Martin Heidegger, dalam Sein und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer, 2006), paragraf 48, mengatakan, manusia senantiasa dalam kondisi "kebeluman" (Noch-Nicht), makhluk yang selalu "belum sudah" atau "membelum". Yang dimaksud dengan makhluk yang "belum sudah", atau yang "membelum" adalah bahwa manusia selalu merealisasikan dirinya sampai ia berhenti dalam kematian. Manusia adalah Sein-zum-Tode (Ada-menuju-kematian) dan selama belum mati, manusia selalu merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya.
Dalam arti itu manusia dapat dilihat sebagai makhluk yang selalu belum selesai, belum sudah (noch nicht). Pada momen kematian, ke-belum-sudah-an ini menjadi "sudah". Demikian tulis Fitzerald Kennedy Sitorus. Kennedy Sitorus mencontoh Goenawan Mohamad (GM).
Kennedy Sitorus menulis:
GM juga selalu berada dalam kebelum-sudahan. Ia selalu dalam proses menjadi (becoming). Hal itu terlihat jelas dari keinginannya untuk mempelajari, mengetahui, melakukan dan memproduksi hal-hal baru, termasuk dalam wilayah-wilayah kerja kreatif: dari teater, puisi, esai, seni lukis, dan tulisan-tulisan filsafat. Dalam diskusi-diskusi kecil di WhatsApp misalnya beberapa kali GM secara spontan mengatakan dengan nada seakan menyesal, "Ah, saya banyak sekali ketinggalan nih.”
Dia mengatakan itu terutama ketika mengetahui bahwa ada buku atau gagasan tertentu dalam filsafat atau sastra yang belum dibaca atau diketahuinya. Bayangkan orang dalam usia 80 tahun masih merasa ketinggalan dalam banyak hal! Luar biasa!
Kesadaran orang muda, lanjut Sitorus, yang senantiasa merasa belum sudah itulah mungkin yang mendasari sikap GM untuk menolak dianggap sebagai "guru" bagi banyak orang. Padahal dengan senioritas, keluasan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, ia sebenarnya sangat pantas jadi tempat bertanya bagi orang lain. Namun GM rupanya menyadari bahwa secara eksistensial "guru" adalah posisi yang "sudah", yang sudah berhenti "menjadi".
Seorang guru tidak lagi membaca teks karena ia telah dianggap atau menganggap dirinya menjadi teks itu sendiri. Karena itu, ketimbang memposisikan dirinya sebagai guru, tempat bagi banyak orang untuk memperoleh jawaban, GM lebih memposisikan dirinya sebagai murid yang mengajukan pertanyaan. Karena itulah ia tidak pernah sungkan-sungkan bertanya bahkan kepada orang yang jauh lebih muda darinya.
Dalam usia 80 tahun, GM secara sadar memilih untuk tetap menjadi pembelajar, dan bukan guru. Itu yang membuat ia masih tetap mampu membaca teks-teks filsafat atau ilmu pengetahuan yang tidak mudah, mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan kemudian berdebat, entah secara langsung atau melalui media sosial, mengenai berbagai tema dengan orang-orang yang jauh lebih muda darinya. (Fitzerald Kennedy Sitorus, "Adornoisme Goenawan Mohamad dalam Filsafat dan Seni: Tentang Pembacaan Dialektika Negatif GM atas Filsafat Dialektika Negatif Adorno", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022, hlm. 257-258 dan hlm. 296)
0 komentar:
Posting Komentar