-
Oleh: Nani Efendi
(Alumnus LK III [Advance Training] Badko HMI Sumbagsel, 2008)
Salah satu materi wajib dalam Latihan Kader II
HMI adalah “Teori-Teori Perubahan Sosial”. Saya sering dimintai untuk mengisi
materi ini. Oleh karena itu, ada baiknya saya buat tulisan ini sebagai sedikit
penjelasan tentang Teori-Teori Perubahan Sosial. Penjelasan saya dalam tulisan
ini saya dasarkan pada berbagai referensi. Salah satunya adalah buku referensi
wajib materi Teori-Teori Perubahan Sosial, yakni buku karya Suwarsono dan Alvin
Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES, 2000). Dalam karya Suwarsono dan Alvin
Y. So itu dijelaskan ada tiga teori perubahan sosial: teori modernisasi, teori
dependensi, dan teori sistem dunia. Teori modernisasi dan teori dependensi itu
dibagi lagi ke dalam dua pandangan: klasik dan modern.
Teori
modernisasi
Teori modernisasi muncul di tahun 1950-an,
ketika Amerika Serikat menjadi negara adikuasa dunia. Ilmuwan sosial Amerika
Serikat kemudian mendapatkan tugas baru: merumuskan program yang diperlukan
untuk melakukan modernisasi negara Dunia Ketiga yang baru merdeka. Teori
modernisasi ini menggunakan dua teori perubahan sosial lagi, yaitu “teori
evolusi” dan “teori fungsional”. Teori evolusi, jelas Suwarsono dan Alvin Y.
So,[1]
lahir pada awal abad ke-19 sesaat sesudah Revolusi Industri dan Revolusi
Prancis yang merupakan dua revolusi yang tidak sekedar menghancurkan tatanan
lama, tapi juga membentuk acuan dasar baru. Revolusi Industri menciptakan
dasar-dasar eksapnsi ekonomi. Sedangkan Revolusi Prancis meletakkan
kaedah-kaedah pembangunan politik yang berdasarkan prinsip keadilan, kebebasan,
dan demokrasi.[2]
Secara garis besar, teori evolusi
menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai berikut. 1) perubahan sosial merupakan
gerakan searah (maju) seperti garis lurus. Perubahan sosial berjalan secara
perlahan dan bertahap. Bahkan, memakan waktu panjang dan berabad-abad. Masyarakat
berkembang dari masyarakat sederhana (primitive) menuju masyarakat maju
(modern; complex). Dengan kata lain, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So,
menurut teori evolusi, masa depan masyarakat dunia dapat diramalkan, yakni pada
suatu ketika, dalam masa perubahan yang relatif panjang, dunia akan menjadi
masyarakat maju; 2) perubahan sosial dari masyarakat primitif ke masyarakat
modern merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Masyarakat modern, menurut
teori evolusi, merupakan masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua
unsur yang disebut dengan “baik” dan “sempurna”, “berkemajuan”, “kemajuan”, dan
“sivilisasi”.[3]
Dengan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh teori evolusi, ilmuwan sosial Amerika
merumuskan modernisasi sebagai proses yang bertahap, bergerak maju, dan jangka
panjang menuju arah yang telah dicapai Amerika Serikat.
Teori perubahan sosial kedua yang digunakan
oleh teori modernisasi adalah “teori fungsionalisme”. Pemikiran Talcott
Parsons, ketika pernah sebagai ahli biologi, banyak berpengaruh dengan rumusan
teori fungsionalismenya. Baginya, masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ
tubuh manusia. Seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian
yang saling berhubungan satu sama lain, masyarakat, menurut Parsons, juga
memiliki berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama
lain. Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan
mengikutinya. Ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dan mencapai
keseimbangan baru. Demikian pula halnya masyarakat. Masyarakat selalu mengalami
perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada satu lembaga akan
berakibat pada perubahan di lembaga lain untuk mencapai perubahan baru. Sekali
terjadi perubahan sosial pada satu aspek kehidupan, akan membawa perubahan
sosial pada aspek yang lain. Masyarakat, menurut Parsons, bukan statis tapi
dinamis. Perubahan itu amat teratur menuju keseimbangan baru. Teori Parsons
ini, jelas Suwarsono dan Alvin Y. So, disebut konservatif, karena menganggap
bahwa masyarakat selalu berada dalam situasi harmoni, stabil, seimbang, dan
mapan.[4]
Ini dikarenakan menganalogikan masyarakat dengan tubuh manusia. Dalam tubuh
manusia, misalnya, tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kiri dengan
tangan kanan. Dan tidak mungkin juga ada tubuh manusia membunuh dirinya sendiri
dengan sengaja. Masyarakat, menurut teori fungsionalisme, selalu terkait secara
harmonis, berusaha menghindari konflik yang menghancurkan keberadaannya
sendiri.
Dengan dipengaruhi oleh teori fungsionalisme,
jelas Suwarsono dan Alvin Y. So, ilmuwan sosial Amerika Serikat melihat modernisasi
sebagai hal yang berlawanan dengan tradisi. Mereka mengajukan gagasan agar
negara Dunia Ketiga melakukan transformasi nilai-nilai tradisionalnya,
mengikuti, dan meniru nilai-nilai budaya Amerika Serikat serta menggantungkan
bantuan dan utang dari Amerika Serikat. Itu pandangan teori modernisasi klasik.
