Oleh: Nani Efendi
Positivisme adalah paham yang
berupaya menerapkan metode ilmu alam (yang bersifat objektif) untuk ilmu-ilmu
sosial. Positivisme menganggap bahwa dalam kehidupan sosial juga berlaku hukum
yang sama dengan yang berlaku dalam alam benda (fisika), yaitu hukum sebab-akibat.
Padahal, objeknya berbeda: ilmu alam objeknya adalah alam materiil yang tak
berpikir, tak memiliki kehendak, dan tak berperasaan. Dengan kata lain, dalam
ilmu alam, tak diakui peran subjek (netral atau bebas nilai) dalam membentuk
kenyataan. Manusia (subjek) dianggap tak mampu mengubah kenyataan. Kenyataan sosial dianggap sudah berlangsung secara mekanis sebagaimana hukum sebab-akibat dalam ilmu alam. Positivisme
menafikan peran subjek. Jadi, manusia dalam positivisme dipandang sebagai
objek-objek belaka, sebagaimana objek-objek dalam metodologi ilmu alam. Cara
berpikir positivistik itulah yang ditentang oleh tiga aliran filsafat berikut
ini, yaitu fenomenologi, hermeneutik, dan Teori Kritis. Ketiga aliran ini
mengakui peran subjek dalam mengubah atau membentuk kenyataan sosial.
F. Budi Hardiman dalam bukunya Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas, menjelaskan tentang persoalan ini secara lebih mendalam.
Menurut F. Budi Hardiman, ada tiga usaha pendekatan yang sampai sekarang
semakin banyak didiskusikan di Eropa dan Amerika Serikat, yaitu fenomenologi,
hermeneutik, dan Teori Kritis. Ketiganya saling berkaitan karena ketiganya
mencoba mengatasi positivisme dengan memberi tekanan pada pihak subjek yang
"menafsirkan" objeknya.
Pendekatan fenomenologi, kata Hardiman, memperluas konteks ilmu pengetahuan dengan sebuah konsep yang sangat penting
untuk menyelamatkan subjek pengetahuan, yaitu konsep Lebenswelt (dunia
kehidupan). Edmund Husserl menyatakan bahwa konsep "dunia kehidupan"
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami
krisis akibat cara berpikir positivistis dan saintistis. "Dunia-kehidupan
adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan," kata Husserl. Apa
itu dunia-kehidupan?
Dunia-kehidupan, lebih lanjut
Budi Hardiman menjelaskan, adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi
sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita
hayati pada tahap-tahap paling primer. Di dalam kehidupan praktis kita, entah
yang sederhana maupun rumit, kita bergerak dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi
dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dan, sedikit banyak, penafsiran-penafsiran itu juga diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan
kebiasaan-kebiasaan kita. Kita melupakan "dunia apa adanya"
(dunia-kehidupan), tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Dari penjelasan
Budi Hardiman, saya jadi teringat kata Pramoedya Ananta Toer,
"Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
Semboyan Husserl, lanjut
Hardiman, "Zuruck zu de sachen selbst" (kembali kepada
benda-benda itu sendiri). Semboyan itu menyatakan suatu usaha fenomenologis
untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu. Konsep dunia-kehidupan ini dapat
memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu
ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial.
Kedua, pendekatan hermeneutik.
Hubungan hermeneutik dengan fenomenologi tampak jelas dalam filsafat Heidegger.
Heidegger menulis, sebagaimana dikutip Hardiman: "Makna metodologis dari deskripsi fenomenologis adalah
penafsiran. Logos dari fenomenologi Dasein memiliki ciri hermenuein...
Fenomenologi Dasein adalah hermeneutik dalam pengertian asli kata itu,
menurut pengertian pokoknya, yaitu kesibukan penafsiran."
