alt/text gambar

Kamis, 06 Oktober 2022

Topik Pilihan: , , ,

TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL: MATERI INTERMEDIATE TRAINING HMI

-


Oleh: Nani Efendi

(Alumnus LK III [Advance Training] Badko HMI Sumbagsel, 2008)

 

Salah satu materi wajib dalam Latihan Kader II HMI adalah “Teori-Teori Perubahan Sosial”. Saya sering dimintai untuk mengisi materi ini. Oleh karena itu, ada baiknya saya buat tulisan ini sebagai sedikit penjelasan tentang Teori-Teori Perubahan Sosial. Penjelasan saya dalam tulisan ini saya dasarkan pada berbagai referensi. Salah satunya adalah buku referensi wajib materi Teori-Teori Perubahan Sosial, yakni buku karya Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi. Jakarta:  LP3ES, 2000). Dalam karya Suwarsono dan Alvin Y. So itu dijelaskan ada tiga teori perubahan sosial: teori modernisasi, teori dependensi, dan teori sistem dunia. Teori modernisasi dan teori dependensi itu dibagi lagi ke dalam dua pandangan: klasik dan modern.

Teori modernisasi

Teori modernisasi muncul di tahun 1950-an, ketika Amerika Serikat menjadi negara adikuasa dunia. Ilmuwan sosial Amerika Serikat kemudian mendapatkan tugas baru: merumuskan program yang diperlukan untuk melakukan modernisasi negara Dunia Ketiga yang baru merdeka. Teori modernisasi ini menggunakan dua teori perubahan sosial lagi, yaitu “teori evolusi” dan “teori fungsional”. Teori evolusi, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So,[1] lahir pada awal abad ke-19 sesaat sesudah Revolusi Industri dan Revolusi Prancis yang merupakan dua revolusi yang tidak sekedar menghancurkan tatanan lama, tapi juga membentuk acuan dasar baru. Revolusi Industri menciptakan dasar-dasar eksapnsi ekonomi. Sedangkan Revolusi Prancis meletakkan kaedah-kaedah pembangunan politik yang berdasarkan prinsip keadilan, kebebasan, dan demokrasi.[2]

Secara garis besar, teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai berikut. 1) perubahan sosial merupakan gerakan searah (maju) seperti garis lurus. Perubahan sosial berjalan secara perlahan dan bertahap. Bahkan, memakan waktu panjang dan berabad-abad. Masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana (primitive) menuju masyarakat maju (modern; complex). Dengan kata lain, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So, menurut teori evolusi, masa depan masyarakat dunia dapat diramalkan, yakni pada suatu ketika, dalam masa perubahan yang relatif panjang, dunia akan menjadi masyarakat maju; 2) perubahan sosial dari masyarakat primitif ke masyarakat modern merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Masyarakat modern, menurut teori evolusi, merupakan masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut dengan “baik” dan “sempurna”, “berkemajuan”, “kemajuan”, dan “sivilisasi”.[3] Dengan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh teori evolusi, ilmuwan sosial Amerika merumuskan modernisasi sebagai proses yang bertahap, bergerak maju, dan jangka panjang menuju arah yang telah dicapai Amerika Serikat.

Teori perubahan sosial kedua yang digunakan oleh teori modernisasi adalah “teori fungsionalisme”. Pemikiran Talcott Parsons, ketika pernah sebagai ahli biologi, banyak berpengaruh dengan rumusan teori fungsionalismenya. Baginya, masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh manusia. Seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain, masyarakat, menurut Parsons, juga memiliki berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dan mencapai keseimbangan baru. Demikian pula halnya masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada satu lembaga akan berakibat pada perubahan di lembaga lain untuk mencapai perubahan baru. Sekali terjadi perubahan sosial pada satu aspek kehidupan, akan membawa perubahan sosial pada aspek yang lain. Masyarakat, menurut Parsons, bukan statis tapi dinamis. Perubahan itu amat teratur menuju keseimbangan baru. Teori Parsons ini, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So, disebut konservatif, karena menganggap bahwa masyarakat selalu berada dalam situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan.[4] Ini dikarenakan menganalogikan masyarakat dengan tubuh manusia. Dalam tubuh manusia, misalnya, tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kiri dengan tangan kanan. Dan tidak mungkin juga ada tubuh manusia membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Masyarakat, menurut teori fungsionalisme, selalu terkait secara harmonis, berusaha menghindari konflik yang menghancurkan keberadaannya sendiri. 

Dengan dipengaruhi oleh teori fungsionalisme, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So, ilmuwan sosial Amerika Serikat melihat modernisasi sebagai hal yang berlawanan dengan tradisi. Mereka mengajukan gagasan agar negara Dunia Ketiga melakukan transformasi nilai-nilai tradisionalnya, mengikuti, dan meniru nilai-nilai budaya Amerika Serikat serta menggantungkan bantuan dan utang dari Amerika Serikat. Itu pandangan teori modernisasi klasik. Sedangkan hasil kajian baru dari teori modernisasi, mengakui peran positif nilai-nilai tradisional terhadap pembangunan. Teori modernisasi klasik menganggap “modern” dan “tradisional” adalah dua konsep yang bertentangan. Padahal, dari hasil kajian baru teori modernisasi, tidak semua nilai-nilai tradisional menghambat pembangunan. Di Jepang, misalnya, nilai-nilai dalam agama Tokugawa berperan besar terhadap kemajuan Jepang.[5]

Kritik terhadap teori modernisasi

Dari sudut pandang neo-Marxis, teori modernisasi tidak lebih hanya dilihat sebagai ideologi perang dingin yang digunakan untuk memberikan intervensi AS terhadap kepentingan negara Dunia Ketiga. Bahkan, ada ahli yang berpendapat bahwa teori modernisasi hanyalah baju ilmiah yang dipakai oleh Amerika Utara untuk menutupi ideologi yang disembunyikan di baliknya.[6]

 

