-
KH.
Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc*
Seorang anggota jamaah–sebut
saja Fatimah–mengadu kepadaku, “Setiap kali masuk Ramadhan, saya merasa sedih.
Saya bertambah sedih karena saya merasa sedih. Bukankah kata Pak Ustad,
Rasulullah dan sahabatnya menyambut Ramadhan dengan gembira.” Matanya berkaca-kaca
dan hidungnya memerah. Aku yakin, dia menangis beneran. Betapa sering
aku menemukan dalam majlis-majlis pengajian, ustad yang menangis bohongan dan
pendengar yang menangis beneran.
“Apa yang menyebabkan
Ibu menangis,” tanyaku.
“Saya seperti orang
pulang kampung, saya ingin membahagiakan keluarga saya. Saya ingin memberikan
hadiah berharga buat mereka. Tetapi saya miskin. Saya tidak punya apa-apa yang
berarti. Yang teronggok di punggung saya hanyalah kotoran. Ramadhan
mengantarkan saya pada Tuhan, kampung halamanku. Saya ingin membuat Tuhan ridha
kepadaku. Tapi saya tidak membawa apa-apa. Di atas punggung saya teronggok dosa
dan dosa!” Isakannya makin keras. Giliran ustad ikut menangis, dan kali ini
menangis beneran.
“Tidak perlu bersedih,
Bu,” kataku setengah hati. Setengah hatiku membisu dalam kesedihan. “Jika kita
menemui Ramadhan tanpa bekal, marilah kita jadikan bulan ini untuk mengumpulkan
hadiah-hadiah yang berharga untuk Tuhan. Jika kita datang dengan onggokan dosa,
marilah kita campakkan dosa-dosa itu dengan tobat kita.” Seperti biasa, dengan
cepat aku bermetamorfosis dari seorang konselor menjadi seorang khatib.
Tampaknya lebih mudah berkhutbah daripada berempati.
“Itu juga yang menambah
dukaku, Ustad. Setiap Ramadhan ketika semua orang berusaha untuk tarawih setiap
malam, saya sering meninggalkannya. Ketika tetangga-tetangga bercerita bahwa
mereka sudah menyelesaikan sekian Juz Al-Quran, saya gak bisa ngomong. Satu juz
pun tidak sempat saya baca. Pada Lailatul Qadar, kawan-kawan saya bisa bermalam-malam
i’tikaf di masjid, bahkan ada yang berumrah ke Tanah Suci, saya tidak sanggup
meninggalkan pekerjaan saya.”
“Apa pekerjaan Ibu di
bulan Ramadhan?” tanyaku.
“Saya ini orang kaya. Tumbuh besar dalam keluarga kaya. Di rumah saya punya banyak pembantu. Di kantor saya punya banyak pegawai. Kemana pun saya pergi, saya dilayani orang. Pada bulan puasa ini, saya ingin melayani orang. Saya ingin berkhidmat pada orang-orang kecil. Saya menyiapkan makanan untuk orang-orang miskin. Saya berbelanja, memasak, membungkus, dan mengantarkan makanan itu ke rumah-rumah mereka. Bakda isya, setelah usai membagikan makanan, saya pulang dalam keadaan lelah. Saya segera tidur pulas. Pada lailatul qadar, saya tidak saja membagikan makanan untuk buka, tetapi juga untuk sahur. Saya begadang juga, Ustad, tapi tidak di masjid. Melainkan di tempat-tempat kumuh.”
“Jadi, pada waktu ‘Id,
ketika kaum Muslimin yang lain bergembira karena mampu mengumpulkan hadiah yang
berharga untuk Tuhan–khatam Al-Quran, lengkap shalat tarawih, banyak i’tikaf,
dan berzikir–saya sedih lagi. Mereka berhasil ‘menangkap’ anugerah Tuhan di
bulan Ramadhan; saya tidak!”
Puasa dengan
Pengkhidmatan.
Ibu Fatimah merasa
sedih karena ibadah Ramadhannya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia sedih
karena tidak sanggup dan tidak sempat bertarawih, bertadarus, ber-i’tikaf, dan
berzikir bersama. Ia menganggap bahwa hadiah yang paling berharga untuk Tuhan
adalah ibadah, dalam makna ritual.