Sedangkan hasil kajian baru dari teori modernisasi, mengakui peran positif
nilai-nilai tradisional terhadap pembangunan. Teori modernisasi klasik menganggap
“modern” dan “tradisional” adalah dua konsep yang bertentangan. Padahal, dari
hasil kajian baru teori modernisasi, tidak semua nilai-nilai tradisional
menghambat pembangunan. Di Jepang, misalnya, nilai-nilai dalam agama Tokugawa
berperan besar terhadap kemajuan Jepang.[5]
Kritik
terhadap teori modernisasi
Dari sudut pandang neo-Marxis, teori
modernisasi tidak lebih hanya dilihat sebagai ideologi perang dingin yang
digunakan untuk memberikan intervensi AS terhadap kepentingan negara Dunia
Ketiga. Bahkan, ada ahli yang berpendapat bahwa teori modernisasi hanyalah baju
ilmiah yang dipakai oleh Amerika Utara untuk menutupi ideologi yang
disembunyikan di baliknya.[6]
Teori
evolusi: Rostow tentang perkembangan ekonomi
Dalam konteks ekonomi, teori evolusi ini
bisa kita lihat dari tahapan pertumbuhan ekonomi menurut W.W. Rostow.[7]
Rostow menyatakan ada lima tahapan pembangunan ekonomi: yaitu: 1) tahap
masyarakat tradisional, 2) tahap prasyarat untuk tinggal landas, 3) tahap
tinggal landas, 4) tahap kematangan pertumbuhan ekonomi, 5) dan tahap konsumsi
tinggi. Menurut Rostow prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu
negara harus mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga
mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Berdasarkan tesis Rostow itu, maka sejak
tahun 1967, pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto melaksanakan
teori pertumbuhan ekonomi Rostow tersebut dan menjadikannya landasan jangka
panjang yang ditetapkan secara berkala untuk jangka waktu lima tahunan
(REPELITA). Tapi, pada 1997, pada saat implementasi repelita VI yang digaungkan
sebagai era tinggal landas (takeoff), Indonesia mengalami krisis
ekonomi. Pergolakan politik (chaos) muncul di mana-mana dan mengganggu
stabilitas nasional. Maka terjadilah reformasi ’98. Akhirnya, rencana
pembangunan Orde Baru dengan konsep repelita dan PNJP pun terhenti.[8]
Mendasarkan pada model 5 tahapan berangkai itulah Rostow memberikan jawaban untuk membangun negara Dunia Ketiga. Dari mana istilah “lepas landas” itu? Bisa diduga, istilah lepas landas ini diambil Rostow dari gambaran posisi duduk orang di dalam pesawat. Pada awalnya, pesawat diam, kemudian bergerak perlahan, dan kemudian terbang (takeoff) lepas dari landasan. Tapi, Rostow kurang memberi perhatian pada akibat sampingan yang dialami Dunia Ketiga. Pada saat lepas landas, tidak semua kondis penumpang stabil. Terutama yang belum pernah naik pesawat. Ada gejala pusing, mual, gemetar, dan khawatir. Dengan mengambil analogi ini, Rostow tidak melihat akibat sampingan yang dialami Dunia Ketiga ketika akan lepas landas. Rostow, dalam karya klasiknya, tidak menjelaskan secara rinci akibat politik dari derap lajunya pembangunan ekonomi, seperti terjadinya kerusuhan politik, dll.[9]
Teori dependensi (klasik)
Jika
teori modernisasi, baik klasik maupun baru—jelas Suwarsono dan Alvin Y.
So—melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepetingan AS dan
negara maju, maka teori dependensi memiliki posisi yang sebaliknya.[10] Teori
ini lebih menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara
Dunia Ketiga. Dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili suara
negara-negara pinggiran dalam menentang hegemoni budaya, ekonomi, politik, dan
intelektual negara maju.[11]
Pendekatan
dependensi muncul dari Amerika Latin. Teori ini lahir sebagai tanggapan atas
gagalnya program PPB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang bernama KEPBBAL.[12]
Teori dependensi merumuskan hubungan antara Barat dan negara Dunia Ketiga
sebagai hubungan yang dipaksakan, eksploitatif, ketergantungan.
Suwarsono dan Alvin Y. So, menjelaskan: pada
tahun 1950-an banyak pemerintahan di Amerika Latin mencoba menerapkan startegi
pembangunan dari KEPBBAL. Program ini menitikberatkan pada proses
industrialisasi melalui program industrialisasi substitusi impor (ISI). Strategi
tersebut diharapkan dapat memberikan keberhasilan yang berkelanjutan untuk
pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan
kesejahteraan rakyat, sekaligus memberikan suasana yang mendorong pembangunan
politik yang demokratis.
Akan tetapi, lanjut Suwarsono dan Alvin Y. So,
yang terjadi adalah sebaliknya: ekspansi ekonomi yang amat singkat berubah
menjadi stagnasi ekonomi. Pada awal 1960-an berbagai masalah ekonomi mendasar
seperti; pengangguran, inflasi, devaluasi, penurunan nilai tukar perdagangan,
mulai tampak ke permukaan. Dalam waktu singkat banyak pemerintahan di Amerika
Latin diharuskan untuk berhadapan dengan gerakan perlawanan rakyat. Pemerintahan
yang populis pun tumbang dan diganti oleh pemerintahan otoriter dengan dukungan
militer. Akibatnya kepercayaan para cendekiawan terhadap program KEPBBAL dan
teori modernisasi pun hilang.
Teori dependensi diperkenalkan oleh Andre
Gunder Frank (24 Februari 1929 – 23 April 2005). Andre Gunder Frank adalah
sejarawan ekonomi dan sosiolog Jerman-Amerika. Andre Gunner Frank
(1969)—sebagaimana dijelaskan Suwarsono dan Alvin Y. So, (h.
94-95)—mengemukakan kritik terhadap teori modernisasi.
Pertama,
sebagian besar kategori teoritis dan implikasi kebijaksanaan pembangunan yang
ditemukan dalam teori modernisasi merupakan saringan pengalaman kesejarahan
negara-negara kapitalis maju di Eropa Barat dan Amerika Utara. Dengan demikian
kategori teoritis yang dirumuskan akan sangat berorientasi pada “Barat”, dan
karenanya tidak akan mampu menjadi petunjuk untuk memahami masalah-masalah yang
sedang dihadapi negara dunia ketiga.
Kedua,
teori modernisasi memiliki kekurangan, karena hanya memberikan penjelasan
factor dalam/internal sebagai penyebab pokok keterbelakangan dunia ketiga.
Teori ini memiliki asumsi bahwa ada sesuatu di dalam negara dunia ketiga itu
sendiri yang menjadikannya tidak berkembang, seperti budaya dan nilai-nilai tradisional,
penduduk yang melimpah, investasi yang kecil, kurang semangat motivasi.
Jika ingin menjadi negara maju, menurut teori
modernisasi, maka negara Dunia Ketiga harus mengikuti arah dan jalan
pembangunan yang pernah ditempuh negara-negara Barat. Menurut Frank, kata
Suwarsono, negara Dunia Ketiga tidak akan dapat dan tidak perlu mengikuti arah
pembangunan negara-negara Barat, karena negara Barat memiliki pengalaman
sejarah yang berbeda, yang tidak pernah mereka mengalami sebelumnya.
Negara-negara Barat tidak pernah mengalami kolonialisme, sedangkan
negara-negara Dunia Ketiga merupakan koloni dari negara-negara Barat.
Teori modernisasi menyatakan bahwa faktor yang
menghambat kemajuan Dunia Ketiga adalah factor dalam (internal) seperti
nilai-nilai tradisional dalam masyarakat, penduduk yang tidak punya etos kerja,
dsb. Menurut Frank, bukan faktor dalam seperti feodalisme atau tradisionalisme
yang menjadikan negara dunia ketiga terbelakang, tapi faktor luarlah, yakni
kolonialisme. Ia mencontohkan negara Dunia Ketiga seperti Cina dan India. Kedua
negara itu merupakan negara maju sebelum mereka bertemu dan berhubungan dengan
kolonialisme abad XVIII.[13]
Kritik
terhadap teori dependensi klasik
Teori dependensi merupakan kritik terhadap
arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi teori modernisasi.
