebut hukum
positif. Atas dasar paham Hukum Kodrat, Thomas Aquinas dapat menentukan batas
dan wewenang hukum positif. Hukum positif buatan manusia yang bertentangan
dengan hukum kodrat (fitrah manusia; nurani; sikap hanief, NE), dengan
sendirinya tidak mempunyai hak dan daya ikat sama sekali (lebih jelas, lihat
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 87, 92). Ctt:
Dalam Islam, hukum kodrat
yang berlaku pada manusia itu dinamakan fitrah. Sebagaimana yang sering dibahas
oleh Cak Nur tentang peranjian primordial sebagaimana tertera dalam al Quran
surat Al A'raaf ayat 172.
FUNGSI
HUKUM
Hukum mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan
kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan
semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan
rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum
hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik.
Dengan kata lain, hukum harus adil (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 85)
Kepastian dan Keadilan Hukum
Ternyata, antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar
hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, terdapat ketegangan.
Ketegangan itu termasuk hakikat hukum sendiri seperti pertentangan antara Teori
Hukum Kodrat dan Positisme Hukum. Hukum memang harus pasti (tidak bisa
ditafsirkan dan diterapkan seenaknya, NE). Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa
kepastian, keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi, kepastian tidak boleh
dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 84)
TENTANG SUBSTANSI HUKUM SEBAGAI
DASAR LEGITIMASI
"Legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling
fundamental bagi kebsahan wewenang politis. Karena legalitas hanya dapat
memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah
diandaikan keabsahan hukum. Tetapi, bagaimana hukum sendiri dapat dicek
legalitasnya? Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum kongkret yang
mendasari penilaian tentang legalitas tindakan kekuasaan tadi ditetapkan sesuai
dengan bagian hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum. Tetapi, lalu
timbul pertanyaan apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan itu sendiri
legal atau 'sesuai dengan hukum' yang berlaku. Barangkali kita masih dapat
mengacu pada undang-undang dasar negara itu, tetapi paling lambat di situ kita
tidak dapat bertanya terus. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya
merupakan 'regressus ad infinitum'
(mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus
berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan kata lain, legitimasi paling
fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. Secara
historis, kenyataan logis itu diilustrasikan oleh fakta bahwa kekuasaan negara
tidak pernah seluruhnya dapat dikembalikan pada suatu asal usul yang legal.
Pada permulaan setiap negara, kita tidak menemukan kesesuaian dengan suatu
hukum, melainkan kekuatan keberhasilan: yang menentukan ialah bahwa suatu
sistem kekuasaan tertentu berhasil untuk mempertahankan diri dan memperoleh
eksistensi politis. Pada permulaan tatanan politik, kita akan menemukan suatu
kehendak yang berhasil memaksakan diri sebagai penguasa yang harus diakui. Hal
itu berlaku juga bagi segenap negara yang tercipta dalam suatu wilayah yang
berhasil untuk memisahkan diri dari suatu negara, yang lahir dari pemberontakan
bangsa yang dijajah terhadap penjajah dan dari perombakan total sistem
kenegaraan sebagai akibat suatu revolusi. (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 59-60)
Thomas Aquinas:
Kedaulatan Hukum Kodrat
Teori hukum kodrat Thomas Aquinas telah saya bahas. Hukum
kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum kebijaksanaan Ilahi.
Hukum positif sebagai hukum buatan manusia hanyalah sah sejauh berdasarkan
hukum kodrat. Jadi, tindakan legislatif negara hanya legitimit asal sesuai
dengan norma-norma moral. Kesimpulannya ialah, bahwa suatu penetapan negara
yang tidak berdasarkan hukum kodrat, yang bertentangan dengan norma-norma moral
dasar, tidaklah sah. Tindakan di luar batas-batas hukum kodrat tidak lebih dari
suatu pemaksaan belaka dan tidak mempunyai daya ikat. Fakta kekuasaan tidak
memberikan hak apa-apa. Bahwa seseorang atau sebuah lembaga memiliki kekuasaan
untuk memaksakan kehendaknya pada masyarakat, tidak memberikan suatu hak apa
pun untuk menuntut ketaatan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 196)
LEGITIMASI
ETIS DAN
HUKUM (LEGALITAS)
Legalitas semata-mata
tidak dapat menjamin legitimasi etis. Alasannya sederhana saja: legalitas hanya
memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan. Padahal, hukum yang
berlaku belum tentu dapat dibenarkan secara etis. Kesesuaian wewenang negara dengan
sembarang hukum belum dapat menghasilkan dasar yang mencukupi bagi keabsahan
etis. Tidak sembarang hukum dapat dibenarkan. Hukum yang berlaku harus adil.
