alt/text gambar

Kamis, 05 Oktober 2023

Topik Pilihan: , , ,

NERAKA ADALAH ORANG LAIN: MENGENAL FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN-PAUL SARTRE

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Neraka adalah orang lain merupakan pemikiran dari Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis abad 20. Sartre adalah filsuf eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme ialah filsafat tentang kebebasan manusia. Pemikiran Sartre cukup luas. Tapi, satu di antara pemikirannya yang cukup terkenal adalah "hell is the others; neraka adalah orang lain". Atau "orang lain adalah neraka". Apa maksudnya?

Kebebasan dan tatapan mata orang lain

Karena ada orang lain, manusia menjadi tak bebas berperilaku sesuka hatinya. Orang lain membuat kita menjadi tak bebas lagi melakukan banyak hal yang kita senangi. Sartre―sebagaimana dijelaskan secara sederhana oleh Fahruddin Faiz―menganalogikan dengan lubang kunci pada pintu kamar. Kalau kita sendirian di kamar, kita bisa melakukan apa saja dengan bebas. Bebas tak pakai baju, bebas goyang-goyang, joged-joged, dan melakukan apa saja yang kita mau.

Tapi begitu kita sadar bahwa ada orang yang mengintip kita lewat lubang kunci pintu kamar, kita langsung berubah dan tak berani lagi berbuat suka-suka. Takut dilihat orang yang membuat kita jadi malu. Jadi, ketika ada orang menatap kita, kita berubah: tak bebas lagi. Kita jadi tak setuju dengan keinginan diri sendiri dan berusaha mencocokkan dengan apa yang diinginkan dan disukai oleh orang lain. Di saat seperti itulah orang lain menjadi neraka bagi kita. Orang bisa merasa ditelanjangi dan merasa serba salah di hadapan tatapan mata orang lain.

Tadi maunya begini, terpaksa harus begitu. Mengapa? Karena kita menyesuaikan dengan apa yang orang lain sukai, bukan yang kita sukai. Sebenarnya kita ingin mengerjakan ini, mengerjakan itu, tapi takut nanti diomongin oleh orang lain, dinilai macam-macam oleh orang lain. Lihatlah contoh dalam urusan penampilan, misalnya. Kita maunya berpenampilan sesuka kita. Tapi, karena ada mata orang lain yang menatap kita, kita jadi tak sebebas seperti yang kita mau.

Karena mempertimbangkan penilaian orang lain, kita mengerjakan apa yang sesuai dengan orang lain, bukan yang benar-benar diinginkan oleh kita sendiri. Bukan sesuai dengan bakat, minat, kesenangan kita. Itulah neraka bikinan orang lain terhadap kita. Kita sendiri tak menyukai pekerjaan kita. Tapi karena takut dibilang malas, dibilang macam-macam, akhirnya terpaksa mengikuti tren dan selera orang lain. Bukan selera kita. Itulah contoh neraka adalah orang lain. Kita memaksa hidup menurut versi orang lain. Menurut ukuran orang lain. Menurut tren orang banyak. Bukan versi kita sendiri. Hidup seperti itu sungguh menyiksa, karena dibentuk oleh orang lain, bukan oleh diri sendiri.

Mengapa orang lain itu neraka? Karena pendapat, penilaian, dan komentar orang lain selalu menjadi pertimbangan dalam setiap tindakan-tindakan kita, perilaku kita, dan kata-kata kita. Tadinya kita ingin bebas mewujudkan apa saja sesuai keinginan kita, tapi gara-gara ada orang lain, kita jadi tak bisa sepenuhnya mengikuti kemauan kita. Kita jadi selalu mempertimbangkan komentar orang lain bukan mengikuti kesenangan kita sendiri. Ingin posting sesuatu di medsos saja, misalnya, takut tak di-like oleh orang lain. Akhirnya kita tak menjadi diri sendiri. Selalu bergantung dengan pertimbangan-pertimbangan orang lain. Di situlah orang lain adalah neraka.

Kata Sartre, “Action and statements, most choices, are made within the view of others; tindakan dan pernyataan, sebagian besar pilihan, dibuat dalam pandangan orang lain.” Kita selalu dipusingkan oleh komentar orang lain. Selalu disusahkan oleh pendapat orang lain. Sehingga, kita tak bisa eksis menjadi diri sendiri.

