alt/text gambar

Jumat, 18 Agustus 2023

Topik Pilihan: , , , , ,

MASIH RELEVANKAH DEMONSTRASI DALAM POLITIK KONTEMPORER?


Oleh: NANI EFENDI


Menurut Gabriel Almond, ilmuwan politik Amerika, dalam keadaan sistem politik totaliter, di mana saluran-saluran demokrasi ditutup, maka demonstrasi adalah salah satu cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi. Jadi, demonstrasi adalah salah satu cara menyampaikan kritik terhadap kekuasaan. 

Aksi demonstrasi itu bersifat konkret. Artinya, warga negara benar-benar menunjukkan diri secara nyata dengan sikap protes terhadap kekuasaan. Oleh karenanya, cara ini dinamakan juga “unjuk rasa”. Unjuk rasa artinya “menunjukkan perasaan” secara fisik (dengan pasang badan) di hadapan mereka yang memegang kekuasaan, bukan dengan bersembunyi di balik akun-akun palsu di media sosial.

Demonstrasi di era digitalisasi

Sistem digitalisasi yang sudah canggih saat ini tak mampu menggantikan peran unjuk rasa dengan turun langsung ke jalan. Sistem digitalisasi hanyalah kemajuan dalam alat dan cara saja. 

Kata Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Anak Semua Bangsa, (h. 338-339), “Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri."

Kalaulah orang bisa mengkritik lewat teknologi digital di dunia maya, tetap tak bisa mengalahkan atau menggantikan cara konkret aksi jalanan yang bernama demonstrasi. Mengapa? Karena di dunia maya masih bisa dimanipulasi oleh penguasa. Penguasa bisa gunakan peran mesin atau para buzzer untuk meng-counter. Satu orang buzzer mungkin bisa memiliki puluhan bahkan ratusan akun palsu. Bagaimana mungkin kita bisa terlalu percaya dengan pergolakan isu di dunia maya. 

Jadi, demonstrasi dalam sistem demokrasi tak akan pernah usang sampai kapan pun. Ia akan tetap relevan di setiap zaman. Yang canggih itu alat. Manusia tetaplah seperti dulu: makhluk yang berpikir dan punya perasaan. Dan juga nafsu.

Lord Acton, seorang Inggris yang menggeluti bidang sejarah, mengatakan, "Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely; kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang absolut sudah pasti korup." Dan dalam Al Qur' an juga dijelaskan, bahwa orang-orang yang melihat dirinya serba cukup, cenderung berbuat sewenang-wenang. Firman Allah: "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya serba berkecukupan." (Q.s. Al Alaq/96:6-7)

Kekuasaan, menurut filsuf Jerman Jurgen Habermas (tokoh teori kritis Mazhab Frankfurt), bukan hanya untuk dilegitimasi, tapi harus dirasionalisasi dan dikritisi.

Jadi kalau ada warga negara dalam sistem pemerintahan demokrasi yang tak menyukai cara menyampaikan koreksi, protes, aspirasi, dan lain sebagainya melalui demonstrasi, dan mengatakan demonstrasi itu adalah cara-cara yang sudah kuno dan ketinggalan zaman, maka itu sama saja ia ingin membiarkan penguasa berbuat semaunya. 

Dan mental masyarakat yang seperti itulah yang disukai penguasa yang korup dan otoriter. Penguasa korup dan otoriter sangat menyukai kalau ada warga negara yang tak suka lagi turun ke jalan untuk protes. Sehingga mereka bisa memerintah dengan sewenang-wenang. Dan memang mereka yang memegang kekuasaan cenderung konservatif dan anti kritik. 

"Revolusioner yang paling radikal sekali pun,” kata Hannah Arendt, teoritikus politik Jerman, “akan berubah menjadi seorang konservatif satu hari setelah revolusi usai." Maksudnya: setelah memperoleh tahta, sang penguasa yang dulunya kritis dan radikal memperjuangkan perubahan akan berubah menjadi anti kritik dan berupaya mempertahankan kekuasaannya—ia akan berupaya melanggengkan kemapanan atau status quo. Anti dengan kritik dan perubahan. Karena, secara logika, menurut teori Marxis, kelas atas tidaklah mungkin rela memotong dahan tempat mereka berdiri.

Oleh karena itu, bagi revolusioner sejati, tak ada kata akhir untuk revolusi atau perjuangan untuk keadilan dan kebenaran. Semuanya dalam "proses menjadi" atau berdialektika. Tidak ada titik final dari suatu perubahan. Perubahan bukanlah sebuah titik beku yang akan tercapai melalui revolusi yang bersifat temporer. Walaupun, perjuangan untuk perubahan itu—menurut Franz Magnis-Suseno—tidaklah mesti selalu dengan kekerasan. Tapi perubahan tetaplah harus diperjuangkan.

Demonstrasi mahasiswa dan perubahan sosial di Indonesia

Dalam sejarah Indonesia, ada beberapa kali gerakan besar demonstrasi mahasiswa. Dan gerakan itu mengubah jalannya sejarah Indonesia. Pada 1966, demonstrasi besar mahasiswa Indonesia yang berhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), menentang “Demokrasi Terpimpin” Bung Karno dan tuntutan pembubaran PKI. Aksi mahasiswa itu pun berujung dengan lengsernya Bung Karno dari jabatannya sebagai presiden.

Tercatat dalam sejarah, tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa di antaranya Arief Budiman dan Soe Hok Gie. Mahasiswa Gie bahkan menulis buku yang cukup melegenda: Catatan Seorang Demonstran. 

Francois Raillon (peneliti Prancis) dalam bukunya Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, merekam dengan baik pergolakan demonstrasi mahasiswa Indonesia pada 1966.

Pada 15 Januari 1974, di masa Orde Baru, terjadi peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari): para mahasiswa memutuskan turun ke jalan untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu. Aksi ini juga memprotes tingginya harga kebutuhan pokok dan perilaku korupsi ketika itu.

Pada 1998, terjadi lagi dalam sejarah Indonesia demonstrasi besar mahasiswa yang berujung mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden. Dan reformasi terjadi. Pramoedya Ananta Toer memuji gerakan mahasiswa ’98. Kata Pram, “Waktu Orde Baru, tidak ada yang menghendaki perbaikan. Semua tiarap membenarkan Soeharto. Termasuk kaum intelektual dengan gelar berlapis-lapis juga membenarkan Harto. Ini mahasiswa menentang. Itukan sudah hebat itu. Itu saja sudah hebat.”

Jadi, perubahan di Indonesia banyak dipelopori oleh angkatan muda terpelajar. Mengapa bukan buruh, sebagaimana teori Marx? Karena buruh, menurut Pram, terikat dengan penghidupan dan majikannya. Sementara mahasiswa masih bebas merdeka.

Tentang demonstrasi, Goenawan Mohamad pernah menulis: ada mitos yang mengendap dalam ingatan kolektif kita: jika mahasiswa turun ke jalan, berarti keadaan sosial-politik gawat, dan mahasiswa merupakan suara moral untuk mengingatkan, kalau bukan untuk memperbaiki.

NANI EFENDIAlumnus HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial



0 komentar:

Posting Komentar