Teori dependensi klasik, sejak 1970-an, banyak mendapat kritik. Dari segi
metode, teori dependensi dianggap bukan karya ilmiah. Ia dianggap pamflet
politik. Teori modernisasi menganggap teori dependensi hanya alat propaganda
politik dari ideologi Marxisme. Teori
dependensi menganggap situasi ketergantungan sebagai fenomena global. Tidak
melihat problem dan keunikan dari masing-masing negara Dunia Ketiga. Padahal,
negara-negara Dunia Ketiga punya sejarah sendiri, yang berbeda satu sama lain. Tapi,
di sisi lain, teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi merupakan
pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara Barat untuk mengeksploitasi
negara Dunia Ketiga.
Dari segi teoritis, teori dependensi juga
mendapat kritik. Teori dependensi menyatakan, situasi ketergantungan di Dunia Ketiga
akibat factor eksternal (seperti kolonialisme). Penganut neo-Marxis tidak
sepaham dengan anggapan itu. Teori dependensi dianggap melupakan sama sekali
factor atau dinamika internal (seperti peran kelas dalam masyarakat dan juga
negara). Mereka menanyakan di mana letak analisis kelas dan negara dalam teori
dependensi. Padahal, teori dependensi menyatakan memiliki warisan teoritis dari
neo-Marxis. Teori Marxis selalu menempatkan analisis kelas sebagai hal yang
sentral dalam dinamika perubahan sosial terhadap runtuhnya kapitalisme.[14]
Dari segi dampak kebijakan, teori dependensi
juga mendapa kritik. Untuk mengakhiri ketimpangan, teori dependensi mengajukan
usulan yang radikal: revolusi sosialis.[15]
Tapi, pemberi kritik berpandangan sebaliknya: ketergantungan dan pembangunan
bisa saja mewujud secara bersamaan. Dengan kata lain, ketergantungan tidak
selalu menyebabkan keterbelakangan.[16]
Sebagai contoh, Korea Selatan yang dulu merupakan jajahan Jepang, tapi dapat
mencapai pembangunan ekonomi setelah Perang Dunia II. Mereka juga mengajukan
kritik: rumusan kebijakan yang diajukan teori dependensi tidak jelas. Menghilangkan
sama sekali imperialisme belum tentu secara otomatis mendatangkan kesejahteraan
nasional. Dan, revolusi sosialis juga belum tentu dapat mewujudkan janji-janji
kesejahteraan.[17]
Teori
dependensi baru
Masih merujuk Suwarsono[18],
setelah adanya kritik terhadap teori dependensi, muncullah teori dependensi
baru. Cardoso disebut sebagai tokoh utama teori dependensi baru. Hasil karyanya
telah mengubah struktur teori dependensi. Berikut metode kajian, fokus
perhatian, dan juga arah kebijakan teori dependensi baru.
Pertama,
metode kajian. Metode kajian yang digunakan teori dependensi baru disebut
historis struktural. Dengan metode ini diharapkan kajiannya mampu menjelaskan
satu situasi historis yang khas dalam rangka melihat perbedaan dan variasi yang
muncul di masing-masing negara Dunia Ketiga.
Kedua,
fokus perhatia. Jika teori dependensi klasik sepenuhnya hanya menuduh faktor
ekstern (dominasi negara Barat) sebagai penyebab utama ketergantungan dan
keterbelakangan Dunia Ketiga, maka Cardoso memberikan juga perhatiannya pada faktor
intern. Tidak seperti teori dependensi klasik yang lebih memfokuskan pada
dimensi ekonomis, teori dependensi baru ini lebih tertarik melihat aspek sosial-politik
dari ketergantungan, khususnya analisis perjuangan kelas, konflik, dan
pergerakan politik dalam negeri negara tertentu.
Bagi Cardoso, terang Suwarsono[19],
persoalan pembangunan yang ada di dunia sekarang ini tidak dibatasi hanya pada pembahasan
industri substitusi impor, atau hanya sekedar memperdebatkan strategi
pertumbuhan, dalam bentuk pilihan antara orientasi ekspor atau tidak, pasar
domestik atau pasar dunia dan sebagainya. Persoalan utama justru terletak pada
ada atau tidaknya gerakan kerakyatan dan kesadaran kepentingan politik rakyat.
Oleh karena itu yang perlu diperhatikan justru usaha-usaha pembangkitan gerakan
kerakyatan, perjuangan kelas, perumusan kembali kepentingan politik dan pembangunan
aliansi politik yang diperlukan untuk menjaga kestabilan struktur masyarakat,
tetapi sekaligus juga membuka peluang untuk adanya transformasi sosial.
Ketiga,
arah kebijakan.[20]
Cardoso, jelas Suwarsono, melihat situasi ketergantungan sebagai proses yang
memiliki berbagai kemungkinan akhir yang terbuka. Artinya, tidak selalu
mengakibatkan keterbelakangan di Dunia Ketiga, bisa juga berdampak positif. Perjuangan
kelas dan campur tangan negara dapat melakukan transformasi struktural atau
malahan menggantinya dengan yang baru yang tidak diprediksi sebelumnya.
Itulah beberapa perbedaan teori dependensi
klasik dan baru. Teori dependensi klasik selalu memberikan perkiraan terjadinya
keterbelakangan negara Dunia Ketiga dari struktur ketergantungan. Sebaliknya, teori
dependensi baru berpandangan bahwa negara dunia ketiga masih memiliki peluang
untuk mencapai apa yang disebut sebagai situasi pembangunan yang bergantung (associated-dependent
development). Artinya, menurut Cardoso, tidak tertutup kemungkinan bahwa pembangunan
dan ketergantungan mewujud secara bersama-sama. Dengan begitu, muncul situasi ketergantungan
yang lebih dinamis (saling menguntungkan) dibanding dengan situasi
ketergantungan yang selama ini digambarkan oleh dependensi klasik.[21]
Teori
Sistem Dunia
Teori ini sering juga dinamakan “perspektif
sistem dunia” (the world-system perspective). Teori ini dipengaruhi oleh
teori dependensi. Teori ini menekankan pentingnya analisis totalitas dan
berjangka panjang. Oleh karena itu, unit analisis yang tepat adalah keseluruhan
dunia yang merupakan satu sistem yang terdiri dari tiga strata: sentral (inti;
core), semi pinggiran, dan pinggiran.[22]
Berbeda dengan teori dependensi yang menggambarkan dunia secara sederhana
dengan model dwi-kutub (Barat vs Dunia Ketiga), teori sistem dunia menjelaskan
dengan model tri-kutub (inti [sentral], semi pinggiran, dan pinggiran).[23]
Menurut Suwarsono[24], pada
awal perumusannya, teori sistem dunia (perspektif sistem dunia) banyak
mengambil dan menggunakan konsep dan kategori teoritis yang dikembangkan oleh
teori dependensi. Bahkan, oleh ilmuwan sosial, kedua teori ini diberlakukan
tidak berbeda. Padahal, di antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan itu
antara lain:
Pertama,
unit analisa. Teori sistem dunia unit analisanya ialah sistem dunia itu
sendiri. Sedangkan teori dependensi unit analisanya pada tingkat nasional.