Teori evolusi: Rostow tentang perkembangan ekonomi

Dalam konteks ekonomi, teori evolusi ini bisa kita lihat dari tahapan pertumbuhan ekonomi menurut W.W. Rostow.[7] Rostow menyatakan ada lima tahapan pembangunan ekonomi: yaitu: 1) tahap masyarakat tradisional, 2) tahap prasyarat untuk tinggal landas, 3) tahap tinggal landas, 4) tahap kematangan pertumbuhan ekonomi, 5) dan tahap konsumsi tinggi. Menurut Rostow prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Berdasarkan tesis Rostow itu, maka sejak tahun 1967, pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto melaksanakan teori pertumbuhan ekonomi Rostow tersebut dan menjadikannya landasan jangka panjang yang ditetapkan secara berkala untuk jangka waktu lima tahunan (REPELITA). Tapi, pada 1997, pada saat implementasi repelita VI yang digaungkan sebagai era tinggal landas (takeoff), Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pergolakan politik (chaos) muncul di mana-mana dan mengganggu stabilitas nasional. Maka terjadilah reformasi ’98. Akhirnya, rencana pembangunan Orde Baru dengan konsep repelita dan PNJP pun terhenti.[8]

Mendasarkan pada model 5 tahapan berangkai itulah Rostow memberikan jawaban untuk membangun negara Dunia Ketiga. Dari mana istilah “lepas landas” itu?  Bisa diduga, istilah lepas landas ini diambil Rostow dari gambaran posisi duduk orang di dalam pesawat. Pada awalnya, pesawat diam, kemudian bergerak perlahan, dan kemudian terbang (takeoff) lepas dari landasan. Tapi, Rostow kurang memberi perhatian pada akibat sampingan yang dialami Dunia Ketiga. Pada saat lepas landas, tidak semua kondis penumpang stabil. Terutama yang belum pernah naik pesawat. Ada gejala pusing, mual, gemetar, dan khawatir. Dengan mengambil analogi ini, Rostow tidak melihat akibat sampingan yang dialami Dunia Ketiga ketika akan lepas landas. Rostow, dalam karya klasiknya, tidak menjelaskan secara rinci akibat politik dari derap lajunya pembangunan ekonomi, seperti terjadinya kerusuhan politik, dll.[9]

 

Teori dependensi (klasik) 

Jika teori modernisasi, baik klasik maupun baru—jelas Suwarsono dan Alvin Y. So—melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepetingan AS dan negara maju, maka teori dependensi memiliki posisi yang sebaliknya.[10] Teori ini lebih menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili suara negara-negara pinggiran dalam menentang hegemoni budaya, ekonomi, politik, dan intelektual negara maju.[11]

Pendekatan dependensi muncul dari Amerika Latin. Teori ini lahir sebagai tanggapan atas gagalnya program PPB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang bernama KEPBBAL.[12] Teori dependensi merumuskan hubungan antara Barat dan negara Dunia Ketiga sebagai hubungan yang dipaksakan, eksploitatif, ketergantungan.

Suwarsono dan Alvin Y. So, menjelaskan: pada tahun 1950-an banyak pemerintahan di Amerika Latin mencoba menerapkan startegi pembangunan dari KEPBBAL. Program ini menitikberatkan pada proses industrialisasi melalui program industrialisasi substitusi impor (ISI). Strategi tersebut diharapkan dapat memberikan keberhasilan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahteraan rakyat, sekaligus memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang demokratis.

Akan tetapi, lanjut Suwarsono dan Alvin Y. So, yang terjadi adalah sebaliknya: ekspansi ekonomi yang amat singkat berubah menjadi stagnasi ekonomi. Pada awal 1960-an berbagai masalah ekonomi mendasar seperti; pengangguran, inflasi, devaluasi, penurunan nilai tukar perdagangan, mulai tampak ke permukaan. Dalam waktu singkat banyak pemerintahan di Amerika Latin diharuskan untuk berhadapan dengan gerakan perlawanan rakyat. Pemerintahan yang populis pun tumbang dan diganti oleh pemerintahan otoriter dengan dukungan militer. Akibatnya kepercayaan para cendekiawan terhadap program KEPBBAL dan teori modernisasi pun hilang.

Teori dependensi diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (24 Februari 1929 – 23 April 2005). Andre Gunder Frank adalah sejarawan ekonomi dan sosiolog Jerman-Amerika. Andre Gunner Frank (1969)—sebagaimana dijelaskan Suwarsono dan Alvin Y. So, (h. 94-95)—mengemukakan kritik terhadap teori modernisasi.

Pertama, sebagian besar kategori teoritis dan implikasi kebijaksanaan pembangunan yang ditemukan dalam teori modernisasi merupakan saringan pengalaman kesejarahan negara-negara kapitalis maju di Eropa Barat dan Amerika Utara. Dengan demikian kategori teoritis yang dirumuskan akan sangat berorientasi pada “Barat”, dan karenanya tidak akan mampu menjadi petunjuk untuk memahami masalah-masalah yang sedang dihadapi negara dunia ketiga.

Kedua, teori modernisasi memiliki kekurangan, karena hanya memberikan penjelasan factor dalam/internal sebagai penyebab pokok keterbelakangan dunia ketiga. Teori ini memiliki asumsi bahwa ada sesuatu di dalam negara dunia ketiga itu sendiri yang menjadikannya tidak berkembang, seperti budaya dan nilai-nilai tradisional, penduduk yang melimpah, investasi yang kecil, kurang semangat motivasi.

Jika ingin menjadi negara maju, menurut teori modernisasi, maka negara Dunia Ketiga harus mengikuti arah dan jalan pembangunan yang pernah ditempuh negara-negara Barat. Menurut Frank, kata Suwarsono, negara Dunia Ketiga tidak akan dapat dan tidak perlu mengikuti arah pembangunan negara-negara Barat, karena negara Barat memiliki pengalaman sejarah yang berbeda, yang tidak pernah mereka mengalami sebelumnya. Negara-negara Barat tidak pernah mengalami kolonialisme, sedangkan negara-negara Dunia Ketiga merupakan koloni dari negara-negara Barat.