Alkisah Nab Musa a.s
bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya, “Hai Musa, banyak sekali
ibadahmu. Yang mana untuk-Ku?” Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang
ibadahnya, sebab semua ibadahnya untuk Tuhan: “Shalatku, hajiku, Qurbanku dan
dzikirku.”
Tuhan berkata,
“Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku”? Musa bingung dan berkata: “Tunjukkan pada
hambamu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu!” Tuhan berkata, “Berkhidmatlah
kepada hamba-hamba-Ku!”
Bagus sekali, memang
kalau kita dapat menjalankan ibadah-ibadah itu dengan sebaik-baiknya, semuanya
untuk kita juga. Seperti disebutkan dalam hadis, dengan puasa dan shalat
tarawih yang ikhlas, kita memperoleh ampunan Allah. Ampunan itu jelas untuk
kita. Dengan membaca satu ayat Al-Quran saja di bulan Ramadhan, kita
mendapatkan pahala sama dengan mengkhatamkan Al-Quran di bulan lain. Anugerah
Tuhan karena mengkhatamkan Al-Quran diberikan kepada kita. Ibadah lailatul
qadar sama nilainya dengan ibadah seribu bulan. Pahalanya lagi-lagi untuk
kepentingan kita.
Ibu Fatimah merasa sedih karena Ramadhan mengantarkannya untuk pulang kepada Tuhan. Ia ingin memberikan hadiah untuk membuat Tuhan ridha kepadanya. Ia merasa bahwa hadiah berupa shalat, tadarus, dan sebagainya, itu adalah persembahan untuk Tuhan. Sekiranya ia banyak melakukan ibadah-ibadah itu, nun jauh di sana di ‘arsy yang agung, Tuhan akan berkata: “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?” Memang kita memerlukan semua anugerah itu: kasih sayang Tuhan, ampunan-Nya, dan pembebasan dari api neraka. Kita membutuhkan karunia-Nya untuk kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.
Tetapi, Ibu Fatimah
memerlukan lebih dari itu. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Dia. Ia ingin
memberi-Nya hadiah yang berharga. Ketahuilah, hai Fatimah–sekiranya Anda
membaca buku ini–Anda sudah berada on the right track. Berkhidmatlah
pada hamba-hamba-Nya. Sekiranya Anda bersedih karena Anda beranggapan Anda
tidak sempat shalat tarawih yang lengkap sehingga kehilangan ampunan Tuhan,
simaklah hadis qudsi berikut ini (Lihat Hasan Syirazi, Kalimat Allah, h.232)
“Hai Musa, tahukah kamu
betapa besarnya kasih sayang-Ku padamu?”
“Engkau lebih sayang
kepada-Ku ketimbang Ibumu”
“Hai Musa, sesungguhnya
Ibumu menyayangi kamu karena anugerah kasih-Ku juga. Akulah yang melembutkan
hatinya sehingga ia sayang padamu. Akulah yang membaikkan hatinya supaya ia
meninggalkan kebaikan-kebaikan tidurnya untuk merawatmu. Sekiranya Aku tidak melakukannya,
maka akan samalah Ibumu dengan perempuan lain di dunia.”
“Hai Musa, tahukah kamu
bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang mempunyai dosa dan
kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi Aku
hiraukan dosanya; semua Aku ampuni.”
“Mengapa tidak Kau
hiraukan, Ya Rabb?”
“Karena ada satu hal
yang mulia, yang Aku cinta dalam dirinya: ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul
akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika
ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan aku tidak hiraukan dosa-dosanya.”
Puasa tanpa
perkhidmatan
Sampai di sini, kita
tahu bahwa Ibu Fatimah tidak selayaknya bersedih hati. Ia sudah menjalankan
puasa dengan hadiah berharga untuk Tuhan: perkhidmatan. Yang harus berduka
justru mereka yang berpuasa tanpa persembahan untuk Dia. Celakalah orang yang
berpuasa dengan kezaliman, lawan dari perkhidmatan. Mereka bahkan tidak
mendapat apa pun untuk dirinya. “Betapa banyaknya yang berpuasa yang tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga,” sabda Nabi
Muhammad SAW.
Pada bulan Ramadhan
Nabi yang mulia memergoki seorang perempuan yang memaki budaknya. Ia memanggil
perempuan itu dan menyuruhnya berbuka. Perempuan itu berkata: “Inni shaimah.
