Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan, kalau terpenuhi dua syarat: pertama, tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan. Dan kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politis biasa. Tetapi, apakah hak perlawanan dapat dibenarkan? Jelaslah bahwa pertanyaan ini bersifat moral dan bukan hukum. Tidak mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan sendirinya melawan hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.
Artinya, perlawanan dapat dibenarkan secara etika, walaupun itu secara legalistik (hukum positif) tidak sah. Perlawanan yang dibenarkan itu tentulah dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat untuk menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan kalau masyarakat mengambil jalan kekerasan. Professor Coing menulis: "Perlawanan aktif yang mengambil jalan kekerasan secara moral tidaklah wajib, tetapi dari segi hukum kodrat (hukum moral) halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif itu dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri, melainkan, sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat manusia yang tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian kekerasan dan paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada pewujudan tatanan umum. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan mengimplikasikan bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus ekstrem."
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak dapat disangkal dan memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan politik. Hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh tujuan negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk pula keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang paling fundamental, penetapan ini tidak memiliki hak lagi dan warga negara tidak wajib untuk menaatinya.
Begitu pula kekuasaan negara hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang adil. Maka suatu tindakan kekuasaan yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, boleh dilawan. Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Bukan hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta dan hak kita, tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 156-168; lihat juga catatan kaki h. 158)
Hukum vs. Moral
"...hukum tidak identik dengan moralitas, melainkan hasil konsensus yang dapat dilampaui kesadaran moral. Marthin Luther King, misalnya, menegaskan perlunya melanggar hukum yang tidak adil demi moralitas itu sendiri." (catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 128) Baca juga: http://www.secapramana.com/artikel/hukum_moral_dlm_masyarakat_majemuk.htm
0 komentar:
Posting Komentar