Seperti dalam fenomenologi
sosial, terang Hardiman, dalam hermeneutik peranan subjek yang menafsirkan
sangat jelas. Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial, hermeneutik merupakan
penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Seperti ditegaskan oleh Dilthey
(filsuf yang menerapkan hermeneutik sebagai metode ilmu-ilmu sosial),
dunia-kehidupan ini didekati dengan Verstehen (memahami), yaitu dengan
menafsirkan makna tindakan-tindakan sosial, bukan dengan Erklaren
(menjelaskan menurut hukum sebab-akibat seperti dalam metode ilmu alam). Konsep
penafsiran dan pemahaman ini merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari
positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam
membentuk kenyataan sosial. Jadi, dalam fenomenologi, apa yang disebut
"kesadaran yang membentuk (mengkonstitusi) kenyataan", dalam
hermeneutik ditunjukkan dalam pengertian kata "hermeneutik" itu
sendiri, yaitu penafsiran (menunjukkan peranan subjek dalam kegiatan
pengetahuan/mengetahui).
Pendekatan ketiga yang berusaha
mengatasi permasalahan positivisme, dijelaskan lebih lanjut oleh F. Budi Hardiman,
adalah Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Jurgen Habermas. Teori Kritis, dalam
tradisinya, lahir sebagai upaya mengatasi "determinisme ekonomis"
Marxisme ortodoks. Determinisme ekonomis merupakan pemahaman positivistik
terhadap proses- proses sejarah masyarakat. Determinisme ekonomis menganggap
bahwa sejarah masyarakat berlangsung secara pasti menurut hukum-hukum alam
(hukum sebab-akibat). Contoh hukum alam itu, misalnya, jika besi dipanaskan,
mau tidak mau, ia pasti memuai. Tidak bisa tidak. Dalam hukum alam seperti itu
manusia dianggap tak bisa berbuat apa-apa selain "tunduk" pada
kepastian hukum alam itu. Itulah yang dimaksud "menafikan peran
subjek" dalam membentuk kenyataan sosial. Nah, formula keniscayaan dalam
determinisme ekonomis Marxisme ortodoks adalah: basis (ekonomi) masyarakat
menentukan superstruktur kesadaran (bangunan atas ideologis). Maka, perubahan
pada basis niscaya mengubah superstruktur (bangunan atas).
Superstruktur itu, dijelaskan
oleh Franz Magnis-Suseno—dalam bukunya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme—dibagi dua: (1) tatanan institusional
(segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang
produksi, seperti sistem pendidikan, sistem hukum, dan negara); (2) tatanan
kesadaran kolektif (memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai
yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada
usaha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas
masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dsb).
Nah, Teori Kritis, lanjut Budi
Hardiman, berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) untuk mengubah
struktur-struktur objektif, maka analisis mereka dipusatkan pada fenomen
superstruktur, khususnya rasionalitas. Artinya, Mazhab Frankfurt percaya
kekuatan subjek (superstruktur) untuk mengubah kenyataan sosial. Tapi Mazhab
Frankfurt mengalami jalan buntu. Maka, kata Budi Hardiman, tampillah Jurgen
Habermas yang secara tajam memperlihatkan bahwa semua teori Marxis, termasuk
Mazhab Frankfurt, dan semua teori sosial yang bersifat positivistik, dibangun
atas dasar "paradigma kerja". Artinya, memperlakukan masyarakat
(manusia) sebagai objek, tak ubahnya objek-objek dalam ilmu alam.
Masalah yang selalu menarik perhatian dalam ilmu-ilmu sosial adalah soal objek observasinya yang berbeda dari objek ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia, tak dapat begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Habermas menunjukkan bahwa positivisme dalam ilmu sosial adalah bentuk penerapan metode ilmu alam kepada masyarakat yang semestinya didekati dengan pengetahuan reflektif. Dengan pengetahuan reflektiflah, maka pemahaman intersubjektif bisa didapat (F. Budi Hardiman, 2003:58). Pada taraf metodologis, positivisme menghasilkan teknologi sosial yang pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi. Dalam teknokrasi total, peranan subjek dianggap tak ada. Yang ada ialah semua kehidupan sosial berjalan berdasarkan hukum alam yang bebas nilai.
Oleh karena itu, perspektif baru yang dikembangkan
oleh Habermas untuk ilmu-ilmu sosial, tulis Hardiman, adalah paradigma
"komunikasi". Hubungan hermeneutik dan Teori Kritis, jelas Hardiman,
terdapat pada paradigma komunikasi ini: sejauh praksis komunikasi dimaksudkan
untuk mencapai pemahaman timbal-balik. Jadi, lanjut Hardiman, fenomenologi,
hermeneutik, dan Teori Kritis, adalah saling berkaitan dalam usaha di taraf
epistemologis dan metodologis untuk membuka konteks yang lebih luas dari
ilmu-ilmu, khususnya ilmu sosial. Jadi, tiga upaya di atas—konsep
dunia-kehidupan (Lebenswelt) menurut fenomenologi, pemahaman (Verstehen)
menurut hermeneutik, dan teori tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln) menurut Teori Kritis—merupakan usaha-usaha mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial dan memberikan pendasaran metodologis ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari
ilmu-ilmu alam.
