Oleh: J. Drost S.J.
Judul ini menimbulkan dalam diri saya dua pertanyaan. Apa itu etika profesi, dan apakah etika profesi dapat merupakan dasar suatu tindakan. Frans von Magnis, S.J. memberikan uraian mengenai perbedaan antara etika dan moral. Ajaran moral menjawab pertanyaan “Bagaimana saya harus hidup?” Dalam kenyataan itu berarti, “Bagaimana saya harus bertindak?” Jadi, ajaran moral mengajukan norma-norma bertindak. Etika, menurut Magnis, menjawab pertanyaan “Bagaimana pertanyaan moral tersebut di atas dapat dijawab?” Etika adalah filsafat tentang ajaran moral.
Jadi, etika pertama-tama tidak mengajarkan yang wajib dilakukan orang, melainkan bagaimana pertanyaan “Bagaimana saya harus hidup?” dapat dijawab secara rasional, secara bertanggung jawab.
Dari uraian ini jelaslah bahwa yang sehari-hari kita sebut sebagai etika profesi sebetulnya moral profesi. Maka, jelas, moral profesi tidak dapat digunakan sebagai dasar meningkatkan profesionalisme. Karena, amat mungkin suatu tindakan yang sangat bisa meningkatkan profesionalisme saya sebagai ilmuwan di sebuah perguruan tinggi bertentangan dengan moral agama tertentu yang saya anut. Oleh karena itu, perlu sekali membedakan fungsi seorang dosen di perguruan tinggi dan profesionalisme seorang dosen.
Fungsi seorang dosen tak tak lain tak bukan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada orang lain. Semakin penyampaian ini bermutu, makin tinggi profesionalisme dosen tersebut.
Jadi, keliru sama sekali anggapan bahwa seorang dosen harus mendidik para mahasiswa. Mahasiswa adalah orang dewasa dan sebagai orang dewasa mengadakan interaksi lewat komunikasi ilmiah dengan mereka yang profesional pada bidangnya. Komunikasi ilmiah ini secara mendasar dicirikan oleh kebebasan mutlak dari kedua belah pihak. Jadi, usaha infantilisasi, menganggap mahasiswa seperti kanak-kanak, merupakan tindakan yang melanggar moral profesi. Seorang rektor, seorang dekan, seorang dosen bukan bapak, dan para mahasiswa bukan anak-anak mereka. Inilah infantilisasi feodalistis.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan di perguruan tinggi yang dapat menciptakan suasana ilmiah yang memungkinkan para dosen meningkatkan profesionalismenya.
Tusukan Mati
Di zaman Soekarno, didengung-dengungkan semboyan “pendidikan (maksudnya pengajaran) demi pembangunan”. Waktu itu hanya segelintir orang yang sadar bahaya semboyan itu. Karena, dapat terjadi bahwa pengajaran tinggi dikorbankan demi pembangunan, dan ini berarti menghancurkan kemungkinan membangun juga.
Marilah kita lihat sejarah. Dikalahkannya pengajaran demi tujuan ideologi selalu merusak pengajaran. Itu terjadi di Jerman waktu Nazi berkuasa. Di Indonesia, salah satu contoh, usaha Panca Wardhana dan Nasakomisasi.
Saya hadir pada kongres pengetahuan nasional yang pertama di Malang. Pada kesempatan itu, Soekarno mengutuk ilmu pengetahuan murni. Ia memerintahkan supaya semua ilmu pengetahuan “diterpakaikan”. Tidak ada reaksi. Perintah itu diterima begitu saja. Padahal, perintah itu adalah tusukan mati bagi setiap ilmu pengetahuan baik teoritis maupun yang penerapan. Maka, bukan bahaya khayalan kalau kolaborasi yang tidak kritis itu menghasilkan penyerahan mutlak dunia pendidikan kepada politik.
Pemberontakan mahasiswa di Eropa, Amerika, dan Jepang pada dasawarsa tahun 1960-an, menurut mereka, perguruan-perguruan tinggi terlalu melibatkan diri secara langsung dalam maslah-masalah nasional, industri besar, dan industri persenjataan. Dengan demikian, kebebasan akademis menjadi keterikatan akademis. Bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi tolok ukur, melainkan ilmu pengetahuan pesanan dari industri.
Dalam hal ini godaan bisa amat kuat. Sebab, melayani ilmu pengetahuan orang akan tetap miskin, sedangkan menjadi pemasok industri uang berlimpah. Di Negeri Belanda, mahasiswa memprotes pengangkatan tokoh-tokoh industri dan perdagangan dalam dewan penyantun universitas. Mereka takut perguruan tinggi akan kehilangan kebebasan terhadap dunia luar.
Karena bahaya yang saya sebut di atas bukan khayalan, hubungan antara pengajaran dan pembangunan harus dua arah. Hubungan ini tidak hanya diarahkan kepada pembangunan, melainkan juga kepada pengajaran. Dengan kata lain, hubungan ini merupakan hubungan sejati dua rekan yang sederajat jika masing-masing mempertahankan watak khasnya.
Kritisi Masyarakat
Tujuan pertama dan utama pengajaran ialah mencari, bahkan boleh dikatakan mengejar, kebenaran. Jadi, tanpa mengurangi pertanggungjawaban sosial perguruan tinggi sebagai “pelaku perkembangan” harus dipertahankan bahwa perguruan tinggi tidak hanya abdi masyarakat, namun juga kritisi masyarakat. Mengutip Education Commission’s Report dari India dapat dikatakan: “Tujuan universitas bukan pertama-tama memberikan yang dikehendaki masyarakat, melainkan yang dibutuhkannya.” Perguruan tinggi bukan community service station yang secara pasif melayani tuntutan massa, karena itu berarti membahayakan integritas intelektual.