Teori sistem dunia memindahkan perhatian dari persoalan karakteristik negara
menuju usaha pencirian karakteristik hubungan rasional antar negara. Tidak lagi
melihat kelas dan status sebagai bentuk pengelompokan dalam satu negara, tetapi
memandangnya sebagai bentuk pelapisan dalam sistem ekonomi dunia. Kedua,
berbeda dengan teori dependensi yang menggambarkan dunia secara sederhana,
yakni dwi-kutub, teori sistem dunia menjelaskan dengan model tri-kutub
(sentral, semi pinggiran, dan pinggiran). Ketiga, arah dan masa depan pembangunan.
Model tri-kutub Immanuel Wallerstein ini berbeda dengan model dwi-kutubnya
teori dependensi, yang menyatakan bahwa negara pinggiran akan selalu berada
dalam posisi terbelakang dan paling tinggi berada pada situasi pembangunan yang
bergantung. Teori sistem dunia memandang bahwa posisi negara itu tidaklah
permanen. Bisa terjadi mobilitas naik-turun: yang pinggiran bisa menjadi negara
semi pinggiran. Yang semi pinggiran bisa berubah status menjadi negara sentral.
Pun bisa terjadi penurunan status: dari negara sentral menjadi semi pinggiran,
bahkan pinggiran.[25]
Jadi, dunia ini, menurut teori sistem dunia, tergabung
dalam sebuah sistem hubungan yang dibagi menjadi tiga: negara inti (core;
sentral), negara semi pinggiran (semi periphery), dan negara pinggiran (periphery).
Negara inti (sentral) adalah seperti AS. Negara pinggiran adalah negara
berkembang, negara-negara terbelakang, tapi punya sumber daya alam yang
berlimpah.
Namun, status negara itu tidak bersifat
permanen. Ia bisa berpindah atau berubah status. Contohnya: Korsel sudah mulai
pindah dari negara semi pinggiran dan mungkin bisa menjadi negara inti.
Beberapa faktor yang bisa mengubah status negara itu antara lain: kemajuan
teknologi, kekuatan pasar, dan berbagai kebijakan yang bisa mengangkat
negaranya menjadi negara maju.[26]
Teori ini melihat betapa besar dan menentukan
pengaruh sistem dunia (sistem kapitalisme dunia) terhadap nasib satu negara
tertentu. Untuk lebih mudah memahami perbedaan teori sistem dunia dan teori
dependensi, bisa dilihat pada kolom berikut:
Elemen Perbandingan |
Teori Dependensi |
Teori (Perspektif) sistem dunia |
Unit analisa |
Negara-bangsa |
Dunia secara keseluruhan (sistem dunia) |
Metode kajian |
Historis-struktural: masa jaya dan surut negara-bangsa |
Dinamika sejarah sistem dunia: kecenderungan sekular dan irama
perputaran (siklus) |
Struktur teori |
Dwi kutub: sentral dan pinggiran |
Tri kutub: sentral, semi pinggiran, dan pinggiran |
Arah pembangunan |
Deterministik ketergantungan. (Dalam hubungan antara negara
Barat dengan negara Dunia Ketiga, selalu merugikan Dunia Ketiga dan
menguntungkan negara Barat. |
Terjadi kemungkinan mobilitas naik-turun (artinya tidak selalu
permanen negara Dunia Ketiga dalam posisi bergantung. Bisa jadi negara
pinggiran naik menjadi negara semi pinggiran atau bahkan negara inti. |
Arena kajian |
Negara pinggiran (negara Dunia Ketiga) |
Negara pinggiran, semi pinggiran, sentral (inti). Dan sistem
ekonomi dunia |
Dalam studi pembangunan, teori ini merupakan
aliran pemikiran yang lahir paling belakang.[27]
Setelah AS menjadi salah satu negara adidaya dunia, ilmu sosialnya mulai
tertarik mempelajari persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga. Inilah yang
melahirkan ajaran modernisasi sejak 1950-an. Tapi karena kegagalan
program-program modernisasi di AS pada 1960-an, menyebabkan lahirnya teori
neo-Marxis dependensi. Teori dependensi lahir dari Amerika Latin. Teori
dependensi mengkritik tajam ajaran (teori) modernisasi. Modernisasi dicap
sebagai rasionalisasi dari imperialisme.[28]
Namun, ajaran dependensi tak mampu
menghacurkan teori modernisasi. Sebaliknya, teori modernisasi pun tak dapat mengatakan
bahwa teori dependensi sebagai teori yang tidak sah. Maka, akibat pertentangan
kedua teori itulah muncul teori atau “pandangan” kritis pada tahun 1970-an.
Pandangan kritis atau teori itu dipelopori oleh Immanuel
Wallerstein.
Bagi sebagian orang, nama Immanuel Wallerstein mungkin terdengar asing. Namun
bagi mereka yang mempelajari isu-isu globalisasi, termasuk kajian wilayah, dan
teori-teori pembangunan, Wallerstein adalah nama besar. Bersama dengan Fernando
Cardoso dan Andre Gunder Frank, Wallerstein dikenal sebagai kritikus teori
modernisasi dalam studi pembangunan Dunia Ketiga. Cardoso dan Frank terkenal
dengan teori dependensi atau ketergantungan, sementara Wallerstein adalah
proponen utama teori sistem dunia. Hampir sama dengan teori dependensia, teori
sistem dunia (meskipun Wallerstein sendiri menolak
penggunaan istilah “teori” untuk menyebut pandangan sistem dunia-nya) ingin
menunjukkan pola pembagian kerja dalam sistem ekonomi kapitalis yang membuat
negara-negara berkembang selalu tergantung dengan negara-negara maju. Pengaruh
Marxisme terhadap teori ini sangat jelas. Selain itu, yang khas pada
Wallerstein adalah penekanannya pada pendekatan sejarah global atau total dalam
cara memahami bagaimana sistem dunia kapitalisme bekerja.[29]
Immanuel Wallerstein dengan gagasan barunya
yang radikal menunjukkan bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tata
ekonomi-kapitali dunia (TEKD) ini yang tak dapat dijelaskan oleh kedua teori
(teori modernisasi maupun teori dependensi), baik yang klasik maupun yang baru.
