alt/text gambar

Kamis, 06 Oktober 2022

Topik Pilihan: , , ,

TENTANG ADAT KERINCI: SEBUAH CATATAN KRITIS

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Sahabat saya, Toni Suherman, beberapa waktu lalu, memasukkan nomor WA saya ke dalam grup WhatsApp “Majelis PASAK”. Anggotanya banyak sekali. PASAK adalah singkatan dari Peduli Adat Sakti Alam Kerinci. Karena baru bergabung, saya tak tahu pasti apa tujuan grup ini. Tapi, dari diskusi-diskusi yang saya perhatikan di dalamnya, saya bisa melihat bahwa—salah satu—tujuan grup ini adalah dalam rangka kepedulian dan upaya menyelamatkan adat Kerinci. Namun, tak jelas apanya yang mau  diselamatkan dan dipedulikan. Lembaganya atau nilai-nilainya?

Dalam grup WA “Majelis PASAK”, saya lebih banyak melihat diskusi seputar kelembagaan, struktur kekuasaan, “kedepatian”, sejarah adat Kerinci dengan berbagai versi, romantika kejayaan adat masa lalu, dan sejenisnya, dan bukan tentang nilai-nilai adat yang lebih substansial, yang dianggap masih relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer. Kebanyakan diskusi itu pun datanya hanya bersumber dari “konon katanya”, bukan berdasarkan fakta-fakta historis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Apa itu “adat”?

Untuk memahami pengertian “adat”, saya merujuk pada penjelasan Nurcholish Madjid (akrab disapa Cak Nur) dalam bukunya Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, (2000:128).[1] Cak Nur menjelaskan arti kata “adat”, sehubungan dengan penjelasannya mengenai arti kata Idul fitri, khususnya kata “’id”. Kata ‘id, menurut Cak Nur, berasal dari akar kata yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘adah atau ‘adat-un dan isti’adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal “kembali” atau “terulang” (perkataan Indonesia “adat-istiadat” adalah pinjaman dari bahasa Arab ‘adat-un wa isti-‘adatun, yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang. Adat ialah sesuatu yang menjadi kebiasaan karena selalu diulang. Maka disebut “adat kebiasaan”).

Jadi, merujuk pada penjelasan Cak Nur di atas, adat berarti “kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang”. Oleh karena itu, adat bisa berbeda-beda dan tak sama antar berbagai masyarakat. Kebiasaan masyarakat Eropa bisa berbeda dengan kebiasaan masyarakat Arab. Pun demikian kebiasaan di Kerinci tak sama dengan di daerah lain. Adat masyarakat mana yang benar? Tergantung kebiasaan mereka. Jika kebiasaan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip moral-etis dan islami, maka, menurut saya, adat merekalah yang benar. Itu pun kalau yang menjadi basis nilainya adalah ajaran Islam. 

Oleh karena itu, bisa saja kebiasaan (adat) yang etis dalam hal-hal tertentu itu terdapat di Eropa, bukan di kita. Pun bisa juga sebaliknya. Tapi yang jelas, adat itu—merujuk pada asal kata—ialah “kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang”. Pemakaian “sko” di Kerinci, dari paman turun ke keponakan, misalnya, disebut adat karena telah dilakukan berulang-ulang sejak lama. Menyalahi ketentuan itu berarti menyalahi kebiasaan. Jadi, dasarnya: kebiasaan, bukan syarak (ajaran Islam).

Adat Kerinci: Apa yang harus menjadi kepedulian?

Dalam adat Kerinci, dikenal slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Artinya, adat yang dianggap benar dan harus dipedulikan dan dijaga itu ialah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pertanyaannya, manakah adat yang sebenarnya, yang sesuai dengan syarak? Nurcholis Madjid, dalam bukunya, Islam: Doktrin dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), menjelaskan bahwa dalam fakta historis, selalu terjadi akulturasi budaya lokal dan Islam. 

Akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal, jelas Cak Nur, diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Fiqh, bahwa "adat itu dihukumkan", (al 'adah muhakkamah), atau lebih lengkapnya, "adat adalah syariah yang dihukumkan" (al 'adah syari'ah muhakkamah). Artinya, menurut Cak Nur, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. Tentunya, lanjut Cak Nur, budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 

Yang bertentangan dengan Islam, menurut Cak Nur, harus dihilangkan atau diganti. Dibersihkan dari unsur-unsur syirik, takhayul, mitologi, feodalisme, ketidakpedulian pada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia, dan seterusnya. Semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran Islam (tauhid).[2]

Kedatangan Islam, menurut Cak Nur, selalu mengakibatkan transformasi sosial (pengalihan bentuk) masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi, jelas Cak Nur, pada saat yang sama, kedatangan Islam tak mesti "disruptif" atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dengan cara membersihkannya dari unsur-unsur syirik. Bentuk praktek kebiasaan masyarakatnya bisa saja sama seperti masa lalu, tapi esensinya sudah berorientasi islami (tauhid). Itulah yang dilakukan Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa yang sebelum Islam datang masyarakatnya masih menganut budaya Hinduisme dan Budhaisme.[3]

Terkait peran Islam terhadap adat kebiasaan, kita bisa lihat contoh, misalnya, tradisi upacara menghormati orang yang meninggal (3, 7, 40, 100 hari). Ada yang mengatakan itu bukan ajaran Islam, tapi merupakan budaya masyarakat sebelum Islam. Terlepas dari itu, yang jelas, Islam meluruskan praktek itu dengan mengisinya dengan amalan (tahlilan), membaca lafal “la ilaha illa Allah”. Jadi, Islam datang tak langsung memberantas adat kebiasaan masyarakat, tapi cukup membersihkannya dari unsur syirik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[4] Praktiknya bisa saja sama dengan di masa lalu, tapi orientasi dan esensinya harus bernafaskan Islam.

Jadi, merujuk penjelasan Cak Nur, adat Kerinci yang dipraktikkan hari ini tidaklah murni berasal dari kebiasaan masyarakat sebelum kedatangan Islam, dan tak murni juga bersumber dari Islam. Yang ada: percampuran nilai-nilai dari berbagai kultur (budaya) berbagai masyarakat dunia. Nah, tugas generasi sekarang: mengislamkan adat, dan mengadatkan nilai-nilai Islam.[5] Artinya, membersihkan adat dari unsur-unsur yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam (tauhid). Di situlah esensi “prinsip adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.[6]

Mengikuti diskusi dalam grup Pasak, saya melihat ada upaya untuk “menyelamatkan” adat Kerinci. Tapi tak jelas yang mau diselamatkan itu apanya? Apakah sistem kekuasaan seperti “raja”, “kedepatian” dan berbangga-bangga dengannya, strata sosial berdasarkan gelar adat (yang saya nilai kental dengan nuansa feodalnya—padahal, masyarakat Kerinci itu egaliter, tak ada "darah biru"), wilayah kekuasaan adat, dan tradisinya? Atau yang mau diselamatkan itu adalah nilai-nilai kebajikan yang sesuai prinsip-prinsip tauhid, yang katanya bersumber dari kitabullah? Itu yang saya lihat belum jelas.

Saya lebih tertarik jika yang ingin dipertahankan dan diluruskan itu adalah nilai-nilai kebajikannya (tauhid). Karena nilai-nilai tauhid itu bersifat abadi. Hanya implikasinya dalam praktik di masyarakat bisa berbeda-beda. Sekedar contoh sederhana saja, misalnya, kaum wanita diwajibkan menutup aurat. Tapi dalam aplikasi, menutup aurat itu bisa berbeda bentuknya dalam berbagai masyarakat. Di daerah tertentu wanitanya sudah memakai kerudung dan rok panjang mode terkini. Tapi, di daerah lain mungkin berupa penutup kepala yang masih sederhana, yang dalam bahasa Kerinci dikenal dengan “tapu” dan “t’hap”.

Jadi, yang harus dijaga itu adalah nilai-nilai kebajikan yang bersifat universal, yang sesuai dengan nilai-nilai fitrah manusia yang hanif (cenderung pada kebenaran), yang masih relevan dengan masyarakat kontemporer. Selebihnya, hanyalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memang bisa berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan hukum dialektika sejarah.

