Oleh: NANI EFENDI
Hermeneutika, dari nama Dewa
Hermes dalam mitologi Yunani, adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan
sebuah teks.[1] Dalam
tradisi hermeneutika—sebagaimana dijelaskan oleh Komaruddin Hidayat dalam
bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik—ada tiga orang
yang dikenal sebagai "Three masters of
prejudices" (Tiga guru pencuriga), yaitu: Karl Marx, Nietzsche, dan Sigmund Freud. Apa maksudnya?
Begini, dalam memahami sebuah teks, kita dituntut untuk kritis dan waspada.
Kita harus memahami maksud dari penulis teks yang kita baca. Karena, penulis
teks dipengaruhi oleh banyak faktor: seperti faktor psikologis, sosiologis,
historis, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita harus berprasangka ketika
membaca sebuah teks.
Dan, kata Komaruddin Hidayat,
"prasangka" yang dikenalkan oleh Marx, Nietzsche, Freud, itu tidak
hanya berlaku bagi pengarang teks, tapi juga bagi subjek yang membaca dan
memahami sebuah teks. Jadi, menurut ketiga guru pencuriga itu, perasaan,
pikiran, tindakan, omongan, dan tulisan seseorang tanpa disadari dikendalikan
oleh kekuatan bawah sadarnya (sub-conscious). Berikut diuraikan tiga
teori dari "guru-guru pencuriga" dalam konteks hermeneutika.
Marx, Nietzsche, dan Freud
Pertama, teori Marx. Dalam
pandangan Marx, status sosial ekonomi dan politik akan mewarnai cara berpikir
seseorang. Dari teori Marx, kita diajak untuk mewaspadai kesadaran pengarang
dan pembaca yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Teks apa pun, tidak luput
dari pengaruh ekonomi dan politik. Teks maupun ceramah agama yang muncul dari
ulama atau intelektual dalam lingkaran kekuasaan akan berbeda dengan teks
maupun ceramah agama yang diproduksi oleh mereka yang menentang status quo,
atau yang berada dalam kondisi ekonomi-politik yang tak adil. Bandingkan
misalnya antara tulisan Ali Syariati dengan tulisan Said Aqil Siradj.
Asumsi Marx, menurut Komaruddin
Hidayat, bisa untuk menjelaskan perkembangan literatur keislaman yang menonjol
dari zaman ke zaman. Di abad tengah, kata Komaruddin, buku-buku tentang hukum
Islam (fiqih) cukup menonjol karena penguasa merasa perlu untuk mengendalikan
perilaku politik, sosial, dan ekonomi sebagai akibat perkembangan dunia Islam
yang sangat mengesankan. Sebagai contoh, dalam hal menafsirkan tentang bunga
bank haram atau tidak. Banyak sedikit sangat dipengaruhi oleh faktor status
ekonomi yang mendominasi penafsirnya. Jadi, teori Marx bisa membantu kita
agar lebih kritis dalam memahami teks: kita harus melakukan dekonstruksi, dalam
rangka memperoleh kebenaran objektif.
Jadi, dalam teori Marx dikenal
istilah hubungan "basis" dan "superstruktur kesadaran".
Basis itu ialah ekonomi. "Basis" menentukan konstruksi "bangunan atas
ideologis" atau "superstruktur kesadaran". "Bangunan atas
ideologis" itu antara lain: negara, politik, hukum, pandangan dunia,
agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai sosial-budaya, seni, dan sebagainya.
Ekonomi (basis) menentukan atau mempengaruhi "bangunan atas ideologis",
bukan sebaliknya.
Kedua, pandangan
Nietzsche. Dalam diri seseorang, menurut Nietzsche, selalu terdapat dorongan
laten untuk berkuasa atas orang lain (the will to power). Oleh karena
itu, kita perlu curiga atau waspada dalam memahami setiap teks dan semua jenis
komunikasi. Karena di dalamnya terbersit maksud untuk mempengaruhi dan
menundukkan orang lain dan seorang pengarang atau pembicara ingin dirinya
dikatakan hebat. Untuk membangun image, pengarang maupun pembicara tak
segan-segan menggunakan ungkapan yang bisa mempengaruhi dan menaklukkan pembaca
atau pendengar agar menaruh kekaguman padanya. Sebaliknya, keinginan untuk
berkuasa (the will to power) ini juga berlaku kepada pembaca dan
pendengarnya. Artinya, pembaca atau pendengar pun merespon setiap yang ia baca
maupun dengar dari perspektif kepentingannya untuk berkuasa juga.
Ketiga, teori Freud.
Menurut Freud, kekuatan libido yang obsesif dengan prinsip kenikmatan jasmaniah
yang ditandai dengan seks, sangat kuat mengendalikan pikiran dan perilaku
seseorang.[2]
Dari Freud, jelas Komaruddin, kita belajar bahwa bawah sadar (sub-conscious)
setiap pengarang dan juga pembaca turut berperan dalam memandang dan
menafsirkan realita. Isi bawah sadar yang paling dominan menurut Freud adalah
dorongan dan ilusi-ilusi libido. Komaruddin mencontohkan teori Freud ini dalam
konteks hermeneutika Al Quran: fenomena yang muncul adalah ditemukannya
indikasi dorongan bawah sadar berupa libido.