Teori modernisasi menyatakan bahwa faktor yang menghambat kemajuan Dunia Ketiga adalah factor dalam (internal) seperti nilai-nilai tradisional dalam masyarakat, penduduk yang tidak punya etos kerja, dsb. Menurut Frank, bukan faktor dalam seperti feodalisme atau tradisionalisme yang menjadikan negara dunia ketiga terbelakang, tapi faktor luarlah, yakni kolonialisme. Ia mencontohkan negara Dunia Ketiga seperti Cina dan India. Kedua negara itu merupakan negara maju sebelum mereka bertemu dan berhubungan dengan kolonialisme abad XVIII.[13]

Kritik terhadap teori dependensi klasik

Teori dependensi merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi teori modernisasi. Teori dependensi klasik, sejak 1970-an, banyak mendapat kritik. Dari segi metode, teori dependensi dianggap bukan karya ilmiah. Ia dianggap pamflet politik. Teori modernisasi menganggap teori dependensi hanya alat propaganda politik dari ideologi Marxisme.  Teori dependensi menganggap situasi ketergantungan sebagai fenomena global. Tidak melihat problem dan keunikan dari masing-masing negara Dunia Ketiga. Padahal, negara-negara Dunia Ketiga punya sejarah sendiri, yang berbeda satu sama lain. Tapi, di sisi lain, teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi merupakan pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara Barat untuk mengeksploitasi negara Dunia Ketiga.

Dari segi teoritis, teori dependensi juga mendapat kritik. Teori dependensi menyatakan, situasi ketergantungan di Dunia Ketiga akibat factor eksternal (seperti kolonialisme). Penganut neo-Marxis tidak sepaham dengan anggapan itu. Teori dependensi dianggap melupakan sama sekali factor atau dinamika internal (seperti peran kelas dalam masyarakat dan juga negara). Mereka menanyakan di mana letak analisis kelas dan negara dalam teori dependensi. Padahal, teori dependensi menyatakan memiliki warisan teoritis dari neo-Marxis. Teori Marxis selalu menempatkan analisis kelas sebagai hal yang sentral dalam dinamika perubahan sosial terhadap runtuhnya kapitalisme.[14]

Dari segi dampak kebijakan, teori dependensi juga mendapa kritik. Untuk mengakhiri ketimpangan, teori dependensi mengajukan usulan yang radikal: revolusi sosialis.[15] Tapi, pemberi kritik berpandangan sebaliknya: ketergantungan dan pembangunan bisa saja mewujud secara bersamaan. Dengan kata lain, ketergantungan tidak selalu menyebabkan keterbelakangan.[16] Sebagai contoh, Korea Selatan yang dulu merupakan jajahan Jepang, tapi dapat mencapai pembangunan ekonomi setelah Perang Dunia II. Mereka juga mengajukan kritik: rumusan kebijakan yang diajukan teori dependensi tidak jelas. Menghilangkan sama sekali imperialisme belum tentu secara otomatis mendatangkan kesejahteraan nasional. Dan, revolusi sosialis juga belum tentu dapat mewujudkan janji-janji kesejahteraan.[17]

Teori dependensi baru

Masih merujuk Suwarsono[18], setelah adanya kritik terhadap teori dependensi, muncullah teori dependensi baru. Cardoso disebut sebagai tokoh utama teori dependensi baru. Hasil karyanya telah mengubah struktur teori dependensi. Berikut metode kajian, fokus perhatian, dan juga arah kebijakan teori dependensi baru.

Pertama, metode kajian. Metode kajian yang digunakan teori dependensi baru disebut historis struktural. Dengan metode ini diharapkan kajiannya mampu menjelaskan satu situasi historis yang khas dalam rangka melihat perbedaan dan variasi yang muncul di masing-masing negara Dunia Ketiga.

Kedua, fokus perhatia. Jika teori dependensi klasik sepenuhnya hanya menuduh faktor ekstern (dominasi negara Barat) sebagai penyebab utama ketergantungan dan keterbelakangan Dunia Ketiga, maka Cardoso memberikan juga perhatiannya pada faktor intern. Tidak seperti teori dependensi klasik yang lebih memfokuskan pada dimensi ekonomis, teori dependensi baru ini lebih tertarik melihat aspek sosial-politik dari ketergantungan, khususnya analisis perjuangan kelas, konflik, dan pergerakan politik dalam negeri negara tertentu.

Bagi Cardoso, terang Suwarsono[19], persoalan pembangunan yang ada di dunia sekarang ini tidak dibatasi hanya pada pembahasan industri substitusi impor, atau hanya sekedar memperdebatkan strategi pertumbuhan, dalam bentuk pilihan antara orientasi ekspor atau tidak, pasar domestik atau pasar dunia dan sebagainya. Persoalan utama justru terletak pada ada atau tidaknya gerakan kerakyatan dan kesadaran kepentingan politik rakyat. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan justru usaha-usaha pembangkitan gerakan kerakyatan, perjuangan kelas, perumusan kembali kepentingan politik dan pembangunan aliansi politik yang diperlukan untuk menjaga kestabilan struktur masyarakat, tetapi sekaligus juga membuka peluang untuk adanya transformasi sosial.

Ketiga, arah kebijakan.[20] Cardoso, jelas Suwarsono, melihat situasi ketergantungan sebagai proses yang memiliki berbagai kemungkinan akhir yang terbuka. Artinya, tidak selalu mengakibatkan keterbelakangan di Dunia Ketiga, bisa juga berdampak positif. Perjuangan kelas dan campur tangan negara dapat melakukan transformasi struktural atau malahan menggantinya dengan yang baru yang tidak diprediksi sebelumnya.

Itulah beberapa perbedaan teori dependensi klasik dan baru. Teori dependensi klasik selalu memberikan perkiraan terjadinya keterbelakangan negara Dunia Ketiga dari struktur ketergantungan. Sebaliknya, teori dependensi baru berpandangan bahwa negara dunia ketiga masih memiliki peluang untuk mencapai apa yang disebut sebagai situasi pembangunan yang bergantung (associated-dependent development). Artinya, menurut Cardoso, tidak tertutup kemungkinan bahwa pembangunan dan ketergantungan mewujud secara bersama-sama. Dengan begitu, muncul situasi ketergantungan yang lebih dinamis (saling menguntungkan) dibanding dengan situasi ketergantungan yang selama ini digambarkan oleh dependensi klasik.[21]

