-
Oleh: Nani Efendi
Di banyak tempat, saat ini, kata Fahri Hamzah, sopan santun (dalam berbicara), sudah mengalahkan kebenaran. Seharusnya tidak demikian. Kebenaranlah yang utama. Jangan kebenaran dihalangi oleh alasan orang harus menjaga sopan santun.
Jadi, janganlah karena alasan menjaga sopan santun, kebenaran menjadi tak tersampaikan. Kebenaran jadi terabaikan dan terinjak-injak hanya karena takut jika disampaikan nanti dianggap tidak sopan dan banyak orang akan tersinggung. Ini jelas prinsip yang sangat keliru. Sopan santun itu berhubungan dengan etiket (kepantasan). Sedangkan kebenaran berhubungan dengan etika (substansial). Sopan santun itu tidak mutlak. Ia terikat dengan ruang dan waktu.
Yusril pernah mencontohkan perbedaan etika dengan etiket. Yusril Ihza Mahendra menyamakan "etika kepantasan" dengan etiket, dan "etika substansial" dengan etika. Etiket bersifat relatif dan tidak jelas batasan-batasannya. Etiket sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etika. Bahkan, norma hukum yang bertentangan dengan etika substansial, dianggap norma yang tidak berlaku.
Soal etika substansial, Yusril menyebut norma fundamental yang dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali.
Yusril kemudian mencontohkan ketika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah. Gaya bahasa, tata cara, dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan etiket (kepantasan) orang Sunda yang halus lembut. Tapi, tamu orang Batak itu bukanlah orang jahat. Karena begitulah tata etiket mereka. Lain halnya jika tamu orang Batak itu pulang, diam-diam mengantongi sendok garpu tuan rumah. Itu baru bisa dikatakan tamu orang Batak itu jahat. Karena, pencurian adalah pelanggaran norma etika (seperti disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa).
Jadi, soal etika kepantasan bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang, menurut Yusril, tergantung selera untuk mengatakan ini pantas atau tidak pantas.
Oleh karena itulah, kata Rocky Gerung, "Sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tak memerlukan sopan santun. Dalam politik, pikiran yang disopan-santunkan adalah sebuah kemunafikan."
Nani Efendi, Alumnus HMI dan Kritikus Sosial
0 komentar:
Posting Komentar