Yang sakral—yang “tak lekang oleh panas” dan “tak lapuk oleh hujan”—itu adalah nilai-nilai tauhidnya yang bersumber dari kitabullah (Al Qur’an), bukan “ico pakai” yang sifatnya temporer, profan, dan berbeda-beda antar daerah. Jadi, sekarang tinggal dilihat mana nilai-nilai adat yang bisa berubah dan mana yang tak bisa diubah. Jika yang bersifat profan (duniawi) berubah dan diubah, kita tak perlu sedih, apalagi marah.[7] Itulah hukum sejarah: tak ada yang abadi, kecuali Allah. 

Yang bisa diubah dan berubah, misalnya, adalah tradisi yang bersifat seremonial, terutama yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yang tak bisa diubah, misalnya, nilai-nilai sakral dalam kitabullah, seperti ketauhidan, ketuhanan, keadilan, kemanusiaan. Dan, itu ditegaskan sendiri dalam “kaji adat” Kerinci: “Suruh, dikerjo. Tegah, dihenti. Sah, dipakai. Batal, dibuang!


NANI EFENDIAlumnus HMI


Catatan kaki:

[1] Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), Jakarta: Paramadina, 1992, h. 550-551

[3] ‘Abdul al Wahhab Khallaf, sebagaimana dikutip Cak Nur, juga menguraikan bahwa para pembangun mazhab dahulu juga menggunakan unsur-unsur tradisi untuk sistem hukum yang mereka kembangkan. Cak Nur mengutip: “Oleh karena itulah para ‘ulama berkata: al 'adah syari'ah muhakkamah (adat adalah syariah yang dihukumkan). Dan adat kebiasaan (‘urf) itu dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah dan pendukungnya beraneka ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat-kebiasaan mereka. Imam Syafi’I setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat-kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Karena itu, ia mempunyai pandangan hukum: yang lama dan yang baru (qawl qadim dan qawl jadid). Dan dalam fiqh Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan.” (lihat Cak Nur, Ibid., h. 554).  

[4] Lihat Nurcholish Madjid, Ibid., h. 550-551. Dalam Islam, kata Cak Nur, (Ibid., h. 554), ada etos yang berlaku di kalangan ulama, yaitu “al muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Jadi, tradisi itu tidak semuanya jelek dan juga tak semuanya baik. Yang jelek harus diganti dan yang baik harus dipertahankan. Islam, jelas Cak Nur (Ibid., h. 552), sangat menentang sikap tradisionalisme, yaitu sikap yang memandang bahwa semua tradisi leluhur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Islam mengharuskan kita bersikap kritis terhadap tradisi (lihat Qs. Al Isra’/17: 36). Allah juga memperingatkan dalam Kitab Suci tentang argumen yang sering diajukan orang-orang yang menutup diri (kafir) terhadap kebenaran. Firman Allah: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata, "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.”

[5] Mengadatkan nilai-nilai Islam artinya menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai kebiasaan dalam hidup masyarakat.

[6] Syarak itu maksudnya adalah syariat Islam atau ajaran-ajaran Islam. Tapi sepertinya slogan itu, menurut saya, tak lengkap. Karena hanya disebutkan kitabullah (Al Qur’an) saja. Padahal, dalam Islam tak hanya kitabullah yang dijadikan pedoman. Ada juga hadits, qias, dan ijma’ ulama. Tapi, pertanyaannya, siapa yang bisa memurnikan adat? Bukankah sudah lazim diketahui bahwa terdapat tafsir yang berbeda-beda terhadap nilai-nilai Islam?

[7] Contohnya tentang denda bagi pelanggar hukum adat, biaya-biaya adat terkait perkawinan, mendirikan rumah, masuk menjadi anggota masyarakat suatu desa, dan lain-lain, itu semua bisa diubah bedasarkan kesepakatan. Karena tak ada ketentuan pasti dalam syarak.


0 komentar:

Posting Komentar