Dari situ kita dapat menarik suatu kesimpulan yang mempunyai konsekuensi moral
yang jauh. Walaupun negara harus bertindak sesuai dengan hukum, namun itu baru
berupa prasyarat. Penggunaan kekuasaan negara belum tentu legitimit secara etis
kalau hanya didasarkan dengan hukum. Penggunaan kekuasaan harus juga sesuai
dengan kriteria-kriteria prapositif keadilan, seperti misalnya dengan hak-hak
asasi manusia. Karena undang-undang merupakan hasil kegiatan (legislatif)
negara sendiri, tak mungkin negara dapat mendasarkan keabsahannya semata-mata
pada kesesuaian tindakan-tindakannya dengan undang-undang itu. Maka negara
tidak dapat membenarkan segala tindakan segala tindakan hanya dengan mengatakan
bahwa tindakan itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Kalau hukum itu tidak
memadai, kalau segi-segi keutuhan manusia yang penting tidak diberi
perlindungan atau kalau ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang dengan
sengaja dibuat kabur dan luas (multitafsir, NE) untuk memberikan legalitas bagi
tindakan-tindakan negara yang meragukan, jangan dikira bahwa dengan demikian
tindakan negara yang memanfaatkan hukum semacam itu, secara moral lantas dapat
dibenarkan. Legalitas belum menjamin moralitas negara. (Catatan dari saya NE:
misalnya apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie tentang rezim Orde Baru yang
melegalkan tindakan korupsi dengan cara, misalnya, mengeluarkan Keppres. Maka
ia mengistilahkan dengan government by Keppres. Saat ini pun juga banyak
contohnya, misalnya, Perda yang dibuat untuk menindak PKL. Atau UU yang dibuat
sedemikian rupa yang nyata-nyata tidak adil. Buktinya banyak UU yang dibatalkan
oleh MK). (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 64)
LEGITIMASI ETIS
DAN LEGITIMASI
SOSIOLOGIS
Adalah tugas etika untuk
mempertanyakan keabsahan pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto
ditemukan dari segi prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada
pandangan-pandangan moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat,
melainkan sebaliknya bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi
legitimasi etis wewenang negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan
orang. Meskipun kebanyakan anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola
tindakan suatu negara, namun masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan
dan pola tindakan itu memang dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib
menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita
dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu
faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan
secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan
tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian
tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati.
Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab
begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap
sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa
orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak
menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang
lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum
menjamin harkat moral kebijakan itu.
akan keabsahan
pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto ditemukan dari segi
prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada pandangan-pandangan
moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat, melainkan sebaliknya
bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi legitimasi etis wewenang
negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan orang. Meskipun kebanyakan
anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola tindakan suatu negara, namun
masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan dan pola tindakan itu memang
dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita
dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu
faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan
secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan
tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian
tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati.
Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab
begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap
sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa
orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak
menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang
lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum
menjamin harkat moral kebijakan itu (lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 65-66)
TIGA NILAI-NILAI DASAR HUKUM
1. Keadilan
2. Kebebasan
3. Solidaritas sosial (kebersamaan) (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 120)
KEBAHAGIAAN
A. Mengembangkan diri
Menurut Aristoteles, manusia tidak akan bahagia apabila ia
secara pasif saja menikmati segala-galanya, melainkan kalau ia secara aktif
merealisasikan bakat-bakat dan potensi-potensinya. Kita tidak akan bahagia
kalau kita terus saja bermalas-malas dengan segala kebutuhan dan kemewahan yang
sudah tersedia, dilayani dalam segala hal, sehingga tak perlu mengusahakan
sendiri, jadi tinggal menikmati saja. Bagi orang yang bekerja keras, mungkin
terdengar mengasyikan. Tapi, sebenarnya, orang tidak tahan berlibur
berkepanjangan. Maka ada anak orang kaya lebih senang bekerja sepanjang hari
memelihara mobil balapnya. Jadi, yang membahagiakan ialah kalau kita
mengembangkan diri sedemikian rupa hingga bakat-bakat yang kita punyai menjadi
kenyataan. Kebahagiaan tercapai dalam mempergunakan atau mengaktifkan
bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan kita itu. Itulah sebabnya orang yang mau
menjadi pengukir akan jauh lebih bahagia dengan patung sederhana hasil
ukirannya sendiri daripada apabila orang tuanya membelikan patung bagus seorang
seniman ternama. Maka salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan
diri (self realization). Ia semakin dapat bahagia, semakin ia mengembangkan
diri.
B. Melepaskan
diri
Namun, pertimbangan kita sekarang belum cukup. Manusia
berkembang tidak dengan berfokus pada kepentingannya sendiri, melainkan dengan
menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Kita akan berkembang apabila kita
menomorduakan kita demi manusia-manusia yang dipercayakan kepada kita.
C. Menerima
diri
Menerima diri ini identik dengan mensyukuri yang kita
dapatkan. Percaya pada takdir, bahwa segalanya merupakan kehendak dan dalam
rencana Allah. (Lebih jelas, baca: Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 119)
ASAL KATA "TEORI"
Kata theorea
berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani kuno. Theoros adalah seorang
wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus keagamaan. Dalam perayaan
itu, orang ini melakukan theorea atau "memandang" ke arah peristiwa
sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di
dalamnya. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu
rendah. Dalam istilah Yunani, pengalaman itu disebut katharsis: pembebasan diri
dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam
pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris. (F. Budi
Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta:
Kanisius, 2009, h. 22)
KAPITALISME
Dalam ekonomi kapitalis,
tujuan usaha bukan nilai pakai (manfaat), suatu benda, melainkan nilai tukar.