Istilah Erklaren dan Verstehen
ini, tulis Budi Hardiman, dimajukan oleh filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey
(1833-1911). Dua istilah itu untuk membedakan dua macam ilmu pengetahuan. Naturwissenschaften
(ilmu-ilmu alam) mendekati objeknya dengan metode Erklaren, yaitu
menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya (hukum sebab-akibat), sedangkan geisteswissenschaften
mendekati produk-produk budaya dengan metode Verstehen, yaitu menemukan
dan memahami makna di dalamnya yang hanya dapat dilakukan dengan menempatkannya
dalam konteks (F. Budi Hardiman, 2003:39).
Contoh konteks dalam metode Verstehen
misalnya, membunuh, memberontak, adil, dan lain sebagainya. Apakah membunuh itu
salah? Tentu tak bisa dijawab "ya" atau "tidak" secara
tepat seperti dalam ilmu alam. Ia bisa dijawab dengan metode Verstehen,
atau sesuai konteks. Dalam perspektif tertentu, membunuh tanpa alasan yang
jelas bisa dinilai salah. Tapi dalam perspektif lain, Islam misalnya, membunuh
itu benar jika dilakukan dalam konteks qisas.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
RUJUKAN
Hardiman, F. Budi, Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Toer, Pramoedya Ananta, Rumah
Kaca, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.
Catatan tambahan:
Apa yang dimaksudkan menyelamatkan subjek? Untuk memahaminya, perlu diketahui bahwa ada tiga pokok yang menjadi kajian ilmu sosial yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman. Ketiga pokok ini khas dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial, sedangkan ilmu-ilmu alam justru mengeliminasi ketiganya sebagai unsur subjektif. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, 2003:64-65). Artinya, dalam ilmu alam, untuk menghindarkan unsur subjektivitas, ilmuwan mengambil jarak terhadap objek. Tapi, tak demikian semestinya metode ilmu sosial dalam kacamata Habermas. Subjek mesti berperan membentuk kenyataan. Begitu penjelasan sederhananya. Nah, dari situ bisa dipahami apa maksud "menyelamatkan subjek". Jadi, ilmu-ilmu sosial itu semestinya tak bebas nilai, tapi bertujuan praksis.
Objektivisme merupakan puncak perkembangan teori pengetahuan menghapus peranan subjek pengetahuan. Dan gejala objektivisme itu tampil dalam metodologi positivistis dalam ilmu-ilmu sosial. Objektivisme dan positivisme telah mengidentikkan pengetahuan dengan metode ilmiah. (F Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, 2003:68)
DIALEKTIKA PERUBAHAN KUTUB SUBJEK DAN OBJEK DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI PENGETAHUAN
Yang menarik dalam sejarah perkembangan teori pengetahuan adalah pergantian bolak-balik antara kutub subjek ke objek. Teori pengetahuan Abad Pertengahan menekankan kutub objek (tapi objeknya bersifat metafisik seperti surga, neraka, setan, Allah dan sebagainya). Kemudian muncul antitesis dalam rasionalisme modern yang menekankan kutub subjek. Setelah itu, muncul antitesis baru yang menekankan objektivitas lagi, tapi objeknya bukan lagi yang bersifat metafisik, melainkan yang empiris inderawi, itulah empirisme. Dan radikalisasi kutub objek ini tampil dalam positivisme yang sejak itu mengganti peranan subjek dengan metodologi ilmiah.
Saat ini, kata Budi Hardiman, dalam teori-teori ilmu pengetahuan, ada tren balik ke arah subjek yang dibawa oleh fenomenologi, hermeneutik, dan Teori Kritis. Ia bukan lagi sebagai teori pengetahuan, melainkan sebagai teori tentang metodologi (F. Budi, 68-69)
0 komentar:
Posting Komentar