Beberapa contoh kasus itu antara lain:
Pertama,
negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan
Singapura) terus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Fakta itu membuat
semakin sulit menggambarkan keajaiban ekonomi negara-negara tersebut sebagai
sekedar “hasil kerja imperialisme”, pembangunan yang bergantung”, atau
“ketergantungan dinamis”. Karena, negara industry di Asia Timur itu mulai
memberi tantangan nyata terhadap kekuatan ekonomi AS.[30]
Kedua,
contoh kasus lain: adanya krisis di berbagai negara sosialis. Perpecahan RRC
dan Uni Soviet, stagnasi ekonomi di banyak negara sosialis, dan perkembangan
perlahan, namun pasti, dari keterbukaan negara sosialis untuk menerima
investasi modal asing (yang bersifat kapitalistik). Sudah banyak ilmuwan yang
mulai memikirkan kembali, bahkan meragukan, bahwa kebijakan pemutusan hubungan
dan pengisolasian negara Dunia Ketiga dengan tatanan ekonomi-kapitalis dunia
sebagai model pembangunan yang tepat.[31]
Dalam rangka untuk memikirkan ulang dan
menganalisa persoalan-persoalan krisis yang muncul dalam tata ekonomi dunia,
Wallerstein dan pengikutnya mengembangkan satu perspektif (teori[32])
pembangunan baru, yang mereka sebut “the world-system perspective” (perspektif
sistem dunia), atau dapat juga disebut sebagai “ajaran sistem ekonomi-kapitalis
dunia”.
Kesimpulan
terhadap tiga teori
Banyak pengamat dan peneliti bidang studi
pembangunan memperkirakan bahwa bidang kajian pembangunan sedang bergerak ke
arah sintesa. Portes (1980:224), sebagaimana dikutip Suwarsono, menyatakan
bahwa tersedia kemungkinan terjadinya konvergensi antara perspektif
modernisasi, dependensi, dan sistem dunia. Bahkan, Hermassi (1997:225), kata
Suwarsono, menyarankan bahwa berpedoman pada eklektisme disiplin lebih baik
ketimbang bergantung secara berlebihan pada salah satu teori atau paradigma
pembangunan.[33]
Singkatnya, pemerhati sistem ekonomi tak lagi memaksakan keberlakuan satu tesis
dari salah satu teori saja.
Tapi, perlu diketahui, konvergensi belum merupakan
konvergensi yang utuh. Di samping ada kesamaan beberapa elemen antara ketiga
teori pembangunan itu, masing-masing aliran teori masih tetap setia memegang
ciri utama masing-masing. Teori modernisasi masih tetap memperhatikan hubungan
antara tradisionalisme dan modern, tapi sekarang lebih melihat peran positif
nilai tradisional dibanding sebelumnya. Teori dependensia masih menguji
hubungan antara ketergantungan dan pembangunan, sekalipun sekarang lebih
memperhatikan akibat positif pembangunan dibanding sebelumnya. Teori sistem
dunia masih mengamati kecenderungan siklis dan analisa global dari sistem
ekonomi kapitalis dunia dan akibat-akibatnya pada daerah gegrafis yang lebih
mikro (nasional, regional, dan lokal), sekalipun sekarang perhatian pada daerah
geografis yang lebih mikro semakin menguat. Artinya, ketiga teori itu tidak
begitu saja melebur menjadi satu. Tapi, masing-masing menghasilkan karya
penelitian baru yang lebih bermanfaat.[34]
Teori
Konflik: Karl Marx dan perubahan sosial perspektif Marxisme
Menurut
Marx, jika tidak ada kelas dalam masyarakat, tak akan ada konflik kelas.[35]
Apa itu kelas dalam masyarakat? Berikut penjelasan tentang pemikiran Karl Marx
tentang kelas dan pokok-pokok pikiran Marx lainnya yang penting dipahami dalam
rangka kajian tentang proses perubahan sosial. Penjelasan di bawah ini saya
rujuk sebagian dari Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Pemikiran Karl Marx:
Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999).[36]
Agar tak disebut plagiat, saya jelaskan bahwa, banyak penjelasan Magnis berikut
ini sengaja saya tuliskan sesuai dengan penulisan Magnis sendiri. Ini bertujuan
agar memberikan pemahaman yang benar, dan agar saya tak keliru menjelaskannya.
a. Teori
Kelas
Karl
Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sejarawan, pembuat teori politik, sosiolog,
jurnalis dan sosialis revolusioner asal Jerman. Lahir di Trier pada 5 Mei 1818.
Ia belajar hukum dan filsafat Hegelian.
Seluruh
pemikiran Karl Marx, kata Magnis, berdasarkan praanggapan bahwa pelaku utama
dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Kita telah melihat bahwa
keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya.
Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas.[37]
Menurut
Karl Marx, pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu
tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Menurut Marx, dalam setiap masyarakat
terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas-kelas atas
dan kelas-kelas bawah. [38]
b.
Individu, Kepentingan Kelas, dan Revolusi[39]
Menurut
Marx, jelas Magnis-Suseno, pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan
tak ada hubungannya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing kelas.
Pertentangan antara mereka bukan karena para buruh iri atau para majikan egois,
melainkan karena kepentingan dua kelas itu bertentangan secara objektif. “Menurut
Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan
kepentingannya ditentukan oleh situasi objektif,” kata Magnis-Suseno.
Kelas
majikan mengusahakan laba sebanyak mungkin bukan karena mereka rakus, tapi
hanya dengan cara itulah mereka bisa bertahan dalam persaingan di pasar bebas.
Salah satu cara mereka ialah menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya
serendah mungkin.
Di
sisi lain, kata Magnis-Suseno, kelas buruh berkepentingan untuk mendapatkan
upah yang sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja, dan untuk menguasai
sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka, yang dengan demikian untuk mengambil
alih pabrik tempat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik.
Jadi,
hubungan antara dua kelas itu, dilihat dari perspektif Marx, tidaklah stabil. Ketika
kelas atas berkurang, hubungan sosial menjadi labil: kelas buruh, jelas
Magnis-Suseno, secara otomatis semakin mampu memenangkan kepentingan mereka,
sehingga akhirnya terjadi revolusi dan hak milik pribadi dapat mereka hapuskan.
Karena
kepentingan kedua kelas itu secara objektif bertentangan, maka, kata
Magnis-Suseno, seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau memecahkan
secara musyawarah konflik-konflik yang mungkin timbul, agar kepentingan umum
didahulukan daripada kepentingan golongan dan sebagainya, tidak mempan.
Masalahnya bukan di situ. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak
kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya ada
pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan perubahan sikap yang mengakhiri
konflik kelas, melainkan perubahan struktur kekuasaan ekonomis.[40]
Sikap
dasar kedua kelas itu pun berbeda terhadap perubahan sosial. “Kelas atas,” kata
Magnis-Suseno, “pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas
buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan
revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa. Ia hidup dari pekerjaan kelas bawah.
Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status
quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat
mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu.”[41]
Karena
mereka tertindas, kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan sosial. Setiap
perubahan, bagi kelas bawah, adalah merupakan pembebasan. Kata Marx dalam Manifesto
Komunis, proletariat paling-paling dapat kehilangan belenggu-belenggunya.
