Oleh: NANI EFENDI
Neraka adalah orang lain merupakan pemikiran dari Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis abad 20. Sartre adalah
filsuf eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme ialah filsafat tentang
kebebasan manusia. Pemikiran Sartre cukup luas. Tapi, satu di antara pemikirannya
yang cukup terkenal adalah "hell is the others; neraka adalah orang
lain". Atau "orang lain adalah neraka". Apa maksudnya?
Kebebasan dan tatapan mata
orang lain
Karena ada orang lain, manusia menjadi
tak bebas berperilaku sesuka hatinya. Orang lain membuat kita menjadi tak bebas
lagi melakukan banyak hal yang kita senangi. Sartre―sebagaimana dijelaskan
secara sederhana oleh Fahruddin Faiz―menganalogikan dengan lubang kunci pada
pintu kamar. Kalau kita sendirian di kamar, kita bisa melakukan apa saja dengan
bebas. Bebas tak pakai baju, bebas goyang-goyang, joged-joged, dan melakukan
apa saja yang kita mau.
Tapi begitu kita sadar bahwa ada
orang yang mengintip kita lewat lubang kunci pintu kamar, kita langsung berubah
dan tak berani lagi berbuat suka-suka. Takut dilihat orang yang membuat kita
jadi malu. Jadi, ketika ada orang menatap kita, kita berubah: tak bebas lagi.
Kita jadi tak setuju dengan keinginan diri sendiri dan berusaha mencocokkan
dengan apa yang diinginkan dan disukai oleh orang lain. Di saat seperti itulah
orang lain menjadi neraka bagi kita. Orang bisa merasa ditelanjangi dan merasa serba
salah di hadapan tatapan mata orang lain.
Tadi maunya begini, terpaksa
harus begitu. Mengapa? Karena kita menyesuaikan dengan apa yang orang lain
sukai, bukan yang kita sukai. Sebenarnya kita ingin mengerjakan ini,
mengerjakan itu, tapi takut nanti diomongin oleh orang lain, dinilai
macam-macam oleh orang lain. Lihatlah contoh dalam urusan penampilan, misalnya.
Kita maunya berpenampilan sesuka kita. Tapi, karena ada mata orang lain yang
menatap kita, kita jadi tak sebebas seperti yang kita mau.
Karena mempertimbangkan penilaian
orang lain, kita mengerjakan apa yang sesuai dengan orang lain, bukan yang
benar-benar diinginkan oleh kita sendiri. Bukan sesuai dengan bakat, minat,
kesenangan kita. Itulah neraka bikinan orang lain terhadap kita. Kita sendiri
tak menyukai pekerjaan kita. Tapi karena takut dibilang malas, dibilang
macam-macam, akhirnya terpaksa mengikuti tren dan selera orang lain. Bukan
selera kita. Itulah contoh neraka adalah orang lain. Kita memaksa hidup menurut
versi orang lain. Menurut ukuran orang lain. Menurut tren orang banyak. Bukan
versi kita sendiri. Hidup seperti itu sungguh menyiksa, karena dibentuk oleh
orang lain, bukan oleh diri sendiri.
Mengapa orang lain itu neraka?
Karena pendapat, penilaian, dan komentar orang lain selalu menjadi pertimbangan
dalam setiap tindakan-tindakan kita, perilaku kita, dan kata-kata kita. Tadinya
kita ingin bebas mewujudkan apa saja sesuai keinginan kita, tapi gara-gara ada
orang lain, kita jadi tak bisa sepenuhnya mengikuti kemauan kita. Kita jadi
selalu mempertimbangkan komentar orang lain bukan mengikuti kesenangan kita
sendiri. Ingin posting sesuatu di medsos saja, misalnya, takut tak di-like
oleh orang lain. Akhirnya kita tak menjadi diri sendiri. Selalu bergantung
dengan pertimbangan-pertimbangan orang lain. Di situlah orang lain adalah
neraka.
Kata Sartre, “Action and statements, most choices, are made within the view of others; tindakan dan pernyataan, sebagian besar pilihan, dibuat dalam pandangan orang lain.” Kita selalu dipusingkan oleh komentar orang lain. Selalu disusahkan oleh pendapat orang lain. Sehingga, kita tak bisa eksis menjadi diri sendiri.