Memang, universitas bukan menara gading juga, tempat para dosen dan mahasiswa menyembunyikan tanpa menghiraukan tanggung jawab sosial mereka. Selalu harus ada keseimbangan antara commitment and detachment, mengikat diri dalam usaha dan bebas dalam berpikir. Selalu harus ada tegangan kreatif antara lain dengan cara memahami kapan mendukungnya, dan kapan menolak. Universitas tidak pernah boleh mengidentifikasi diri dengan keadaan dan pranata-pranata zaman sekarang. Namun, kampus juga tidak harus selalu menyerah kepada setiap perubahan atau tuntutan zaman. Karena, ini sering berarti mengkhianati integritas pandangan dan penilaian.
Meraih situasi ideal ini hanya mungkin kalau perguruan tinggi mempertahankan otonomi dan kebeasan mimbar. Justru sebagai perintis pembangunan, perguruan tinggi harus berjuang agar integritas intelektual sungguh-sungguh terjamin. Ini berarti bahwa syarat mutlak supaya perguruan tinggi punya sumbangan dalam pembangunan adalah otonomi yang sebesar-besarnya. Alasan pokoknya, karena hanya orang dalam yang mengetahui perkembangan perguruan tinggi, dan hanya merekalah yang mengetahui apa yang mungkin dan perlu disumbangkan oleh perguruan tinggi kepada pembangunan.
Memang, ini semua dengan mengandaikan bahwa yang berwewenang di universitas adalah orang yang penuh tanggung jawab. Tapi, hemat saya, kenyataan ini tidak patut disangsikan.
Terus terang, salah satu hal yang pada hemat daya memperlambat, bahkan menghalangi pembangunan ialah sikap curiga-mencurigai. Hampir setiap pembicaraan, lebih-lebih kalau ada usul-usul operasional, dihambat oleh sikap itu. Selalu ada yang mengatakan: ini dan itu tidak mungkin, pasti korup, tidak bertanggung jawab, sarat pamrih, dan sebagainya. Seandainya kita semua betul-betul berani menerapkan sikap percaya-mempercayai, tidak curiga, suasana membangun akan jauh lebih positif. Karena, kalau koruptor ditangkap tidak usah ada kecurigaan—itu sudah jelas.
Orang-Dalam dan Orang-Luar
Salah satu contoh masalah yang hanya dapat diatasi oleh orang-dalam adalah yang dikemukakan oleh Prof R.A. de Moor dari Tilburg, Nederland. Salah satu kesukaran yang timbul waktu kita akan menangani sebuah masalah yang praktis, karena pada umumnya ilmu-ilmu pengetahuan yang memiliki sarana teoritis paling kuat akan menguasai ilmu-ilmu pengetahuan lain. Contoh yang mencolok, sampai hari ini ilmu ekonomi menguasai ilmu-ilmu kemasyarakatan yang lain. Misalnya, istilah sosial ekonomi lebih bercirikan ekonomi daripada sosial.
Ahli-ahli ekonomi telah berhasil merumuskan keadaan ekonomi masyarakat dengan memakai pengertian-pengertian yang dapat dipahami oleh setiap orang yang membaca surat kabar. Ilmu-ilmu kemasyarakatan lain masih bergumul dengan masalah ini. Bahkan, para ilmuwan pengetahuan alam yang melihat menyusupnya metode-metode sains ke dalam ilmu ekonomi mulai bertanya: apakah ilmu ekonomi tidak lagi merupakan cabang baru dari sains? Hingga iptek tidak berarti ilmu pengetahuan (yang mencakup ilmu kemasyarakatan dan ilmu budaya) dan teknologi, akan tetapi iptek atau ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Celakalah kalau hal ini terjadi.
Namun, tidak hanya terhadap sosiologi, terhadap pendidikan pun segi ekonomis dominan. Justru masalah-masalah semacam itu hanya dapat dihindari atau diselesaikan oleh kerja sama orang-dalam dunia perguruan tinggi dan tidak dapat dipaksakan oleh orang-luar. Untuk itu diperlukan otonomi dan kebebasan akademis.
Mengutip seorang pengarang Indonesia “sasaran pendidikan ialah enculturation”, pembudayaan. Sebuah proses yang menyingkapkan pribadi seorang manusia terhadap suatu kebudayaan guna mengasimilasi nilai-nilainya. Selain bahwa sasaran itu adalah persiapan untuk melakukan suatu pekerjaan yang merupakan mata pencaharian dan sekaligus berguna bagi masyarakat.
Penguasa dapat mengekang kebebasan akademis sedemikian ketat hingga civitas academica tinggal diam saja. Akibatnya perkembangan ilmu pengetahuan berhenti. Namun, juga mungkin perguruan tinggi menjual kebebasan akademisnya kepada industri. Mana yang lebih celaka? Hemat saya yang terakhir, karena integritas intelektual dipertaruhkan. Pelayanan yang sejati menuntut integritas intelektual yang hanya dapat dipupuk oleh keberanian mempergunakan seluruh hidup mencari kebenaran dalam suasana yang dicirikan oleh kebebasan akademis yang sejati.
J. Drost S.J., pengamat pendidikan
Sumber: D&R, No 50/XXIX/1 Agutus 1998
0 komentar:
Posting Komentar