Makin banyak nilai tukar (uang) berhasil diakumulasikan, makin kuat kedudukan
penguasa dalam kompetisi pasar bebas.
DELIBERASI PUBLIK
"Proses menimbang-nimbang bersama masyarakat dalam
teori politik kontemporer dikenal sebagai 'deliberasi publik'." (F. Budi Hardiman)
"Summa justitia, summa iniuria; keadilan yang
tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar." (Cicero, dikutip Magnis,
dalam Etika Politik, h. 83)
ETIKA POLITIK YUNANI: PLATO DAN ARISTOTELES
a. Plato: Negara dan Keadilan
Plato menulis pada zaman masyarakat Yunani mengalami
perubahan-perubahan yang mendalam. Athena, pusat kebudayaan Yunani semakin
merosot dalam semua bidang sebagai akibat kekalahannya dalam perang Pelopones.
Pemerintahan negara menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat,
tetapi berambisi. Dalam situasi itu, Plato menggagas pola kehidupan negara yang
baik. Kehidupan itu akan tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan.
Keadilan dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang.
Plato membangun suatu model negara. Dalam negara terdapat tiga golongan:
1. Penjamin makanan, yang bekerja agar kebutuhan manusia
dapat tersedia: petani, pedagang, tukang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut;
2. Para penjaga, golongan yang mengabdi pada kepentingan
umum. Mereka perlu diberi pendidikan intensif di bidang filsafat, gimnastik,
dan musik;
3. Para pemimpin. Mereka diambil dari antara para penjaga,
yang paling mendalami filsafat. Itulah paham termasyhur Plato tentang
raja-filosof. Filosof adalah orang yang sanggup untuk melihat idea-idea atau
hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang alam indrawi yang
berubah-ubah. Hal itu mungkin karena ia telah mengatasi keterikatan pada nafsu
dan indera dan dengan demikian bebas dari pamrih.
b. Aristoteles: Kebahagiaan
Aristoteles membahas polis dalam rangka permasalahan tujuan
manusia. Tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Untuk hidup
dengan baik, sebagai manusia beradab, yang dapat mengembangkan
potensi-potensinya, ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama
manusia dalam satu masyarakat. Dari situ, Aristoteles mengambil kesimpulan
bahwa tujuan negara adalah sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai
kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.
Dengan melawan Plato, Aristoteles tidak menyerahkan
kepemimpinan negara kepada seorang filosof. Baginya, filsafat sibuk dengan
hal-hal abadi yang tak berubah, sedangkan politik menyangkut manusia yang
selamanya berubah-ubah. Yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin masyarakat adalah
kebijaksanaan dalam pergaulan dan keutamaan-keutamaan etis. Sikap-sikap itu
tidak merupakan objek pengetahuan filosofis, melainkan tumbuh dalam keakraban
dengan yang baik, dalam berulang-ulang melakukannya (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 186-189)
Materialis Sejarah, Basis, dan
Bangunan
Atas (Superstruktur)
Materialis sejarah adalah teori Marx tentang hukum
perkembangan masyarakat. Inti pandangan ini ialah bahwa perkembangan masyarakat
ditentukan oleh bidang produksi. Bidang ekonomi adalah basis. Sedangkan dua
dimensi kehidupan masyarakat lainnya, institusi-institusi sosial, terutama
negara, dan bentuk-bentuk kesadaran sosial merupakan bangunan atas
(superstruktur). Ciri yang paling menentukan bagi semua bentuk ekonomi sampai
sekarang ialah pemisahan antara para pemilik dan pekerja.
Pada garis besarnya, (terutama semakin produksi masyarakat
mendekati pola kapitalis) kelas-kelas sosial termasuk salah satu dari dua
kelompok kelas: kelas-kelas pemilik dan kelas-kelas pekerja. Yang pertama
memiliki sarana-sarana kerja, sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja
mereka sendiri. Oleh karena kelas-kelas pekerja tergantung dari sarana kerja
agar dapat hidup, kelas-kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas-kelas pemilik. Pemilik tanah, misalnya, mengontrol
para buruh tani. Itu berarti bahwa para pemilik dapat menghisap tenaga kerja
para pekerja, mereka hidup dari penghisapan tenaga mereka yang harus bekerja.
Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan kelas-kelas pekerja
merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat. Jadi, menurut Marx, ciri khas
semua pola masyarakat sampai sekarang ialah, masyarakat dibagi ke dalam
kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah, dan struktur proses ekonomi tersusun
sedemikian rupa hingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja
yang kedua. Bangunan atas (superstruktur) adalah cermin keadaan basis. Negara
adalah alat kelas-kelas atas untuk menjamin kedudukan mereka, untuk seperlunya
menindas usaha kelas-kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan oleh
kelas-kelas atas. Sedangkan 'bangunan atas ideologi'--istilah Marxis bagi
agama, filsafat, pandangan-pandangan moral, hukum, seni, dsb--berfungsi untuk
memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu. Jadi, Marx menolak paham
bahwa negara mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Negara dikuasai oleh dan
berpihak pada kelas-kelas atas (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 265-266)
Determinisme
Ekonomi
Dari paham basis-superstruktur, Marx menarik kesimpulan bahwa
suatu perubahan mendalam dalam struktur masyarakat tidak dapat dicapai melalui
tindakan-tindakan politik dan juga tidak dapat diharapkan dari perubahan dalam
cara manusia berpikir, melainkan hanya dari suatu perubahan dalam bidang
ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 267)
Kritik Magnis terhadap Skema
Basis-Bangunan Atas Marx
Menurut Marx, pola produksi mempunyai pengaruh mendalam
atas pola kelembagaan sosial, terutama negara, dan cara berpikir masyarakat.