Kepentingan objektif terakhir kelas-kelas bawah adalah revolusi, pembongkaran
kekuasaan kelas atas.[42]
Bagi
Marx, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui
revolusi. Kelas atas, karena ia kelas atas, berkepentingan untuk mempertahankan
kekuasaan. Maka, kelas atas tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem
kekuasaan, karena perubahan itu niscaya mengakhiri peranannya sebagai kelas
atas. Karena itu, sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan
jalan kekerasan, melalui revolusi.[43]
“Itulah
sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk memperdamaikan
kelas-kelas yang saling bertentangan, mengapa mereka bersitegang bahwa
reformasi, yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas bawah di dalam sistem sosial
yang sudah ada, tidak mungkin. Marxisme yakin bahwa semua reform dan usaha
perdamaian antara kelas atas dan kelas bawah hanya menguntungkan kelas atas
karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri,” jelas
Magnis-Suseno.[44]
c.
Negara Kelas
Menurut
Marx, jelas Magnis-Suseno, semua sistem ekonomi terdapat kelas-kelas: kelas
bawah dan kelas atau kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi
itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx
adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya dikuasai
secara langsung atau tidak langsung oleh kelas (-kelas) yang menguasai bidang
ekonomi.[45]
Karena
itu, lanjut Magnis-Suseno, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas
masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat
dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi, negara
pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan
kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai
perselisihan-perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta
mengusahakan kesejahteraan umum. Negara tidak netral, melainkan selalu
berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara... bertujuan untuk
mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap
kelas yang dikuasai secara paksa.”[46]
Oleh
karena itu, jelas Magnis-Suseno, kebanyakan kebijakan negara akan menguntungkan
kelas-kelas atas. Negara dapat saja bertindak demi kepentingan seluruh
masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi, menyelenggarakan
persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal. Tetapi,
tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat
mempertahankan diri apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan.
Kalau sekali-sekali negara mengadakan perbaikan-perbaikan sosial, hal itu
adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk membelokkan perhatian rakyat dari
tuntutan-tuntutan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak
atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat
untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.[47]
Magnis-Suseno
menerangkan, perspektif negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya
menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil dihukum
lebih keras daripada koruptor besar, dan mengapa persentase orang kecil dalam
penjara lebih besar daripada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering
menyaksikan bahwa orang kecil dikalahkan. Negara itu negara hukum, tetapi orang
kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga orang besar terlindung,
tetapi orang kecil tidak.[48]
Karena
negara dianggap selalu merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan
kelas-kelas penindas, lanjut Magnis-Suseno, maka negara dalam perspektif Marx
termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak
mengharapkan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara
adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara
memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka “sebagai
kepentingan umum”.[49]
d.
Ideologi
Magnis-Suseno
menjelaskan, mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum yang sebenarnya
merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh
Marx disebut sebagai ideologis. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu
keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang
menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena
memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki
legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu sumbangan terpenting teori Marx
terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.[50]
Beberapa
contoh pendekatan ideologis yang diberikan Marx, adalah klaim negara bahwa ia
mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa.
Begitu pula tuntutan untuk taat kepada hukum dianggap ideologis, karena
tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum melayani
kepentingan golongan atas, sedangkan orang kecil sulit memanfaatkan hukum.[51]
Kapitalisme,
jelas Magnis-Suseno, membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas
ideologis karena sekaligus menutup-nutupi bahwa sistem kapitalisme
menguntungkan para pemilik modal. Pertama, kapitalisme mengklaim bahwa ia adalah
sistem sosial ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese, yang memperlakukan
setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapa pun yang mau
berusaha untuk maju dan memberi imbalan atas prestasi. Tetapi, kapitalisme
mengabaikan kenyataan bahwa, karena anggota masyarakat tidak sama kekuatannya,
kesamaan formal tidak dapat dipergunakan oleh mereka yang lemah. Apabila yang
kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang
lemah. Begitu pula buruh. Ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima
pekerjaan yang ditawarkan. Tetapi, karena ia hanya dapat hidup apabila ia
bekerja, maka ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.[52]
Kritik
ideologi Marx lebih luas jangkauannya. Menurut Marx, kata Magnis-Suseno, semua
sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia bersifat ideologis. Yang
paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurut Marx, agama adalah
candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena
tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat.
Maka, rakyat kecil bukannya memperjuangkan perbaikan nasib mereka, tetapi malah
bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, hal yang justru
menguntungkan kelas-kelas yang menindas.[53]
“Begitu
pula pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat, dan
seni menunjang kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya,
menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia
bersedia kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Begitu pula tuntutan moral
agar kita bersikap sepi ing pamrih, tidak mau menang sendiri, secara
efektif dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari
ketertindasannya,” terang Magnis-Suseno.[54]
Salah
satu kesimpulan, lanjut Magnis-Suseno, yang dapat diambil dari kritik ideologi
Karl Marx adalah bahwa kita sebaiknya curiga kalau penguasa mengkotbahi
masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka.
Sering tanpa disadari, kotbah-kotbah macam itu sarat dengan pamrih, alias
ideologis.[55]
e.
Sejarah
Menurut
Marx, Magnis-Suseno menerangkan, motor perubahan dan perkembangan masyarakat
adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial merupakan
aktor sejarah yang sebenarnya. Jadi, yang menentukan jalannya sejarah bukan
individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing
memperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan mereka bukan apa yang kebetulan
diminati oleh orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara objektif oleh
kedudukan kelas masing-masing dalam proses produksi.[56]
f.
Basis dan Bangunan Atas (superstruktur kesadaran)
Masih
merujuk pada Magnis-Suseno, Marx membagikan lingkup kehidupan manusia dalam dua
bagian besar: “dasar nyata” atau “basis” dan yang lain adalah “bangunan atas”.
Dasar atau basis itu adalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan
bangunan atas adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual.”
Kehidupan bangunan atas (super-structure) ditentukan oleh kehidupan
dalam basis (basic-structure).[57]
Pertama, Basis (basic-structure). Basis
ditentukan oleh dua faktor: tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan
produksi. Tenaga-tenaga produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh
masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Tenaga produktif terdiri dari:
alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing, dan
pengalaman-pengalaman dalam produksi. Sedangkan hubungan-hubungan produksi
adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat
dalam proses produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja.[58] Menurut
Marx, jelas Magnis, hubungan-hubungan produksi ditentukan oleh tingkat
perkembangan tenaga-tenaga produktif: “Dalam produksi sosial kehidupan mereka,
manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung
pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan
tertentu tenaga-tenaga produktif materialnya.”[59]
Kedua, Bangunan Atas (super-structure).[60] Bangunan
atas (super-structure) terdiri dari dua unsur: tatanan institusional dan
tatanan kesadaran kolektif, atau dalam bahasa Marxisme: “bangunan atas
ideologis”. Yang dimaksud dengan tatanan institusional, terang Magnis-Suseno,
adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar
bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem
kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara.