Teori Sistem Dunia

Teori ini sering juga dinamakan “perspektif sistem dunia” (the world-system perspective). Teori ini dipengaruhi oleh teori dependensi. Teori ini menekankan pentingnya analisis totalitas dan berjangka panjang. Oleh karena itu, unit analisis yang tepat adalah keseluruhan dunia yang merupakan satu sistem yang terdiri dari tiga strata: sentral (inti; core), semi pinggiran, dan pinggiran.[22] Berbeda dengan teori dependensi yang menggambarkan dunia secara sederhana dengan model dwi-kutub (Barat vs Dunia Ketiga), teori sistem dunia menjelaskan dengan model tri-kutub (inti [sentral], semi pinggiran, dan pinggiran).[23]

Menurut Suwarsono[24], pada awal perumusannya, teori sistem dunia (perspektif sistem dunia) banyak mengambil dan menggunakan konsep dan kategori teoritis yang dikembangkan oleh teori dependensi. Bahkan, oleh ilmuwan sosial, kedua teori ini diberlakukan tidak berbeda. Padahal, di antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan itu antara lain:

Pertama, unit analisa. Teori sistem dunia unit analisanya ialah sistem dunia itu sendiri. Sedangkan teori dependensi unit analisanya pada tingkat nasional. Teori sistem dunia memindahkan perhatian dari persoalan karakteristik negara menuju usaha pencirian karakteristik hubungan rasional antar negara. Tidak lagi melihat kelas dan status sebagai bentuk pengelompokan dalam satu negara, tetapi memandangnya sebagai bentuk pelapisan dalam sistem ekonomi dunia. Kedua, berbeda dengan teori dependensi yang menggambarkan dunia secara sederhana, yakni dwi-kutub, teori sistem dunia menjelaskan dengan model tri-kutub (sentral, semi pinggiran, dan pinggiran). Ketiga, arah dan masa depan pembangunan. Model tri-kutub Immanuel Wallerstein ini berbeda dengan model dwi-kutubnya teori dependensi, yang menyatakan bahwa negara pinggiran akan selalu berada dalam posisi terbelakang dan paling tinggi berada pada situasi pembangunan yang bergantung. Teori sistem dunia memandang bahwa posisi negara itu tidaklah permanen. Bisa terjadi mobilitas naik-turun: yang pinggiran bisa menjadi negara semi pinggiran. Yang semi pinggiran bisa berubah status menjadi negara sentral. Pun bisa terjadi penurunan status: dari negara sentral menjadi semi pinggiran, bahkan pinggiran.[25]

Jadi, dunia ini, menurut teori sistem dunia, tergabung dalam sebuah sistem hubungan yang dibagi menjadi tiga: negara inti (core; sentral), negara semi pinggiran (semi periphery), dan negara pinggiran (periphery). Negara inti (sentral) adalah seperti AS. Negara pinggiran adalah negara berkembang, negara-negara terbelakang, tapi punya sumber daya alam yang berlimpah.

Namun, status negara itu tidak bersifat permanen. Ia bisa berpindah atau berubah status. Contohnya: Korsel sudah mulai pindah dari negara semi pinggiran dan mungkin bisa menjadi negara inti. Beberapa faktor yang bisa mengubah status negara itu antara lain: kemajuan teknologi, kekuatan pasar, dan berbagai kebijakan yang bisa mengangkat negaranya menjadi negara maju.[26]

Teori ini melihat betapa besar dan menentukan pengaruh sistem dunia (sistem kapitalisme dunia) terhadap nasib satu negara tertentu. Untuk lebih mudah memahami perbedaan teori sistem dunia dan teori dependensi, bisa dilihat pada kolom berikut:

Elemen Perbandingan

Teori Dependensi

Teori (Perspektif) sistem dunia

Unit analisa

Negara-bangsa

Dunia secara keseluruhan (sistem dunia)

Metode kajian

Historis-struktural: masa jaya dan surut negara-bangsa

Dinamika sejarah sistem dunia: kecenderungan sekular dan irama perputaran (siklus)

Struktur teori

Dwi kutub: sentral dan pinggiran

Tri kutub: sentral, semi pinggiran, dan pinggiran

Arah pembangunan                                   

Deterministik ketergantungan. (Dalam hubungan antara negara Barat dengan negara Dunia Ketiga, selalu merugikan Dunia Ketiga dan menguntungkan negara Barat.

Terjadi kemungkinan mobilitas naik-turun (artinya tidak selalu permanen negara Dunia Ketiga dalam posisi bergantung. Bisa jadi negara pinggiran naik menjadi negara semi pinggiran atau bahkan negara inti.

Arena kajian           

Negara pinggiran (negara Dunia Ketiga)

Negara pinggiran, semi pinggiran, sentral (inti). Dan sistem ekonomi dunia

 

Dalam studi pembangunan, teori ini merupakan aliran pemikiran yang lahir paling belakang.[27] Setelah AS menjadi salah satu negara adidaya dunia, ilmu sosialnya mulai tertarik mempelajari persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga. Inilah yang melahirkan ajaran modernisasi sejak 1950-an. Tapi karena kegagalan program-program modernisasi di AS pada 1960-an, menyebabkan lahirnya teori neo-Marxis dependensi. Teori dependensi lahir dari Amerika Latin. Teori dependensi mengkritik tajam ajaran (teori) modernisasi. Modernisasi dicap sebagai rasionalisasi dari imperialisme.[28]

Namun, ajaran dependensi tak mampu menghacurkan teori modernisasi. Sebaliknya, teori modernisasi pun tak dapat mengatakan bahwa teori dependensi sebagai teori yang tidak sah. Maka, akibat pertentangan kedua teori itulah muncul teori atau “pandangan” kritis pada tahun 1970-an. Pandangan kritis atau teori itu dipelopori oleh Immanuel Wallerstein.