Struktur sosial politik dan bentuk-bentuk kesadaran sosial (budaya, filsafat,
pandangan moral, seni, agama, hukum) suatu masyarakat tidak dapat dipahami
dengan tepat kalau struktur-struktur kekuasaan ekonomis tidak diperhatikan.
Itulah jasa historis Marx. Namun, menurut Magnis, Marx mengeksklusifkan arah
dampak bidang ekonomi itu. Ia tidak melihat bahwa bidang politik dan cara
manusia berpikir juga mempengaruhi cara manusia berproduksi. Suatu pengaruh timbal-balik
oleh Marx direduksi menjadi pengaruh searah saja Saling ketergantungan bidang
produksi, bidang politik dan bentuk-bentuk keagamaan, filsafat,
pandangan-pandangan moral dan hukum direduksi menjadi ketergantungan sepihak
bidang politik dan pikiran dari bidang ekonomi. Reduksionalisme itu tertanam ke
dalam skema basis-bangunan atas atau superstruktur (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 272)
GAGASAN DASAR
NEGARA HUKUM
Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Ada dua unsur
dalam paham negara hukum: pertama bahwa hubungan antara yang memerintah dan
yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma
objektif yang juga mengikat pihak yang memerintah. Dan kedua, bahwa norma
objentif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat
dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. Hukum menjadi landasan segenap
tindakan negara; dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar
segenap hukum adalah keadilan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 295)
Hukum dan Legitimasi Demokratis
Legitimasi demokratis adalah tuntutan agar penggunaan kekuasaan harus
berdasarkan persetujuan para warga negara itu sendiri dan senantiasa berada di
bawah kontrol mereka. Hal ini mengandung tuntutan agar kekuasaan negara
dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum. Kontrol demokratis negara
secara langsung mengenai kekuasaan legislatif. Semua undang-undang harus
disetujui oleh parlemen yang dipilih oleh para warga negara (Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 296)
NEGARA HUKUM DAN MORAL
Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang
diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral
harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai
dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa
kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan
syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi
(sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat
saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang
tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan
kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum(Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 300). Tentang hal ini baca juga
tentang Teori Hukum Kodrat dan Aliran Positivisme Hukum, dalam buku yang sama.
Contoh hukum yang tidak berdasarkan moral: Di zaman Nazi
Hitler, ada undang-undang antisemit atau anti Yahudi, yaitu undang-undang yang
memperlakukan warga Yahudi dengan tidak manusiawi. Undang-undang itu dikenal
dengan Undang-Undang Nuremberg. Jadi, Hitler pun memerintah juga menggunakan
hukum. Namun, hukum yang seperti apa? Dan bisakah Nazi Jerman disebut negara
hukum? Tentu sulit untuk mengatakan demikian. Mengenai Undang-Undang Nuremberg,
baca: "Undang-Undang Nuremberg", di internet. Di situ juga ada
contoh-contoh pasal yang tidak manusiawi, tidak masuk akal, dan bertentangan
dengan hak asasi manusia.
Ciri-ciri Negara Hukum
1.
Kekuasaan
dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Artinya, alat-alat negara
menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang
ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum, tidaklah cukup bahwa instansi
negara, misalnya pemerintah, berpendapat bahwa suatu tindakan perlu diambil
demi kepentingan umum, melainkan tindakan itu hanya boleh diambil apabila tidak
bertentangan dengan undang-undang;
2.
Kegiatan
negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif;
3.
Berdasarkan
sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia. Negara hanya
dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik
dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat
dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham
keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa
kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan
syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi
(sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat
saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang
tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan
kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum.
4.
Menurut
pembagian kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan pemusatan kekuatan.
Misalnya, legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987)
Hukum Bertujuan Membatasi?
Tatanan hukum membatasi kelakuan para warga masyarakat.