Kita akan berfokus pada negara, termasuk hukum.
Sedangkan
tatanan kesadaran kolektif, lanjut Magnis-Suseno, memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma
dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual
kepada usaha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat,
moralitas masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dan sebagainya.[61]
Mekanisme
Perubahan Masyarakat Menurut Teori Marx
Pokok
teori Marx, jelas Franz Magnis-Suseno, ialah: perubahan masyarakat merupakan
akibat dinamika dalam basis, bukan dalam bangunan atas. Jika dasar ekonomi berubah, maka seluruh
bangunan atas raksasa itu dijungkirbalikkan dengan lebih cepat atau lambat.
Menurut
Marx, jelas Magnis-Suseno, negara jangan diharapkan menjadi aktor perubahan
sosial (agen of change). Negara, dalam pandangan Marx hanyalah
pendukung kekuasaan para pemilik. Oleh karena itu, tidak mungkin negara
mengadakan perubahan yang sungguh-sungguh “menggigit”. Tidak mungkin
kelas-kelas atas memotong dahan di mana mereka duduk.[62]
Perubahan
sosial, menurut Marx, mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan
perlahan-lahan. Karena kelas-kelas atas, berdasarkan kepentingan, berupaya
menentang setiap perubahan. Perubahan bisa mengancam posisi kelas atas. “Maka
perubahan baru dapat terjadi apabila kelas-kelas bawah sudah cukup kuat untuk
memaksakannya ke kelas-kelas atas. Itulah revolusi,” kata Magnis-Suseno.[63]
Sejarah,
lanjut Magnis, dimengerti sebagai pergantian terus-menerus antara
keadaan-keadaan yang stabil dan tidak berubah yang dapat berlangsung lama dan
keadaan-keadaan kegoncangan dan revolusi yang berlangsung dalam waktu singkat
dan menghasilkan struktur-struktur kekuasaan yang baru.
Marx
berpendapat, kata Magnis, perjuangan kelas adalah motor kemajuan sejarah. Jika struktur
kekuasaan ekonomi (basis) dihancurkan, maka superstruktur (bentuk negara,
kepercayaan-kepercayaan, serta sistem nilai masyarakat) akan berubah. Kekuatan
untuk menjungkirbalikkan sistem kekuasaan yang ada diperoleh oleh kelas-kelas
bawah melalui perjuangan kelas yang membutuhkan jangka waktu panjang sampai
mereka dapat mematahkan kekuasaan kelas-kelas atas. Semula mereka tentu
ditindas dan gagal. Tetapi, lama-kelamaan daya juang kelas-kelas bawah semakin
besar, sehingga akhirnya mereka dapat mengalahkan kelas-kelas atas. Kemenangan
itulah, kata Magnis, yang melahirkan struktur masyarakat yang formasinya lebih
tinggi.[64]
Daftar Pustaka
Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosial:
Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, 1994
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio
Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan
Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Sugiono,
Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan
Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi). Jakarta: LP3ES, 2000
[1] Lebih jelas, lihat Suwarsono dan Alvin Y. So,
Perubahan Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi), Jakarta: LP3ES, 2000, h. 9.
[2] Istilah
"Dunia Ketiga" muncul pada masa Perang Dingin untuk menyebut
negara-negara yang tidak memihak dengan NATO maupun Blok Komunis. Amerika
Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Eropa Barat dan sekutunya mewakili Dunia
Pertama. Sedangkan Dunia Kedua diwakili oleh Uni Soviet, Tiongkok,
Kuba, dan sekutunya. Istilah ini memungkinkan negara-negara di dunia dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan politik dan ekonominya. Sejak jatuhnya Uni
Soviet dan akhir Perang Dingin, istilah Dunia Ketiga semakin jarang digunakan.
Dunia Ketiga digantikan dengan negara berkembang, negara terbelakang, atau
Selatan Global. Konsepnya sendiri kedaluwarsa karena sudah tidak mencerminkan
situasi politik atau ekonomi dunia saat ini. Definisi Dunia Ketiga
biasanya mencakup negara-negara yang pernah mengalami kolonisasi di Afrika,
Amerika Latin, Oseania, dan Asia. Dunia Ketiga juga kadang dianggap sama dengan
anggota Gerakan Non-Blok. Menurut teori ketergantungan yang dipaparkan oleh
Raúl Prebisch, Walter Rodney, Theotonio dos Santos, dan Andre Gunder Frank,
Dunia Ketiga dikelompokkan sebagai negara "pinggiran yang didominasi oleh
negara "inti" dalam pembagian ekonomi sistemik dunia. Beberapa negara
di Blok Komunis seperti Kuba sering dicap "Dunia Ketiga". Karena
banyak negara Dunia Ketiga yang ekonominya miskin dan belum terindustralisasi,
"Dunia Ketiga" menjadi stereotipe untuk menyebut negara miskin. Namun
demikian, "Dunia Ketiga" juga dipakai untuk menyebut negara industri
baru seperti Brasil, India, dan Tiongkok yang kini bagian dari BRIC. Ahli
demografi, antropolog, dan sejarawan Prancis Alfred Sauvy, menciptakan istilah
Dunia Ketiga (Tiers Monde) dalam sebuah artikel di Majalah L'Observateur,
14 Agustus 1952, untuk menyebut negara-negara yang tidak memihak kepada blok
Soviet Komunis atau blok NATO Kapitalis pada masa Perang Dingin. Istilah ini
mengacu pada Pilar Ketiga, rakyat jelata Prancis yang menentang pendeta (Pilar
Pertama) dan bangsawan (Pilar Kedua) sebelum dan selama Revolusi Prancis.
(lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Ketiga).
[3] Ibid., h.
10.
[4] Bandingkan dengan teori konflik dalam Marxisme.
[5] Lihat Suwarsono dan Alvin
Y. So,
Op. Cit., h. 36.
[6] Ibid., h.
53.
[7] Walt Whitman
Rostow (7 Oktober 1916 – 13 Februari 2003) adalah seorang ahli ekonomi,
profesor dan politikus yang bekerja kepada National Security Advisor Amerika
Serikat pada masa pemerintahan Presiden Johnson. Ia berperan penting dalam
pembentukan kebijakan Amerika Serikat di Asia Tenggara selama tahun 1960 dan
dia merupakan musuh dari komunis. Ia bekerja sebagai penasihat utama selama
pemerintahan John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson. Ia mendukung intervensi
militer Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Ia juga dikenal atas Teori 5
Tahap Pembangunan Ekonomi yang juga dikenal dengan Teori Tahap Pembangunan W.W.
Rostow. (https://id.wikipedia.org/wiki/Walt_Whitman_Rostow).