Bagi sebagian orang, nama Immanuel Wallerstein mungkin terdengar asing. Namun bagi mereka yang mempelajari isu-isu globalisasi, termasuk kajian wilayah, dan teori-teori pembangunan, Wallerstein adalah nama besar. Bersama dengan Fernando Cardoso dan Andre Gunder Frank, Wallerstein dikenal sebagai kritikus teori modernisasi dalam studi pembangunan Dunia Ketiga. Cardoso dan Frank terkenal dengan teori dependensi atau ketergantungan, sementara Wallerstein adalah proponen utama teori sistem dunia. Hampir sama dengan teori dependensia, teori sistem dunia (meskipun Wallerstein sendiri menolak penggunaan istilah “teori” untuk menyebut pandangan sistem dunia-nya) ingin menunjukkan pola pembagian kerja dalam sistem ekonomi kapitalis yang membuat negara-negara berkembang selalu tergantung dengan negara-negara maju. Pengaruh Marxisme terhadap teori ini sangat jelas. Selain itu, yang khas pada Wallerstein adalah penekanannya pada pendekatan sejarah global atau total dalam cara memahami bagaimana sistem dunia kapitalisme bekerja.[29]

Immanuel Wallerstein dengan gagasan barunya yang radikal menunjukkan bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tata ekonomi-kapitali dunia (TEKD) ini yang tak dapat dijelaskan oleh kedua teori (teori modernisasi maupun teori dependensi), baik yang klasik maupun yang baru. Beberapa contoh kasus itu antara lain:

Pertama, negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura) terus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Fakta itu membuat semakin sulit menggambarkan keajaiban ekonomi negara-negara tersebut sebagai sekedar “hasil kerja imperialisme”, pembangunan yang bergantung”, atau “ketergantungan dinamis”. Karena, negara industry di Asia Timur itu mulai memberi tantangan nyata terhadap kekuatan ekonomi AS.[30]

Kedua, contoh kasus lain: adanya krisis di berbagai negara sosialis. Perpecahan RRC dan Uni Soviet, stagnasi ekonomi di banyak negara sosialis, dan perkembangan perlahan, namun pasti, dari keterbukaan negara sosialis untuk menerima investasi modal asing (yang bersifat kapitalistik). Sudah banyak ilmuwan yang mulai memikirkan kembali, bahkan meragukan, bahwa kebijakan pemutusan hubungan dan pengisolasian negara Dunia Ketiga dengan tatanan ekonomi-kapitalis dunia sebagai model pembangunan yang tepat.[31]

Dalam rangka untuk memikirkan ulang dan menganalisa persoalan-persoalan krisis yang muncul dalam tata ekonomi dunia, Wallerstein dan pengikutnya mengembangkan satu perspektif (teori[32]) pembangunan baru, yang mereka sebut “the world-system perspective” (perspektif sistem dunia), atau dapat juga disebut sebagai “ajaran sistem ekonomi-kapitalis dunia”.

Kesimpulan terhadap tiga teori

Banyak pengamat dan peneliti bidang studi pembangunan memperkirakan bahwa bidang kajian pembangunan sedang bergerak ke arah sintesa. Portes (1980:224), sebagaimana dikutip Suwarsono, menyatakan bahwa tersedia kemungkinan terjadinya konvergensi antara perspektif modernisasi, dependensi, dan sistem dunia. Bahkan, Hermassi (1997:225), kata Suwarsono, menyarankan bahwa berpedoman pada eklektisme disiplin lebih baik ketimbang bergantung secara berlebihan pada salah satu teori atau paradigma pembangunan.[33] Singkatnya, pemerhati sistem ekonomi tak lagi memaksakan keberlakuan satu tesis dari salah satu teori saja.

Tapi, perlu diketahui, konvergensi belum merupakan konvergensi yang utuh. Di samping ada kesamaan beberapa elemen antara ketiga teori pembangunan itu, masing-masing aliran teori masih tetap setia memegang ciri utama masing-masing. Teori modernisasi masih tetap memperhatikan hubungan antara tradisionalisme dan modern, tapi sekarang lebih melihat peran positif nilai tradisional dibanding sebelumnya. Teori dependensia masih menguji hubungan antara ketergantungan dan pembangunan, sekalipun sekarang lebih memperhatikan akibat positif pembangunan dibanding sebelumnya. Teori sistem dunia masih mengamati kecenderungan siklis dan analisa global dari sistem ekonomi kapitalis dunia dan akibat-akibatnya pada daerah gegrafis yang lebih mikro (nasional, regional, dan lokal), sekalipun sekarang perhatian pada daerah geografis yang lebih mikro semakin menguat. Artinya, ketiga teori itu tidak begitu saja melebur menjadi satu. Tapi, masing-masing menghasilkan karya penelitian baru yang lebih bermanfaat.[34]

Teori Konflik: Karl Marx dan perubahan sosial perspektif Marxisme

Menurut Marx, jika tidak ada kelas dalam masyarakat, tak akan ada konflik kelas.[35] Apa itu kelas dalam masyarakat? Berikut penjelasan tentang pemikiran Karl Marx tentang kelas dan pokok-pokok pikiran Marx lainnya yang penting dipahami dalam rangka kajian tentang proses perubahan sosial. Penjelasan di bawah ini saya rujuk sebagian dari Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999).[36] Agar tak disebut plagiat, saya jelaskan bahwa, banyak penjelasan Magnis berikut ini sengaja saya tuliskan sesuai dengan penulisan Magnis sendiri. Ini bertujuan agar memberikan pemahaman yang benar, dan agar saya tak keliru menjelaskannya.

a.  Teori Kelas

Karl Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sejarawan, pembuat teori politik, sosiolog, jurnalis dan sosialis revolusioner asal Jerman. Lahir di Trier pada 5 Mei 1818. Ia belajar hukum dan filsafat Hegelian.

Seluruh pemikiran Karl Marx, kata Magnis, berdasarkan praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Kita telah melihat bahwa keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya. Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas.[37]

Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Menurut Marx, dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. [38]

b. Individu, Kepentingan Kelas, dan Revolusi[39]

Menurut Marx, jelas Magnis-Suseno, pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan tak ada hubungannya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing kelas. Pertentangan antara mereka bukan karena para buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu bertentangan secara objektif. “Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentingannya ditentukan oleh situasi objektif,” kata Magnis-Suseno.

Kelas majikan mengusahakan laba sebanyak mungkin bukan karena mereka rakus, tapi hanya dengan cara itulah mereka bisa bertahan dalam persaingan di pasar bebas. Salah satu cara mereka ialah menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin.

Di sisi lain, kata Magnis-Suseno, kelas buruh berkepentingan untuk mendapatkan upah yang sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja, dan untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka, yang dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik.

