alt/text gambar

Kamis, 22 Agustus 2024

Topik Pilihan: ,

REHABILITASI 15 MENTERI SOEKARNO

 


Oleh: Asvi Warman Adam


Dalam keputusan International People’s Tribunal 1965 yang disampaikan 20 Juli 2016 disebutkan, korban peristiwa 1965 bukan saja mereka yang dituduh anggota PKI dan ormasnya atau tidak sama sekali, melainkan juga kalangan PNI progresif dan para pendukung Soekarno.

Tentu termasuk dalam pendukung Soekarno 15 menteri yang ditahan 18 Maret 1966. Mereka adalah Soebandrio, Chaerul Saleh, Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Jusuf Muda Dalam, Armunanto, Surahman, Sutomo Martopradoto, Astrawinata, Achmadi, Imam Syafi’i, JK Tumakaka, Mohamad Achadi, dan Soemarno Sastroarmodjo. 

Dalam “pengumuman” presiden nomor 5 tertanggal 18 Maret 1966 yangdikeluarkan Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden Soekarno disebutkan, dilakukan “tindakan pengamanan agar menteri-menteri tersebut jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendalikan”. 

Semua menteri, kecuali Soebandrio dan Jusuf Muda Dalam, tidak diproses secara hukum dan di-”aman”-kan dalam penjara lebih dari 10 tahun. 

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 14 ayat 1, Presiden berhak memberikan rehabilitasi. Alangkah baiknya dalam rangka peringatan kemerdekaan Indonesia, Presiden memulihkan nama baik para menteri dalam pemerintahan terkahir Soekarno tersebut. Mereka ditahan tanpa proses pengadilan. 

Tragedi menteri 

Jusuf Muda Dalam selaku Menteri/Gubernur Bank Sentral diadili karena dianggap merugikan negara. Namun kasus subversi ini sangat kontroversial karena kebijakan fiskal yang diambilnya dapat diperdebatkan. Soebandrio lebih tragis lagi karena jasa-jasanya besar dalam politik luar negeri Indonesia. 

Sejak tahun 1947 sampai dengan 1956, ia memperjuangkan kepentingan Indonesia di luar negeri. Duta Besar untuk Uni Soviet dijabatnya tahun 1954-1956 sebelum ditarik Soekarno sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri. Selanjutnya, ia menjadi Menteri Luar Negeri selama 9 tahun sampai tahun 1966.

Tahun 1962 ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri yang menangani masalah luar negeri, selain itu ia mengepalai Badan Pusat Intelijen (BPI), koordinator antar-unit intelijen pada empat Angkatan Bersenjata dan Kejaksaan Agung. Namun, fokus Soebandrio adalah masalah luar negeri. Soebandrio juga Koordinator Urusan Irian Barat. 

Tidak aneh pada tahun 1965 BPI membagikan dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta, kepada para peserta Konferensi Asia-Afrika yang menurut rencana diadakan di Aljazair. Dokumen itu menyebut hubungan pihak Inggris dengan perwira Indonesia (“our local army friends”). Terepas dari keotentikan dokumen tersebut, penyebarannya dimaksudkan untuk meningkatakan kewaspadaan terhadap pihak Inggris yang memang mendukung Malaysia—ketika itu berkonfrontasi dengan Indonesia. 

Soebandrio selaku Menteri Luar Negeri memindahkan rekening Kementerian Luar Negeri sebesar 250.000 dollar AS karena situasi darurat untuk keperluan Operasi Ganyang Malaysia. Dana tersebut tdak ditaruh pada rekening pribadinya dan menurut pembelanya, itu tidak melanggar hukum. 

Soebandrio sama sekali tidak terlibat G30S. Ketika meletus peristiwa ini, Soenadrio dan rombongan berada di Medan dan kemudian ke Langsa. Tanggal 3 Oktober 1965 baru mereka pulang ke Jawa. Ia didakwa memberi kesempatan kepada orang lain untuk melakukan makar dengan logika yang tidak diterima akal sehat, yaitu Soebandrio meminta Aidit pulang ke Jakarta sehingga terjadi percobaan kudeta tahun 1965. Soebandrio atas perintah Presiden Soekarno mengirim telegram 30 Juli 1965 meminta Aidit dan Njoto pulang ke Jakarta (terkai penyusunan pidato Presiden 17 Agustus 1965). 

Jamin, sekretaris Presiden bersaksi di persidangan bahwa ia menelegram Njoto (hanya Njoto) tanggal 2 Agsitus agar pulang ke Jakart. Ini disimpulkan oleh oditur bahwa Sobandrio menambahkan nama Aidit, sementara yang disuruh pulang oleh Presiden hanya Nyoto. Namun, fakta persidangan juga mengungkap bahwa telegram Soebandrio itu diterima aidit di Beijing, ia menjawab bahwa ia akan pulang ke Jakarta dan bahwa Njoto berada di Moskwa. Jadi, kenapa Jamin, sekretaris Presiden Soekarno hanya menelegram Njoto beberapa hari kemudian, jelas alasannya karena Aidit sudah memberi jawaban.

Rehabilitasi 

Tanggal 23 Oktober 1966, Mahkamah Milter Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan hukuman mati kepada Dr H Soebandrio. Ketika akan dieksekusi, melayang surat protes Ratu Elizabaeth dari Inggris, negara tempat Soebandrio merintis kantor perwakilan Indonesia sejak tahun 1947 dan resmi sebagai Duta Besar 1950-1954, sehingga hukuman menjadi seumur hidup. Tahun 1995 dengan pertimbangan kesehatan, ia dibebaskan setelah 29 tahun dibui. 

Tanggal 21 desember 2000, Soebandrio menemui Presiden Abdurrahman Wahid selama satu jam dan meminta rehabilitasi. Gus Dur memerintahkan dua menteri, yakni Yuzril Ihsa Mahendra dan Marsilam Simanjutak, untuk menindaklanjuti permohonan tersebut yang sampai sekarang belum ada realisasinya. Tanggal 3 Juli 2004, Soebandrio meninggal dalam usia 90 tahun. Datang melayat mantan Menlu Ali Alatas. 

Tentu Ali Alatas dapat merasakan betapa tragis seorang mantan dubes pada dua negara dan menteri luar negeri yang berjasa dalam pengembalian Irian Barat dipenjarakan selama 29 tahun karena tuduhan yang tidak masuk akal. Soebandrio bukan komunis dan sama sekali tidak terlibat Gerakan 30 September 1965. Ia pendukung Soekarno. 

ASVI WARMAN ADAM, Sejarawan LIPI

Sumber: Kompas, 23 Agustus 2016

0 komentar:

Posting Komentar