[8] Lihat https://www.slideshare.net/Indrutt/hubungan-teori-rostow-dengan-pelaksanaan-pembangunan-indonesia-masa. Baca juga tentang nasib Industri Pesawat Terbang
Nasional (IPTN) yang bankrut pada 1997 (https://tirto.id/pt-di-dan-kisah-jatuh-bangun-industri-pesawat-terbang-nasional-cJ3S).
[9] Lihat Suwarsono
dan Alvin Y. So, Op. Cit., h. 16-17.
[10] Pengertian sederhananya: teori dependensi menganggap
dalam hubungan ketergantungan, surplus ekonomi mengalir dari negara Dunia
Ketiga ke negara Barat. Negara Dunia Ketiga mengekspor bahan mentah dengan
harga murah, sementara negara Barat mengekspor barang mewah yang menyedot
banyak devisa negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga bahkan harus berutang
terhadap luar negeri untuk dapat mengimpor barang modal untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan juga untuk membangun industri substitusi impor
(ISI). Dalam kondisi seperti itu, tentu negara Dunia Ketiga akan tetap dalam
ketergantungan. Kira-kira seperti itu yang saya pahami dari teori dependensi.
Initinya, teori dependensi adalah kritik terhadap teori modernisasi.
[11] Tentang hegemoni budaya, baca Nezar Patria dan Andi
Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999; Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan
Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999; Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
[12] KEPBBAL adalah
singkatan dari Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin (ECLA/United nation
Economic Commission for Latin America).
[13] Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit., h. 95.
[14] Ibid., 129-130.
[15] Ibid., h.131.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h.134.
[20] Ibid.
[21] Ibid., h.136.
[22] Ibid., h. 242.
[23] Ibid., h. 189.
[24] Ibid., h. 186.
[25] Ibid., h. 189-190.
[26] Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=OBYgbnYspDw. Atau untuk lebih
luas pemahaman tentang Teori Sistem Dunia, lihat Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan
Sosial dan Pembangunan (Edisi Revisi), Jakarta: LP3ES, 2000, h. 165-239.
[27] Suwarsono dan
Alvin Y. So, Op. Cit., h.241.
[28] Ibid., h.165.
[29] Lihat http://psdr.lipi.go.id/sudut-pandang/globalisasi-dan-sistem-dunia-immanuel-wallerstein.html
[31] Ibid.
[32] Tapi, sebenarnya,
Wallerstein menolak penggunaan istilah ‘teori’ untuk menyebut “pandangan sistem
dunia”-nya (lihat http://psdr.lipi.go.id/sudut-pandang/globalisasi-dan-sistem-dunia-immanuel-wallerstein.html)
[33] Suwarsono dan Alvin Y. So, Op. Cit.,
h. 246.
[34] Ibid., h. 247-248.
[35] Lihat Tom
Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 155.
[36] Lihat Franz
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
[37] Ibid., h. 110.
[38] Ibid., h. 112-113.
Magnis-Suseno juga menjelaskan, tentang keterasingan dalam sistem
kapitalisme. Ada dua kelas dalam masyarakat kapitalis: kelas buruh dan kelas
majikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi atau alat-alat kerja:
pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah). Kelas buruh melakukan
pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja,
mereka terpaksa menjual tenaga kepada kelas majikan. Dengan demikian, hasil
kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan
milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan (h. 113-114).
[39] Ibid., h. 116-119.
[40] Ibid., 117-118.
[41] Ibid., h. 118.
[42] Ibid.
[43] Ibid., h. 119.
[44] Ibid.
[45] Ibid., h. 120
[46] Ibid.
[47] Ibid., h. 120-121.
[48] Ibid., h. 121.
[49] Ibid.
[50] Ibid., h. 121-122.
[51] Ibid., h. 122.
[52] Ibid., h. 122-123.
[53] Ibid., h. 123.
[54] Ibid., h.
124.
[55] Ibid., h. 125.
[56] Ibid.
[57] Ibid., h. 142.
[58] Ibid., h.
143.
[59] Ibid., h. 144. Secara
lengkap penjelasan Magnis-Suseno: Struktur kelas masyarakat bukan sesuatu
yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntutan efisiensi produksi, jadi
oleh tingkat perkembangan perkembangan tenaga-tenaga produktif. Bochenski
menjelaskan maksud Marx sebagai berikut: “Kalau misalnya sekelompok orang
menangkap ikan dari sebuah perahu, dengan sarana-sarana tertentu, misalnya
dengan jala, satu orang harus memberi komando, yang lain memegang kemudi dan
seterusnya. Apabila pola alat kerja dan cara produksi sudah ada,
hubungan-hubungan produksi tertentu terbentuk dengan niscaya dan tidak
tergantung dari kemauan orang. Maka, yang pertama menentukan hubungan-hubungan produksi
atau struktur kelas sebuah masyarakat adalah tenaga-tenaga produktif. Dalam
teks di atas, Marx menegaskan bahwa hubungan-hubungan tidak tergantung pada
kemauan orang, melainkan pada tuntutan objektif produksi. Dengan demikian, Marx
merasa dapat menganalisis perkembangan masyarakat secara ilmiah. Tetapi, lanjut
Magnis, apakah alat-alat kerja sendiri bukan ciptaan manusia? Kita akan segera
membahas pertanyaan ini. Untuk sementara cukup dicatat bahwa alat-alat kerja
dikembangkan bukan menurut selera manusia, melainkan di bawah tekanan untuk
berproduksi dengan semakin efisien. Jadi, ada faktor objektif juga. Tingkat
perkembangan alat-alat kerja tidak tergantung pada kesewenangan manusia,
melainkan mengikuti logika internal insting manusia untuk mempertahankan diri.
Dalam arti itu, perkembangan alat-alat kerja dan tenaga-tenaga produktif memang
mutlak (h. 144-145).
[60] Ibid., h. 145-147.
[61] Lihat juga Tom Campbell dalam bukunya Tujuh Teori Sosial.
Tom Campbell menjelaskan kurangnya penentuan manakah faktor-faktor yang
dianggap sebagai bagian dari basis ekonomi dan manakah yang merupakan bagian
dari superstruktur. Superstruktur
dianggap tak bedaya terhadap basis. Ada juga masalah berat dalam memaparkan
basis ekonomi tanpa acuan pada latar belakang legal dan politisnya. Hal ini
khususnya menyangkut institusi hak milik, sebuah konsep pokok yang dirumuskan
secara legal dan politis yang tak dapat dipisahkan dari pemaparan mengenai
basis ekonomi kapitalisme, karena tanpa hukum milik pribadi tak akan ada pemilikan
pribadi atas sarana produksi. Bagaimana yang terakhir ini dapat menciptakan
yang pertama?
[62] Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., h. 147-148.
[63] Ibid., h.
148-149.
0 komentar:
Posting Komentar