Aku berpuasa.” “Bagaimana mungkin kamu berpuasa tetapi kamu maki-maki budakmu.”
Nabi mengingatkan perempuan itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan perkhidmatan, bukan makian. Memaki hamba Allah akan menghapuskan semua pahala puasanya. Supaya puasa itu berfaedah bagi kamu, tinggalkan segala macam kezaliman, terutama pada orang kecil.
Dilaporkan kepada Nabi
tentang seseorang yang selalu berpuasa di waktu siang dan bangun malam untuk
shalat, tetapi sering menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Ia menjawab
singkat: “Dia di neraka!”
Ayat berikut ini
ditujukan untuk orang-orang yang bersedekah di bulan puasa tetapi menyertai
sedekahnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati: “Hai orang-orang yang
beriman, jangan kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
hati sebagaimana orang yang menginfakkan hartanya untuk dipamerkan di
tengah-tengah manusia….” (Al-Baqarah: 264).
Orang yang shalat—baik
di bulan Ramadhan maupun bukan—dan tidak melakukan perkhidmatan diancam dengan
kecelakaan (neraka): Maka celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam
shalatnya; yang hanya pamer saja; yang tidak memberikan pertolongan” (Al-Ma’un:
5-7).
Jadi, supaya semua
ibadat kita di bulan Ramadhan ini mendatangkan faedah yang bernilai bagi kita,
tinggalkan segala macam kezaliman. Dan supaya puasa kita menjadi persembahan
yang agung bagi-Nya, sertailah semuanya dengan perkhidmatan.
“Semua makhluk adalah
keluarga-Ku. Makhluk yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada
makhluk yang lain, yang paling bersungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya”
(Hadis Qudsi).
Dengan puasa, kita
ingin menjadi anggota keluarga besar Tuhan; anggota keluarga yang paling
dicintai-Nya. Aku menerbitkan buku ini untuk orang seperti Ibu Fatimah agar ia
merasa bahagia dengan pengkhidmatan kepada sesama manusia di bulan Ramadhan.
Tetapi aku menyampaikan buku ini juga untuk kawan-kawan Ibu Fatimah yang
terlalu banyak menaruh perhatian kepada ibadah-ibadah ritual.
Konon, menurut cerita
Ibu Fatimah, pada hari-hari Ramadhan, ia bersedih hati karena kawan-kawannya
dapat melayani Tuhan. Sementara ia hanya melayani manusia. “Darimana ia tahu
bahwa kawan-kawannya melayani Tuhan dengan baik?” tanyaku. Dari laporan mereka,
mereka bercerita tentang ketahanan puasanya sehingga tetap berpuasa dalam
keadaan sakit sekalipun atau dalam perjalanan seberat apapun. Mereka melaporkan
berapa juz Al-Quran yang sudah mereka baca. Mereka menuturkan betapa nikmatnya
beri’tikaf dengan mubalig kondang semalam suntuk. Mereka berkisah tentang
pengalaman berumrah di bulan Ramadhan di Tanah Suci.
Aku katakan kepadanya bahwa bersaing dalam melaporkan ibadah bisa mengalihkan pelayanan kita kepada Tuhan menjadi pelayanan kepada diri kita sendiri. Puasa yang seharusnya melatih kita untuk meninggalkan ego, kita malah memperkuatnya.
Jadikanlah puasa
sebagai Madrasah Ruhaniah. Memasuki Madrasah Ruhaniah berarti menjalani
pelatihan untuk menggeser perhatian yang berlebihan kepada ego kita.
Berhijrahlah dari ego kita. “Berhijrahlah dari rumah kita yang sempit (ego),
menuju Allah dan Rasul-Nya”, “Rumah semesta yang tidak terhingga”.
Tahap awal meninggalkan
egoisme adalah altruisme (mendahulukan orang lain). Rasulullah bersabda
“Barangsiapa menyakiti manusia, dia menyakiti aku. Barangsiapa menyakiti aku,
ia menyakiti Allah.” Nabi mengingatkan kita bahwa melayani Allah dan Rasul-Nya
harus diungkapkan dengan melayani sesama manusia. Cintailah Allah dan Rasul-Nya
dengan mencintai secara tulus sesama manusia.[]
*Pengantar Buku: “Madrasah
Ruhaniah; Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci”, Penerbit Mizan, 2005, Karya
KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc
0 komentar:
Posting Komentar