Tetapi, hukum tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri,
melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Nilai
kebebasan terletak dalam penolakan terhadap kesewenangan kekuasaan. Pembatasan
terhadap hak kita untuk bertindak, yang merupakan hakikat hukum, justru
menjamin kebebasan kita dari pembatasan-pembatasan yang sewenang-wenang, yang
tidak dipertanggungjawabkan, yang tidak berdasarkan pengakuan fundamental kita
sendiri terhadap adanya tatanan sosial, jadi yang hanya berdasarkan kekuatan
pihak yang berkuasa saja. Hukum justru menjamin kebebasan setiap orang dan
kelompok orang untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan pihak-pihak yang
tidak berhak. Nilai kebebasan memuat pengakuan bahwa pembatasannya tidak boleh
sewenang-wenang (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 304)
Tujuan Negara dalam
Perspektif
Etika Politik
Apabila kita bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan
melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera,
di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan
negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya harus
dirumuskan baik secara negatif maupun secara positif. Secara negatif, manusia
disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan,
dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan,
apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif, manusia
dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat, apabila ia
dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia
merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan
aspirasi-aspirasi serta kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Apabila
kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, bisa dikembangkannya, apabila
ia merasa tenang dan bebas. Perumusan ini menunjukkan sesuatu yang menurut
hemat saya sangat penting: kesejahteraan seseorang bukanlah sesuatu yang dapat
ditentukan secara dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis dari atas,
melainkan terletak dalam perasaan orang yang bersangkutan. Bukan kitalah yang dapat
menentukan kapan seseorang bebas dari perasaan cemas, kapan ia merasa tenteram
dan bahagia. Kita hanya dapat menanyakan pada dia sendiri. Di sini
maksud-maksud dan kegiatan negara berhadapan dengan sebuah batas. Negara dapat
mengusahakan kondisi-kondisi kesejahteraan para anggota masyarakat, tetapi
tidak dapat membuat mereka merasa sejahtera. Negara tidak langsung dapat
menciptakan kesejahteraan seseorang. Kalau negara langsung mau membuat para
anggota masyarakat menjadi sejahtera, negara jatuh ke dalam totalitarisme.
Kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang bersama terwujud dalam perasaan
mereka masing-masing. Bagaimana perasaan masing-masing anggota masyarakat
adalah kenyataan yang berada di luar kemampuan negara untuk menentukannya. Yang
diciptakan negara adalah prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar
kesejahteraan masing-masing anggota masyarakat dapat terwujud. Negara bertugas
untuk menciptakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat
merasa sejahtera, tetapi yang tidak dapat dijamin oleh masyarakat sendiri.
Sebagai contoh: kesejahteraan seseorang juga tergantung dari kemampuannya untuk
bekerja dengan keras. Tetapi, pekerjaan keras pun tidak berguna, kalau
struktur-struktur ekonomi bersifat eksploitatif, karena dalam struktur-struktur
eksploitatif berlaku bahwa semakin keras ia bekerja, semakin kaya majikannya
sedangkan ia sendiri tetap miskin saja. Negara bertugas untuk menciptakan
struktur-struktur ekonomi agar siapa saja yang mau bekerja keras, dapat
menghasilkan cukup agar ia dapat hidup dengan sejahtera bersama
keluarganya (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 315-316)
HABERMAS DAN PSIKOANALISIS FREUD
Sebagaimana juga diakui dalam tradisi Marxisme,
kekuatan-kekuatan sosial tidak berdaya di luar kesadaran para pengikut. Itulah
sebabnya hal kesadaran sosial dan ideologi selalu dipersoalkan. Suatu sistem
kekuasaan tidak akan ditentang oleh masyarakat hanya karena para filosof menilainya
sebagai tidak adil, melainkan hanya, kalau sistem itu terasa bertentangan
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sendiri. Tetapi, kebutuhan itu sendiri
tidak akan membuat masyarakat bangkit menentang, selama sistem itu dalam
pandangan mereka dapat dibenarkan, misalnya karena suatu kepercayaan ideologis.
Agar sistem itu betul-betul mulai ditentang, legitimasinya perlu dipersoalkan
dulu. Itulah fungsi sosial kritik normatif etika politik (dan ilmu-ilmu lain
yang bersangkutan). Salah satu pemastian kembali kekuatan emansipatoris kritik
normatif yang paling terkenal dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Dengan
bertolak dari paham psikoanalisis Freud, ia mau membuka makna realitas sosial
yang terdapat sekarang dari penggalian kembali sejarah terbentuknya sebagai
sejarah penindasan. Pengertian akan sejarah itu membebaskan mereka yang
tertindas dari selubung salah anggapan bahwa kemiskinan dan ketergantungan yang
mereka derita merupakan nasib alamiah yang tidak dapat diubah (yang given, NE). Rekonstruksi sejarah
penindasan membuka kesadaran bahwa penindasan ini dapat ditolak dan dengan
demikian merupakan langkah pertama ke arah pembebasan. Dengan demikian, Teori
Kritis menjadi langkah pertama suatu praksis pembebasan. Terhadap Habermas
dapat dikemukan bahwa tanpa perumusan eksplisit premis-premis normatif-moral
yang mendasari rekonstruksi sejarah sebagai sejarah penindasan, kritik itu
sendiri dapat disalahgunakan secara ideologis (lebih jelas, lihat Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 322)
KEADILAN SOSIAL TIDAK DAPAT
DICIPTAKAN
SEMATA-MATA DARI KELAS ATAS
Pengakuan teoritis terhadap kewajiban negara untuk
mengusahakan keadilan sosial tidak berarti bahwa kewajiban itu sungguh-sungguh
diusahakan. Mengapa demikian? Menurut Franz Magnis-Suseno, karena pembongkaran
ketidakadilan struktural dengan sendirinya bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan golongan yang berkuasa. Struktur-struktur yang tidak
adil hanya tumbuh dan dipertahankan karena memenangkan kepentingan-kepentingan
golongan-golongan yang kuat terhadap kepentingan-kepentingan yang lemah.
