Oleh: Nani Efendi
Di Indonesia, sebuah istilah asing seringkali diterjemahkan secara keliru. Salah satu contohnya adalah istilah "tesis". Kata Ariel Heryanto, istilah 'tesis' kayaknya berasal dari bahasa Inggris 'thesis'.
"Di kebanyakan komunitas akademik berbahasa Inggris," katanya, "istilah itu biasa dipakai untuk tugas akhir mahasiswa pada semua jenjang. Tidak seperti di Indonesia yang mematok istilah skripsi (S1), tesis (S2) dan disertasi (S3). Istilah asing banyak yang tidak cuma diserap ke dalam bahasa Indonesia, tapi juga ditambah dan kurang maknanya, sehingga berbeda dari sumbernya."
Nah, contoh lain lagi, dan ini yang akan saya jelaskan dalam tulisan ini, adalah istilah "kode etik". Istilah kode etik ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: code of conduct (lihat Wikipedia).
Untuk pedoman perilaku di setiap profesi sebaiknya digunakan saja istilah "kode perilaku", bukan kode etik. Karena etika tak berbicara mengenai point-point moral atau ajaran-ajaran moral khusus. Etika justru merupakan filsafat yang memikirkan persoalan moral, bukan mengajarkan nilai-nilai moral tertentu.
Yusril Ihza Mahendra, dalam perdebatannya dengan Franz Magnis-Suseno dalam sidang MK, juga pernah menyatakan bahwa istilah kode etik yang kita kenal di Indonesia, yang diterapkan oleh banyak profesi, seperti kode etik kedokteran, kode etik penyelenggara pemilu, dsb, tidaklah sama dengan etika sebagaimana yang dimaksud Thomas Aquinas dalam Summa Theologia. Juga tak sama dengan etika yang dimaksud filsuf Immanuel Kant atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali.
Pengamat pendidikan, J. Drost S.J., dalam tulisannya berjudul "Mengapa Diperlukan Kebebasan Akademis", memberi pemahaman juga terhadap beda antara etika dalam pengertian filsafat moral dan etika profesi dalam artian kode etik secara khusus.
J. Drost menulis: "Apa itu etika profesi, dan apakah etika profesi dapat merupakan dasar suatu tindakan." Frans von Magnis, S.J. membedakan antara etika dan moral. Ajaran moral, menurut Magnis, menjawab pertanyaan: bagaimana saya harus hidup atau bagaimana saya harus bertindak. Artinya, ajaran moral mengajukan norma-norma bertindak. Sementara etika, menurut Magnis, menjawab pertanyaan bagaimana pertanyaan moral tersebut di atas dapat dijawab. Jadi, jelas J. Drost, etika adalah filsafat tentang ajaran moral,
Etika tak mengajarkan yang wajib dilakukan orang, melainkan mempertanyakan bagaimana saya harus hidup. Dalam etika, pertanyaan itu dapat dijawab secara rasional, secara bertanggung jawab.
Dari penjelasan J. Drost, jelaslah bahwa yang sehari-hari kita sebut sebagai etika profesi atau kode etik sebetulnya adalah moral profesi, yang dalam bahasa Inggris dinamakan "code of conduct". Karena, kode etik menentukan secara khusus dan rinci point-point moral: apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak.
Oleh karena itu, "code of conduct" itu lebih tepat diterjemahkan menjadi kode perilaku, bukan kode etik. Karena kode etik tak lebih sebagai "daftar perilaku" apa yang wajib patuhi oleh seseorang yang menjabat profesi tertentu.
Karena itu, menurut J. Drost, amat mungkin kode perilaku atau yang dikenal sebagai kode etik dapat bertentangan dengan moral agama tertentu atau pandangan moral seseorang.
Contoh sederhana, untuk mudah memahami sebagai berikut:
Seorang penyelenggara pemilu membantu temannya yang kebetulan sedang menjalani sidang etik. Oleh dewan kehormatan, itu dianggap melanggar etik. Karena dianggap menunjukkan sikap keberpihakan. Merujuk ke kode etik, boleh jadi itu betul. Tapi, dalam tinjauan etika atau filsafat moral, hal itu tak ada persoalan. Karena seperti itulah kita sesama manusia diwajibkan membantu sahabat kita yang sedang mengalami kesulitan. Itu sekedar contoh sederhana.
Artinya, kode etik yang dirancang khusus untuk profesi tertentu itu tak mengandung nilai-nilai kebenaran yang hakiki (universal) sebagaimana yang dikaji dalam filsafat moral atau etika.
Nani Efendi, pemikir dan kritikus sosial
0 komentar:
Posting Komentar