Contoh sederhana adalah masalah
berlomba-lomba dalam urusan duniawi, misalnya dalam urusan tren. Melihat
tetangga kerja ini, kerja itu, membuat ini, membuat itu, kuliah mengambil
jurusan tertentu, dan sebagainya, kita juga memaksakan diri untuk ikut-ikutan.
Padahal, kita sendiri tak punya minat di situ. Kita punya keinginan dan minat
yang lain. Tapi, kita melakukan hanya karena malu dan takut diomongin. Dan
ujungnya, terpaksa hidup menyesuaikan dengan orang banyak. Hidup akhirnya
dibentuk oleh orang-orang lain, bukan oleh diri sendiri. Itulah neraka bentukan
orang lain. Neraka adalah orang lain atau orang lain adalah neraka.
Hiduplah otentik!
Andreas Trianto Soewandi dan
Robertus Wijanarko, dalam artikelnya di Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4
No 2 Tahun 2021, yang berjudul "Personal Branding dan Diri Otentik Menurut
Sartre", menjelaskan, tatapan orang lain seakan menelanjangi kita dan
membuat kita terasing. Hal sama juga dialami oleh orang lain juga.
Kehadiran orang lain, tulis
Andreas, dengan tatapannya yang menelanjangiku, menimbulkan persepsi dan
penilaian terhadap diri sendiri yang seringkali negatif. Perasaan takut
terhadap penilaian orang lain seringkali menghambat diriku untuk melakukan
sesuatu. Bahkan ketakutan itu mampu membuat diriku berubah menjadi "diriku
versi orang lain" yang aku sendiri tak nyaman. Dalam kondisi seperti itu,
orang tak dapat keluar dari kerangka kekhawatiran, keprihatinan, dan kebiasaan
mereka. Mereka terus-menerus menjadi korban dari penilaian yang diberikan
kepada mereka oleh orang lain.
Menurut Sartre (1976), dari sudut
pandang itu, mereka jelas-jelas manusia yang pengecut. Manusia yang terjebak
dalam lingkaran setan dan tak mau menggunakan kehendak bebasnya untuk keluar
dan menjadi dirinya sendiri. Pemikiran Sartre mengenai diri yang otentik, tulis
Andreas, menjadi kritik atas kehidupan manusia sekarang yang terlalu peduli
terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya.
Nah, pemikiran Sartre, lanjut Andreas,
mengajak kita untuk berani mengubah keyakinan, pola pikir, dan tindakan kita.
Manusia harusnya bebas dan bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Tak
perlu khawatir berlebihan terhadap penilaian orang lain. Dengan menjalani hidup
bebas dan otentik, kita memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
diri sendiri. Kita tak perlu mempedulikan komentar-komentar dan penilaian orang
lain.
Filsafat eksistensialisme menolak
keras cara-cara hidup yang tak otentik. Keinginan Sartre: kita harus keluar
dari neraka itu. Bagaimana caranya? Hiduplah otentik. Apa itu hidup otentik? Hidup
sesuai dengan nilai yang kita anut. Ber-eksistensi menjadi diri sendiri. Walaupun
ada tekanan dari luar, kita harus menjalani hidup sesuai keinginan kita.
Hiduplah sesuai dengan yang kita mau, menurut versi kita. Bukan menurut maunya
orang. Bukan menurut ukuran dan minat orang lain.
Jean-Paul Sartre lahir di Paris,
Prancis pada 21 Juni 1905. Sartre tak menikah, tapi menjalani hidup bebas
dengan kekasihnya, Simone de Beauvoir. Ia percaya cinta tak butuh lembaga
pernikahan. Mereka menabrak norma sosial dan stigma sebagai wujud perlawanan.
Jean-Paul Sartre adalah juga seorang ateis. Ia tak suka "tuhan".
Mengapa? Karena Tuhan selalu mengawasi. Sementara Sartre tak suka diawasi.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial
Referensi:
1. A. Setyo Wibowo & Majalah Driyarkara. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: PT Kanisius, 2011.
2. Andreas Trianto Soewandi dan Robertus Wijanarko, "Personal Branding dan Diri Otentik Menurut Sartre", dalam Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021.
3. Fahruddin Faiz, Sartre: Orang Lain adalah Neraka (Hell is Other People), YouTube.
4. K. Bertens. Etika. (edisi revisi). Yogyakarta: Kanisius. 2013.
0 komentar:
Posting Komentar