Ketimpangan ini adalah hakikat ketidakadilan struktur-struktur itu. Jadi,
golongan-golongan yang menguasai masyarakat justru dan dengan sendirinya
beruntung dari kenyataan bahwa golongan lemah tidak sanggup untuk mengambil apa
yang sebenarnya menjadi hak mereka. Oleh karena itu, lanjut Magnis, harapan
bahwa keadilan sosial dapat diciptakan semata-mata dari atas adalah naif.
Mebongkar struktur-struktur yang tidak adil dengan sendirinya mengubah struktur
kekuasaan status quo, dan hal itu dengan sendirinya bertentangan dengan
kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Mengusahakan keadilan sosial selalu
bertentangan dengan kepentingan mereka
yang sudah mantap dan berkuasa. Karena itu, tidak masuk akal untuk mengharapkan
bahwa ketidakadilan struktural sungguh-sungguh dapat dibongkar hanya dari atas
saja. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa pembongkaran ketidakadilan harus
diperjuangkan oleh mereka yang terkena sendiri. Keadilan sosial tidak masuk
akal kalau sekedar diharapkan dari kesadaran mereka yang berkuasa. Tanpa usaha
dari golongan-golongan yang menderita ketidakadilan itu sendiri, ketidakadilan
tidak mungkin dihapus. Namun, Magnis menolak cara-cara revolusi dengan
kekerasan sebagaimana teori Marxisme ortodoks. Karena hal itu bukanlah
membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan, tetapi hanya melahirkan
dominasi baru. Memperjuangkan keadilan sosial dari bawah jangan dipahami
semacam konfrontasi antara dua bagian masyarakat. Karena konfrontasi semacam
itu selalu bersifat ideologis dan tidak akan menghasilkan keadilan. Yang
diperlukan itu, menurut Magnis, adalah
bagaimana agar golongan-golongan sosial yang lemah pun dapat menyuarakan harapan-harapan
dan cita-cita mereka, agar mereka dapat berpartisipasi secara nyata dalam
pengambilan keputusan-keputusan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Artinya,
keadilan sosial mengandaikan demokratisasi. Tanpa demokrasi, keadilan hanya
tinggal impian. Yang perlu direalisasikan adalah hak-hak dasar untuk berkumpul,
berserikat, menyatakan pendapat, berpartisipasi dalam kehidupan politik,
mengkritik, kebebasan pers, dan adanya kepastian hukum (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 336)
IDEOLOGI
Harus diakui, pengertian idelogi tidak terdapat kesamaan
paham. Maka, di sini saya membatasi diri untuk merumuskan apa yang saya maksud
kalau saya berbicara tentang "idelogi". Saya akan membedakan dengan
tajam antara idelogi dalam arti sempit dan luas. Dalam arti luas, istilah
"idelogi" dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai
dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Dalam arti sempit dan sebenarnya, ideologi adalah gagasan
atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan
dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Ideologi dalam
pengertian ini disebut oleh Magnis, sebagai ideologi tertutup. Karena
kemutlakannya tidak mengizinkan orang mengambil jarak terhadapnya. Secara
singkat, ideologi tertutup adalag gagasan-gagasan tertentu yang dimutlakkan. Di
samping kata "idelogi", juga ada kata "ideologis". Kata "ideologis"
selalu berkonotasi negatif dan tidak pernah dipakai dalam arti "idelogi
terbuka". Setiap usaha untuk memutlakkan gagasan-gagasan tertentu disebut
idelogis (ingat buku Kritik Ideologi, -NE). Biasanya, kata
"ideologis" sekaligus membawa konotasi, bahwa gagasan-gagasan yang
dimutlakkan itu sebenarnya selubung untuk melindungi kepentingan kekuasaan
tertentu.
Ideologi tertutup biasanya bersifat totaliter. Dan, demi
ideologi tertutup itu, hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi. Ciri khas
ideologi tertutup adalah, bahwa atas namanya, dibenarkan
pengurbanan-pengurbanan yang dibebankan pada masyarakat. Demi ideologi,
segala-galanya, dikorbankan, bahkan manusia. Harga nyawa manusia pun menjadi
murah. (Dalam realita kita mengenal ada ideologi komunis, fasisme, dll, dan
dewasa ini ada berbagai bentuk lagi, yang apa yang dinamakan oleh masyarakat
dengan "terorisme", walaupun saya tidak sepakat dengan penggunaan
istilah "terorisme" secara gampang, karena itu merupakan bentuk
kepentingan ideologis pihak tertentu juga, --NE). Terhadap ideologi tertutup,
orang tidak diizinkan untuk mempersoalkannya lagi, misalnya berdasarkan suara
hatinya, tanggung jawabnya, atau hak asasinya.