Jadi, hubungan antara dua kelas itu, dilihat dari perspektif Marx, tidaklah stabil. Ketika kelas atas berkurang, hubungan sosial menjadi labil: kelas buruh, jelas Magnis-Suseno, secara otomatis semakin mampu memenangkan kepentingan mereka, sehingga akhirnya terjadi revolusi dan hak milik pribadi dapat mereka hapuskan.

Karena kepentingan kedua kelas itu secara objektif bertentangan, maka, kata Magnis-Suseno, seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau memecahkan secara musyawarah konflik-konflik yang mungkin timbul, agar kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan golongan dan sebagainya, tidak mempan. Masalahnya bukan di situ. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya ada pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan perubahan sikap yang mengakhiri konflik kelas, melainkan perubahan struktur kekuasaan ekonomis.[40]

Sikap dasar kedua kelas itu pun berbeda terhadap perubahan sosial. “Kelas atas,” kata Magnis-Suseno, “pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa. Ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu.”[41]

Karena mereka tertindas, kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan sosial. Setiap perubahan, bagi kelas bawah, adalah merupakan pembebasan. Kata Marx dalam Manifesto Komunis, proletariat paling-paling dapat kehilangan belenggu-belenggunya. Kepentingan objektif terakhir kelas-kelas bawah adalah revolusi, pembongkaran kekuasaan kelas atas.[42]

Bagi Marx, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Kelas atas, karena ia kelas atas, berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Maka, kelas atas tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem kekuasaan, karena perubahan itu niscaya mengakhiri peranannya sebagai kelas atas. Karena itu, sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan kekerasan, melalui revolusi.[43]

“Itulah sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang saling bertentangan, mengapa mereka bersitegang bahwa reformasi, yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas bawah di dalam sistem sosial yang sudah ada, tidak mungkin. Marxisme yakin bahwa semua reform dan usaha perdamaian antara kelas atas dan kelas bawah hanya menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri,” jelas Magnis-Suseno.[44]

c. Negara Kelas

Menurut Marx, jelas Magnis-Suseno, semua sistem ekonomi terdapat kelas-kelas: kelas bawah dan kelas atau kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas (-kelas) yang menguasai bidang ekonomi.[45]

Karena itu, lanjut Magnis-Suseno, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi, negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai perselisihan-perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Negara tidak netral, melainkan selalu berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara... bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa.”[46]

Oleh karena itu, jelas Magnis-Suseno, kebanyakan kebijakan negara akan menguntungkan kelas-kelas atas. Negara dapat saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi, menyelenggarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal. Tetapi, tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sekali-sekali negara mengadakan perbaikan-perbaikan sosial, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk membelokkan perhatian rakyat dari tuntutan-tuntutan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.[47]

Magnis-Suseno menerangkan, perspektif negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil dihukum lebih keras daripada koruptor besar, dan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar daripada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering menyaksikan bahwa orang kecil dikalahkan. Negara itu negara hukum, tetapi orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga orang besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.[48]

Karena negara dianggap selalu merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas, lanjut Magnis-Suseno, maka negara dalam perspektif Marx termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka “sebagai kepentingan umum”.[49]

d. Ideologi

Magnis-Suseno menjelaskan, mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum yang sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.[50]

Beberapa contoh pendekatan ideologis yang diberikan Marx, adalah klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa. Begitu pula tuntutan untuk taat kepada hukum dianggap ideologis, karena tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum melayani kepentingan golongan atas, sedangkan orang kecil sulit memanfaatkan hukum.[51]

Kapitalisme, jelas Magnis-Suseno, membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas ideologis karena sekaligus menutup-nutupi bahwa sistem kapitalisme menguntungkan para pemilik modal. Pertama, kapitalisme mengklaim bahwa ia adalah sistem sosial ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese, yang memperlakukan setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju dan memberi imbalan atas prestasi. Tetapi, kapitalisme mengabaikan kenyataan bahwa, karena anggota masyarakat tidak sama kekuatannya, kesamaan formal tidak dapat dipergunakan oleh mereka yang lemah. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh. Ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan. Tetapi, karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, maka ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.[52]

Kritik ideologi Marx lebih luas jangkauannya. Menurut Marx, kata Magnis-Suseno, semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia bersifat ideologis. Yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurut Marx, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat. Maka, rakyat kecil bukannya memperjuangkan perbaikan nasib mereka, tetapi malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, hal yang justru menguntungkan kelas-kelas yang menindas.[53]

“Begitu pula pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat, dan seni menunjang kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia bersedia kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Begitu pula tuntutan moral agar kita bersikap sepi ing pamrih, tidak mau menang sendiri, secara efektif dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya,” terang Magnis-Suseno.[54]

Salah satu kesimpulan, lanjut Magnis-Suseno, yang dapat diambil dari kritik ideologi Karl Marx adalah bahwa kita sebaiknya curiga kalau penguasa mengkotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka. Sering tanpa disadari, kotbah-kotbah macam itu sarat dengan pamrih, alias ideologis.[55]

e. Sejarah

Menurut Marx, Magnis-Suseno menerangkan, motor perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial merupakan aktor sejarah yang sebenarnya. Jadi, yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan mereka bukan apa yang kebetulan diminati oleh orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara objektif oleh kedudukan kelas masing-masing dalam proses produksi.[56]

f. Basis dan Bangunan Atas (superstruktur kesadaran)

Masih merujuk pada Magnis-Suseno, Marx membagikan lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar: “dasar nyata” atau “basis” dan yang lain adalah “bangunan atas”. Dasar atau basis itu adalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan bangunan atas adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual.” Kehidupan bangunan atas (super-structure) ditentukan oleh kehidupan dalam basis (basic-structure).[57]

Pertama, Basis (basic-structure). Basis ditentukan oleh dua faktor: tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga-tenaga produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Tenaga produktif terdiri dari: alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi. Sedangkan hubungan-hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja.[58] Menurut Marx, jelas Magnis, hubungan-hubungan produksi ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif: “Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu tenaga-tenaga produktif materialnya.”[59]

Kedua, Bangunan Atas (super-structure).[60] Bangunan atas (super-structure) terdiri dari dua unsur: tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif, atau dalam bahasa Marxisme: “bangunan atas ideologis”. Yang dimaksud dengan tatanan institusional, terang Magnis-Suseno, adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara. Kita akan berfokus pada negara, termasuk hukum.

