Dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas (h.159), F. Budi Hardiman menjelaskan bahwa Habermas memandang Derrida masuk ke dalam pemikiran post-modern, dengan intensi yang sama seperti Heidegger: meninggalkan rasionalisme Barat dan dekonstruksi metafisika. Derrida masuk melalui bidang linguistik dengan anggapan bahwa modernitas ditandai oleh 'metafisika kehadiran' dan 'logosentrisme'. Akarnya adalah pemahaman bahasa sebagai bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, penutur diandaikan hadir bersama objeknya dan konsep yang dituturkannya. Inilah biang keladi metafisika dan rasionalisme Barat. Karena itu, Derrida mengatasi metafisika dengan mengutamakan bahasa tulisan. Teks selalu lepas dari penulisnya dan dapat ditafsirkan sampai tak terhingga oleh pembaca manapun secara lepas konteks. Tak ada teks rujukan. Yang ada adalah tafsir intertekstualitas. Jadi, teks itu harus dianggap hilang. Yang tersisa hanyalah bekasnya. Habermas memandang perspektivisme Nietzsche muncul dengan cara lain dalam dekonstruksi dan intertekstualitas. Tak ada Kebenaran, bahkan makna pun tak ada. Dekonstruksi adalah semacam "metode", bukan untuk mencapai Kebenaran, melainkan justru untuk memperlihatkan bahwa teks-teks filosofis tak memiliki makna yang dimaksudkan penulisnya. Memang, Derrida digolongkan sebagai ahli waris Nietzsche. (lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h.159)--sudah di-post.
0 komentar:
Posting Komentar