alt/text gambar

Rabu, 08 November 2023

Topik Pilihan: , , , , , , ,

TIGA GURU PENCURIGA DALAM TRADISI HERMENEUTIKA

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Hermeneutika, dari nama Dewa Hermes dalam mitologi Yunani, adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.[1] Dalam tradisi hermeneutika—sebagaimana dijelaskan oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik—ada tiga orang yang dikenal sebagai "Three masters of prejudices" (Tiga guru pencuriga), yaitu: Karl Marx, Nietzsche, dan Sigmund Freud. Apa maksudnya? Begini, dalam memahami sebuah teks, kita dituntut untuk kritis dan waspada. Kita harus memahami maksud dari penulis teks yang kita baca. Karena, penulis teks dipengaruhi oleh banyak faktor: seperti faktor psikologis, sosiologis, historis, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita harus berprasangka ketika membaca sebuah teks.

Dan, kata Komaruddin Hidayat, "prasangka" yang dikenalkan oleh Marx, Nietzsche, Freud, itu tidak hanya berlaku bagi pengarang teks, tapi juga bagi subjek yang membaca dan memahami sebuah teks. Jadi, menurut ketiga guru pencuriga itu, perasaan, pikiran, tindakan, omongan, dan tulisan seseorang tanpa disadari dikendalikan oleh kekuatan bawah sadarnya (sub-conscious). Berikut diuraikan tiga teori dari "guru-guru pencuriga" dalam konteks hermeneutika.

Marx, Nietzsche, dan Freud

Pertama, teori Marx. Dalam pandangan Marx, status sosial ekonomi dan politik akan mewarnai cara berpikir seseorang. Dari teori Marx, kita diajak untuk mewaspadai kesadaran pengarang dan pembaca yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Teks apa pun, tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik. Teks maupun ceramah agama yang muncul dari ulama atau intelektual dalam lingkaran kekuasaan akan berbeda dengan teks maupun ceramah agama yang diproduksi oleh mereka yang menentang status quo, atau yang berada dalam kondisi ekonomi-politik yang tak adil. Bandingkan misalnya antara tulisan Ali Syariati dengan tulisan Said Aqil Siradj.

Asumsi Marx, menurut Komaruddin Hidayat, bisa untuk menjelaskan perkembangan literatur keislaman yang menonjol dari zaman ke zaman. Di abad tengah, kata Komaruddin, buku-buku tentang hukum Islam (fiqih) cukup menonjol karena penguasa merasa perlu untuk mengendalikan perilaku politik, sosial, dan ekonomi sebagai akibat perkembangan dunia Islam yang sangat mengesankan. Sebagai contoh, dalam hal menafsirkan tentang bunga bank haram atau tidak. Banyak sedikit sangat dipengaruhi oleh faktor status ekonomi yang mendominasi penafsirnya. Jadi, teori Marx bisa membantu kita agar lebih kritis dalam memahami teks: kita harus melakukan dekonstruksi, dalam rangka memperoleh kebenaran objektif.

Jadi, dalam teori Marx dikenal istilah hubungan "basis" dan "superstruktur kesadaran". Basis itu ialah ekonomi. "Basis" menentukan konstruksi "bangunan atas ideologis" atau "superstruktur kesadaran". "Bangunan atas ideologis" itu antara lain: negara, politik, hukum, pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai sosial-budaya, seni, dan sebagainya. Ekonomi (basis) menentukan atau mempengaruhi "bangunan atas ideologis", bukan sebaliknya.

Kedua, pandangan Nietzsche. Dalam diri seseorang, menurut Nietzsche, selalu terdapat dorongan laten untuk berkuasa atas orang lain (the will to power). Oleh karena itu, kita perlu curiga atau waspada dalam memahami setiap teks dan semua jenis komunikasi. Karena di dalamnya terbersit maksud untuk mempengaruhi dan menundukkan orang lain dan seorang pengarang atau pembicara ingin dirinya dikatakan hebat. Untuk membangun image, pengarang maupun pembicara tak segan-segan menggunakan ungkapan yang bisa mempengaruhi dan menaklukkan pembaca atau pendengar agar menaruh kekaguman padanya. Sebaliknya, keinginan untuk berkuasa (the will to power) ini juga berlaku kepada pembaca dan pendengarnya. Artinya, pembaca atau pendengar pun merespon setiap yang ia baca maupun dengar dari perspektif kepentingannya untuk berkuasa juga. 

Ketiga, teori Freud. Menurut Freud, kekuatan libido yang obsesif dengan prinsip kenikmatan jasmaniah yang ditandai dengan seks, sangat kuat mengendalikan pikiran dan perilaku seseorang.[2] Dari Freud, jelas Komaruddin, kita belajar bahwa bawah sadar (sub-conscious) setiap pengarang dan juga pembaca turut berperan dalam memandang dan menafsirkan realita. Isi bawah sadar yang paling dominan menurut Freud adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido. Komaruddin mencontohkan teori Freud ini dalam konteks hermeneutika Al Quran: fenomena yang muncul adalah ditemukannya indikasi dorongan bawah sadar berupa libido.

Kalau saja bukan firman Allah, kata Komaruddin, maka dengan mudah kita mengatakan bahwa itu adalah refleksi alam bawah sadar pengarang. Hal ini bisa dilihat misalnya isyarat dan penggambaran Al Quran mengenai kenikmatan surga yang dikaitkan dengan kenikmatan seksual dan sensual dalam simbol bidadari dan wanita cantik. Dengan mempertimbangkan teori Freud, lanjut Komaruddin, maka dalam melakukan rekonstruksi makna atas sebuah teks, kita perlu hati-hati agar dorongan subjektif bawah sadar berupa nafsu libido (id), baik pada pihak pengarang atau pembaca, tidak mengaburkan makna dan signifikansi yang dikandungnya.[3]

Jadi, dalam membaca, kita mesti kritis dan menerapkan konsep prasangka terhadap apa yang kita baca. Kita harus ingat pesan tiga guru pencuriga itu. Dan kita pembaca pun juga dipengaruhi oleh tiga kecenderungan itu. Itu yang harus kita sadari. Hal ini kita lakukan dalam rangka menemukan makna dan maksud objektif dari teks: harus kita singkirkan tiga faktor itu (ekonomi, the will to power, dan libido), baik yang berasal dari pengarang maupun yang berasal dari kita sendiri sebagai pembaca teks.

Apakah juga berlaku terhadap Al Qur'an?

Terhadap teks selain Al Quran mungkin tak ada problem dalam menerapkan konsep prasangka itu. Yang jadi problem adalah teks seperti Al Quran. Bukankah diyakini bahwa "Pengarang" Al Quran adalah Allah? Dalam kalimat sederhana, untuk Al Quran—dari sisi "Pengarangnya", bukan pembacanya—karena "Pengarangnya" adalah Allah, bagaimana menerapkan konsep "prasangka" tiga guru pencuriga itu? Di sinilah, kata Komaruddin, muncul pertanyaan pelik yang menggoda para ahli ta'wil dan kaum mistik untuk memperoleh "konfirmasi" dari "Pengarangnya" secara langsung.

Dalam tradisi tafsir, jelas Komaruddin, terutama yang berkembang di kalangan Sunni, pertanyaan ini paling jauh dikembalikan dan dibatasi pada analisanalisis "asbab al-nuzul" atau konteks sosial-historis seputar turunnya Al Quran. Artinya, Al Quran yang turun berangsur-angsur itu mengenal konteks sosial dan psikologis, terutama berkaitan dengan diri Muhammad sebagai penerimanya. Ketika kita membaca sirah Muhammad dan sejarah turunnya Al Quran, kata Komaruddin, akan muncul kesan yang kuat bahwa banyak surat dan ayat Al Quran yang turun sebagai respon terhadap situasi psikologis Muhammad dan respons terhadap perilaku orang Quraish waktu itu terhadap dakwah Islam.[4]

Namun dari sisi si pembaca Al Quran, konsep prasangka tetap bisa berlaku sama. Artinya, tidak tertutup kemungkinan pemahaman (tafsir) seorang pembaca terhadap Al Quran dipengaruhi oleh tiga faktor di atas. Konsep prasangka tetap bisa kita terapkan dalam membaca tafsir-tafsir terhadap Al Quran. Karena, kata Komaruddin, jika seorang pembaca Al Qur'an telah didominasi begitu kuat oleh prasangka atau kecenderungan tertentu, maka horizon Al Qur'an akan menciut mengikuti kehendak si pembaca. Komaruddin mencontohkan, orang yang fanatik dengan ilmu fiqih, misalnya, ketika dialog dengan teks-teks Al Qur'an, yang lebih banyak berbicara tentu saja ayat-ayat tentang fiqih, sementara dimensi mistik dan sejarahnya tidak akan ikut ambil bagian.[5]

Dan perlu juga dipahami bahwa prasangka (prejudice) itu tidak hanya kita berlakukan terhadap teks tertulis, tapi juga dalam berbagai jenis komunikasi, seperti komunikasi lisan, dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam menilai informasi atau berita-berita dari berbagai sumber, seperti media massa, media sosial, dan lain sebagainya. Terhadap tiga kecenderungan yang kita pahami dari tiga guru pencuriga (Marx, Nietzsche, Freud), hermeneutika sebagai sebuah metodologi penafsiran, jelas Komaruddin Hidayat, berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap curiga kepada setiap teks (atau jenis komunikasi lainnya) agar faktor-faktor subjektif dari pembaca maupun pengarang bisa ditekan sekuat-kuatnya, sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran objektif bisa didapatkan.

NANI EFENDI, Alumnus HMI


RUJUKAN

Efendi, Nani, "Tuhan Telah Mati: Memahami Filsafat Nietzsche", dalam https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/10/tuhan-telah-mati-memahami-filsafat_28.html?m=1

Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.


Catatan kaki:

[1] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 126

[2] Komaruddin Hidayat, h. 133-134.

[3] Komaruddin Hidayat, h. 18-19.

[4] Komaruddin Hidayat, h. 140

[5] Komaruddin Hidayat, h. 139-140.

0 komentar:

Posting Komentar