Secara sederhana: kita selalu harus taat terhadap suara
hati kita. Sedangkan ideologi menuntut agar kita secara buta taat terhadap
perintah-perintahnya. Tuntutan itu amoral. Secara teknis formal: etika kritis
menunjukkan bahwa yang berlaku mutlak hanyalah prinsip-prinsip moral dasar yang
abstrak dan belum operasional---seperti kewajiban untuk selalu bersikap adil---sedangkan
kewajiban-kewajiban kongkret yang disimpulkan dari prinsip-prinsip abstrak
nonoperasional dasar itu tidak pernah berlaku mutlak. Antara prinsip-prinsip
dasar moral yang memang berlaku mutlak aplikasinya dalam suatu tindakan
kongkret yang dianggap wajib, selalu terdapat jarak pertanggungjawaban, di mana
manusia sendiri harus mempertanyakan apakah tindakan kongkret itu memang
merupakan penjelmaan tepat dari prinsip dasar itu dalam situasinya. Kejahatan
pendekatan ideologis terletak dalam penyingkiran jarak pertanggungjawaban
antara tuntutannya dan kesadaran orang. Tuntutan ideologis bersifat kongkret dan mutlak sekaligus dan
tidak mengizinkan untuk dipersoalkan sama sekali. Sebagai contoh: saya mutlak
wajib untuk selalu bertindak jujur, tetapi kemutlakan itu tidak menghilangkan
ruang tanggung jawab saya, karena saya tetap masih harus mencari apa arti
kejujuran dalam situasi kongkret masing-masing. Tetapi kalau negara idelogis
menuntut ketaatan mutlak, ruang tanggung jawab itu hilang. Negara tidak
mempunyai wewenang untuk menentukan apa yang harus dipikirkan masyarakat dan bagaimana kita
harus hidup.
Tetapi penolakan terhadap negara ideologis tidak berarti
bahwa negara hendaknya diselenggarakan secara pragmatis belaka.
Yang berlaku tentang negara dengan ideologi tertutup tidak
berlaku bagi negara dengan ideologi terbuka.
Ciri khas "ideologi terbuka" itu ialah bahwa
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dari
kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang, melainkan konsensus masyarakat. Kiranya dalam semua
sistem politik yang tidak ideologis dalam arti ideologi tertutup, kita akan
menemukan bahwa penyelenggaraan negara berdasarkan pandangan-pandangan dan
nilai-nilai dasar tertentu. Kadang-kadang, dasar normatif itu tidak dirumuskan
secara eksplisit, tetapi dalam kebanyakan negara undang-undang dasar memuat
bagian yang merumuskan dasar normatif itu. Dasar normatif yang dapat kita sebut
"falsafah negara" itu diperlukan sebagai kerangka untuk
menyelenggarakan negara. Falsafah negara itu merupakan norma yang paling dasar
untuk mengecek apakah kebijakan-kebijakan legislatif dan eksekutif negara
sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat. Sebagaimana telah kita lihat,
demokrasi modern berdasarkan suatu kesepakatan dasar bersama. Kesepakatan itu
berlandaskan pada nilai-nilai dan cita-cita dasar masyarakat. Maka ia harus
menjadi dasar normatif bagi penyelenggaraan masyarakat. Ciri khas formal
idelogi terbuka adalah bahwa isinya tidak langsung operasional. Maka setiap
generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa
implikasi bagi situasinya sendiri. Misalnya, kemanusiaan dan keadilan sosial
dapat merupakan unsur dalam falsafah dasar negara. Dua tuntutan itu tidak
tertutup melainkan terbuka terhadap perkembangan dan pengertian baru.
Keluhurannya justru terletak dalam fakta bahwa dua prinsip dasar itu tidak
langsung operasional. Maka setiap generasi harus berusaha kembali untuk
memahami apa arti kemanusiaan dan keadilan sosial dalam situasinya itu (Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 366-372)
"Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika nama Ali
Syari'ati disebut? Salah satu arsitek revolusi Islam Iran, seorang muslim yang
Marxis, seorang provokator agar para mahasiswanya turun ke jalan untuk
meruntuhkan rezim Reza Syah Iran." (Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta:
Teraju, 2004, h. ix)
ANDI HAMZAH TENTANG GELAR
Kata Andi Hamzah, pakar hukum pidana, orang Belanda meledek
gelar S.H. di Indonesia sebagai Stomme
Hond, yang berarti "anjing blo
on". Oleh karenanya, ia tidak mencantumkan gelarnya pada buku karangannya.
Misalnya, gelar Prof. Dr sekalipun. Yang
ada gelar pada nama penulisnya, orang Belanda sana tidak mau baca. "Namun,
buku saya yang tidak saya cantumkan gelar, dibaca oleh orang-orang di
Belanda," kata Andi Hamzah. "Jadi," lanjut Andi pada Karni
Ilyas, "tidak usah mencantumkan
gelar." Kata Karni Ilyas: ya saya dari tahun 80-an tidak pernah
mencantumkan gelar S.H. di belakang nama saya. (Sumber: ILC, 31 Mei 2016)
SYARI'ATI DAN MARXISME
Dalam kaitannya dengan Marxisme, Syariati tidak hanya
mengkritiknya, tapi juga terpengaruh olehnya. Kesadaran kelas dan dialektika
sejarah diterimanya, tapi materialisme dialektika ditolak. Kesadaran dan
pertentangan kelas antara kelas penindas dan tertindas diterimanya. Syariati
juga banyak menggunakan paradigma, kerangka, dan analisis Marxis untuk
menjelaskan perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritik terhadap kemapanan
politik dan agama, hampir secara keseluruhan didasarkan pada pendekatan dan
analisis Marx. Syariati juga pernah menyatakan bahwa Marx hanyalah seorang
materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada
hal-hal yang bersifat materi belaka, tidak pada hal-hal ideal dan spiritual.