Kalau saja bukan firman Allah,
kata Komaruddin, maka dengan mudah kita mengatakan bahwa itu adalah refleksi
alam bawah sadar pengarang. Hal ini bisa dilihat misalnya isyarat dan
penggambaran Al Quran mengenai kenikmatan surga yang dikaitkan dengan
kenikmatan seksual dan sensual dalam simbol bidadari dan wanita cantik. Dengan
mempertimbangkan teori Freud, lanjut Komaruddin, maka dalam melakukan
rekonstruksi makna atas sebuah teks, kita perlu hati-hati agar dorongan subjektif
bawah sadar berupa nafsu libido (id), baik pada pihak pengarang atau
pembaca, tidak mengaburkan makna dan signifikansi yang dikandungnya.[3]
Jadi, dalam membaca, kita mesti
kritis dan menerapkan konsep prasangka terhadap apa yang kita baca. Kita harus
ingat pesan tiga guru pencuriga itu. Dan kita pembaca pun juga dipengaruhi oleh
tiga kecenderungan itu. Itu yang harus kita sadari. Hal ini kita lakukan dalam
rangka menemukan makna dan maksud objektif dari teks: harus kita singkirkan
tiga faktor itu (ekonomi, the will to power, dan libido), baik yang
berasal dari pengarang maupun yang berasal dari kita sendiri sebagai pembaca
teks.
Apakah juga berlaku terhadap
Al Qur'an?
Terhadap teks selain Al Quran
mungkin tak ada problem dalam menerapkan konsep prasangka itu. Yang jadi
problem adalah teks seperti Al Quran. Bukankah diyakini bahwa
"Pengarang" Al Quran adalah Allah? Dalam kalimat sederhana, untuk Al Quran—dari
sisi "Pengarangnya", bukan pembacanya—karena "Pengarangnya"
adalah Allah, bagaimana menerapkan konsep "prasangka" tiga guru
pencuriga itu? Di sinilah, kata Komaruddin, muncul pertanyaan pelik yang
menggoda para ahli ta'wil dan kaum mistik untuk memperoleh
"konfirmasi" dari "Pengarangnya" secara langsung.
Dalam tradisi tafsir, jelas
Komaruddin, terutama yang berkembang di kalangan Sunni, pertanyaan ini paling
jauh dikembalikan dan dibatasi pada analisanalisis "asbab al-nuzul"
atau konteks sosial-historis seputar turunnya Al Quran. Artinya, Al Quran yang
turun berangsur-angsur itu mengenal konteks sosial dan psikologis, terutama
berkaitan dengan diri Muhammad sebagai penerimanya. Ketika kita membaca sirah
Muhammad dan sejarah turunnya Al Quran, kata Komaruddin, akan muncul kesan yang
kuat bahwa banyak surat dan ayat Al Quran yang turun sebagai respon terhadap
situasi psikologis Muhammad dan respons terhadap perilaku orang Quraish waktu
itu terhadap dakwah Islam.[4]
Namun dari sisi si pembaca Al Quran,
konsep prasangka tetap bisa berlaku sama. Artinya, tidak tertutup kemungkinan
pemahaman (tafsir) seorang pembaca terhadap Al Quran dipengaruhi oleh tiga
faktor di atas. Konsep prasangka tetap bisa kita
terapkan dalam membaca tafsir-tafsir terhadap Al Quran. Karena, kata Komaruddin,
jika seorang pembaca Al Qur'an telah didominasi begitu kuat oleh prasangka atau
kecenderungan tertentu, maka horizon Al Qur'an akan menciut mengikuti kehendak si pembaca. Komaruddin mencontohkan, orang yang fanatik dengan ilmu fiqih, misalnya, ketika dialog dengan teks-teks Al Qur'an, yang lebih banyak berbicara tentu
saja ayat-ayat tentang fiqih, sementara dimensi mistik dan sejarahnya tidak
akan ikut ambil bagian.[5]
Dan perlu juga dipahami bahwa
prasangka (prejudice) itu tidak hanya kita berlakukan terhadap teks
tertulis, tapi juga dalam berbagai jenis komunikasi, seperti komunikasi lisan,
dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam menilai informasi atau berita-berita
dari berbagai sumber, seperti media massa, media sosial, dan lain sebagainya. Terhadap tiga kecenderungan yang kita pahami dari
tiga guru pencuriga (Marx, Nietzsche, Freud), hermeneutika sebagai sebuah
metodologi penafsiran, jelas Komaruddin Hidayat, berusaha memperingatkan
pembaca untuk bersikap curiga kepada setiap teks (atau jenis komunikasi
lainnya) agar faktor-faktor subjektif dari pembaca maupun pengarang bisa
ditekan sekuat-kuatnya, sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran objektif
bisa didapatkan.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
RUJUKAN
Efendi, Nani, "Tuhan Telah Mati: Memahami Filsafat Nietzsche", dalam https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/10/tuhan-telah-mati-memahami-filsafat_28.html?m=1
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar