Oleh: Nani Efendi
Tujuan pemekaran daerah—sesuai
amanat undang-undang tentang pemerintah daerah—adalah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Semangat dasarnya: terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan
meningkatnya kualitas pelayanan publik (public services). Pemekaran
daerah bertujuan memperpendek “rentang kendali” (span of control) dalam
hal kepemimpinan dan manajerial bagi penyelenggara pemerintahan di daerah.
Sehingga, masyarakat bisa semakin mudah diurus, mudah dilayani, dan semakin
mudah diketahui keinginan maupun aspirasi mereka.
Tapi, dalam praktiknya, semangat
dasar itu sering tidak sesuai harapan dengan kenyataan. Oleh karena itu, jika
tujuan belum bisa diwujudkan, masyarakat berhak mengevaluasi dan mempertanyakan
apa manfaat pemekaran daerah. Pertanyaan yang paling penting dalam artikel ini
adalah sejauh mana kemajuan yang telah dicapai oleh Kabupaten Kerinci setelah dimekarkan
menjadi dua wilayah: Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh? Sudahkah terwujud
kemajuan daerah setelah dimekarkan semenjak 15 tahun silam?
Belum ada kemajuan signifikan?
Dalam hal pembangunan fisik
maupun pembangunan SDM, tak ada kemajuan drastis. Yang nampak jelas: pembagian
jabatan-jabatan politik dan birokrasi saja. Kalau dulu hanya ada satu jabatan sekda,
misalnya, sekarang sudah ada dua: Sekda Kabupaten dan Sekda Kota. Orang-orang
yang tak punya peluang mendapat jabatan di Pemerintah Kabupaten Kerinci bisa
mutasi ke Kota Sungai Penuh agar bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu di
birokrasi. Di bidang politik, juga demikian. Dulu hanya ada jabatan bupati,
sekarang sudah ada peluang baru untuk menduduki jabatan politik, yakni
walikota. Kalau dulu kesempatan menjadi caleg atau anggota DPRD terbatas di
satu kabupaten, sekarang sudah ada peluang baru di Kota Sungai Penuh.
Pertanyaannya, apakah sebatas itu
tujuan dan kemajuan yang ingin dicapai dari suatu pemekaran daerah? Terlalu
kecil kalau hanya sebatas itu. Masyarakat berharap ada kemajuan yang lebih dari
itu, seperti peningkatan dan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi (pengurangan
kemiskinan dan pengangguran), peningkatan infrastruktur baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas, peningkatan pelayanan publik, peningkatan akses
masyarakat terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, lapangan
kerja, dan lain-lain.
Nah, hari ini kita melihat angka
pengangguran tinggi, tingkat kemiskinan tinggi, kualitas pelayanan publik belum
memuaskan, lapangan kerja sempit, biaya hidup tinggi, kondisi infrastruktur masih memprihatinkan,
dan masih banyak problem-problem kehidupan masyarakat lainnya. Bahkan, problem
kesehatan lingkungan hidup pun tak bisa diatasi dengan baik: sampah terlihat menumpuk
di banyak tempat (di sungai-sungai, di area pemukiman, dan di lahan-lahan
pribadi milik warga). Problem sampah pun tak mampu dikelola dengan baik oleh
pemerintah daerah hingga kini.
Persoalan akses pelayanan publik karena lokasi perkantoran dan fasilitas vital publik lainnya—rumah sakit umum, gedung DPRD—yang tak strategis juga dikeluhkan masyarakat. Termasuk rumah dinas bupati yang dibangun di lokasi yang cukup terpencil sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat. Padahal, masyarakat butuh kemudahan akses terhadap pemimpinnya. Lihatlah contoh bagaimana masyarakat Yogyakarta dapat dengan mudah menemui gubernur mereka di Keraton setiap waktu. Jadi, pola pembangunan fasilitas publik (public facilities) di Kerinci saat ini kontraproduktif dengan azas peningkatan pelayanan publik yang baik. Pemekaran yang semestinya mempermudah urusan pelayanan publik, sekarang malah telah membuat sulit masyarakat.
Tantangan untuk bupati kedepan
Prinsip pemekaran daerah awalnya
bermula dari sesuatu yang rasional, yakni mempermudah pelayanan publik, tapi
ternyata menghasilkan irasionalitas: memperpanjang rentang kendali, mempersulit
akses, dan penurunan kualitas pelayanan publik. Inilah tragedi kebijakan
pemekaran yang tak didasari kajian dan analisis yang mendalam.
Konsep pemecahan wilayah Kerinci
memang sejak dari awal sudah tak proporsional. Mestinya, dimekarkan jadi 2
kabupaten, bukan disekat oleh wilayah kota di tengah-tengahnya. Sekarang, kabupaten
induk yang wilayahnya cukup luas, tersekat oleh satu kota otonom di tengahnya.
Akibatnya, kabupaten induknya kesulitan menentukan letak strategis untuk
ibukota kabupaten. Sekarang baru dirasakan masyarakat di kabupaten induk betapa
sulitnya menata fasilitas-fasilitas publik seperti rumah sakit umum, gedung
DPRD, kantor bupati, kantor-kantor pemerintah, dan infrastruktur vital lainnya.
Idealnya, kedua daerah ini
dimekarkan jadi dua kabupaten. Semestinya, dulu Kota Sungai Penuh dijadikan
bagian dari salah satu dari dua kabupaten yang dimekarkan itu. Sebagai
perbandingan, lihatlah semua kabupaten dalam Provinsi Jambi yang dimekarkan.
Semuanya dijadikan dua kabupaten dengan pola pembagian wilayah yang
proporsional (seimbang). Di antaranya: Kabupaten Sarko dimekarkan menjadi
Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin; Bute menjadi Kabupaten Bungo dan
Kabupaten Tebo; Tanjung Jabung menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur. Nah, jika Kerinci dimekarkan dengan pola pembagian wilayah yang
proporsional (seimbang), saya yakin, bisa lebih maju ketimbang saat
ini.
Inilah tantangan serius bagi calon
Bupati Kerinci di 2024 mendatang. Harus ada konsep yang jelas bagaimana
mengatasi problem dan menata Kerinci dengan baik. Bagaimana membenahi tata
kelola pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Di
samping itu, anggota DPRD juga harus bersuara lantang menyikapi berbagai
keluhan masyarakat Kerinci saat ini.
Dan yang utama adalah, masyarakat
secara luas harus kembali ke semangat awal pemekaran itu sendiri. Masyarakat
harus memahami untuk apa sebenarnya Kabupaten Kerinci itu dimekarkan. Masyarakat
harus punya tekad dan komitmen untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan
hanya sebatas menyediakan ruang bagi elite memperluas arena kekuasaan politik
mereka. Pemekaran daerah itu ialah untuk mencapai kemajuan pembangunan,
peningkatan kualitas pelayanan publik, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat
secara luas.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
0 komentar:
Posting Komentar