Sedangkan tatanan kesadaran kolektif, lanjut Magnis-Suseno,  memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dan sebagainya.[61]

Mekanisme Perubahan Masyarakat Menurut Teori Marx

Pokok teori Marx, jelas Franz Magnis-Suseno, ialah: perubahan masyarakat merupakan akibat dinamika dalam basis, bukan dalam bangunan atas.  Jika dasar ekonomi berubah, maka seluruh bangunan atas raksasa itu dijungkirbalikkan dengan lebih cepat atau lambat.

Menurut Marx, jelas Magnis-Suseno, negara jangan diharapkan menjadi aktor perubahan sosial (agen of change). Negara, dalam pandangan Marx hanyalah pendukung kekuasaan para pemilik. Oleh karena itu, tidak mungkin negara mengadakan perubahan yang sungguh-sungguh “menggigit”. Tidak mungkin kelas-kelas atas memotong dahan di mana mereka duduk.[62]

Perubahan sosial, menurut Marx, mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan perlahan-lahan. Karena kelas-kelas atas, berdasarkan kepentingan, berupaya menentang setiap perubahan. Perubahan bisa mengancam posisi kelas atas. “Maka perubahan baru dapat terjadi apabila kelas-kelas bawah sudah cukup kuat untuk memaksakannya ke kelas-kelas atas. Itulah revolusi,” kata Magnis-Suseno.[63]

Sejarah, lanjut Magnis, dimengerti sebagai pergantian terus-menerus antara keadaan-keadaan yang stabil dan tidak berubah yang dapat berlangsung lama dan keadaan-keadaan kegoncangan dan revolusi yang berlangsung dalam waktu singkat dan menghasilkan struktur-struktur kekuasaan yang baru.

Marx berpendapat, kata Magnis, perjuangan kelas adalah motor kemajuan sejarah. Jika struktur kekuasaan ekonomi (basis) dihancurkan, maka superstruktur (bentuk negara, kepercayaan-kepercayaan, serta sistem nilai masyarakat) akan berubah. Kekuatan untuk menjungkirbalikkan sistem kekuasaan yang ada diperoleh oleh kelas-kelas bawah melalui perjuangan kelas yang membutuhkan jangka waktu panjang sampai mereka dapat mematahkan kekuasaan kelas-kelas atas. Semula mereka tentu ditindas dan gagal. Tetapi, lama-kelamaan daya juang kelas-kelas bawah semakin besar, sehingga akhirnya mereka dapat mengalahkan kelas-kelas atas. Kemenangan itulah, kata Magnis, yang melahirkan struktur masyarakat yang formasinya lebih tinggi.[64]

  

Daftar Pustaka

 

Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, 1994

Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 1999.

Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi). Jakarta:  LP3ES, 2000



[1]  Lebih jelas, lihat Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi), Jakarta:  LP3ES, 2000, h. 9.

[2] Istilah "Dunia Ketiga" muncul pada masa Perang Dingin untuk menyebut negara-negara yang tidak memihak dengan NATO maupun Blok Komunis. Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Eropa Barat dan sekutunya mewakili Dunia Pertama. Sedangkan Dunia Kedua diwakili oleh Uni Soviet, Tiongkok, Kuba, dan sekutunya. Istilah ini memungkinkan negara-negara di dunia dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan politik dan ekonominya. Sejak jatuhnya Uni Soviet dan akhir Perang Dingin, istilah Dunia Ketiga semakin jarang digunakan. Dunia Ketiga digantikan dengan negara berkembang, negara terbelakang, atau Selatan Global. Konsepnya sendiri kedaluwarsa karena sudah tidak mencerminkan situasi politik atau ekonomi dunia saat ini. Definisi Dunia Ketiga biasanya mencakup negara-negara yang pernah mengalami kolonisasi di Afrika, Amerika Latin, Oseania, dan Asia. Dunia Ketiga juga kadang dianggap sama dengan anggota Gerakan Non-Blok. Menurut teori ketergantungan yang dipaparkan oleh Raúl Prebisch, Walter Rodney, Theotonio dos Santos, dan Andre Gunder Frank, Dunia Ketiga dikelompokkan sebagai negara "pinggiran yang didominasi oleh negara "inti" dalam pembagian ekonomi sistemik dunia. Beberapa negara di Blok Komunis seperti Kuba sering dicap "Dunia Ketiga". Karena banyak negara Dunia Ketiga yang ekonominya miskin dan belum terindustralisasi, "Dunia Ketiga" menjadi stereotipe untuk menyebut negara miskin. Namun demikian, "Dunia Ketiga" juga dipakai untuk menyebut negara industri baru seperti Brasil, India, dan Tiongkok yang kini bagian dari BRIC. Ahli demografi, antropolog, dan sejarawan Prancis Alfred Sauvy, menciptakan istilah Dunia Ketiga (Tiers Monde) dalam sebuah artikel di Majalah L'Observateur, 14 Agustus 1952, untuk menyebut negara-negara yang tidak memihak kepada blok Soviet Komunis atau blok NATO Kapitalis pada masa Perang Dingin. Istilah ini mengacu pada Pilar Ketiga, rakyat jelata Prancis yang menentang pendeta (Pilar Pertama) dan bangsawan (Pilar Kedua) sebelum dan selama Revolusi Prancis. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Ketiga).

[3] Ibid., h. 10.

[4] Bandingkan dengan teori konflik dalam Marxisme.

[5] Lihat Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit., h. 36.

[6] Ibid., h. 53.

[7] Walt Whitman Rostow (7 Oktober 1916 – 13 Februari 2003) adalah seorang ahli ekonomi, profesor dan politikus yang bekerja kepada National Security Advisor Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Johnson. Ia berperan penting dalam pembentukan kebijakan Amerika Serikat di Asia Tenggara selama tahun 1960 dan dia merupakan musuh dari komunis. Ia bekerja sebagai penasihat utama selama pemerintahan John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson. Ia mendukung intervensi militer Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Ia juga dikenal atas Teori 5 Tahap Pembangunan Ekonomi yang juga dikenal dengan Teori Tahap Pembangunan W.W. Rostow. (https://id.wikipedia.org/wiki/Walt_Whitman_Rostow).

