Oleh: Onghokham
Pernah ditanyakan kepada seorang penulis besar bagaimana perasaannya ketika ia dinyatakan sebagai salah seorang sastrawan dengan hasil karya klasik. Ia sedih dengan sebutan itu karena mulai saat itu karya-karyanya akan menjadi bacaan wajib anak sekolah, mahasiswa, dan para akademisi lain. Dengan demikian, karya-karyanya akan menjadi monumen dan orang segan membaca atau memikirkannya lagi.
Demikian juga nasib seorang yang menjadi pahlawan. Ia akan mengalami proses dehumanisasi, akan menjadi patung dan monumen. Bagi sejarawan, ia menjadi orang mati karena tak bisa lagi dibicarakan sebagai riwayat hidup dengan segala kehebatan, kelemahan, dan kesalahannya. Sedangkaan setiap orang besar ataupun kecil perlu dikenal dalam segi postif dan negatifnya.
Proses-proses sejarah dan juga penulisan sejarah menentang konsep heroisme pada masa kini. Ada banyak “dewa” atau “dewi” dalam sejarah yang kini jatuh, seperti Stalin, Lenin, bahkan Mao. Kultus kepahlawanan memang dalam dunia modern tak populer. Di antara sejarawan serius juga ada kecenderungan yang kini sangat populer, yang disebut debunking history (membongkar sejarah). Kini di Indonesia gejala tersebut baru muncul dalam embrio. Namun, melihat proses globalisasi yang kini sedang terjadi, kelak hal itu akan juga menjadi gejala.
Almarhum Presiden John F Kennedy, Churchill, Eisenhower, bahkan Marco Polo, sang pelawat dari Genoa (Italia) ke Cina pada zaman Kublai Khan, dijatuhkan dari kedudukan sejarahnya. Kadang kala memang ada yang dinaikkan penghargaannya seperti yang terjadi pada Harry Truman, presiden sesudah Roosevelt. Memang benar bahwa tokoh-tokoh di atas, kecuali Marco Polo, mungkin tak dijadikan monumen pahlawan seperti lembaga atau tradisi Indonesia dalam pemberian gelar pahlawan.
Pemberian gelar pahlawan seperti tradisi Indonesia, katakanlah kepada Kartini, Tjut Nya Din, Sultan Agung, Diponegoro, Sultan H.B. IX, atau Imam Bonjol, adalah suatu kebiasaan yang hanya ditemukan dalam tradisi lembaga rohani atau gereja. Dalam tradisi Islam Jawa dan di berbagai wilayah Islam lain memang memang ada tradisi “orang suci” Islam atau kalau di Jawa adalah wali, seperti wali songo. Namun, masih juga ada orang suci lain seperti Batara Katong, dan orang masih berdebat juga siapa para wali itu sebenarnya.
Tradisi pemberian gelar pahlawan di Indonesia adalah mirip dengan pemberian gelar santo (laki-laki) atau santa (perempuan) sebagai “orang suci” dalam Gereja Katolik Roma dan Ortodoks. Untuk mempertebal keyakinan agama, seperti halnya masalah wali dalam Islam Jawa, dan untuk mengintegrasikan suatu daerah atau kelompok dengan Gereja secara sosiologis dan budaya, diangkatlah berbagai santo atau saint. Ada Saint Patrick yang mengkristenkan Skotlandia-Irlandia, Saint George (Inggris), Saint Willibrodus (Belanda), Santo Franciscus Xaverius (Jepang/Asia), Santa Theresia (Rhine, Jerman), dan seterusnya. Ketika arus rasionalisasi melanda Gereja Roma di bawah Paus Paulus V, banyak santo dinyatakan tak pernah ada, misalnya Saint Patrick dan Saint George yang membunuh naga. Tentu masyarakat yang bersangkutan, seperti Irlandia, marah dan mengabaikan pengguguran santo mereka oleh Vatikan. Hari Saint Patrick bagi masyarakat Irlandia tetap hari raya nasional.
Kini pemberian gelar santo di Gereja Katolik sangat ketat. Harus ada kriteria-kriteria obyektif seperti keajaiban yang terbukti dan lainnya. Perdebatan dalam pemberian gelar santo serta prosesnya memakan waktu lama dan sangat sengit. Bahkan ada pengacara khusus yang menentangnya, yang disebut pengacara “demi setan” (the devil’s advocate). Juga ada proses pra-santo yang disebut “beatifikasi” (ada beberapa calon santo Jawa, kalau tidak salah, yang baru mencapai taraf beatifikasi ini).
Tujuan pemberian gelar santo bagi orang yang sudah mati dan Gereja Katolik bertujuan mempertebal keyakinan agama dan menjadikan model hidupnya sebagai contoh bagi umatnya—yang dalam zaman kini agar sukar dicontoh, khususnya di Indonesia.
Akan tetapi kadang kala hal itu menjadi terkait dengan politik atau masalah sosial budaya kontemporer. Misalnya masalah kebangsaan para wali songo, yang katanya ada beberapa yang berasal dari Cina. Hal ini pernah membuat heboh, sedangkan sebenarnya masalah asal atau “kebangsaan” bukan merupakan masalah agama. Yang penting adalah bahwa ia wali.
Setiap daerah Kristen pada umumnya memiliki seorang santo atau santa untuk mengintegrasikan daerah tersebut dengan gereja dan untuk menebalkan rasa keagamaan masyarakat daerah tersebut. Pada dasarnya dua unsur terakhir ini, dalam kebijaksanaan pemberian gelar pahlawan, merupakan pertimbangan utama di Indonesia. Setiap daerah—anehnya tidak setiap golongan—sebenarnya memiliki pahlawan nasional. Ini untuk mengintegrasikan masyarakat daerah tersebut dengan perjuangan Indonesia. Perjuangan tersebut dilihat terutama sebagai perjuangan antikolonial, khususnya antikolonialisme Belanda. Cuma, mungkin tokoh R.A Kartini dalam hal ini merupakan pengecualian. Ia adalah tokoh emansipasi wanita, dan anehnya juga bagi Belanda ia adalah tokoh, yakni tokoh bagi para “ethici” Belanda dalam masalah kolonial.
Namun, pada umumnya, kecuali demi integrasi nasional dengan menunjuk pada fakta senasib melawan Belanda tanpa menjelaskan perjuangan antikolonialisme Belanda demi kepentingan apa, politik kepahlawanan kita adalah juga untuk mempertebal antikolonialisme dan untuk mempertebal nasionalisme Indonesia. Bagi ilmuwan sejarah, ini tidak lain dari penggunaan sejarah sebagai ideologi, yang dalam suasana perkembangan ilmu pasti pada suatu hari akan mengalami debunking. Saat itu akan tiba bila integrasi nasional sudah tidak menjadi persoalan dan pada saat nasionalisme Indonesia sudah tidak dapat diragukan lagi. Saat yang betul-betul pascakolonial. Bagaimana tokoh-tokoh modern dan kontemporer cocok dengan kebijaksanaan masalah pahlawan ini? Saya tidak tahu. Namun, kita tentu bisa selalu memiliki seorang santo atau santa di luar jalur.
ONGHOKHAM, Sejarawan
Sumber: FORUM KEADILAN, No. 9, Tahun V, 12 Agustus 1996
0 komentar:
Posting Komentar