Oleh: Nani Efendi
Dalam salah satu dialog, Franz Magnis-Suseno, menjelaskan, filsafat di Indonesia belum mendapat tempat yang semestinya. Hanya sedikit pelajaran filsafat yang diberikan di perguruan tinggi di Indonesia. "Hampir tidak ada," kata Magnis. Kecuali Katolik: karena filsafat termasuk pendidikan bagi para Pastor dan Imam, kata Magnis.
Di negara maju—semisal Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss, dan Swedia—filsafat sudah diajarkan semenjak SMA. Bahkan, Prancis mewajibkan ujian nasional filsafat untuk semua pelajar SMA. Wajarlah banyak pemikir-pemikir besar lahir dari sana.
Di Prancis, siswa dalam ujiannya—sebagaimana dikutip dari Tempo.co (Di Negara Ini, Pelajar SMA Wajib Ujian Nasional Filsafat)—sudah harus bisa menulis esai pendek untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafat. Bahkan, siswa SMA sudah bisa mengomentari karangan beberapa filsuf semisal Karl Popper, Rene Descartes, dan Hannah Arendt.
Sekolah di Prancis tak melatih orang untuk mendapat pekerjaan, tapi melatih orang untuk menjadi warga negara, yang akan menentukan nasib negaranya di masa depan. Karena itu, bagi mereka, filsafat penting diajarkan.
Nah, kondisi itu berkebalikan dengan di Indonesia. Di Indonesia, masih banyak yang salah kaprah dengan filsafat. Bahkan sekelas dosen sekali pun.
Saya ingat, waktu kuliah dulu—sebut saja namanya Pak Abdul Muluk—salah seorang dosen saya, mengatakan kira-kira seperti ini: jangan orang sudah sampai di bulan, kita masih juga berfilsafat.
Waktu itu saya amini juga kata-kata dosen itu. Sekarang baru saya tersadar: betapa kelirunya Pak Dosen itu. Kok memahami filsafat seperti itu. Nampak bahwa ia sebenarnya tak mengerti betul apa itu filsafat.
Padahal, filsafat adalah fondasi dan bekal berpikir kritis, logis, sistematis. Dan itu berguna untuk setiap orang, terlepas apapun profesinya. Filsafat membuat manusia jadi bijak.
Banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang punya kemampuan berpikir kritis luar biasa karena mereka memang mempelajari filsafat. Salah satu misalnya Yusril Ihza Mahendra. Yusril itu hanya S1-nya saja di bidang hukum, dan itu pun sembari ia ambil S1 filsafat juga. S2-nya filsafat juga. S3-nya Ilmu Politik. Dan terakhir ia mengambil S3 filsafat lagi di UI.
Berikut ini beberapa contoh tokoh-tokoh kritis karena mereka mempelajari filsafat. Mereka itu antara lain: Bung Hatta, Tan Malaka, D.N. Aidit, Daoed Joesoef, Franz Magnis-Suseno, K. Bertens, Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, A.M. Hendropriyono, Rocky Gerung, Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman (profesor filsafat di Chicago, gurunya Cak Nur), Gus Dur, Luthfi Assyaukanie, Komaruddin Hidayat, Simon Petrus Lili Tjahjadi, F. Budi Hardiman, A. Setyo Wibowo, Fuad Hassan, Dian Sastrowardoyo, Budhy Munawar Rachman, Sujiwo Tejo, A. Sonny Keraf, Ayu Utami, F.X. Mudji Sutrisno, Sindhunata, Rieke Diah Pitaloka, Robertus Robert, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Karlina Supeli, Fahruddin Faiz, Yahya Waloni, Gadis Arivia, Donny Gahral Adian, Lucius Karus, Ahmad Syafi'i Maarif, Nezar Patria, Ali Syariati, Arief Budiman, dan banyak tokoh hebat lainnya.
Filsafat mengajarkan kita kecakapan berpikir kritis. Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ilmu kritis. "Filsafat mengajar kita untuk kritis terhadap segala pendapat. Kritis tidak berarti pokoknya menolak, tetapi melihat apa yang hanya merupakan 'half truth' atau 'post truth'," kata Prof Magnis (lihat https://youtu.be/A4gZe_rXD3E?si=TSzI0qt3LJfaIrNC).
Hari ini banyak yang memaksakan sesuatu menurut tafsirnya sendiri, misalnya, adalah bentuk nyata, bahwa mereka tak memiliki bekal filsafat yang baik.
Jadi, menurut saya, filsafat memang sudah harus dimasukkan ke kurikulum sekolah menengah secara nasional dan menjadi mata pelajaran wajib di SMA, apalagi di perguruan tinggi.
Nani Efendi, kritikus sosial
0 komentar:
Posting Komentar