Bahkan ia menyanjung Marx yang jauh lebih tidak materialistik ketimbang mereka
yang mengklaim idealis atau beriman dan religius. Karena itu bisa dipahami
mengapa ia sangat dipengaruhi Marxisme, khususnya Neo-Marxisme, terutama dalam
pandangan tentang sejarah sebagai proses dialektika, dan tentang massa
tertindas dalam hubungannya dengan kemapanan politik dan agama. Tetapi,
Syariati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai komunis. Syariati
menerima pula paradigma pembentukan masyarakat atas dasar superstruktur yang
bersifat politis-ideologis. Ia menempatkan agama ke dalam kategori
superstruktur. Sebab, dalam prakteknya, para penguasa, baik dalam wilayah
politik maupun keagamaan, sering menjadikan agama tidak lebih sekedar
"penenang" massa tertindas dan menjanjikan kebahagiaan di akhirat.
Syariati juga mengadopsi pandangan Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah
pertentangan kelas. Dawam Rahardjo, mengutip pendapat Dabashi, menyatakan bahwa
ada usaha Marxifikasi Islam, atau malah Islamisasi Marxisme. Ada juga
kecenderungan Syariati untuk melakukan Islamisasi filsafat Barat, yaitu
mengadaptasi filsafat Barat yang disesuaikan dengan ajaran Islam, untuk dipakai
merumuskan pemikiran yang dikehendaki Syariati. Lebih jauh lagi, Syariati tidak
terburu-buru mencap seorang Marxis dengan "kafir", walaupun ia tetap
menyatakan bahwa Marxisme adalah materialis dan ateis. Tetapi, bagi Syariati,
kaum Marxis juga memiliki kebenaran. Sebab, seorang muslim sejati, di samping
keimanannya pada Tuhan, juga harus bersedia melakukan aksi konkret melawan
penindasan, sebuah unsur yang ada dalam ajaran Marxisme. (Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek
Iran Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004, h. 46-49)
MANUSIA IDEAL DALAM PANDANGAN ALI SYARI’ATI
“Manusia menjadi sempurna atau ideal bukan karena berhasil menjalin
hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan kemanusiaan. Justru,
manusia menjadi sempurna adalah dalam perjuangan untuk kesempurnaan umat
manusia. Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat
manusia, dan dengan demikian, dia menemukan Tuhan. Manusia ideal tidak
meninggalkan alam dan mengabaikan manusia lainnya... Dalam derita kesukaran,
lapar, kemelaratan, dan siksaan demi kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia, dalam gejolak api perjuangan intelektual dan sosial, di situlah dia
menemukan kesalehan, kesempurnaan, dan keakraban dengan Allah... Di tangannya
tergenggam pedang Caesar, sedang di dalam dadanya bermukim hati sang Jesus. Dia
berpikir dengan otak Socrates dan mencintai Allah dengan sanubari Al-Hallaj.
Sebagaimana yang didambakan Alexis Carrel, dia adalah manusia yang paham akan
keindahan ilmu dan keindahan Tuhan. Dia memperhatikan kata-kata Pascal dan
kata-kata Descartes... Bagaikan sang Buddha, dia bebas merdeka dari belenggu
nafsu dan egoisme. Bagaikan Abu Dzar, ditebarkannya benih revolusi bagi mereka
yang lapar. Bagaikan Jesus, dia membawa pesan cinta kasih dan perdamaian. Dan
bagaikan Musa, dia adalah pesuruh Jihad dan pembebasan.” (Ali Syariati)---(lihat Ekky Malaky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek
Iran Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004, h. 115-116)
Renungan Jum'at
Menurut Imam al-Ghazali, berziarah kubur atau menjenguk orang sakit adalah cara untuk menyegarkan ingatan pada maut sehingga ingatan tersebut menguasai hati dan seakan-akan berada di ambang ajal.
Pada tahap ini, orang nyaris siap untuk mati dan membebaskan diri dari dunia yang penuh kesia-siaan, sebab mengingat kematian dengan separuh hati atau hanya sekadar dituturkan dalam basa-basi, tak akan ada faedahnya. Betapa pun puasnya seseorang dengan harta duniawi, dia harus tetap ingat bahwa kematian pasti akan memisahkannya.
Suatu hari, Ibn Muthi memandangi rumahnya dan terkesan oleh keindahannya. Lalu, dia menangis tersedu-sedu seraya berkata, " Demi Allah, seandainya bukan karena kematian, niscaya aku akan merasa gembira karenamu, dan kalaulah bukan karena sempitnya lubang kubur yang akan kita tuju, niscaya kita akan terpesona oleh dunia."
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Dzikr Al-Maut, Ihya Ulumuddin
0 komentar:
Posting Komentar