[8] Lihat https://www.slideshare.net/Indrutt/hubungan-teori-rostow-dengan-pelaksanaan-pembangunan-indonesia-masa. Baca juga tentang nasib Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang bankrut pada 1997 (https://tirto.id/pt-di-dan-kisah-jatuh-bangun-industri-pesawat-terbang-nasional-cJ3S).

[9] Lihat Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit., h. 16-17.

[10] Pengertian sederhananya: teori dependensi menganggap dalam hubungan ketergantungan, surplus ekonomi mengalir dari negara Dunia Ketiga ke negara Barat. Negara Dunia Ketiga mengekspor bahan mentah dengan harga murah, sementara negara Barat mengekspor barang mewah yang menyedot banyak devisa negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga bahkan harus berutang terhadap luar negeri untuk dapat mengimpor barang modal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan juga untuk membangun industri substitusi impor (ISI). Dalam kondisi seperti itu, tentu negara Dunia Ketiga akan tetap dalam ketergantungan. Kira-kira seperti itu yang saya pahami dari teori dependensi. Initinya, teori dependensi adalah kritik terhadap teori modernisasi.

[11] Tentang hegemoni budaya, baca Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999; Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 1999; Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

[12] KEPBBAL adalah singkatan dari Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin (ECLA/United nation Economic Commission for Latin America).

[13] Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit., h. 95.

[14] Ibid., 129-130.

[15] Ibid., h.131.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid., h.134.

[19] Ibid., h.135.

[20] Ibid.

[21] Ibid., h.136.

[22] Ibid., h. 242.

[23] Ibid., h. 189.

[24] Ibid., h. 186.

[25] Ibid., h. 189-190.

[26] Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=OBYgbnYspDw. Atau untuk lebih luas pemahaman tentang Teori Sistem Dunia, lihat Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi), Jakarta:  LP3ES, 2000, h. 165-239.

[27] Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit., h.241.

[28] Ibid., h.165.

[31] Ibid.

[32] Tapi, sebenarnya, Wallerstein menolak penggunaan istilah ‘teori’ untuk menyebut “pandangan sistem dunia”-nya (lihat http://psdr.lipi.go.id/sudut-pandang/globalisasi-dan-sistem-dunia-immanuel-wallerstein.html)

[34] Ibid., h. 247-248.

[35] Lihat Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 155.

[36] Lihat Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

[37] Ibid., h. 110.

[38] Ibid., h. 112-113. Magnis-Suseno juga menjelaskan, tentang keterasingan dalam sistem kapitalisme. Ada dua kelas dalam masyarakat kapitalis: kelas buruh dan kelas majikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi atau alat-alat kerja: pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah). Kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga kepada kelas majikan. Dengan demikian, hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan (h. 113-114).

[39] Ibid., h. 116-119.

[40] Ibid., 117-118.

[41] Ibid., h. 118.

[42] Ibid.

[43] Ibid., h. 119.

[44] Ibid.

[45] Ibid., h. 120

[46] Ibid.

[47] Ibid., h. 120-121.

[48] Ibid., h. 121.

[49] Ibid.

[50] Ibid., h. 121-122.

[51] Ibid., h. 122.

[52] Ibid., h. 122-123.

[53] Ibid., h. 123.

[54] Ibid., h. 124.

[55] Ibid., h. 125.

[56] Ibid.

[57] Ibid., h. 142.

[58] Ibid., h. 143.

[59] Ibid., h. 144. Secara lengkap penjelasan Magnis-Suseno: Struktur kelas masyarakat bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntutan efisiensi produksi, jadi oleh tingkat perkembangan perkembangan tenaga-tenaga produktif. Bochenski menjelaskan maksud Marx sebagai berikut: “Kalau misalnya sekelompok orang menangkap ikan dari sebuah perahu, dengan sarana-sarana tertentu, misalnya dengan jala, satu orang harus memberi komando, yang lain memegang kemudi dan seterusnya. Apabila pola alat kerja dan cara produksi sudah ada, hubungan-hubungan produksi tertentu terbentuk dengan niscaya dan tidak tergantung dari kemauan orang. Maka, yang pertama menentukan hubungan-hubungan produksi atau struktur kelas sebuah masyarakat adalah tenaga-tenaga produktif. Dalam teks di atas, Marx menegaskan bahwa hubungan-hubungan tidak tergantung pada kemauan orang, melainkan pada tuntutan objektif produksi. Dengan demikian, Marx merasa dapat menganalisis perkembangan masyarakat secara ilmiah. Tetapi, lanjut Magnis, apakah alat-alat kerja sendiri bukan ciptaan manusia? Kita akan segera membahas pertanyaan ini. Untuk sementara cukup dicatat bahwa alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia, melainkan di bawah tekanan untuk berproduksi dengan semakin efisien. Jadi, ada faktor objektif juga. Tingkat perkembangan alat-alat kerja tidak tergantung pada kesewenangan manusia, melainkan mengikuti logika internal insting manusia untuk mempertahankan diri. Dalam arti itu, perkembangan alat-alat kerja dan tenaga-tenaga produktif memang mutlak (h. 144-145).

[60] Ibid., h. 145-147.

[61] Lihat juga Tom Campbell dalam bukunya Tujuh Teori Sosial. Tom Campbell menjelaskan kurangnya penentuan manakah faktor-faktor yang dianggap sebagai bagian dari basis ekonomi dan manakah yang merupakan bagian dari superstruktur.  Superstruktur dianggap tak bedaya terhadap basis. Ada juga masalah berat dalam memaparkan basis ekonomi tanpa acuan pada latar belakang legal dan politisnya. Hal ini khususnya menyangkut institusi hak milik, sebuah konsep pokok yang dirumuskan secara legal dan politis yang tak dapat dipisahkan dari pemaparan mengenai basis ekonomi kapitalisme, karena tanpa hukum milik pribadi tak akan ada pemilikan pribadi atas sarana produksi. Bagaimana yang terakhir ini dapat menciptakan yang pertama?

[62] Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., h. 147-148.

[63] Ibid., h. 148-149.

[64] Ibid., h. 147-148.




0 komentar:

Posting Komentar