Contoh sederhana adalah masalah berlomba-lomba dalam urusan duniawi, misalnya dalam urusan tren. Melihat tetangga kerja ini, kerja itu, membuat ini, membuat itu, kuliah mengambil jurusan tertentu, dan sebagainya, kita juga memaksakan diri untuk ikut-ikutan. Padahal, kita sendiri tak punya minat di situ. Kita punya keinginan dan minat yang lain. Tapi, kita melakukan hanya karena malu dan takut diomongin. Dan ujungnya, terpaksa hidup menyesuaikan dengan orang banyak. Hidup akhirnya dibentuk oleh orang-orang lain, bukan oleh diri sendiri. Itulah neraka bentukan orang lain. Neraka adalah orang lain atau orang lain adalah neraka.

Hiduplah otentik!

Andreas Trianto Soewandi dan Robertus Wijanarko, dalam artikelnya di Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021, yang berjudul "Personal Branding dan Diri Otentik Menurut Sartre", menjelaskan, tatapan orang lain seakan menelanjangi kita dan membuat kita terasing. Hal sama juga dialami oleh orang lain juga.

Kehadiran orang lain, tulis Andreas, dengan tatapannya yang menelanjangiku, menimbulkan persepsi dan penilaian terhadap diri sendiri yang seringkali negatif. Perasaan takut terhadap penilaian orang lain seringkali menghambat diriku untuk melakukan sesuatu. Bahkan ketakutan itu mampu membuat diriku berubah menjadi "diriku versi orang lain" yang aku sendiri tak nyaman. Dalam kondisi seperti itu, orang tak dapat keluar dari kerangka kekhawatiran, keprihatinan, dan kebiasaan mereka. Mereka terus-menerus menjadi korban dari penilaian yang diberikan kepada mereka oleh orang lain.

Menurut Sartre (1976), dari sudut pandang itu, mereka jelas-jelas manusia yang pengecut. Manusia yang terjebak dalam lingkaran setan dan tak mau menggunakan kehendak bebasnya untuk keluar dan menjadi dirinya sendiri. Pemikiran Sartre mengenai diri yang otentik, tulis Andreas, menjadi kritik atas kehidupan manusia sekarang yang terlalu peduli terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya.

Nah, pemikiran Sartre, lanjut Andreas, mengajak kita untuk berani mengubah keyakinan, pola pikir, dan tindakan kita. Manusia harusnya bebas dan bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Tak perlu khawatir berlebihan terhadap penilaian orang lain. Dengan menjalani hidup bebas dan otentik, kita memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Kita tak perlu mempedulikan komentar-komentar dan penilaian orang lain.

Filsafat eksistensialisme menolak keras cara-cara hidup yang tak otentik. Keinginan Sartre: kita harus keluar dari neraka itu. Bagaimana caranya? Hiduplah otentik. Apa itu hidup otentik? Hidup sesuai dengan nilai yang kita anut. Ber-eksistensi menjadi diri sendiri. Walaupun ada tekanan dari luar, kita harus menjalani hidup sesuai keinginan kita. Hiduplah sesuai dengan yang kita mau, menurut versi kita. Bukan menurut maunya orang. Bukan menurut ukuran dan minat orang lain.

Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Prancis pada 21 Juni 1905. Sartre tak menikah, tapi menjalani hidup bebas dengan kekasihnya, Simone de Beauvoir. Ia percaya cinta tak butuh lembaga pernikahan. Mereka menabrak norma sosial dan stigma sebagai wujud perlawanan. Jean-Paul Sartre adalah juga seorang ateis. Ia tak suka "tuhan". Mengapa? Karena Tuhan selalu mengawasi. Sementara Sartre tak suka diawasi.

NANI EFENDI, Alumnus HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial


Referensi:

1. A. Setyo Wibowo & Majalah Driyarkara. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: PT Kanisius, 2011.

2. Andreas Trianto Soewandi dan Robertus Wijanarko, "Personal Branding dan Diri Otentik Menurut Sartre", dalam Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021.

3. Fahruddin Faiz, Sartre: Orang Lain adalah Neraka (Hell is Other People),  YouTube. 

4. K. Bertens. Etika. (edisi revisi). Yogyakarta: Kanisius. 2013.


0 komentar:

Posting Komentar